Chapter 7

1677 Words
"What?!" mata Grace terbelalak setelah mengetahui bahwa Askan adalah orang yang meminjamkan jaket militer angkatan laut miliknya pada Mendaline. Grace buru-buru bangkit dari posisi tiduran di ranjang kabin dan meraih jaket militer itu. Dilihatnya baik-baik lambang militer angkatan laut yang dibordir di lengan bahu jaket. "Aku tidak percaya ini! kamu dan Tuan Pahlawan benar-benar jodoh yang diciptakan oleh Tuhan!" Grace agak mengeraskan suaranya saat menatap wajah Mendaline. Mendaline menahan senyum, dia tidak ingin senyum kecilnya diketahui oleh Grace. Gace berkata, "Menda, aku pikir Tuan Pahlawan menyukai kamu." Setelah mendengar ucapan dari sang teman, wajah Mendaline berubah agak datar dan merasa seperti tak yakin. Dia sebelumnya tidak pernah memikirkan bahwa Askan akan menyukai dirinya. "Ayolah! kamu tidak tahu? ah! jangan bilang kamu tidak menyadarinya?" tebak Grace. "Tidak menyadari apa?" tanya Mendaline menutupi kegugupannya. "Tidak menyadari bahwa Tuan Pahlawan menyukai kamu!" jawab Grace dengan nada suara agak keras. "Ah! jangan bicara sembarangan!" bantah Mendaline. Dia berusaha menutup kegugupannya. Namun, Grace menyadari raut wajah sang teman, Grace malah terkekeh sambil menggoda Mendaline. "Ah! lihat wajahmu, merah! hahahah!" Grace terbahak-bahak. "Ah! Grace, kamu menggodaku!" Mendaline membuat kepalan tangan dan ingin sekali mengetuk kepala Grace. Grace tergelak tawa hingga terguling-guling di atas ranjang kabin, dia tertawa sambil memeluk jaket militer milik Askan. "Aku tidak menyangka, akhirnya kamu bisa tergoda juga, oh! lihat wajahmu! sangat terbakar!" Grace malah lebih terbahak-bahak sambil mengusap perutnya. Mendaline cemberut, dia menarik jaket militer milik Askan dan berkata, "Hentikan omong kosong mu! mana mungkin dia suka denganku!" "Oh oh oh! kamu sedang gugup!" tuduh Grace sambil menunjuk wajah Mendaline. "Jangan bilang kamu juga sudah mulai jatuh cinta pada Tuan pahlawan?" tebak Grace. Mendaline benar-benar merasa gugup dan tersipu malu. "Grace!" Mendaline menutup wajahnya dengan jaket militer milik Askan. Dari luar kabin, arah lirikan mata Askan menatap ke arah pintu kabin di mana suara gelas tawa itu berasal. Saat sedang mendengar apa yang Mendaline dan Grace perbincangkan, tak tahu mengapa sudut bibir milik Askan membentuk senyuman tipis. Senyuman itu terjadi begitu saja tanpa disadari oleh nya. Askan berbalik dan melanjutkan langkah kaki ke arah kamar kabin yang ditempati olehnya. * Pada hari berikutnya, Mendaline merasa bahwa dia tidak bisa terlalu dekat dengan Askan, alhasil dia mengambil jarak dari Askan. Saat sedang melihat para anggota angkatan laut dari dua negara berlatih bersama, Askan merasa bahwa Mendaline menjaga jarak darinya. Askan melirik ke arah Mendaline yang kira-kira berjarak sekitar dua puluh meter darinya. Merasa bahwa dia sedang diperhatikan oleh Askan, Mendaline ingin sekali menciutkan badannya agar tak dilihat oleh Askan. Entah mengapa dia merasa sangat gugup jika berdekatan dengan Askan, padahal beberapa hari sebelumnya dia tak merasakan hal itu. Hal ini dirasakan setelah percakapan antara dia dan Grace tadi malam. Bintang menarik udara lalu menghembuskan udara. "Tumben Menda agak jauh dari kamu hari ini? perasaan beberapa hari ini kalian lengket terus," celetuk Bintang. "Aku nggak tau apa yang salah denganku hingga dia memilih jauh," balas Askan heran. "Terus kamu nggak ada inisiatif gitu?" tanya Bintang. "Inisiatif apa?" tanya Askan. "Inisiatif apalagi kalau bukan untuk deketin dia," jawab Bintang. Askan menelan ludahnya. "Apa menurutmu aku harus?" tanya Askan meminta pendapat dari Bintang. Wajah Bintang berubah serius saat menatap wajah Askan. "Askan, aku tau seluk beluk kelakuanmu. Meskipun kamu suka menggombal para wanita tapi kamu nggak akan langsung mau gitu aja ngajak mereka masuk dalam suatu hubungan, bahkan kalau aku ingat lagi, kamu ingin jarang sekali mengajak jalan wanita meskipun kamu punya beberapa mantan pacar sebelumnya. Tapi kali ini pengamatanku berbeda dari sebelumnya. Kamu itu tertarik sama Mendaline," ujar Bintang. Wajah Askan terlihat serius. "Kamu asal ngomong aja, nggak ada dasar apapun," ujar Askan. "Siapa yang asal ngomong? aku punya bukti," balas Bintang. "Nggak bukti, jangan berusaha mengelabui aku," tukas Askan. "Ah, terserah kamu. Nanti pas dia udah turun dari kapal ini dan kembali ke kampusnya baru kamu nyesel nggak ketemu sama dia," celetuk Bintang, setelah dia mengatakan kalimat ini, Bintang menjauh dari Askan dan melanjutkan latihan. Sementara itu, Askan melirik lagi ke arah Mendaline. Pada saat yang sama lirikan mata mereka saling beradu. Dalam tiga detik dua pihak yang saling bertatapan itu membeku kemudian mereka masing-masing saling menarik pandangan dan merasa canggung meskipun mereka terpisahkan jarak. Askan memegang senjata laras panjang dan bergabung dengan para rekan sesama teman gabungan. Sementara itu, Mendaline berjalan menjauh dari para prajurit yang sedang berlatih. Grace yang sedang memotret para prajurit gabungan yang sedang latihan itu menyadari bahwa sang teman tiba-tiba menjauh darinya. * "Kamu kenapa?" tanya Grace ketika menghampiri Mendaline saat makan malam. Mendaline melirik mata sang teman. "Maksudmu?" "Maksudku, kenapa tadi kamu tiba-tiba meninggalkan latihan para prajurit?" tanya Grace. "Bukankah kita datang ke kapal ini untuk tujuan penelitian? lalu kenapa harus mengikuti latihan para prajurit?" tanya Mendaline balik. Grace berkata, "Apakah kamu marah padamu karena perkataanku yang terakhir kalinya?" Mendaline menggelengkan kepalanya. "Tidak." Grace duduk mendempet Mendaline sambil memeluk Mendaline. "Menda, aku minta maaf jika kamu marah. Aku tidak benar-benar serius." "Tenanglah, aku tidak marah," balas Mendaline. "Benarkah?" tanya Grace. Mendaline mengangguk. "Setelah besok, kami tidak akan bertemu lagi dengan dia. Masing-masing menjalani aktivitas dan tidak saling terkait," ujar Mendaline. "Baiklah. Jangan diambil serius apa yang aku katakan terakhir kali," ujar Grace. Mendaline mengangguk. * Saat Mendaline hendak mendekat ke arah pintu kabin yang ditempati olehnya, dia berhenti melangkah. Ternyata, Askan telah bersandar di pintu kabin itu sambil melipat kedua tangan. "Jaketku," ujar Askan. Mendaline mengangguk. "Tunggu sebentar," balas Mendaline. Askan agak menyingkir dari pintu kabin dan membiarkan Mendaline masuk ke dalam kabin. Dia menunggu Mendaline keluar dari dalam kamar selama beberapa saat. Mendaline keluar dari dalam kabin sambil memegang jaket militer milik Askan. "Terima kasih," ujar Mendaline sambil menyodorkan jaket itu ke arah Askan. Namun, Askan malah berkata sambil mengeluarkan ponselnya. "Nomor kontakmu!" Mendaline, "...." menatap ke arah wajah Askan dengan tatapan membeo. Askan belum menerima jaket yang disodorkan oleh Mendaline sebab dia menunggu Mendaline menyebutkan nomor teleponnya. "Berikan nomor hp kamu lalu aku terima kembali jaketku," ujar Askan. Ah, jadi Tuan Pahlawan ini sudah mulai mengancam secara halus. "Untuk keperluan apa?" tanya Mendaline. "Agar kita tetap saling berkomunikasi," jawab Askan. "Bagaimana jika aku tidak mau?" tanya Mendaline. "Maka mungkin saja aku akan langsung meminta nomor teleponmu pada komandan angkatan laut Inggris," jawab Askan. Mata Mendaline melotot ke arah Askan. "Kamu mengancam!" Askan tersenyum miring. "Katakan." Mendaline mendengkus dan meraih ponsel Askan lalu mengetik sendiri nomor telepon di papan ketik. Beberapa saat kemudian Askan mengambil kembali ponselnya dan mencoba menelepon nomor itu. Bunyi dering ponsel terdengar dari saku blazer milik Mendaline. Mendaline memegang jaket militer milik Askan di tangan kiri lalu tangan kanannya merogoh ponsel di saku blazer kanan. Kemudian memperlihatkan layar ponselnya yang sedang dalam panggilan ke arah Askan. "Aku tidak menipumu," ujar Mendaline. Askan mengangguk puas, dia meraih jaket militernya dari tangan kiri Mendaline lalu berkata, "Aku menyukai kamu." What?! Dunia rasanya mau kiamat saat pertama kali Mendaline mendengar pengakuan dari Askan. Mendaline membeku untuk sesaat, dia mencerna baik-baik setiap kata yang keluar dari mulut Askan. "Kamu … jangan bicara omong kosong," tuduh Mendaline setelah dia tercengang membeo. Askan mengerutkan keningnya. "Kenapa aku harus bicara omong kosong? sementara apa yang aku katakan sebelumnya adalah kebenaran?" "Ini terlalu cepat," balas Mendaline. "Apanya yang terlalu cepat?" tanya Askan. "Kita baru bertemu selama satu minggu dan malam ini kamu mengatakan menyukaiku. Bukankah ini terlalu cepat? biasanya ini hanya main-main saja. Berhenti bermain-main denganku," jawab Mendaline. Askan tersenyum kecil. "Jadi kenapa kalau baru satu minggu kita berkenalan?" tanya Askan. "Aku hanya mengatakan apa yang aku rasakan padamu bahwa aku menyukaimu, aku tidak meminta atau memaksa kamu untuk menyukaiku. Aku suka kamu, itu hak-ku, kamu menyukai ku atau tidak, itu urusanmu," balas Askan. Mendaline kelagapan, mulutnya mangap-mangap seperti ikan yang kesusahan bernafas ketika berada di daratan. Askan berkata, "Lebam di wajahmu sudah menghilang. Simpan obat salep itu, jika wajahmu lebam atau ada bagian tubuh yang lebam, jangan lupa oleskan salepnya." Askan tersenyum saat melihat reaksi dari wajah Mendaline yang memerah. "Ah, jam empat lagi kapal ini akan sampai di pelabuhan, kamu akan segera kembali ke kampus. Tunggu kabar dariku jika kapal ini kembali lagi dua minggu kemudian," ujar Askan. Askan tersenyum lalu berbalik melangkah kan kakinya meninggalkan Mendaline yang membeo. Setelah menyadari bahwa Askan telah menghilang dari hadapannya, Mendaline buru-buru masuk ke kamar kabin dan menutup pintu. Dia bersandar di pintu sambil menepuk-nepuk dua pipinya dengan telapak tangan. "Mimpi, kan?" Mendaline seperti tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Plak! "Ouh! sakit," rutuk Mendaline setelah dia menampar sendiri pipi kirinya. Setelah benar-benar merasakan sakit di pipi, Mendaline mengusap pipinya dan buru-buru terjun ke ranjang lalu mengubur wajahnya ke dalam bantal dengan perasaan malu bercampur gugup. Sementara itu, Grace telah mengarungi dunia mimpi. * Bintang melirik ke arah kepergian dari Grace dan Mendaline. "Kamu bahkan nggak menawarkan sarapan kepada mereka," cibir Bintang. Askan meneguk teh hangat. "Mereka buru-buru kembali ke kampus," balas Askan. "Kayak tau aja deh," cebik Bintang. "Bukankah ketentuan di surat izin dari komandan angkatan laut Inggris hanya tiga hari? mereka harus mematuhi aturan," balas Askan terlihat seperti tidak peduli. "Hah! aku pikir kalian akan lebih lama terjalin di sini," ujar Bintang dengan nada penyesalan. Askan tak menanggapi dia hanya menikmati sarapan, namun tak ada yang menyadari bahwa sudut bibirnya membentuk senyum. * Saat Mendaline dan Grace hendak memasuki mobil, terdengar suara seorang pria. "Nona Menda!" panggil pria itu dalam bahasa Indonesia. Mendaline menatap pria itu. Pria itu memberikan sebuah rantang yang terbuat dari kayu pada Mendaline sambil berkata, "Tuan Askan memberikan ini untukmu." Mendaline menerima rantang itu. "Saya permisi," pamit pria itu. Mendaline hanya seperti burung beo menatap kepergian orang yang baru saja memberikan dia rantang. "Ada apa?" tanya Grace. Mendaline masuk ke dalam mobil lalu membuka rantang kayu itu. Menu sarapan gaya barat terlihat. "Ah, makanan? pemberian siapa ini?" Grace bertanya-tanya. Sudut bibir milik Mendaline tercetak senyum tipis saat melihat jeruk manis yang dipotong dengan potongan tanda love. Apakah ini artinya tanda menyatakan cinta? "Ah! ada jeruk! aku ingin satu!" seru Grace. "Tidak bisa! ini punyaku!" Mendaline buru-buru menangkis tangan Grace yang ingin mengambil potongan jeruk. "Hei! sejak kapan kamu pelit?!" Grace melotot. "Sejak hari ini," jawab Mendaline. "Mendaline!" Grace melotot ke arah Mendaline. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD