Louisa benar-benar ingin pingsan begitu mendengar permintaan Ellio. Dia ingin langsung menolak, tapi—mulutnya terkunci, mengingat janji yang sudah mereka sepakati. Ditambah tatapan mata Ellio. Bolehkan Louisa menangis sekarang?
“Ellio … lihat siapa yang datang.”
Louisa menoleh, lalu menegakkan tubuh. Sepasang mata wanita itu mengerjap beberapa kali saat melihat siapa yang sedang berjalan masuk ke dalam ruang bermain Ellio.
Sementara Ellio yang sudah melihat siapa yang datang, langsung membuang muka. Anak itu berderap menuju ke salah satu mesin permainan. Ellio menekan tombol, lalu meraih senapan. Tak lama terdengar suara tembakan berkali-kali.
Sebastian mendesah melihat tingkah sang putra. Pria itu menggulir bola mata ke arah dua perempuan yang berdiri bersisian.
“Siapa perempuan muda itu? Pengasuh Ellio yang baru?” tanya Miranda yang sudah memiringkan tubuh ke samping hingga bisa berbisik di telinga Sebastian. Wanita itu kemudian tersenyum ketika bertemu tatap dengan sepasang mata calon mertuanya. Ah … Miranda senang sekali membayangkan akan menjadi anggota keluarga Arkane.
“Nyonya,” sapa Miranda yang detik berikutnya berderap menghampiri Berta. Tanpa basa-basi, wanita itu langsung meraih tubuh Berta, kemudian memberikan ciuman di kedua pipi wanita itu secara bergantian. “Bagaimana kabar anda? Wah … anda terlihat sehat dan semakin muda,” pujinya. Lalu Miranda terkekeh pelan.
Berta memutar bola mata mendengar sanjungan dari Miranda. Dia tidak menyukainya.
“Mati kamu! Mati kamu!”
‘DOR! DOR! DOR! DOR!’
Empat kepala orang dewasa itu langsung menoleh ke arah suara teriakan kencang yang terdengar. Ellio sedang menembaki musuh-musuhnya.
Miranda melepas Berta. Sepasang kaki wanita itu terayun. “Ellio Sayang … jangan berteriak. Itu tidak baik, Sayang.” Miranda berkata dengan suara yang dia buat selembut mungkin. Wanita itu menghampiri putra Sebastian. “Sepertinya Ellio butuh coklat. Kata papa kalau sedikit boleh.”
“Apa yang sedang wanita itu lakukan pada cucuku?”
Louisa menoleh dengan kening berlipat. Wanita itu menatap bertanya Berta. Berta yang paham tatapan bertanya Louisa membuka mulut.
“Tamu tak diundang,” jawab wanita itu dengan nada kesal. Detik berikutnya, bola mata Berta bergeser ke arah sang putra yang masih berdiri di depan mesin permainan.
Louisa mengikuti kemana arah tatapan sang nyonya rumah. Lipatan di kening Louisa bertambah. Sepasang mata wanita itu terbuka lebih lebar saat memahami sesuatu. Louisa kemudian memutar kepala ke arah seorang wanita sexy yang sedang berbicara dengan Ellio. Senyum terbit di bibir wanita itu. Kekasih papa Ellio. Ah … sepertinya dia tidak perlu mengkhawatirkan permintaan tidak masuk akal Ellio. Louisa mengulum kedua belah bibirnya.
“Ayolah, Ellio sayang. Ellio harus melihat orang yang sedang bicara dengan Ellio.”
“Mati kamu!”
‘DOR! DOR!’
Miranda yang masih membungkuk, berjingkat. Terkejut mendengar suara keras Ellio. Wanita itu menelan ludahnya susah payah. Ellio sama sekali tidak menggubrisnya. Miranda meringis saat melihat Ellio kembali menembaki musuh-musuh yang terlihat pada layar di depannya. Wanita itu harus mengatur pelan napasnya, sebagai upaya untuk menekan emosi yang mulai muncul.
“Untuk apa kamu membawanya ke sini? Apa kamu tidak melihat kalau Ellio sama sekali tidak menyukai Miranda?”
Louisa mendengar kalimat panjang Berta yang ditujukan untuk sang putra. Wanita itu hanya melirik sekilas, sebelum kembali memperhatikan Ellio dan seorang perempuan yang akan menyelamatkan dirinya dari keinginan Ellio.
“Kamu hanya membuat Ellio marah.”
Baru saja Berta mengatakan kalimat tersebut, suara bantingan disusul teriakan Ellio terdengar.
‘BRAK!’
“Ellio tidak suka permainan ini! Ellio tidak suka!”
“Ellio … Ellio, tenang sayang.” Miranda berusaha untuk menyentuh Ellio yang menghentak-hentak kakinya setelah melempar senapan mainan. “Aduh.” Miranda langsung menjauhkan kedua tangan ketika Ellio memukulnya. Langkah kaki wanita itu tertarik ke belakang.
Sementara Sebastian dan Berta sudah berderap menghampiri Ellio yang kini kembali berteriak-teriak sambil menendang mesin permainan di depannya.
“Ellio ….” Sebastian memeluk tubuh Ellio. Mengeratkan belitan tangannya ketika sang putra meronta.
“Ellio tidak suka! Ellio tidak suka!” Anak itu mengulang-ulang tiga kata tersebut.
“Baiklah. Ellio tenang. Tidak apa-apa kalau Ellio tidak suka. Kita bisa membuangnya.” Sebastian menenangkan sang putra.
“Tidak. Ellio tidak suka. Ellio tidak suka!” Ellio masih terus mengulang tiga kata yang sama berulang kali. Kaki anak itu menendang-nendang saat tidak berhasil melepaskan diri dari rengkuhan sang ayah.
“Ellio tenang ya, Sayang.” Berta mengusap pelan kepala sang cucu pelan. “Tenang, Sayang.”
Ellio menggelengkan kepala. Anak yang sudah menangis itu terus menggerakkan kepala ke kanan kiri, hingga membuat Berta menarik panjang napasnya.
Sebastian berdiri sambil memeluk sang putra. “Papa akan membuang permainan itu kalau Ellio tidak suka.”
“Ellio tidak suka! Ellio tidak suka!” Anak itu masih terus mengucapkan kalimat yang sama hingga membuat Sebastian sendiri bingung.
“Aku akan membawanya ke kamar.” Sebastian menoleh ke arah sang ibu. Melihat anggukan ibunya, Sebastian segera mengayun langkah.
“Aku ikut.” Miranda melangkah cepat mengikuti Sebastian.
“Ellio tidak suka! Mommy … Ellio mau mommy Louis. Mommy Louis!”
Louisa menahan ringisan begitu mendengar suara keras Ellio memanggilnya. Wanita itu menelan saliva. Louisa kebingungan. Apa yang harus dia lakukan? Dia merasa tidak enak hati pada perempuan yang jelas adalah kekasih Sebastian. Namun, dia juga tidak tega melihat wajah basah Ellio. Anak itu bahkan meronta-ronta dalam dekapan sang ayah.
“Mommy! Mommy Louis!”
Sebastian hanya melirik ketika langkah kakinya melewati Louisa. Louisa menarik napas lalu menghembusnya keras.
“Mommy Louisa?” Bukan. Kali ini yang terdengar adalah suara seorang perempuan. “Apa maksudnya?” Miranda bertanya. Sepasang mata perempuan itu sudah menatap sosok wanita muda yang bisa dia perkirakan baru berumur awal dua puluhan.
Louisa meringis. “Maaf.”
“Kamu tidak perlu meminta maaf, Louisa.” Berta sudah menghampiri Louisa. Wanita itu mengusap pelan lengan Louisa sambil tersenyum. “Ayo … susul Ellio. Mungkin dia bisa tenang kalau ada kamu.”
“Nyonya Berta.” Miranda memanggil ibu Sebastian, ketika melihat perempuan yang tidak lagi muda tersebut sudah mengayun langkah bersama si perempuan muda. “Tolong jelaskan, apa maksud anda? Siapa wanita ini” Miranda berjalan cepat, lalu menghadang langkah kaki Berta serta Louisa.
Louisa mendesah, kala melihat seperti apa kekasih Sebastian menatapnya. “Aku—”
“Ellio menginginkan Louisa menjadi mommy nya.” Berta sudah membalas tatapan mata Miranda.
Miranda membuka lebar sepasang matanya. Dia tidak bisa mengerti apa yang baru saja sang nyonya rumah sampaikan. Apa Sebastian sedang mempermainkan dirinya? Apa pria itu mengencani dua perempuan sekaligus? Pertanyaan-pertanyaan itu langsung muncul di dalam kepala Miranda.
“Sebenarnya. Aduh … jangan salah paham. Aku sama sekali tidak—” Louisa menoleh ketika kalimatnya dipotong oleh sang nyonya rumah.
“Sudah, ayo kita ke atas. Kasihan Ellio. Dia akan seperti itu terus sampai mendapatkan apa yang diinginkannya.” Berta meraih sebelah telapak tangan Louisa lalu menariknya.
Louisa tidak bisa menolak. Kedua kakinya terhela mengikuti tarikan tangan Berta. Sebelum benar-benar keluar dari ruangan tersebut, Louisa memutar kepala ke belakang, lalu menggeleng ketika bertemu tatap dengan netra kekasih Sebastian.
“Nyonya, dia kekasih papa Ellio.” Louisa tidak menyebut nama Sebastian.
“Sebentar lagi sudah tidak,” sahut Berta cepat. Wanita itu masih menarik Louisa menuju tangga yang akan membawa mereka ke lantai dua—tempat kamar Ellio berada. “Tidak perlu memikirkannya.”
Louisa menatap tidak percaya wanita yang tidak lain adalah nenek Ellio.
Sementara Miranda yang kesal lantaran tidak dipedulikan, menghentak kakinya. Tidak Ellio, tidak Berta—keduanya tidak menyukai dirinya. Apa yang salah dengannya? Dia sudah berusaha untuk selalu baik pada dua orang itu. Dan sekarang, tiba-tiba muncul perempuan baru dalam hidup Sebastian.
***
“Seribu enam ratus. Huaaa!” Ellio menjawab pertanyaan sang ayah
“Delapan juta tiga ratus. Huaaa!” Ellio tidak bisa berhenti menjawab, sekalipun anak itu sebenarnya sedang marah.
Sebastian terus memberikan pertanyaan asal, yang dia sendiri tidak bisa memikirkan jawabannya dengan cepat. “Dua juta dibagi enam puluh dikali sembilan.”
“Apa yang mereka lakukan?” tanya Louisa setelah Berta membuka pintu kamar Ellio. Wanita muda itu menatap bingung sepasang ayah dan anak di atas ranjang.
Kamar Ellio sangat luas. Ruangan itu tidak hanya berisi ranjang dan meja belajar, tapi juga ada rak besar yang berisi berbagai macam mainan anak-anak.
Mulut Louisa menganga mendengar Ellio menjawab hanya selang beberapa detik setelah sang ayah melempar pertanyaan. Louisa bahkan pusing sendiri mendengar pertanyaan Sebastian yang ditujukan pada sang putra.
“Cucuku memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Dia pandai berhitung. Seperti yang kamu lihat. Tidak perlu memeriksa dengan kalkulator karena jawaban Ellio sudah bisa dipastikan benar.”
“Ah … aku baru tahu dia secerdas ini. Maksudku. Aku ingat Meredith pernah bercerita Ellio beberapa kali memenangkan lomba matematika. Tapi, aku tidak menyangka dia secerdas ini. Menakjubkan.”
“Ellio memang tidak sama dengan anak-anak lain. Dia terlahir dengan jumlah kromosom yang lebih banyak dibanding manusia normal.” Berta mendesah. “Rasanya aku ingin menangis setiap kali mengingatnya. Seandainya saja ibunya tidak sebodoh itu dengan terus meracuni bayi yang sedang dikandungnya.”
Louisa menoleh ke samping. Melihat Berta menyusut air mata, Louisa melingkarkan satu lengan ke bahu wanita itu.
“Cucuku yang malang.”
“Dia istimewa, Nyonya.”
Berta kembali menyusut air matanya. Kepala wanita itu bergerak turun naik membenarkan apa yang Louisa katakan. Ellio memang istimewa dan hanya orang-orang tertentu saja yang bisa melihatnya. Berta meremas tangan Louisa yang melingkari bahunya. Dia sungguh menyukai wanita ini, dan berharap bisa menjadikan Louisa ibu untuk Ellio.
Louisa melepas rengkuhan lengannya di bahu Berta, lalu sepasang kaki wanita itu tertarik ke depan dengan sendirinya. Mendengar suara Ellio yang sudah serak lantaran terlalu lama menangis, dia merasa tidak tega.
“Tujuh juta dua puluh tiga. Mommy!”