MPE Bab 7

1632 Words
“Apa kamu sudah memiliki kekasih, Louisa?” Louisa yang sedang memperhatikan jalanan dari kaca samping mobil—memutar kepalanya. Wanita muda itu tersenyum. “Baru saja putus.” “Oh, ya?” Sepasang mata Berta membesar, sementara bibirnya melengkung ke atas. Dalam hati wanita tua itu kembali bersyukur. Sepertinya Tuhan mengabulkan keinginan Ellio. Berta tersenyum senang. Kepala wanita itu bergerak turun. “Apa nyonya punya putra tampan yang juga masih single?” Louisa memperlihatkan cengiran setelah menyelesaikan kalimatnya. Berta tertawa hingga mata wanita tersebut nyaris tertutup. Louisa ikut tertawa. Merasa geli dengan pertanyaannya sendiri. Seakan dia perempuan gatal yang tidak bisa sendiri tanpa kekasih. “Nanti aku akan mengenalkanmu dengannya.” Mendengar jawaban dari perempuan tua yang membeli dua lukisannya tersebut, sepasang alis Louisa terangkat. Sekali lagi wanita muda itu tertawa. “Aku tadi hanya bercanda, Nyonya.” Louisa sudah menghentikan tawanya. “Sekarang aku sedang menikmati hari-hariku tanpa harus direpotkan oleh para pria.” “Tapi aku serius, Louisa. Tidak semua pria itu merepotkan. Kamu pasti baru bertemu dengan para pria yang masih belum matang dalam berpikir. Belum dewasa.” “Begitukah, Nyonya?” “Tentu saja. Kamu akan tahu seperti apa bedanya saat memiliki hubungan dengan pria dewasa. Dia akan memanjakanmu, memahamimu, dan mencintaimu setulus hati.” Louisa meringis. Dia ingin mempercayai, tapi, apa memang benar ada pria seperti itu? Ah … Louisa membayangkan ayahnya sendiri. Ayahnya memang sangat mencintai ibunya, tapi, pria yang sudah tidak muda lagi itu begitu keras kepala. Lihat saja dirinya saat ini. Dia dan ayahnya bertengkar hanya karena dia tidak ingin sekolah bisnis. “Kukira tidak semua pria dewasa itu pengertian,” gumam Louisa sebelum menekuk bibirnya. “Kamu hanya perlu bertemu dengan pria yang tepat. Itu saja.” Louisa menghembus cukup keras napasnya. Dia tidak akan membantah lagi. Wanita itu akhirnya menggerakkan kepala turun naik. “Oh ya, Nyonya. Umur berapa cucu anda?” tanya Louisa. Wanita itu sudah merubah sedikit posisi duduk hingga menyerong ke arah sang pemilik mobil. “Enam tahun. Dia anak yang luar biasa. Kamu pasti akan menyukainya. Dia tampan dan juga … jenius.” “Jenius?” tanya Louisa dengan sepasang mata membesar. Wajah perempuan itu memperlihatkan ketertarikan. “Wah ….” Louisa belum menyelesaikan kalimatnya ketika suara sang sopir terdengar. “Apa kita akan mampir untuk membelikan tuan muda pancake, Nyonya?” Berta—yang ditanya langsung mengalihkan perhatiannya. “Ah, tempatnya sudah dekat, ya?” “Iya, Nyonya.” “Tentu saja. Kita akan membelinya untuk cucuku dan untuk tamu spesialku.” Berta tersenyum setelah menoleh ke samping dan bertemu tatap dengan Louisa. “Kami punya tempat langganan yang menjual pancake terenak di kota ini.” “Itu keahlianku selain bermain piano dan melukis.” Sepasang alis Berta terangkat. Satu lagi poin yang didapat oleh perempuan muda di sampingnya ini. Ellio sangat menyukai pancake, melebihi burger. “Aku membuat pancake untuk sarapan setiap pagi. Mamaku bilang, pancake buatanku juara. Mama bahkan pernah bilang jika mungkin aku akan menemukan priaku karena pancake buatanku. Bukankah itu lucu?” tanya Louisa di ujung kalimatnya. Louisa terkekeh pelan ketika mengingat pembicaraannya dengan sang ibu beberapa waktu lalu. “Sepertinya ibumu bisa membaca masa depan.” Louisa hanya tertawa. Dia tidak menganggap serius ucapan Berta. Bagaimana bisa dia menemukan prianya karena pancake? Itu tidak masuk di akal. “Ayo turun. Kamu bisa mencoba makanan lainnya juga.” Mobil sudah berhenti di depan sebuah kafe yang tidak terlalu besar. Louisa sempat melongok ke luar jendela kaca, sebelum kemudian bergegas mengikuti Berta yang sudah mendorong daun pintu, lalu keluar dari mobil. Louisa melangkah lebih lebar menyusul Berta yang nyaris mencapai pintu kafe. Louisa setengah berlari hingga mencapa pintu kaca terlebih dahulu. Wanita itu mendorong, lalu mempersilahkan Berta untuk masuk terlebih dahulu. Berta tersenyum sambil menepuk pelan bahu Louisa ketika melewati ambang pintu. Dia sungguh menyukai gadis muda ini. Tidak hanya cantik dan juga memiliki banyak talenta, tapi Louisa juga gadis yang sopan. Menghormati orang tua. Terlalu banyak hal positif yang didapatnya dari wanita muda ini. Dia semakin yakin untuk menjodohkan Louisa dengan putranya. *** “Ada apa?” Sebastian menempelkan ponsel ke telinga kanan. “Kamu ke mana? Aku pergi ke kantor mu, dan sekretaris mu bilang kamu tidak ada di kantor.” “Aku di rumah.” “Ada masalah dengan Ellio?” Sebastian menggumam. Pria yang baru saja membersihkan tubuhnya itu berjalan ke tepi ranjang, lalu menghempas tubuhnya. Satu tangan yang memegang handuk bergerak mengeringkan rambut yang masih setengah basah. “Ada apa mencariku ke kantor?” “Ada apa? Pertanyaan macam apa itu, Bastian? Tentu saja karena aku merindukanmu. Kamu terlalu sibuk sampai melupakanku. Kamu tidak lagi pernah menyambangi apartemenku.” Kedua sudut bibir Sebastian dengan sendirinya terangkat. “Aku memang sedang banyak pekerjaan. Aku akan mengikuti tender besar.” “Wah … semoga berhasil. Apa kita akan menikah setelah kamu memenangkan tender besar itu?” Sebastian berdecak. Gerakan tangan yang sedang mengeringkan rambut sudah berhenti dengan sendirinya. “Sudah kukatakan, aku tidak akan menikah jika Ellio tidak menginginkannya.” Sebastian menarik dalam-dalam napasnya ketika mendengar decakan di ujung telepon. “Susah sekali mendekati Ellio. Aku sudah berusaha, Sebastian. Kami tahu itu. Tapi, sepertinya Ellio lah yang tidak ingin kamu menikah lagi. Sepertinya Ellio tidak ingin ibunya digantikan perempuan lain.” “Kamu salah,” sahut cepat Sebastian. “Putraku ingin memiliki mommy.” “Kalau begitu, bujuk dia supaya menerimaku.” “Miranda.” Sebastian menggeram. “Kamu tahu seperti apa putraku. Dia itu anak yang punya pendirian. Tidak akan ada yang bisa mendoktrin pikirannya. Kamu harus mendekatinya sendiri. Dengan tulus.” Sebastian berucap panjang lebar. Pria itu bahkan menekan dua kata terakhirnya. “Aku sudah mencoba. Kamu juga tahu sendiri bagaimana usahaku mendekati Ellio. Seharusnya kamu bisa bicara pada Ellio. Katakan hal yang baik tentangku, supaya dia mau menatapku. Aku kesal karena dia tidak pernah mau melihat ke arahku. Apa aku ini terlihat seperti monster di matanya?” Miranda kesal. Hubungannya dengan Sebastian yang sudah terjalin selama enam bulan, akan kandas jika Ellio tidak mau menerima dirinya. “Itu karena kamu tidak tulus dengannya.” “Apa?” Sepasang mata Miranda mengerjap beberapa kali. “Ellio bisa merasakan seseorang itu tulus atau tidak padanya, Miranda. Jangan samakan Ellio dengan anak-anak lain yang bisa kamu bohongi.” “Kamu menuduhku?” “Aku hanya mengatakan yang sebenarnya.” Sebastian mendesah ketika mendengar omelan wanita yang menjadi kekasihnya saat ini. “Putraku mungkin memang memiliki kekurangan, tapi dia juga memiliki kelebihan yang tidak dipunyai anak-anak lain seusianya.” Miranda menghembus keras karbondioksida dari mulutnya. “Baiklah. Aku akan mencobanya lagi. Aku akan datang ke rumahmu.” Sebastian mengusap wajahnya dengan handuk saat beberapa tetes air terjatuh dari ujung rambut dan membasahi keningnya. “Tidak perlu memaksakan diri, Miranda.” “Apa maksudmu berkata begitu, Bastian? Apa kamu hanya akan menjadikanku kekasih tanpa menikahiku?” “Kita belum lama berhubungan. Apakah aku akan menikahimu atau tidak, saat ini terlalu dini untuk dibicarakan.” “Sialan kamu, Sebastian. Aku tidak mau hanya kamu permainkan. Aku tidak seperti perempuan-perempuan yang kamu campakkan setelah kamu bosan. Aku tidak akan membiarkanmu melakukannya padaku. Aku akan membujuk Ellio agar mau menerimaku.” Sepasang alis Sebastian mengerut ketika telinganya mendengar suara sambungan terputus. Pria itu menurunkan ponsel sambil menggeleng. “Keras kepala,” gumam Sebastian. Sepasang mata pria itu menatap layar ponsel yang detik berikutnya berubah menjadi gelap. Sebastian tidak menganggap penting apa yang Miranda katakan. Pria itu beranjak, lalu berjalan menuju meja nakas di samping kepala ranjang. Sebastian meletakkan ponselnya, lalu memutar tubuh. Pria itu berjalan keluar kamar. Dia akan melihat Ellio. *** “Wah … rumah anda bagus sekali,” puji Louisa setelah mobil yang ditumpanginya berbelok masuk ke pelataran rumah besar dua lantai dengan halaman luas dan juga rindang pepohohan. Sepasang sudut bibir wanita itu melengkung ke atas. “Kamu menyukainya?” “Tentu saja. Saya suka pepohonan. Melihat warna hijau daunnya saja sudah bisa membuat hatiku tenang.” Louisa memperlihatkan senyumnya. Louisa mengalihkan fokus ketika mobil sudah berhenti di depan teras rumah serupa istana di depannya. Louisa mendorong daun pintu, lalu keluar. Wanita itu memutar tubuh sambil memperhatikan pekarangan rumah tersebut. Louisa menghirup udara sebanyak mungkin. Dia menyukainya udara di sekitar rumah yang masih terasa segar. “Ayo, Louisa. Kita masuk. Aku akan mengenalkanmu dengan keluargaku.” Louisa yang sedang mengagumi halaman rumah tersebut—memutar tubuh, lalu bergegas mengayun langkah. Menyusul sang pemilik rumah yang menunggunya di undakan menuju teras rumah. Satu tangan Louisa menenteng paper bag berisi pancake dan beberapa makanan lain yang dibeli oleh Berta. Berta tersenyum, lalu mengajak Louisa untuk melanjutkan langkah mereka menuju teras. “Semoga saja cucuku tidak sedang tantrum. Tadi--ketika aku hendak pergi, dia sedang tantrum. Marah karena keinginannya tidak dikabulkan oleh papanya.” Kening Louisa berkerut. Sepertinya semua anak kecil memang hobi tantrum. Dia pikir hanya anak-anak spesial itu yang suka tantrum—Louisa membatin. “Ada apa? Kenapa kamu terlihat sedih?” Berta menarik sebelah lengan Louisa. Wanita itu menarik Louisa menuju set sofa besar di satu sisi ruangan. “Aku hanya sedang mengingat murid-muridku, Nyonya. Para malaikat kecil itu. Mereka juga sering tantrum jika apa yang mereka inginkan tidak terwujud. Sedikit sulit mengurus mereka.” Berta menatap Louisa yang sudah duduk di sofa, sementara dirinya sendiri masih berdiri. Dia akan memanggil Sebastian dan juga Ellio. “Kamu seorang guru?” tanya Berta dengan lipatan di dahi yang terlihat semakin banyak. Melihat Louisa mengangguk, Berta tersenyum kecil. Seorang guru memiliki kesabaran yang seluas samudra. Tak berbatas. Berta dan Louisa serempak menoleh ke arah yang sama ketika mendengar suara teriakan. “Sepertinya cucuku mulai tantrum lagi.” Berta memberitahu. “Sebentar, aku akan menenangkannya.” Lalu Berta langsung berjalan cepat meninggalkan Louisa. Louisa meneleng dengan sepasang alis yang sudah nyaris akan bertemu di tengah. “Kenapa suaranya tidak asing?” gumam Louisa sambil menajamkan pendengarannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD