MPE Bab 12

2076 Words
“Anak-anak muda. Mereka mungkin belum memikirkan bagaimana kehidupan mereka nanti. Sekarang mereka masih bisa bersenang-senang.” Sebastian mengalihkan fokus matanya pada sang teman. Pria itu kemudian berjalan menuju meja bartender. Teman Sebastian langsung menyebut minuman yang dia inginkan, setelah menarik kursi dan mendudukinya. “Bagaimana Miranda? Kudengar dia mendapat tawaran bermain film.” Sebastian menggeser kursi ke belakang. Pria itu mendesah sambil menjatuhkan pantatnya ke atas kursi bar. Sebastian memutar kepala. “Iya. Dia dapat tawaran bermain film. Film horor, dan dia yang jadi setannya.” ‘Uhuk! Uhuk!’ Teman Sebastian langsung tersedak bahkan sebelum minuman yang ia pesan sampai di depannya. “Terima kasih.” Lalu pria bernama Damian itu langsung meneguk isi dalam gelas bertangkainya hingga tandas. Pria itu mendesah nikmat. “Apa mereka tidak tahu siapa kekasih Miranda? Beraninya mereka memberikan peran setan pada kekasihmu.” Sebastian berdecak. Pria itu menarik gelas di depannya. Sebastian meneguk pelan. Hanya beberapa kali tegukan, lalu mengembalikan gelas ke atas meja. Sementara gelas sang teman sudah kembali diisi oleh sang bartender. “Mungkin karena mukanya memang pantas menjadi setan.” Sebastian menggeram ketika merasakan pukulan di lengannya. “Bisa-bisanya kamu berkata seperti itu. Miranda itu … um, wajahnya lebih cocok jadi perempuan penggoda.” Kali ini Sebastian melotot sementara sang teman tertawa keras. *** “Wah … guys, ternyata kita tidak sedang sendirian. Ada dua pria di sana. Dilihat dari penampilannya, sepertinya mereka pria dewasa.” “Ough … punggungnya kenapa kelihatan pelukable begitu? Aku tidak keberatan menjadi sugar baby salah satu dari mereka.” “Kalian berdua sudah gila,” ujar Louisa sambil melotot ke arah Anne dan Meredith. “Lou … Lou, kamu harus melihatnya dulu. Astaga, tubuhnya tegap. Aku bisa membayangkan wajahnya dengan bulu-bulu halus di sekitar rahang. Otot lengannya. Ya ampun, perutnya pasti kotak-kotak.” “Buang pikiran kotormu itu, Anne.” “Mumpung aku masih jomblo. Kurasa aku tidak akan keberatan menjadi kekasih salah satu dari mereka.” Louisa menggelengkan kepala. “Cari saja yang masih muda. Seumuran kita. Apa enaknya pacaran sama orang tua?” “Bukan tua, Lou Lou, tapi, dewasa. Iya, kan, Mer?” Anne mencari pendukung. Meredith yang juga sedang memperhatikan punggung dua sosok keturunan adam yang sedang berbincang sambil menikmati minuman itu, menganggukkan kepala. Ah ... sayangnya dua orang itu duduk memunggungi mereka, sehingga dia tidak bisa melihat seperti wapa wajah keduanya. Meredith mendesah. “Nah … kan? Meredith juga setuju. Kamu saja yang kurang wawasan. Pacaran dengan pria dewasa itu menyenangkan. Mereka para pria yang sudah mapan secara ekonomi dan emosi. Kita mau apa saja tinggal tunjuk. Tas, sepatu. Lalu kita juga bisa bermanja-manja dengannya.” “Oh, ya Tuhan, Anne. Kenapa kamu terdengar seperti sudah berpengalaman? Apa kamu pernah pacaran dengan sugar daddy?” tanya Louisa yang detik berikutnya harus mengaduh karena sang teman mencubit perutnya. “Sembarang. Baru sekarang aku ingin mencobanya.” Lalu Anne tertawa. Wanita itu merangkul Meredith yang berdiri di sebelahnya. Teman-teman mereka sedang melantai—menikmati musik yang diputar. “Kamu mau yang mana, Mer? Kemeja putih, atau yang pakai kemeja flanel?” “Um … aku suka yang pakai kemeja flanel. Badannya tidak terlalu kekar sepertinya.” “Menurutmu, mana di antara dua orang itu yang lebih tampan?” Anne kembali bertanya, sementara sepasang matanya menatap lurus ke meja bartender. “Padahal aku sudah menyewa tempat ini. Kenapa mereka bisa masuk?” Anne meneleng. “Apa jangan-jangan … mereka berdua itu bonus untuk kita?” “Hah?” Louisa refleks menggeser fokus mata ke arah yang masih menjadi pusat perhatian kedua sahabatnya. “Apa maksudmu bonus, Anne?” “Ya, kan sewa tempat ini tidak murah, Lou. Mungkin pemilik klub ingin memberikan kita hadiah.” Sepasang mata wanita 22 tahun itu terbuka lebar. “Wah … ini menyenangkan. Aku akan bersenang-senang dengan pria berkemeja putih itu.” “Hei … yang sedang ulang tahun itu Louisa. Dia yang seharusnya mendapat hadiah.” Meredith mengingatkan Anne. Wanita itu sudah menoleh ke arah sang teman, lalu menatapnya. “Dia saja tidak mau.” “Itu karena dia belum pernah merasakan pria dewasa.” Meredith tertawa. Wanita itu melangkah menjauh ketika Louisa mencoba meraihnya. “Otak kalian berdua benar-benar sudah kotor.” Louisa menggeleng. “Sudah lah, lebih baik aku bergabung dengan yang lain, dari pada tercemar oleh otak kalian. Sugar daddy. Makan itu sugar daddy.” Anne dan Meredith saling menoleh dengan sepasang alis berkerut. “Ada apa dengannya? Apa dia masih belum bisa melupakan di brengs*k itu?” tanya Anne yang dibalas Meredith dengan gelengan kepala. Anne mendesah. “Sepertinya kita harus membuat Lou Lou terhibur.” Satu sudut bibir Anne terangkat. Kerutan di dahi Meredith bertambah ketika melihat senyum aneh Anne. “Apa yang sedang kamu pikirkan, Anne?” Sepasang mata Anne mengecil ketika sang pemilik tersenyum semakin lebar. Wanita itu mengangkat gelas di atas meja, lalu membawa tepi gelas ke sela bibirnya. Sambil tersenyum kecil, Anne meneguk minumannya. Meredith menatap curiga sang teman, sementara Louisa sudah ikut menari bersama teman-teman mereka yang lain. Wanita itu tertawa senang. *** “Kudengar kamu ikut tender baru pemerintah kota.” Damian mengangsurkan gelas yang langsung diisi oleh sang bartender. Sebastian meneguk habis isi dalam gelasnya, lalu mengangguk membenarkan. “Aku sedang menyiapkannya.” “Reed juga sepertinya akan ambil bagian.” Mendengar apa yang sang teman katakan, Sebastian mengangsurkan gelas ke depan bartender. Pria yang bertugas melayani para pengunjung club tersebut dengan senang hati langsung menuangkan cairan di dalam botol ke gelas kosong sang pengunjung. Sebastian menggumam, lalu kembali meneguk minumannya sampai tandas. Pria itu menghentak gelas ke atas meja. “Kali ini akan kupastikan memenangkan tender itu,” kata Sebastian dengan yakin. Dua tender sebelumnya dia kalah. Sebastian menarik napas lalu menghembuskannya. Fokusnya sering kali terdistraksi karena putranya. Sebastian tidak menyalahkan sang putra yang sering tantrum. Dia bersedia meninggalkan apapun demi darah dagingnya itu. Namun, kali ini dia berharap Ellio tidak banyak berulah. Untuk beberapa bulan saja, sampai dia menyelesaikan tender baru itu. Semoga saja, harap Sebastian yang sebenarnya tidak terlalu yakin. Damian menggerakkan kepala turun naik. “Bagaimana kabar Ellio? Apa dia sudah bisa menerima Miranda?” Damian kasihan pada putra sahabatnya itu. Selain karena kondisinya yang tidak seperti anak-anak lain, juga karena Ellio tidak memiliki ibu. Anak itu terlihat begitu mendamba kasih sayang seorang ibu, tapi, sulit menerima kekasih ayahnya. Entah sudah berapa banyak wanita yang Sebastian kencani dan berakhir dicampakkan oleh pria itu karena Ellio tidak menyukainya. “Kalau Ellio tidak menyukai Miranda, lebih baik kalian berhenti secepatnya. Jangan sampai ada benihmu di rahim Miranda. Kamu akan pusing nanti.” “Kamu pikir aku bodoh?” Damian tertawa. “Bukankah memang begitu?” “Ah, Sialan,” kesal Sebastian. Papa Ellio itu meraih botol di depan sang bartender yang masih betah berdiri di balik meja—menunggu setiap dirinya atau Damian menyodorkan gelas. Sebastian menuang sendiri minumannya. “Ngomong-ngomong, aku punya kenalan perempuan keibuan yang mungkin akan Ellio sukai.” Gerakan tangan Sebastian sempat berhenti dua detik, sebelum pria itu melanjutkan. “Siapa namanya?” tanya Sebastian tanpa memutar kepala. Pria itu meletakkan botol, lalu beralih pada gelasnya. “Scarlet. Mungkin dia tidak sesexy Miranda, tapi, dia keibuan. Mungkin itu yang Ellio cari. Selama ini, perempuan yang kamu kencani tidak ada satu pun yang keibuan.” “Lupakan saja.” “Hei, kamu harus melihatnya lebih dulu, Bastian. Aku berani taruhan, kamu pasti menyukainya. Dia benar-benar cantik, anggun.” “Buat kamu saja.” Sebastian meneguk minumannya. “Aku sudah punya Caroline. Tidak mungkin aku membuangnya. Dia sedang mengandung anakku. Makanya aku ingin mengenalkannya denganmu. Siapa tahu Ellio akan mendapatkan mommy nya segera.” Sebastian menggelengkan kepala, hingga membuat Damian menatap sang teman dengan sorot penasaran. Padahal sebastian belum bertemu dengan Scarlet, tapi pria itu sudah langsung menolaknya. Damian mengernyit. “Ellio hanya menginginkan Louisa.” “Louisa? Dimana aku mendengar nama itu? Kenapa rasanya tidak asing?” Damian memukul kepalanya ketika tidak berhasil mengingat. Sementara Sebastian sudah kembali memindahkan satu gelas cairan memabukkan itu ke dalam perutnya. Sedangkan sang bartender menggulir bola mata ke arah kerumunan para gadis di ujung lain ruangan tersebut. *** “Ini, minum. Harus langsung habis.” “Ah … kenapa harus aku lagi yang kalah?” kesal Louisa. Sudah tiga gelas minuman harus ia tenggak hingga habis dalam satu kali minum. Dan sekarang dia harus kembali menghabiskan satu gelas lagi minuman, hanya karena dia tidak bisa menjawab pertanyaan sang teman. Anne terkekeh, sementara Meredith geleng kepala. Menatap Anne, Meredith semakin penasaran dengan rencana sang teman. “Ayo, kita mulai lagi.” “Aduh … kepalaku sudah pusing,” keluh Louisa sambil memijit kepalanya. “Sudah. Kalian lanjutkan sendiri.” “Eh, kamu tidak boleh melarikan diri. Sekarang permainan terakhir. Siapa yang kalah harus mau melakukan perintah yang menang.” “Wah … ini baru menantang. Kalau hanya minum satu gelas, itu kurang asik.” Salah satu teman Louisa menyahut. “Ayo, putar lagi.” Beberapa wanita muda yang duduk melingkari meja bundar itu mulai kembali memperhatikan satu botol di tengah meja yang akan diputar oleh Anne. Bola mata mereka mengikuti pergerakan ujung botol begitu tangan Anne memutar benda tersebut. “Wah … wah ….” Louisa mencoba meniup ujung botol yang sudah akan tiba di depannya. Wanita itu menahan—berharap ujung botol berhenti di depan Meredith yang duduk di sebelahnya. Pekik tawa terdengar saat ujung botol berhenti tepat di depan sang primadona malam itu. Seseorang yang sedang berbahagia setelah berganti usia. “Ah … punya dendam apa botol ini padaku?” Louisa menekuk bibirnya kesal. Bagaimana bisa putaran botol selalu berhenti di depannya. “Sepertinya dia tahu siapa yang sedang berulang tahun malam ini.” “Iya, benar.” “Kalau begitu, enaknya perintah apa yang akan kita berikan pada Louis?” “Bagaimana kalau meminta Louis membelikan masing-masing dari kita satu tas branded.” Louisa meringis sambil kembali memijat kepalanya. Wanita itu menggerak-gerakkan kepala berusaha mengusir rasa pening. “Atau sepatu. Ada brand keluaran baru yang kualitasnya bagus.” “Ah … tas saja. Aku sudah punya banyak sepatu.” “Hei … hei … tenang. Aku yang akan memberikan perintah pada princess kita malam ini.” Anne memutus perdebatan beberapa temannya. “Yang jelas tidak ada tas atau pun sepatu.” “Yah … lalu apa, Anne?” Anne tersenyum penuh rahasia. Wanita itu kemudian mengedik kepala ke arah meja bartender. Semua orang memutar kepala mereka ke tempat yang ditunjuk oleh Anne. “Lou Lou, Babe. Kamu harus memilih satu dari pria di depan sana. Duduk di pangkuannya, lalu cium dia.” Teman-teman Louisa langsung memekik begitu mendengar ide Anne. Sementara Louisa yang juga sudah melihat ke arah dua pria yang hanya terlihat punggungnya itu, menyipit. “Kamu pilih salah satu.” “Yang baju putih saja, Lou. Sekilas dia kelihatan tampan.” “Yang baju flanel saja. Tadi aku sempat melihat saat dia menoleh. Dia tampan sekali.” “Sudah, ayo ke sana. lakukan yang kuperintahkan tadi.” Anne beranjak dari tempat duduknya, lalu menarik sebelah tangan Louisa. “Ya ampun, Anne. Kepalaku pusing sekali.” “Makanya ayo cepat selesaikan hukumanmu, setelah itu kamu bisa pulang.” Anne mendorong tubuh Louisa hingga Louis akhirnya beranjak dari kursi. “Ayo, Lou. Siapa tahu kalian akan lanjut setelah dari sini.” “Iya, benar. Wah, kamu beruntung sekali, Lou.” “Kalian semua benar-benar gila.” Louisa mendesah. “Ayo Lou. Apa kamu takut dia akan menolakmu?” salah satu teman Louisa berujar. Louisa dengan sepasang mata yang mulai tidak bisa terbuka sempurna itu, berdecak tidak suka. “Tidak ada pria yang bisa menolak Louisa Reed.” “Ya sudah, ayo buktikan. Cepat.” Dengan kesal Louisa mengayun langkah kaki yang sesekali tidak tegak. Tubuh wanita itu terhuyung, sebelum kemudian Louisa berhasil menegakkan kembali langkah kakinya. “Jadi ini yang kamu rencanakan?” tanya Meredith yang diangguki oleh Anne. Menggelengkan kepala, Meredith kemudian mengalihkan fokus sepasang matanya—mengikuti pergerakan Louisa. Semua teman-teman Louisa memperhatikan sang pemilik pesta yang sudah semakin mendekati dua pria di meja bartender. Mereka menunggu dengan cemas apa yang akan terjadi selanjutnya. Louisa menoleh ke kanan kiri, memperhatikan dua punggung yang mulai terlihat kabur. Langkah kakinya goyah, hingga dia nyaris terjatuh. Beruntung Louisa masih bisa menegakkan kembali tubuhnya. Wanita itu menggeleng-gelengkan kepala. Berharap rasa pusingnya menyingkir sebentar saja. “Hei.” Louisa menepuk bahu pria di depannya, lalu berpegangan pada tubuh pria itu saat hampir terjatuh. Louisa langsung duduk di pangkuan pria yang baru saja memutar kursinya. “Aku harus menciummu sekarang.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD