MPE Bab 9

1834 Words
Louisa meremas-remas tangannya. Sepasang mata wanita itu memperhatikan benda di depannya. Sudah cukup lama dia tidak memainkannya. Dia perlu pemanasan. “Ellio, biarkan miss Louisa mencobanya sekali saja, sebelum kita mulai bertanding.” Louisa menoleh lalu menatap memohon anak 6 tahun di sampingnya. “Apa aku perlu mengajari Mommy?” Louisa tertawa. Tangan kanan wanita itu terangkat, lalu bergerak ke kanan kiri. “Tidak, tidak perlu, Sayang. Dulu Miss Louis sering memainkannya. Sekarang Miss Louisa hanya perlu mencoba sekali saja sebelum kita mulai. Oke?” Louisa tersenyum lebar saat melihat Ellio menjawab dengan anggukan kepala, sebelum anak itu mengulum ibu jari kanannya. Louisa menarik napas, lalu menghembuskan perlahan. Wanita itu meraih kemudi, lalu fokus dengan layar di depannya yang sudah menyala. Begitu kata start muncul, Louisa menggerakan tangannya. Wanita muda itu sudah begitu fokus dengan kegiatannya, hingga tidak menyadari keberadaan dua orang yang berdiri di ambang pintu. *** “Kamu lihat, Bastian? Ellio kelihatan seperti anak normal lainnya. Dia terlihat begitu tenang bersama Louisa.” Sebastian yang sedang memperhatikan dua orang beda usia itu, menarik pelan napasnya. Harus dia akui jika ibunya berkata benar. Ellio terlihat begitu tenang. Anak itu diam memperhatikan gurunya yang sedang bermain ‘Balap mobil.’ Meskipun begitu, Sebastian tidak merespon kalimat sang ibu. Pria itu merapatkan sepasang bibirnya. “Mungkin Ellio merasa nyaman dengan Louisa. Dia juga pasti bisa merasakan jika perhatian yang Louisa berikan itu nyata. Tidak dibuat-buat. Bukan karena dia menginginkan sesuatu. Harta, atau cinta ayahnya.” Sebastian kembali menarik napas panjang, lalu menghembuskan perlahan. Pria yang berdiri dengan punggung menyandar ambang pintu itu menoleh ke arah sang itu, lalu mengurai lipatan tangannya. “Mama terlalu cepat menilai. Siapa yang tahu apa yang perempuan itu pikirkan?” Sebastian merutuk dalam hati ketika suara lain di dalam kepalanya langsung menyangkal kalimatnya sendiri. Sebastian jelas tahu jika Louisa tidak mengincar cintanya, apalagi hartanya. Perempuan itu tidak kekurangan apapun. Sebastian mendesah. “Mama yakin dengan penilaian Mama. Mama tidak akan salah menilai Louisa. Mama juga percaya pada penilaian Ellio.” Sebastian tidak lagi mendebat ketika sang ibu sudah begitu kukuh dengan penilaiannya. Pria 37 tahun itu memutar kepala ke depan. *** “Arghhhh!” Louisa tanpa sadar berteriak ketika mobil yang ia kendarai masuk finish nomor dua. Dia kalah! Wanita itu menatap kesal layar di depannya. Louisa menoleh ke samping saat menyadari seseorang sedang tertawa. “E-lli-o.” “Mommy kalah.” Ellio kembali tertawa sambil menunjuk layar di depan Louisa. “Ough … jangan menertawaiku, Ellio. Kamu belum tentu bisa mengalahkanku.” Louisa melupakan panggilan miss ketika berbicara. Wanita itu sudah berbicara layaknya dengan teman. Tangan kanan Louisa terulur, lalu wanita itu menggoyang bahu Ellio yang tertawa semakin keras. "Berhenti tertawa." “Ayo, Mommy. Ayo kita balapan.” Louisa menggeram. “Baiklah. Aku akan mengalahkanmu, Ellio. Lihat saja.” “Mommy tidak akan bisa mengalahkanku. Tidak mommy, tidak papa.” Ellio tertawa. Anak kecil itu kemudian fokus dengan benda di depannya. Tawa Ellio sudah hilang. Anak itu menatap serius layar di depannya dan tangannya sudah siap di kemudi. Louisa menghembus keras karbondioksida keluar dari mulut yang ia bulatkan. Wanita itu kemudian kembali meraih kemudi. Dua orang itu mulai mereset permainan yang akan mereka mainkan bersama. Ellio menjadi pemain 1 dan Louisa pemain 2. Ellio memulai permainan. Dua orang itu begitu fokus menggerakan kemudi. Sesekali tangan mereka menekan beberapa tombol. Beberapa saat keduanya berusaha untuk melajukan mobil mereka menjadi yang terdepan. Mobil yang Louisa kendarai berusaha untuk mendahului mobil dari pemain lain. Wanita itu melirik mobil milik Ellio. Dalam hati Louisa membatin, bagaimana mobil yang Ellio kendarai bisa begitu mudahnya mendahului mobil-mobil di depannya? Ough … Louisa menambah kecepatan, lalu memutar kemudi. Tubuh wanita itu bahkan sampai benar-benar bergerak ke samping seolah dia berada di dalam kendaraan roda empat tersebut. Louisa kembali menambah kecepatan ketika melihat mobil Ellio melesat cepat. Sepasang mata wanita itu membesar. Louisa menambah lagi kecepatannya. Beberapa kali putaran lagi mereka akan mencapai finish. Tangan Louisa mulai berkeringat ketika mobil Ellio kini sudah berada di posisi paling depan. Sementara dirinya tertinggal semakin jauh. “Oh, tidak.” Louisa semakin keteteran. Wanita itu sudah menambah kecepatan, tapi mobil Ellio justru semakin jauh meninggalkannya. Wanita itu sekarang ingin menangis. Kekalahan sudah di depan mata. “Yes! Yes!” Ellio berteriak keras sambil mengangkat dua kepalan tangannya begitu mobil yang dia kendarai masuk finish pertama. Tulisan ‘winner’ muncul. Louisa mendesah. Dia … kalah. Louisa menoleh ke samping dan langsung diperlihatkan wajah penuh kemenangan anak enam tahun yang dia kira akan mudah dikalahkan. Bagaimana bisa dia kalah dengan anak kecil ini? Padahal dulu dia selalu menang saat balapan dengan teman-teman sekolahnya. Tawa Ellio semakin keras. “Mommy kalah! Mommy harus penuhi satu permintaan Ellio.” “Oh, ayolah Ellio. Ini karena aku sudah lama tidak memainkannya.” “Apa sekarang Mommy mau ingkar janji?” Tawa Ellio sudah hilang, anak itu menatap Louisa dengan sepasang mata memicing. Louisa menggosok hidungnya, lalu tertawa. “Tentu saja tidak. Tapi, kita duel lagi. Ganti permainan yang lain. Peraturannya sama. Satu permintaan untuk yang menang. Bagaimana?” tawar Louisa. Dia akan mencari kesempatan lain untuk membuat Ellio memanggilnya miss. Sepasang alis Ellio berkerut hingga membuat Louisa terkekeh. “Ayolah, Ellio Sayang. Kamu tidak takut kalah, kan?” “Ellio takut Mommy menangis kalau nanti kalah lagi.” Mulut Louisa menganga. “Wah … kamu meremehkanku.” Louisa menepuk dadanya sendiri. “Dulu … aku tidak pernah kalah bertanding. Semua permainan ini.” Louisa menunjuk semua permainan di dalam ruangan besar itu. “Baiklah. Tapi Mommy harus janji tidak boleh menangis kalau kalah.” Ellio langsung turun dari tempat duduk, kemudian meninggalkan Louisa. Louisa menggelengkan kepala. Meninggalkan kursinya, sepasang mata wanita itu mengedip ketika melihat dua orang dewasa yang berdiri di ambang pintu. Berta tersenyum saat bertemu tatap dengan Louisa. “Dia tidak akan bisa menang dari Ellio.” Wanita itu berucap pelan. Sebastian sudah akan membuka mulut ketika rungunya menangkap suara langkah kaki mendekat. Refleks, pria itu menoleh ke arah datangnya suara. Sebastian memperhatikan seorang pekerja rumah yang sedang berjalan cepat menghampirinya. Tatapan mata pria itu seolah mempertanyakan, ‘Ada apa?’ “Tuan, ada Nona Miranda di depan. Katanya mau bertemu Tuan dan tuan muda.” Berta memutar tubuh, lalu menatap pegawainya dengan dahi mengernyit. “Miranda?” akhirnya perempuan tua itu bertanya. “Iya, Nyonya. Nona Miranda membawakan banyak coklat untuk tuan muda.” “Astaga, apa dia tidak tahu kalau terlalu banyak makan coklat bisa membuat gigi Ellio rusak? Belum lagi gulanya tinggi. Ya, ampun.” Berta menggelengkan kepala. Wanita itu kemudian menoleh ke samping. “Perempuan seperti itu yang mau kamu jadikan ibu untuk Ellio?” Berta memukul keras lengan Sebastian. “Aku akan memberitahunya.” Lalu sebastian melangkah meninggalkan sang ibu, diikuti oleh sang pegawai rumah—setelah perempuan itu berpamitan pada sang nyonya besar. Berta mendesah sambil memperhatikan punggung sang putra menjauh. Wanita itu menarik napas panjang, sebelum memutar tubuh kembali ke dalam ruangan bermain sang cucu. Tidak ada yang lebih berharga dibanding melihat cucu tersayangnya bahagia. *** Sebastian menghampiri Miranda yang sedang berdiri sambil mendongak--memperhatikan foto-foto keluarganya. Di tangan kanan wanita itu menggantung satu paper bag yang cukup besar. Miranda menoleh, lalu memutar tubuh begitu melihat Sebastian mengayun langkah ke arahnya. Wanita itu menarik sepasang sudut bibirnya. Tangan kiri Miranda terangkat menyibak rambut yang sebagian lepas dari selipan telinga. “Dimana calon putraku yang manis itu?” tanya Miranda dengan sepasang mata mengecil. Sebastian memutar bola mata. “Dia tidak mau menjadikanmu mommy nya,” jujur Sebastian yang langsung membuat Miranda cemberut. “Ini … aku bawa coklat untuk Ellio.” Miranda mengangkat paper bag di tangannya. “Dimana dia sekarang? Tidak mungkin dia sudah tidur jam segini, bukan?” tanya wanita itu. Sebastian menurunkan pandangan mata ke arah paper bag di tangan Miranda. Pria itu mendesah pelan. “Terlalu banyak coklat tidak baik untuk Ellio.” Miranda mengedip beberapa kali. “Semua anak kecil suka coklat.” “Iya, tapi tidak baik kalau terlalu banyak.” Miranda menghembus keras napasnya. Tangan yang sudah terangkat kembali turun. “Lalu apa yang harus kuberikan untuk calon putraku itu?” Jakun Sebastian bergerak ketika pria itu menelan ludah. “Kamu bisa tanya sendiri padanya.” “Dia tidak mau bicara denganku. Menatapku saja tidak mau,” keluh Miranda. Bibir wanita itu kembali cemberut. Dia tidak tahu apa yang membuat Ellio menjauhinya. “Dimana dia sekarang? Aku akan mencoba sekali lagi.” “Dia sedang bermain sekarang.” Miranda kembali mengedip. “Aku tidak bisa memainkan permainan anak-anak itu.” “Mungkin karena itu, Ellio tidak menyukaimu. Kamu harus berusaha untuk masuk ke dunianya, Miranda.” *** Louisa sudah akan menangis ketika tiga permainan semuanya kalah. Tidak satu permainan pun berhasil dia menangkan. “Apa Mommy mau duel lagi?” tanya Ellio sambil menatap Louisa. “Jangan menangis, Mommy. Kita masih bisa bermain lagi. Mommy mau bermain apa?” “Tidak … tidak, Ellio. Sudah cukup kita duel.” Louisa menyerah. Jika dia memaksakan diri, justru dia akan semakin kalah. Ellio akan memiliki banyak permintaan yang harus dia turuti. Dia tidak berharap Ellio akan meminta yang aneh-aneh. Sekedar minta pancake, dia tidak akan keberatan. “Yey … Ellio punya tiga permintaan. Mommy harus mengabulkannya.” “Memangnya Ellio mau minta apa sama mommy Louisa?” Louisa dan Ellio secara bersamaan memutar kepala ke arah datangnya suara. Louisa nyaris melupakan nenek Ellio yang juga berada di dalam ruangan tersebut. Wanita itu menggulir bola mata ketika tidak melihat keberadaan seseorang yang sempat dilihatnya bersama nenek Ellio. Berta berdecak. “Bastian sedang ada tamu.” Wanita itu memberitahu tanpa Louisa minta. “Tamu tak diundang.” Louisa mengedip beberapa kali. Wanita itu kemudian berdeham. “Saya tidak bertanya, Nyonya.” “Aku memberitahumu. Mulutmu memang tidak bertanya, tapi matamu mengatakan hal berbeda.” Louisa refleks membesarkan sepasang matanya. “Sudah … dengarkan tiga permintaan Ellio. Jangan sampai kamu mengingkari janjimu.” “Wah ….” Louisa membuka mulutnya. Ternyata nenek dan cucu sama, batin wanita itu. Louisa kemudian memutar kepala dan memberikan fokusnya kembali pada Ellio. “Ellio mau minta apa? Mau Miss Louisa buatkan pancake lagi?” Louisa tersenyum manis. Sepasang mata wanita itu mengecil. Senyum Louisa perlahan pudar ketika melihat gelengan kepala Ellio. Kening wanita muda itu mengernyit. “Kalau begitu … um … bagaimana kalau … burger?” Tentu saaja dia mengingatnya. Itu adalah pelajaran pertama yang dia dapat dari Meredith. Makanan kesukaan tiap anak didiknya. “Bukan.” “Bukan?” sahut Louisa dengan nada bertanya. “Lalu apa … Ellio mau minta dibuatkan makanan apa?” Louisa mencoba untuk kembali tersenyum. Dia tidak berharap Ellio meminta hal lain yang sulit dia penuhi. Ellio menatap Louisa dengan tatapan lembut hingga membuat hati Louisa bergetar. Oh … Louisa tidak tahu anak seperti Ellio bisa bersikap seperti ini. “Ellio mau Miss Louisa—” Louisa refleks menggerakkan kepala turun naik. Dia begitu senang mendengar Ellio kembali memanggilnya Miss. Senyum merekah di wajah cantik Louisa, sebelum harus luntur ketika mendengar lanjutan kalimat yang keluar dari bibir kecil Ellio. “Jadi Mommy Ellio.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD