Chapter 8

1571 Words
Askan sedang berdiri di dermaga atau pelabuhan khusus. Dia sedang melihat ke arah lautan dengan tatapan agak tersenyum kecil. Bintang datang memberikan minuman berupa botol air mineral. "Ini." Askan menerima botol air mineral itu. "Makasih." "Um," sahut Bintang sambil mengangguk. Bintang dan Askan sama-sama membuka tutup botol dari air mineral dan meneguk air sekitar satu atau dua tegukan. "Selama tiga hari kami latihan bersama, rekan Royal Navy sepertinya takjub dengan kemampuanmu mengoperasikan alat perang, dari kecil hingga besar seperti meriam dan sebagainya," ujar Bintang. "Hanya mengoperasikan alat-alat itu, siapapun juga bisa," balas Askan. "Ada yang berpendapat bahwa latihan kamu cukup keras sebelumnya hingga saat ini kamu pandai dalam bertindak mengambil suatu tindakan pada saat terjadi situasi darurat," ujar Bintang. Askan dan Bintang saling melirik selama beberapa detik lalu mereka terkekeh. "Jadi apakah menjadi anggota Kopaska harus duduk-duduk saja begitu? hei! orang yang ingin memasuki pasukan khusu memang harus latihan keras. Memangnya mereka saja yang bisa latihan keras?" "Nah, itu yang aku pertanyakan. Kadang-kadang mereka nggak menyadari bakat kamu dan kita semua, padahal sudah jelas-jelas kita ini pasukan terlatih," balas Bintang. Askan meneguk lagi air mineral. "Makan siang!" panggil Candra. Askan dan Bintang berjalan ke arah Candra yang telah lebih dulu melangkah ke ruang makan setelah memanggil dua temannya. * Sepulang dari kampus, Mendaline seharian ini terlihat masih tak percaya dengan apa yang terjadi. "Dia … benar-benar berani mengatakan perasaannya padaku tanpa gugup sedikitpun." Mendaline menahan kekehan senang. Dia tidur terlentang dan menyentuh dua pipinya dengan telapak tangan. "Jika aku ingat lagi, sifatnya benar-benar pemberani sama seperti ketika berada di kapal pesiar Cora, tanpa takut! aaahh!" Mendaline menepuk-nepuk pelan pipinya. Bruk bruk bruk! "Open the door!" (buka pintu!) suara seorang pria terdengar setelah dia mengendor-ngendor pintu. Mendaline terkaget, dia buru-buru bangkit dari posisi tidur terlentang dan melirik pintu kamar. Dialog dianggap dalam bahasa Inggris. "p*****r! aku bilang buka pintunya!" Mendaline menelan air ludah dengan perasaan tidak tenang. "Kau akan menyesal jika tidak membuka pintunya! aku akan membunuh wanita sialan!" teriak suara dari pria itu. Mendaline buru-buru turun dari ranjang dan membuka pintu. Setelah pintu terbuka, muncul wajah seorang pria paruh baya, wajahnya memerah. Dia langsung mencekik leher Mendaline dan berkata, "Kau wanita sialan, berani sekali tidak mematuhi perintahku, cuih!" Wajah Mendaline diludahi oleh pria itu. "Hentikan!" Mendaline berusaha berontak. Namun sayangnya dia dilempar oleh pria itu ke atas ranjang hingga membuat tubuh Mendaline turun naik karena pegas ranjang empuk. Pria itu mendekat ke arah ranjang, wajah Mendaline terlihat memerah dia berkata dengan nada keras. "Aku akan memberitahu Catherine jika kamu mendekat!" Pria itu berhenti mendekat, dia terlihat marah pada Mendaline. "Cuih, dasar tidak berguna." Setelah meludahi wajah Mendaline, pria itu melangkah keluar kamar dengan rasa marah, Mendaline buru-buru menutup pintu kamar dan bersandar di pintu. * Di depan cermin rias, Mendaline melihat bekas cekikan di lehernya. Di tangan kanan, ada obat salep yang diberikan oleh Askan padanya, Mendaline melirik salep itu, kemudian dia mengoleskan salep itu secara perlahan di lingkaran lehernya yang memerah. "Laki-laki laknat, semoga saja setelah kamu mati, kamu akan masuk neraka," ujar Mendaline dengan nada sakit hati. Tiga detik kemudian dia tertawa sumbang. "Untuk apa percaya neraka? Tuhan itu nggak ada." Mata Mendaline memerah saat melihat pantulan setengah badannya di cermin. "Jika Dia ada, mengapa aku dibuat seperti ini? seperti seekor anjing," sindir Mendaline. Mendaline menutup tempat obat salep dan menatap lehernya di cermin. "Obatnya enak, sejuk ketika kena kulit," ujar Mendaline. Mendaline melirik kemasan obat salep dan membaca apa yang ditulis di obat itu. * Satu minggu kemudian. Grace melirik wajah sang teman. "Apakah kamu akan menghadiri wawancara televisi dengan tampang seperti itu?" tanya Grace. Dia menarik dan mengembuskan napas kasar. Mendaline sedang mengolesi obat salep di bagian tulang pipi kiri atas. "Tidak sampai satu hari setelah mengolesi dengan salep ini, lebam dan tanda ini akan hilang dan sembuh," balas Mendaline. "Lari saja dari rumah neraka itu, biarkan laki-laki tua itu mati karena darah tinggi saat mengetahui kamu lari darinya," ujar Grace. Mendaline melirik ke arah sang teman. "Belum saatnya," balas Mendaline. "Oh Tuhan. Kamu ingin sampai kapan di sana terus? aku tau kamu tidak percaya Tuhan, tapi coba buka matamu lebar-lebar, aku beritahu kamu, meskipun kamu tidak ingin meminta pertolongan dari Tuhan, cobalah untuk menolong dirimu sendiri," ujar Grace. Mendaline menutup kemasan salep dan melirik ke arah wajah temannya. "Tuhan itu tidak ada," balas Mendaline. "Tuhan itu ada, makanya kamu pergilah ke gereja untuk melihat Tuhan!" Grace terlihat agak kesal saat membalas ucapan sang teman. "Kalau Tuhan yang kamu katakan itu ada, selama lima belas tahun ini Dia pasti akan membantuku," ujar Mendaline. Grace cemberut selama beberapa saat, lalu dia berkata dengan nada pasrah. "Tidak perlu ke gereja untuk menemui Tuhan. Aku tidak ingin memaksa kamu untuk percaya Tuhan. Ke mana saja boleh, ke kuil juga boleh untuk bertemu Tuhan, ke vihara juga boleh, atau jika kau ingin pergi saja ke masjid." Mendaline menyeruput minuman, setelah itu dia membalas, "Terlalu banyak Tuhan, aku tidak tertarik untuk percaya." "Siapa yang menyuruhmu untuk percaya pada semua Tuhan dari ajaran yang aku sebutkan? maksudku, percaya satu Tuhan saja itu sudah cukup," balas Grace. "Grace, setelah kejadian di kapal pesiar Cora, aku lihat kamu rajin membawa alkitab," ujar Mendaline. Grace mengangguk. "Aku berhutang nyawa pada Tuhan, jika tidak ada bantuan tangan dari-Nya, aku mungkin sudah mati ditembak para perompak saat berada di kapal pesiar Cora," balas Grace. Mendaline menatap serius wajah Grace yang sedang bicara. "Beruntung Tuhan mengirim penyelamat untuk kita semua. Tuan Pahlawan yang dikirim oleh Tuhan," sambung Grace. Setelah mendengar Grace mengucapkan kata 'Mr. Hero', atau tuan pahlawan, ekspresi wajah Mendaline terlihat datar dan kurang bersemangat. Dia melirik ke arah ponsel yang terletak di atas meja kafe. "Jangan sebut dia," tukas Mendaline. "Kenapa memangnya?" tanya Grace. "Aku hanya tidak ingin mendengar namanya disebut," jawab Mendaline. "Siapa yang menyebut namanya? aku hanya mengucapkan Tuan Pahlawan, di mana ada namanya?" tanya Grace. "Kalau begitu tidak perlu menyebut Tuan pahlawan lagi," ujar Mendaline. "Kamu sedang marah padanya?" tanya Grace. "Untuk apa marah, kamu tak punya hubungan apapun," jawab Mendaline jutek. "Oh oh oh, coba kulihat ekspresi wajahmu. Kamu kesal dengan Tuan pahlawan?" tanya Grace. "Sudah aku bilang, jangan menyebutkan nama itu!" Mendaline kesal. "Ok ok! aku tidak akan menyebut Tuan pahlawan lagi-ah!" Grace buru-buru menutup bibirnya dengan jari karena telah menyebutkan Tuan pahlawan. Grace tidak tahu apa yang terjadi pada temannya setelah dia mengucapkan kata Tuan Pahlawan. Sementara itu, Mendaline melirik ponselnya, dia menggigit pelan sudut bibirnya dan merasa kesal dan kecewa. 'Setelah meminta nomor teleponku, dia bahkan nggak ada kabar lagi. Benar-benar penipu.' Mendaline merutuk dalam hati. Ah, rupanya seperti itu. Setelah satu minggu dia dan Askan bertukar nomor telepon, Askan tak lagi menghubunginya. Sepertinya kita tahu mengenai kekesalan dari Mendaline. * Askan sedang berenang tanpa menggunakan pelampung ketika berada di tengah laut biru. Para atasan militer dari dua negara sedang menatap Askan dan teman-teman Angkatan Laut yang ikut berenang bersama dengan Royal Navy. Saat mulai melompat keluar kapal, banyak orang yang mampu bertahan setelah lima puluh meter berenang. Kapal yang lebih kecil sedang mengikuti pada prajurit gabungan berenang dari sisi samping. Sementara itu, saat memasuki jarak seratus meter, beberapa prajurit mulai kewalahan dan ada yang menyerah, tim medis buru-buru terjun untuk membantu para prajurit yang merasa kelelahan dan tidak sanggup lagi untuk melanjutkan latihan renang ini. Memasuki jarak seratus lima puluh meter, banyak yang berhenti berenang dan mengangkat tangan. Banyak pula tenaga medis angkatan laut yang terjun untuk memberi bantuan. Saat memasuki jarak dua ratus meter, hanya tersisa sekitar dua puluh orang saja yang masih sanggup berenang, di antara dua puluh orang itu, Askan dan enam orang teman, kemudian sisanya adalah anggota pasukan khusus Royal Navy. Dua atasan dari masing-masing angkatan laut dari dua negara tetap serius mengawasi latihan anak buah mereka. Saat memasuki jarak dua ratus lima puluh meter, dua orang dari kubu Royal Navy menyerah, beberapa saat kemudian setelah melalui jarak dua ratus lima puluh meter, tiga orang dari Royal Navy menyerah. Pada jarak tiga terus meter, seorang lagi dari pihak Royal Navy menyerah hingga menyisakan jumlah imbang antara prajurit dua negara. Saat melewati batas tiga ratus meter, dua orang Royal Navy berhenti berenang, beberapa saat kemudian saat memasuki jarak tiga ratus lima puluh meter, hanya menyisakan satu orang anggota pasukan khusus Royal Navy yang berusaha berenang bersama tujuh pasukan khusus milik Angkatan Laut Indonesia. Namun, saat melewati garis tiga ratus lima puluh meter dan hendak memasuki garis empat ratus meter, semua prajurit baik dari TNI Angkatan Laut hingga Royal Navy berhenti berenang dan mengambil napas sejenak, kecuali Askan yang masih berenang dan mempertahankan kestabilan di dalam air. Wajah komandan angkatan laut kerajaan Inggris terlihat kaget saat melihat Askan yang masih bertahan. Mendekati garis lima ratus meter, dua kepalan tangan dari masing-masing pimpinan angkatan laut dua negara terkepal erat, mereka merasa geregetan saat melihat Askan yang masih berenang. Enam ratus meter. "Bagaimana mungkin tidak lelah?" heran komandan angkatan laut Inggris. Di sampingnya, KASAL TNI tersenyum tipis melihat kinerja dari Askan. Tujuh ratus meter. "Dia masih bertahan?" wajah komandan angkatan laut Inggris terlihat tidak percaya. Delapan ratus meter. Orang-orang yang sedang menyaksikan Askan yang masih berenang itu hanya membeo seperti burung beo beku. Sembilan ratus meter. Orang-orang mulai banyak merekam aktivitas dari Askan, sementara itu saat mendekati garis satu kilometer, kepalan tangan komandan angkatan laut Kerajaan Inggris terkepal lebih erat. Dia menelan susah air ludahnya saat Askan berhenti tepat di garis pembatas satu kilometer setelah berenang sekian menit. "Dia bukan manusia!" komandan angkatan laut kerajaan Inggris tiba-tiba merinding. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD