Chapter 9

1513 Words
Askan naik ke sekoci kecil. Tubuh atletis dengan otot perut kotak-kotak itu membuat semua orang yang melihatnya berkesimpulan bahwa pria itu pasti berlatih keras. Handuk diberikan padanya. Kapal sekoci itu menuju ke arah kapal perang milik angkatan laut Inggris. Setelah naik kapal perang milik angkatan laut Inggris, banyak teman baik dari pihak Angkatan Laut TNI maupun dari Royal Navy yang bertepuk tangan dan mengucapkan ucapan takjub padanya. "Benar-benar hebat!" "Aku pikir aku baru saja melihat ilusi." "Tidak disangka, ternyata kemampuan tenang dari Angkatan Laut TNI seperti ini, benar-benar mengagumkan!" "Aku kira semua itu mimpi!" "Letnan Askan, Anda memang yang terbaik!" Askan hanya mengangguk dan tersenyum kecil sebagai balasan, berikutnya, dia meraih botol air mineral dan meneguk air itu. Siapa bilang berenang sejauh satu kilometer nonstop tidak haus? Askan sangat haus, kerongkongannya sangat kering. "Hampir saja aku minum air laut saking hausnya aku," celetuk Askan setelah meneguk satu botol air mineral. Bintang dan teman-teman yang lain terkekeh, bahkan ada yang ingin terbahak karena mendengar ucapan dari Askan. "Kami piki kamu anti haus," balas Candra. "Ah, memangnya aku lumba-lumba yang bisa minum air laut?" cebik Askan. "Pft!" teman-teman Askan terbahak. Komandan angkatan laut kerajaan Inggris dan KASAL TNI mendekat ke arah Askan. "Saya tidak menyangka, ternyata kemampuan angkatan laut Indonesia adalah hebat seperti ini," ujar komandan angkatan laut kerajaan Inggris. Askan memberi hormat pada dua atasan. Dua atasan itu mengangguk. "Suatu kehormatan bisa berlatih bersama dengan Royal Navy," balas Askan. Komandan angkatan laut kerajaan Inggris membalas, "Seharusnya kami yang mengatakan itu, suatu kehormatan bisa berlatih bersama dengan Angkatan Laut TNI." Kruuuukk! kryuuukk! kryuuukk! Bunyi nyaring berasal dari perut Askan. Rupanya berenang sejauh itu membuat orang lapar, tak terkecuali Askan. Beberapa orang menahan senyum geli saat mendengar bunyi nyaring yang berasal dari perut Askan yang meraung tanpa henti. Bahkan, dua atasan dari masing-masing angkatan laut dua negara terkekeh pelan. "Ah, mari kita istirahat sejenak. Latihan hari ini cukup sampai di sini, besoknya kami akan melanjutkan dengan agenda latihan lain berupa menyelam di dalam air," ujar komandan angkatan laut Inggris. Semua orang mengangguk. * "Akhirnya, selama lebih dari dua minggu latihan bersama, kami memiliki hari libur selama beberapa hari, hahaha!" Askan terbahak senang. Bintang dan lima orang teman Askan melirik ke arah Askan. "Kamu seperti nggak sabar lagi pengen turun dari kapal ini," celetuk Candra. "Aku cukup rindu daratan selama dua minggu terombang-ambing di tengah lautan," balas Askan. "Ck ck ck! tukang kibul sepertimu siapa yang akan percaya? selama berlayar tiga bulan pun kamu nggak pernah berkata begini. Aku jadi heran deh, di sini baru kamu bilang begitu," ujar Bintang. "Situasinya sudah berbeda dulu dan sekarang," balas Askan yang bersiap-siap turun dari kapal. "Coba kamu jelaskan, apa yang berbeda?" tanya Bintang. Askan melirik ke arah teman-temannya. "Nanti baru aku jelaskan, aku pergi, dadah!" Askan melambaikan tangannya. Bintang berteriak. "Hei! kamu belum lapor ke komandan!" "Sudah!" balas Askan. "Oh begitu, ya sudah," ujar Bintang sambil manggut-manggut pelan. "Hei! nggak ingin ajak aku? aku juga ingin jalan-jalan bersama kamu!" "Jangan jadi nyamuk!" balas Askan berteriak. Bintang, "!!!" * "Kenapa aku berpikir setelah kamu menyelesaikan wawancara beberapa hari yang lalu, lebam di wajahmu malah bertambah banyak?" tanya Grace sambil memperhatikan wajah Mendaline. "Ada sedikit gangguan saraf pada kulitku," balas Mendaline. Grace menarik lalu mengembuskan napas kasar. "Sudah aku katakan padamu, pergi saja dari rumah neraka itu." "Tidak semudah yang kamu pikirkan, pria sialan itu punya banyak koneksi, bisa-bisa dia akan mengubur diriku jauh satu mil ke dalam tanah jika aku lari darinya sekarang," balas Mendaline. "Oh Tuhan, kalau begitu lakukan sesuatu agar apa yang selama ini dia lakukan padamu itu terbongkar dan diketahui oleh semua orang," ujar Grace, dia merasa gerah dengan apa yang terjadi pada sang teman. Mendaline hanya diam saja. "Menda, jangan lupa ini, kamu itu warga negara Indonesia, kamu itu tinggal di sini dilindungi oleh hukum Indonesia yang melekat pada dirimu, jika ada sesuatu yang terjadi padamu, laporkan saja pada kedutaan besar Indonesia yang ada di sini. Memangnya pria sialan itu bisa lakukan apa padamu jika kamu dilindungi oleh kedutaan Indonesia?" ujar Grace. Mendaline diam selama beberapa detik, dia berpikir sejenak. "Belum saatnya." Grace terlihat seperti orang yang makan hati. "Kapan saat yang tepat?" tanya Grace. "Aku tidak tahu," jawab Mendaline. "Aaah! ini membuatku hampir gila!" Grace rasanya ingin berteriak jengkel di depan sang teman. Ponsel milik Mendaline berdering. Mata Mendaline melirik ke arah layar ponsel. 'Askan' Matanya terbelalak agak kaget. Tangan Mendaline buru-buru meraih ponsel miliknya dan melihat lebih dekat nama sang pemanggil. "Ada apa? kenapa kamu melihat layar teleponmu seperti itu?" tanya Grace. "Askan menelepon," jawab Mendaline. Mata Grace melotot. "Apa? Tuan Pahlawan menelpon kamu? oh Tuhan! cepat jawab!" Grace mendesak Mendaline untuk segera mengangkat panggilan, bahkan dia berdiri dari kursi kafe dan membantu menekan tombol hijau panggilan. Mendaline, "...." lah? panggilan sudah diangkat oleh sang teman. "Grace," desis Mendaline. Grace tersenyum lebar. "Jangan membuang waktu, segera ladeni telepon itu," bisik Grace pelan sambil mendekatkan tangan Mendaline yang memegang ponsel ke dekat telinga kanan. "Halo." Suara bas magnetik terdengar dari seberang. Sesaat Mendaline tahu bahwa ini benar-benar suara dari Askan. Hanya saja dia tidak pernah membayangkan betapa khas dan uniknya suara Askan. "Menda?" panggil Askan dari seberang. Grace yang ikut menguping di dekat telinga kanan Mendaline itu menjadi agak dongkol pada sang teman, dia buru-buru mencubit pelan paha kanan Mendaline dan berbisik, "Jangan diam saja." Mendaline berdiri dari kursi, Grace hampir terjungkal ke belakang. "Ck, anak ini," cebik Grace. "Halo, Askan. Ya, ini aku," jawab Mendaline. "Syukurlah kamu mengangkat teleponku," ujar Askan lega. "Hm, kenapa kamu telepon? dua minggu ini kamu sepertinya sibuk terus, aku nggak berharap kamu telepon," balas Mendaline. "Ya, dua minggu ini kami memang sibuk. Sudahkah kukatakan padamu sebelumnya bahwa tunggu kabar ku dua minggu lagi?" tanya Askan. Mendaline menelan air ludah. "Yah … memang kamu pernah mengatakan itu, tapi … setidaknya kamu menelepon aku sekali," jawab Mendaline. "Di tengah laut tidak ada sinyal. Ah, seharusnya aku menggunakan saja jaringan khusus milik angkatan laut Inggris untuk menelepon kamu," ujar Askan. "Ah! nggak perlu!" Mendaline buru-buru menolak. "Jadi kamu baru dari lautan?" "Ya, dua minggu terombang-ambing di tengah lautan membuatku rindu daratan," jawab Askan. Mendaline hampir saja menggigit kesal bibirnya. Hampir saja aku berpikir yang bodoh, dia bukannya nggak ingin telepon aku, tapi memang nggak ada sinyal di tengah laut, ah! batin Mendaline menyesal atas apa yang dia pikirkan pada Askan selama dua minggu ini. Saat Mendaline berkata dan ingin membalas ucapan Askan, rupanya suara Askan lebih dulu terdengar. "Ayo bertemu," ujar Askan. Mendaline membeku selama beberapa detik. "Eh?" dia seperti orang linglung. Wajah Grace yang sedang memperhatikan wajah Mendaline seperti itu, membuat Grace makin penasaran, sebenarnya apa yang terjadi pada percakapan dua pihak. "Seharusnya aku belajar bahasa Indonesia agar tau apa yang mereka bicarakan," ujar Grace dengan perasaan menyesal. "Kamu sibuk?" tanya Askan. "Jika hari ini kamu sibuk, mari kita bertemu di hari besok." "Kamu serius ingin bertemu?" tanya Mendaline setelah menelan ludah gugup. "Kenapa harus aku bercanda? nggak ada gunanya. Kalau aku bilang aku ingin bertemu, yah aku ingin bertemu kamu," balas Askan. Mendaline menahan senyum senang. "Um … kamu berada di mana sekarang? aku yang akan menemui kamu," ujar Mendaline. "Aku di depan University of London," jawab Askan. "Apa?!" mata Mendaline hampir melompat keluar dari sarang setelah mendengar jawaban dari Askan. "Hei, itu di depan kampusku!" ujar Mendaline. "Yah, memang di depan kampusmu. Sudah kukatakan kan, aku ingin bertemu denganmu," balas Askan. "Tunggu di sana, aku akan segera menemui kamu!" perintah Mendaline. "Ok," sahut Askan. Panggilan diakhiri oleh Mendaline, dia buru-buru membereskan buku dan tas kuliah. "Ada apa? Tuan Pahlawan bilang apa?" tanya Grace penasaran. "Grace, aku akan bertemu dengan dia, dia telah menungguku di depan universitas! nekat sekali dia datang ke sini!" ujar Mendaline. "Benerkah?! ah! segera pergi temui dia!" Grace malah mendorong Mendaline agar cepat bertemu dengan Askan. "Aku pergi! bye bye!" Mendaline melambaikan tangan. Grace balas melambaikan tangannya. "Semoga berhasil kencan pertama kalian!" teriak Grace. Mendaline melotot ke arah Grace, hal ini membuat Grace terkekeh. * Askan bersandar di trali sambil menunggu kedatangan Mendaline. "Didengar dari suaranya tadi, sepertinya dia marah karena dua minggu ini nggak aku kasih kabar," gumam Askan. Askan terkekeh pelan. "Tentu saja dia marah. Aku mengungkapkan rasa suka padanya lalu mengirimkan dia sarapan, lalu tiba-tiba nggak ada kabar selama dua minggu ke depan. Perempuan manapun pasti akan kesal." "Jadi, setelah kami bertemu kali ini, aku akan mengajaknya ke tempat menyenangkan. Tempat romantis juga boleh, sepertinya terdengar menyenangkan," ujar Askan. Askan sudah berkhayal, jika dia bertemu dengan Mendaline, dia akan mengajaknya jalan-jalan dan menghabiskan waktu bersama. Beberapa meter yang tak jauh dari tempat di mana Askan bersandar, Mendaline keluar dari universitasnya dan sedang celingak-celinguk kiri dan kanan mencari keberadaan Askan. Saat melirik ke arah kanan, Mendaline berhenti mencari karena telah menemukan Askan sedang bersandar sambil melipat dua tangan di d**a. "Dia benar-benar datang," ujar Mendaline. Mendaline buru-buru melangkah mendekat ke arah Askan. "Hei!" panggil Mendaline. Askan melirik ke arah suara yang memanggil dirinya. Saat melihat Mendaline, senyum muncul di bibir Askan, namun setelah Mendaline lebih mendekat lagi, senyum itu senang itu kaku. Mata Askan terpaku pada wajah lebam Mendaline. "Siapa yang melakukan ini!?" *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD