Louisa membanting tubuhnya ke atas kasur empuk di kamarnya. Akhirnya … akhirnya dia bisa melepaskan diri dari Ellio yang menempelinya seperti ulat pohon. Astaga … wanita itu menutup wajah dengan dua telapak tangannya. Bagaimana bisa anak itu memintanya menjadi mommy nya?
Louisa membuka telapak tangannya—lalu menatap sambil bergumam. “Aku ini masih muda. Apa Ellio melihatku seperti seorang ibu-ibu? Padahal aku sudah potong rambut supaya terlihat lebih muda.” Kening Louisa berkerut. Wanita itu kemudian menghentak keras karbondioksida keluar dari mulut, bersamaan dengan dua tangan yang terbanting ke sisi tubuh.
Setelah tragedi Ellio tantrum dan baru berhenti menangis setelah dia memeluk anak itu, Ellio tidak mau lepas darinya. Louisa sampai tidak enak hati pada kekasih Sebastian. Bahkan saat di meja makan pun, Ellio meminta dirinya untuk menyuapi anak itu.
Louisa tidak memiliki pengalaman dengan anak kecil. Dia tidak memiliki saudara. Dia anak tunggal. Namun, dia bisa memahami sikap anak kecil yang ingin dimanja dan disayang. Hanya saja … Louisa tidak pernah menyangka akan mendapati seorang anak seperti Ellio memperlakukannya seperti itu.
Louisa memutar posisi tubuh hingga berbaring miring. Tangan wanita itu terulur ke atas meja di samping ranjang. Ponselnya berbunyi. Louisa mendekatkan ponsel untuk melihat siapa yang menghubungi. Begitu melihat nama siapa yang terlihat di layar, Louisa segera menekan tombol terima, lalu membawa benda persegi tersebut ke telinga kanan.
“Halo.”
“Selamat ulang tahun, Lou Lou!”
Louisa meringis sambil menjauhkan ponsel dari telinganya. Wanita itu berdecak kesal. telinganya berdengung. “Apa tidak bisa bicara pelan-pelan? Aku tidak tuli, Anne.” Louisa menekuk bibir sekalipun Anne tidak bisa melihatnya.
“Ayolah, Lou Lou. Aku sedang berbahagia karena hari ini sahabatku ulang tahun.”
Louisa berdecak. Dia yang ulang tahun, tapi Anne yang bahagia. Wanita itu menggelengkan kepala.
“Kamu sekarang dimana, Lou Lou?”
“Berhenti memanggilku Lou Lou. Apa kamu tidak tahu kalau orang tuaku memikirkan nama Louisa selama seribu purnama?”
Di tempatnya, Anne terbahak mendengar kalimat sang teman. Memangnya berapa ribu purnama kamu di kandungan mamamu?” Lalu wanita itu kembali tertawa. “Ayo Lou Lou, kamu harus datang ke sini. Kami sudah menyiapkan pesta untukmu.”
Mendengar apa yang Anne sampaikan, Louisa mengangkat tubuhnya, lalu duduk menyandar. “Pesta apa?”
“Pesta ulang tahun untukmu tentu saja. Bukankah aku baik? Kamu hanya perlu datang ke sini dan semua persiapan sudah selesai. Teman-teman juga sudah mulai berdatangan.”
“Cepatlah Lou Lou. Di tempat biasa. Apa kamu tidak mendengar suara riuhnya?” Anne memutar ponselnya ke depan hingga speaker alat penghubung tersebut menangkap suara riuh teman-temannya yang sudah datang.
“Astaga. Kenapa tidak memberitahuku dari tadi? Aku belum bersiap.” Louisa langsung melompat turun dari ranjang. Mana bisa dia datang ke pesta yang dibuat untuknya tanpa berdandan. Wanita itu menggerutu sambil berjalan masuk ke dalam walk in closet.
Louisa menyapu pandangan ke gantungan gaun-gaun malamnya. “Kamu sengaja, kan, Anne? Kamu mau membuatku terlihat mengenaskan di pestaku sendiri. Ya ampun … aku bahkan tidak punya gaun baru. Sialan kamu, Anne.”
Anne tertawa semakin keras. “Pokoknya kamu harus sudah ada di sini dalam waktu 30 menit, Lou Lou. Kalau tidak, aku yang akan memotong kue mu.”
“Ya, ampun. Awas kamu, Anne. Aku akan membalasmu.” Sepasang mata Louisa membesar begitu mendengar suara sambungan terputus. Menurunkan ponsel, Louisa menatap kesal layar ponselnya. “Sialan kamu, Anne. Astaga … setengah jam?”
Louisa kemudian membuka cepat satu per satu gaun malam yang tergantung rapi di deretan panjang lemarinya. Sambil menggerutu, akhirnya wanita itu menarik keluar dres warna merah sepanjang lutut, dengan satu tali spageti menyilang.
Dengan cepat Louisa berganti pakaian, lalu menyambar mantel, sepatu, tas dan alat make upnya. Anne mengerjai dirinya. Dia tidak mau kue ulang tahunnya dipotong orang lain.
Turun dari lantai tiga dengan menaiki lift, Louisa berteriak kencang sambil berlari keluar. “Mama … Papa … aku pergi dulu. Anne menyiapkan pesta untukku!” Wanita itu mengenakan mantelnya dengan buru-buru.
“Ya ampun … kenapa harus berlari?” Casandra yang semula sedang berbincang dengan sang suami di ruang tengah, berjalan cepat mengikuti sang putri. “Kenapa tidak berdandan?”
“Aku akan berdandan di mobil, Ma. Anne mengerjaiku. Dia akan memotong kue ulang tahunku kalau aku tidak tiba dalam waktu tiga puluh menit.” Louisa melambai ke arah pos—tempat beberapa sopir keluarganya biasa beristirahat. Begitu melihat sopirnya berlari keluar dari pos, Louisa menoleh ke arah sang ibu. “Aku pergi dulu.” Lalu wanita itu melongok ke belakang punggung ibunya. “Aku pergi, Pa,” pamit Louisa. Detik berikutnya, Louisa berjalan cepat meninggalkan kedua orang tuanya.
“Putrimu itu kapan bisa bersikap dewasa? Dia hanya suka bermain-main.”
“Ini hari ulang tahunnya. Biarkan saja, lagipula putrimu baru berusia 22 tahun.”
“Putri rekan bisnisku baru 20 tahun, tapi dia sudah mulai membantu pekerjaan ayahnya.”
“Jangan membandingkan putri kita dengan putri orang lain. Setiap anak memiliki kelebihan sendiri-sendiri. Putrimu itu memiliki kepribadian yang luar biasa baik. Kamu harus tahu itu.” Casandra membalas sang suami panjang lebar. Sepasang mata wanita itu bahkan sudah melotot ke arah Adam Reed.
“Jangan terus memanjakannya. Dia putriku satu-satunya. Siapa lagi yang akan melanjutkan bisnisku kalau bukan dia?”
“Berhentilah memikirkan bisnis terus menerus. Kalau kamu lelah, pensiun. Percayakan pada karyawan-karyawanmu. Sekalipun kamu tidak bekerja, kita tidak akan miskin. Untuk apa uang yang kamu tumpuk terus menerus itu? Aku saja pusing membuangnya. Tidak habis-habis.”
Adam menatap sang istri dengan alis yang sudah nyaris menyatu. “Aku melakukannya untuk menyenangkanmu, juga putri manjamu itu.”
“Ya Tuhan, jangan terus menerus menyebut putrimu. Putriku itu sama juga putrimu. Apa kamu meragukannya? Apa perlu kita melakukan tes DNA?”
Adam Reed akhirnya tertawa setelah melihat kedua mata istrinya sekali lagi melotot hingga nyaris menggelinding keluar. Pria itu meraih tubuh sang istri, lalu memutarnya. Adam Reed memeluk sang istri dari samping sambil mengajak wanita itu masuk ke dalam rumah.
“Baiklah. Putri kita. Kamu senang sekarang?”
Casandra menoleh lalu tersenyum pada sang suami. “Kamu pantas mendapatkan senyumanku, Suamiku.”
Adam kembali tertawa. Kali ini lebih keras. Kepala pria dengan rambut yang sebagian sudah berubah warna itu bergerak turun naik. “Aku sedang berpikir untuk mencari menantu yang bisa membantu bisnisku. Sepertinya aku tidak bisa berharap banyak pada putri manjaku itu.”
“Kamu ingin menjodohkan Louisa?” tanya Casandra terkejut.
“Hmmm.” Adam menggumam. Dia sudah berpikir. Sang putri tidak tertarik dengan bisnis, dan tidak berkeinginan membantu usahanya. Putrinya itu lebih suka melukis dan bermain piano. Bisnisnya benar-benar akan gulung tikar jika tidak ada yang melanjutkan. Itu sebabnya dia sedang memilah-milah kandidat untuk dijodohkan dengan sang putri.
“Bagaimana kalau Louisa tidak mau?” Casandra mendesah kala sang suami tidak menjawab. Pria itu hanya tersenyum penuh misteri.
***
Tangan kiri Louisa memegang cermin, sementara tangan kanan wanita itu mengoleskan ujung batang lipstik ke kedua belah bibirnya. Dia sudah memakai bedak, blush on dan juga eyeshadow. Louisa memeriksa make up nya sekali lagi. Wanita itu menghembuskan napas lega. Setidaknya lumayan, sekalipun dia tidak menggunakan jasa MUA.
Membereskan alat make up nya, Louisa kemudian merapikan rambut. Louisa menggulir bola mata ke arah potongan kaca berbingkai yang menggantung di depan sang sopir. Louisa mengangkat tangan kirinya. “Lebih cepat lagi. Waktuku hampir habis.”
Louisa menarik punggung ke belakang. Mobil sudah melaju lebih kencang. Wanita itu melirik tas bermerk di sampingnya--ketika mendengar ponselnya kembali bersuara. Mendesah karena suara itu tak kunjung berhenti, mau tidak mau Louisa mengeluarkan alat komunikasi itu dari dalam tasnya.
“Iya … iya aku sedang di jalan.” Louisa langsung bersuara begitu ponsel menempel di telinga kirinya. Dia bahkan tidak membiarkan seseorang yang menghubungi, mengucap salam terlebih dahulu. Louisa tahu apa yang akan ditanyakan oleh sang penelepon.
“Selamat ulang tahun, Louisa. Aku mau mengucapkan itu.”
Louisa terkekeh. “Terima kasih. Aku pikir kamu akan menerorku karena belum sampai. Dasar Anne gila. Dia memberiku waktu setengah jam. Dia pikir aku bisa naik jet untuk sampai ke club?” Louisa berdecak.
“Dia hanya bercanda. Tidak mungkin dia memotong kue ulang tahunmu.”
“Apa kamu lupa kalau dia pernah benar-benar melakukan ancamannya? Kadang dia itu gila.”
“Kita sudah sampai, Nona.”
“Ah … sudah. Aku sudah sampai. Kita bertemu di dalam.” Louisa kemudian mengakhiri sambungan telepon dengan Meredith. Wanita itu meraih tas, lalu mendorong pintu.
“Aku akan menghubungimu kalau acara sudah selesai.”
“Baik, Nona.”
Louisa keluar dari mobil. Menutup pintu sedikit keras lantaran sedang terburu-buru, sepasang kaki jenjang berbalut heels merah setinggi 12 centi meter itu bergerak cepat masuk ke dalam sebuah night club yang menjadi langganan setiap kali dirinya atau teman-temannya ingin berpesta.
Louisa melirik beberapa pria dengan tubuh tinggi besar yang berjaga di depan pintu masuk. wanita itu melenggang ke dalam tempat hiburan malam tersebut.
“Nona Louisa?”
“Dimana mereka?” tanya Louisa tanpa basa basi. Sepasang mata wanita itu mengedar, lalu mengikuti arah jari telunjuk sang pemilik tempat hiburan. “Baiklah. Aku pergi dulu.” Lalu wanita itu berjalan cepat menuju tempat teman-temannya berkumpul.
“Selamat ulang tahun, Lou Lou!!”
Sepasang mata Louisa membesar tidak lebih dari dua detik sebelum bibirnya terkulum saat melihat Anne muncul dari balik tubuh teman-temannya sambil membawa kue ulang tahun. Sahabatnya itu menyanyikan lagu selamat ulang tahun yang langsung diikuti oleh teman-temannya yang lain.
Louisa tersenyum menatap kue ulang tahun dengan beberapa lilin di atasnya yang sudah menyala. Louisa melipat kedua tangan dengan jari-jari terjalin di depan d*da. Wanita itu menundukkan kepala mengucap doa, sebelum kemudian mengangkat kepala lalu meniup lilin-lilin tersebut. Louisa tertawa senang mendapatkan ucapan selamat dari teman-temannya.
***
Sebastian dan temannya berjalan memasuki sebuah tempat hiburan.
“Sepertinya ada yang sedang berulang tahun. Apa kita perlu mencari tempat lain?”
“Tidak masalah. Kita bisa bicara di sebelah sana.” Sebastian mengedik ke sisi lain ruangan besar tersebut. “Sepertinya mereka menyewa tempat ini.” Sebastian memutar kepala dan melihat ruangan besar itu tidak seramai biasanya. Hanya ada sekelompok anak-anak muda yang sedang merayakan ulang tahun.
Sebastian berhenti memutar kepala ketika guliran matanya tiba di kerumunan para gadis yang sedang menggerakkan tubuh mengikuti putaran lagu. Sepasang mata pria itu menyipit.
“Lou-i-sa! Lou-i-sa! Lou-i-sa!”