Louisa turun dari sepedanya, lalu menyandarkan alat transportasinya tersebut. Meraih paper bag yang semula ia letakkan di keranjang depan, wanita muda itu berjalan meninggalkan parkiran sambil bersenandung riang. Beruntung masih ada sisa pancake saat sarapan tadi pagi, hingga Louisa hanya perlu menghangatkannya sebentar, lalu melesat ke sekolah untuk memenuhi janjinya pada Ellio. Anak itu pasti ingin bertemu dengannya untuk menagih janji.
Mengangkat paper bag di tangan, Louisa menghirup harum pancake yang menguar. Wanita itu tersenyum lebar. Ellio pasti akan menyukainya--batin Louisa senang. Berjalan sambil berjingkat kecil, wanita itu menatap barang bawaannya. Senyumnya semakin lebar ketika membayangkan wajah gembira Ellio setelah nanti mendapatkan pancake yang dijanjikan olehnya.
“Mommy!”
Louisa mengerjap. Senyum di wajah wanita itu memudar, lalu menghilang. Tak lagi berjingkat, Louisa berjalan menghampiri seorang anak laki-laki yang baru saja memanggil Mommy. Louisa menoleh ke kanan kiri. Kerutan di dahi wanita itu bertambah ketika tidak menemukan siapapun di sekitarnya.
“Mommy!”
“Astaga.” Louisa berjingkat saat mendengar suara keras Ellio. Wanita itu menggelengkan kepala. Heran, anak sekecil itu memiliki suara menggelegar seperti petir.
“Mommy!”
Louisa meringis sambil menunjuk hidungnya sendiri. Mulut wanita itu menganga saat melihat kepala Ellio mengangguk. Louisa buru-buru menutup kembali mulutnya ketika menyadari jika Ellio tidak sedang sendirian. Wanita itu melirik sepersekian detik sebelum mengembalikan fokus pada Ellio.
“Bukan. Ini … Miss Louisa.”” Louisa menunjuk dirinya sendiri. Wanita yang sudah menurunkan sedikit tubuhnya untuk menyamai tinggi Ellio itu, tersenyum. “Bukan Mommy, oke?”
“Ups … tunggu … tunggu. Jangan menangis,” cegah Louisa begitu melihat gelagat anak spesial di depannya sudah akan menangis. “Lihat apa yang miss Louis bawa.” Louisa mengangkat paper bag di tangannya. “Ellio tahu apa yang ada di dalam sini?” tanya Louisa sambil tersenyum lebar hingga sepasang matanya mengecil. “Hmmm … baunya harum sekali.”
“Pancake strawberry?” Ellio langsung berjingkrak, begitu melihat kepala Louisa bergerak turun naik membenarkan tebakannya.
“Ellio mau pancake.”
“Oke. Ini memang untuk Ellio. Eh, tapi ada syaratnya.” Louisa menarik tangannya menjauh ketika Ellio sudah akan meraih paper bag di tangannya. Melihat Ellio sudah memberikan fokus padanya, Louisa kembali membuka sepasang bibirnya. “Besok lagi … Ellio jangan menangis seperti tadi. Anak laki-laki tidak menangis. Oke?”
Ellio mengangguk. Anak itu melangkah, lalu dengan cepat mengambil alih paper bag dari tangan Louisa.
Louisa menghembuskan napas lega. Wanita itu kemudian menegakkan tubuh. Memutar sedikit kepala ke samping, Louisa menurunkan kepalanya—memberi penghormatan pada pria yang berdiri bersama dengan Ellio.
“Saya permisi.” Louisa tersenyum kecil. Wanita dengan rambut pirang sepanjang bahu yang masih setengah basah, dan wajah polos tanpa sapuan make up sedikitpun tersebut, sudah akan memutar langkah, sebelum urung ketika mendengar suara Ellio.
“Kita bawa Mommy Louisa pulang, Papa.”
Memutar kepala, sekali lagi mulut Louisa menganga saat melihat Ellio tersenyum lebar ke arahnya. Louisa menutup mulutnya lalu berdehem.
“Ellio anak pintar … Miss Louisa, bukan Mommy Louisa, oke?” Louisa sudah menurunkan tubuhnya. Wanita itu menatap lekat manik coklat sang murid. “Ellio sudah mengerti, bukan?”
“Mommy Louisa!”
Bola mata Louisa membesar seketika. Wanita itu memutar kepala, lalu menghembuskan napas lega setelah melihat tidak ada orang lain di sekitar mereka bertiga. “No … no. Itu salah, Ellio. Yang benar—” Louisa tidak melanjutkan kalimatnya ketika melihat wajah Ellio yang berubah. “Aduh.” Wanita itu mengeluh. Louisa kemudian menegakkan tubuh.
“Silahkan ikut kami.”
Louisa menoleh, lalu menatap pria dewasa dengan bulu-bulu halus di sekitar rahang dan juga di atas bibir. Kening Louisa mengernyit. "Anda bicara dengan saya?"
Sebastian menahan geraman mendengar pertanyaan dari perempuan di depannya. "Apa di sini ada orang lain, selain anda?"
Louisa terkekeh pelan. "Maaf, saya pikir anda sedang bicara dengan yang tidak kasat mata." Melihat bola mata pria di depannya hampir terlepas dari kelopaknya, Louisa kemudian merubah ekspresi wajahnya menjadi serius.
“Maaf, saya tidak bisa.”
Katupan rahang Sebastian mengeras. Detik berikutnya, sepasang bibir tebal pria itu terbuka kembali. “Jangan khawatir. Saya akan bayar berapapun yang anda inginkan.”
“Wah ….” Louisa menatap tak percaya pria yang berdiri di depannya. “Anda—” Louisa memperhatikan penampilan pria tersebut. “Anda pengawal Ellio?”
“Apa?” Sebastian mendelik. Setelan jas nya seharga ribuan dollar. Sepatu, jam tangan—semua yang dipakainya bukan barang dengan harga murah, dan perempuan di depannya ini menganggap dirinya seorang pengawal? Sebastian menatap kesal Louisa.
“Kalau bukan karena Ellio, saya pun tidak sudi mengajak anda ke rumah.” Sebastian berdecak. “Cepat katakan berapa harga yang anda inginkan. Anda bisa bekerja sebagai perawat Ellio dengan gaji besar.”
Louisa berdecak. “Saya tidak tertarik.”
Sebastian kembali melotot. “Jangan bodoh.” Sebastian berdehem, lalu menoleh ke samping. Pria itu menghembuskan napas lega saat melihat putranya ternyata sudah duduk sambil menikmati makanan yang dibawakan oleh gurunya. Jika Ellio sudah fokus dengan sesuatu, anak itu tidak akan tahu apa yang terjadi di sekitarnya.
Mengembalikan perhatikan ke depan, Sebastian melanjutkan. “Aku memberimu kesempatan emas. Kamu bahkan bisa menulis berapa gaji yang kamu inginkan. Jangan buang kesempatan yang kuberikan padamu, Miss Louis. Kesempatan ini tidak datang dua kali.” Sebastian yang sudah kesal, tidak lagi menggunakan kata ganti formal ketika berbicara dengan guru Ellio.
“Ya ampun. Aku berterima kasih atas tawaran emasmu itu, Tuan. Tapi aku benar-benar tidak tertarik.” Louisa yang juga sama kesalnya, melakukan hal serupa.
“Tidak tertarik? Berapapun gajinya?” tanya Sebastian tidak percaya. Baru kali ini dia mendapat penolakan dari seseorang—bahkan setelah dia membebaskan gaji yang diinginkan.
Louisa menggeleng. “Aku benar-benar tidak tertarik. Aku suka bekerja di sini.”
Sebastian terdiam dengan kening berlipat hingga beberapa detik terlewat. Otaknya masih tidak bisa mempercayai perempuan di depannya ini lebih memilih bekerja di sekolah putranya, dibanding di rumahnya yang memiliki semua fasilitas.
Kerutan di dahi Sebastian bertambah ketika satu pemikiran terlintas.
“Ah … jadi begitu?” tangan kiri Sebastian terangkat, mengusap pelan rahangnya sambil menggerakkan kepala turun naik. “Aku mengerti, tapi maaf … aku tidak tertarik padamu.”
Louisa hanya melirik sekilas Sebastian. Wanita itu lebih tertarik memperhatikan Ellio yang sedang melahap pancake yang dia bawa.
“Ellio sudah tenang. Sekarang saya permisi.” Lalu Louisa benar-benar memutar tubuh, kemudian berjalan kembali ke arah sepedanya terparkir.
Sebastian berdecak sambil geleng-geleng kepala. Pria itu menatap sosok yang baru saja menolak tawarannya. Tidak peduli, pria itu kemudian memutar tubuh. Sebastian menunggu sang anak yang belum selesai dengan makannya. Pria itu terkekeh saat melihat saus strawberry di sekitar mulut Ellio.
“Ellio sudah selesai, Papa.” Ellio tiba-tiba mengangkat kepalanya. “Ayo, kita pulang sama mommy Louisa.” Lalu Ellio berdiri. Anak itu menghampiri sang papa, kemudian menyerahkan tepak yang dibawanya. Setelahnya, anak itu berlari mengejar Louisa.
“Mommy! Tunggu Ellio!”
“Ellio, jangan berlari.” Sebastian melangkah lebar menyusul sang anak yang sudah berlari di depannya.
Louisa terkejut saat dress nya tertarik. Wanita itu memutar kepala.
“Itu mobil papa. Di sana.” Ellio menunjuk ke arah mobil sedan berwarna hitam. “Ayo.” Ellio menarik sebelah tangan Louisa. Anak itu tidak peduli pada kebingungan sang guru. Dengan saus strawberry yang mengotori sekitar mulutnya, anak itu tersenyum lebar. Terlihat begitu bahagia seperti anak yang baru saja menemukan mainan yang sudah hilang sekian lama.
“Ellio … miss Louisa harus pulang.” Louisa mencoba menahan langkah kakinya.
“Sure … kita mau pulang, Mommy. Pulang ke rumah Ellio.”