MPE Bab 8

1707 Words
“Ellio … ayolah. Apa kamu tidak lelah menangis?” Sebastian harus menarik napas panjang untuk bisa menekan emosinya. Begitu membuka mata, Ellio langsung mengingat perempuan itu, lalu menangis saat dia mengatakan perempuan itu tidak ada bersama mereka. “Apa Ellio ingin bermain? Kita bisa bermain. Bagaimana?” tawar Sebastian mencoba untuk menenangkan sang putra, dan membuat Ellio melupakan permintaannya. “Papa bohong. Huaaaa!” Ellio melempar bantal, lalu guling yang langsung ditangkap oleh Sebastian. Sebastian meletakkan kembali bantal dan guling ke samping sang putra. “Ellio mau punya mommy, kan?” Ellio menjawab dengan anggukan kepala di tengah isak tangisnya. “Ellio ingat Onty Miranda? Yang sering memberi Ellio coklat enak? Onty Miranda juga ingin menjadi mommy Ellio.” “Huaaaaaaa!” tangisan Ellio semakin kencang hingga membuat Sebastian meringis. Telinganya langsung berdengung. “Huaaaaa! Ellio mau mommy Louisa!” Ingin sekali Sebastian berteriak, ‘Tidak ada mommy Louisa.’ Namun yang terjadi justru pria itu menganggukkan kepala. “Ya … ya … mommy Louisa.” Oh … Sebastian merutuk lidahnya yang bergerak begitu saja. “Ellio, cucu Grandma. Jangan menangis lagi, Sayang. Ayo … ikut Grandma bertemu dengan mommy Louisa.” Sebastian memutar kepala ke arah datangnya suara. Ibunya sudah berderap menghampiri ranjang. Pria itu menghembus napas samar. Ibunya membuat masalah. Ellio akan semakin tantrum saat tahu jika neneknya berbohong. Pria itu membatin. “Ma, jangan membohongi Ellio. Bisa-bisa semalam kita tidak akan tidur karena tidak bisa menenangkan Ellio.” Sebastian mengingatkan. “Siapa yang sedang membohongi Ellio?” Berta tersenyum. Ayunan kakinya berhenti di samping ranjang sang cucu. Tangan kanan wanita itu terulur. “Ayo … kita bertemu mommy Louisa.” Tangis Ellio sudah berhenti. Hanya sesekali anak itu masih sesegukan. Ellio meraih tangan sang nenek dengan wajah bersimbah air mata. “Ya, Tuhan. Cucu tampan Grandma.” Berta menurunkan tubuh, lalu menghapus air mata sang cucu. “Nah … sudah ya, jangan menangis lagi.” “E-e-ellio … mau mommy … Louis.” “Iya, Sayang, kita akan bertemu mommy Louis. Jadi, Ellio jangan menangis lagi. Jangan sampai mommy Louisa tidak mau bertemu dengan Ellio.” Ellio menggelengkan kepala. Anak itu berusaha keras menghentikan sesegukan yang sesekali masih terlepas. Sementara Sebastian menggelengkan kepala pasrah. Jika sang ibu berbohong, dia harus siap tidak tidur malam ini. *** Sementara di ruang tamu—Louisa memutar kepala, memperhatikan ruangan tersebut. Sepasang mata wanita itu mengerjap. Refleks Louisa berdiri dari tempat duduk, lalu sepasang kakinya terayun begitu saja meninggalkan set sofa, ketika melihat beberapa bingkai foto yang digantung di dinding, membuatnya penasaran. D*da Louisa bergerak cepat seiring langkah kaki yang semakin dekat dengan deretan foto-foto itu. Mulut wanita itu terbuka. Dia tidak salah melihat. Sepasang mata Louisa membesar. Pantas saja dia merasa tidak asing dengan suara tangisan itu. Oh … Louisa memutar kembali kepalanya. Tidak melihat seorangpun setelah pelayan datang menghidangkan minuman dan cemilan—Louisa berjalan pelan. Pintu keluar yang menjadi tujuannya. Jika tahu wanita baik hati itu ternyata adalah nenek Ellio, Louisa tidak akan menerima ajakannya. Bukan. Bukan dia tidak menyukai Ellio. Bukan itu. Namun, dia belum bisa menerima Ellio yang memanggilnya mommy. Apalagi saat Louisa mengingat dia sempat menanyakan apakah Berta memiliki putra yang masih single. Ough … Louisa benar-benar malu. Louisa baru mengayun kaki lebih cepat, ketika suara itu kembali terdengar. “Mommy Louisa!” Ayunan kaki Louisa berhenti. Wanita itu menutup mata beberapa saat. Kenapa juga Ellio melihatnya? Ah … bodohnya dia yang tidak menyadari foto-foto yang begitu besar terpajang di dinding. Sedikit lagi. Sedikit lagi dia mencapai pintu keluar. Arghh …. Louisa merutuki nasib sialnya. “Mommy Louisa!” Louisa meringis. Ellio menabrak keras tubuhnya, hingga kakinya terhela ke belakang beberapa langkah. “Kalian sudah saling kenal?” tanya Berta. Wanita itu berjalan menghampiri Louisa yang masih dipeluk oleh Ellio. Jujur saja Berta terkejut ketika melihat Ellio langsung berlari sambil memanggil Louisa. Ternyata wanita muda yang ditemukannya di tempat lelang adalah wanita yang sama, yang diinginkan oleh sang cucu. Bukan sekedar nama yang sama, tapi benar-benar sosok yang sama. Sungguh sebuah kebetulan yang tidak terduga. Sementara Sebastian berdiri di salah satu anak tangga dengan tatapan lurus ke arah perempuan yang beberapa jam lalu dia tinggalkan di tempat perbelanjaan. Banyak pertanyaan yang muncul di dalam kepala pria itu. Louisa berdehem. “Um … saya bekerja di sekolah Ellio.” Louisa tersenyum kaku. Dia baru saja berencana untuk melarikan diri. Sayang, nasibnya sedang kurang baik. Louisa menurunkan pandangan saat merasakan tarikan tangan Ellio. Louisa menatap bertanya anak itu. “Ayo kita main, Mommy.” Louisa menelan saliva susah payah. Melirik wanita tua pemilik rumah, Louisa tertawa. “Maaf, Nyonya. Sepertinya Ellio melihat saya … um … seperti ibunya. Tolong jangan marah.” Wanita muda itu mengusap pelan tengkuknya saat merasa tidak nyaman. “Ah, iya … iya. Sebentar, Ellio Sayang.” Louisa mengangkat kepala, lalu tersenyum sambil mengangguk kecil, sementara sepasang kakinya terhela mengikuti tarikan tangan Ellio. Bola mata wanita itu sempat bergulir ke arah tangga, lalu menemukan sosok pria dewasa yang berdiri di sana. Louisa buru-buru mengalihkan tatapan matanya. “Kita mau ke mana, Ellio?” tanya Louisa bingung. “Tempat bermain Ellio,” jawab anak itu. Berta memutar kepala. Wanita tua itu menatap sang putra yang masih berdiri di tengah tangga yang menghubungkan lantai satu dan lantai dua. “Mama menyukainya,” kata wanita itu setelah tatapannya bertemu dengan netra Sebastian. Sebastian mengedip. Pria itu menghembuskan napas. Sepasang kakinya kembali terayun menuruni anak tangga. “Dia jauh lebih baik dari Miranda. Dia masih muda, cantik, ceria, punya banyak talenta, juga baik hati. Anaknya sopan.” Berta menyebut semua hal baik tentang Louisa yang didapatnya dari dua jam kebersamaan mereka. Berta sudah melangkah ke arah sang cucu membawa Louisa. “Kenapa kamu tidak mau mendekati Louisa? Apa karena dia hanya seorang guru? Bukan model seperti Miranda? Atau karena sudah ada Miranda? Kalau itu masalahnya, mudah. Akhiri saja hubungan kalian, lalu nikahi Louisa.” “Mama bicara apa? Aku tidak bisa menikahi Louisa. Mungkin mama bisa membantuku mencari perempuan lain dengan nama Louisa. Aku akan menikahi yang itu, bukan yang ini.” Berta menoleh sambil mendelik. Sebastian sudah menyamai langkah kakinya. “Memangnya segampang itu? Apa kamu berpikir Ellio tidak akan bisa membedakan mana Louisa yang dia inginkan dan mana yang papanya inginkan? Percayalah, Ellio pasti punya alasan kenapa hanya mau Louisa ‘yang ini’ untuk menjadi ibunya.” “Kalau perlu, aku akan memintanya operasi plastik. Pokoknya bukan Louisa yang ini.” Sebastian menegaskan. “Kamu memilih tiap malam begadang karena tidak mau mewujudkan keinginannya?” Berta menggeleng kepala. “Diberikan yang masih gadis tidak mau. Mama pikir kamu itu pintar, Sebastian.” Sebastian mengikuti sang ibu yang melangkah ke arah tempat bermain Ellio. “Tentu saja putramu ini pintar, Ma. Kalau tidak—tidak mungkin aku bisa mengembangkan usaha papa sampai sebesar sekarang.” “Mama tidak sedang membicarakan tentang pekerjaan. Mama membicarakan tentang caramu memilih perempuan yang akan menjadi ibu dari anak-anakmu.” Berta mendesah pelan. “Kasihan cucuku itu. Ibunya susah diatur, jadinya Ellio harus terlahir seperti itu. Masih beruntung kecerdasan kamu menurun padanya.” “Jangan menyalahkan orang yang sudah meninggal, Ma.” “Mama bicara kebenaran. Kamu tahu itu. Kalau saja dia mau mendengarkan Mama. Berhenti merokok. Apa susahnya menjauhkan rokok selama hamil? Demi bayinya. Ibu yang mencintai anaknya, akan melakukan apapun demi kebaikan anaknya.” “Dia mencintai Ellio.” “Tidak sebesar cintamu pada Ellio.” “Sudah lah, Ma. Jangan dibicarakan lagi. Dia sudah tidak ada di sini.” “Makanya, sekarang kamu harus mencari istri yang baik. Istri yang akan menyayangi Ellio dan anak-anakmu kelak. Yang mau berkorban demi anak-anakmu. Bukan hanya menginginkan hartamu. Mama jamin, Louisa bukan perempuan matrealistis seperti para perempuan yang kamu kencani itu.” Napas wanita itu terhela cepat setelah menyelesaikan kalimat panjangnya. Langkah kakinya sudah nyaris tiba di satu ruangan besar yang putranya buat khusus untuk tempat bermain Ellio. Sebastian sadar, kondisi Ellio akan membuat banyak orang menatap aneh putranya itu. Oleh karena itu, dia membuat tempat bermain khusus untuk Ellio sehingga anak itu tidak perlu pergi keluar rumah hanya untuk bisa bermain. Dia tidak ingin sang putra merasa berbeda dengan anak-anak lain. *** Louisa menatap takjup sebuah ruangan yang baru dimasukinya. “Wah … ini luar biasa, Ellio.” “Mommy suka?” “Miss suka.” Louisa mengoreksi kalimat Ellio. Ellio tidak menggubris ketidaksukaan sang guru ketika dia memanggil wanita itu dengan kata depan mommy. Ellio menarik sebelah tangan Louisa. “Ayo Mommy, kita balapan.” Kedua bahu Louisa langsung terjatuh. Menggelengkan kepala, tapi, kaki Louisa tetap saja terhela mengikuti tarikan sang murid. “Ini. Ellio mau main ini.” Louisa terdiam sesaat. Satu ide cemerlang muncul di otak Louisa. Wanita itu meraih kedua bahu Ellio, lalu memutar tubuh anak tersebut hingga mereka berdiri berhadapan. “Oke. Kita akan main satu permainan.” Louisa tersenyum ketika melihat kepala Ellio mengangguk. “Peraturannya, Ellio harus perhatikan baik-baik.” Louisa memperlihatkan ibu jari saat lagi—Ellio mengangguk. Louisa menahan senyum. Dia sudah mendapatkan perhatian penuh dari sang murid. “Baik. Dengarkan baik-baik. Kita akan balapan. Siapa yang menang, boleh mengajukan satu permintaan, dan yang kalah harus menuruti permintaan itu. Bagaimana? Ellio setuju?” Ellio terdiam beberapa saat dengan kedua alis yang bergerak hingga nyaris menyambung di bagian tengah. Bibir anak itu mengerucut. “Satu permintaan?” Louisa mengangguk keras. “Iya. Satu permintaan.” “Mommy tidak boleh berbohong seperti papa.” Louisa membesarkan kedua bola matanya. Ternyata pria tua itu suka membohongi Ellio? Dalam hati Louisa tertawa. “Ayo, Mommy.” Ellio sudah mengayun langkah, lalu duduk di depan sebuah mesin bermain yang membuat sang pemain berperan seolah menjadi pengendara mobil yang sedang balapan di sebuah arena. “Baiklah.” Louisa bersemangat. Perempuan 22 tahun itu menepuk kedua tangannya. Dulu—dia jagonya memainkan permainan seperti ini. Dia bahkan bisa mengalahkan teman-teman cowoknya semasa sekolah. Wanita itu terkekeh tanpa suara. Dia akan membuat Ellio berhenti memanggil dirinya mommy. Sepasang mata perempuan menyipit. Louisa duduk di satu mesin bermain yang sama, di samping Ellio. Wanita itu menoleh ke samping. “Ellio juga tidak boleh ingkar janji, ya. Seorang anak laki-laki harus selalu menepati janji. Kalau Ellio kalah, Ellio harus menuruti satu permintaan dari Miss Louis.” Ellio mengangguk. “Ayo kita mulai, Mommy.” Anak itu tersenyum lebar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD