Chapter 10

1433 Words
Wajah Mendaline yang tadinya gugup bercampur senang karena baru saja saja bertemu lagi dengan Askan, kini berubah kaku setelah mendengar pertanyaan dingin yang menusuk dari Askan. Mendaline merasa bahwa Askan sepertinya marah. Wajah Askan terlihat sangat tidak senang saat melihat lebam di wajahmu Mendaline. "Jawab aku, siapa yang melakukan ini? kenapa wajahmu jadi begini?" tanya Askan. Dia tidak bodoh, dengan melihat sejenak saja, Askan tahu bahwa lebam yang berada di wajah milik Mendaline itu pasti adalah bekas pukulan ataupun tamparan keras dari seseorang. Mendaline berusaha menenangkan dirinya, dia tersenyum agak kecil ke arah Askan. "Kamu lupa, bekas tamparan dari ketua perompak masih membekas," jawab Mendaline. "Oh, dan sudah lebih dari dua minggu?" tanya Askan yang sama sekali tidak percaya apa yang dikatakan oleh Mendaline. "Menda, aku bukan anak kecil umur tiga tahun, juga bukan orang dungu yang mudah kau tipu dengan ucapan seperti ini. Aku jelas-jelas tahu bahwa lebam di wajahmu adalah lebam baru." Skakmat. "Akhirnya aku nggak bisa menipumu," ujar Mendaline setelah menarik lalu mengembuskan napas pasrah. Tangan Askan menarik dekat pergelangan tangan Mendaline agar jarak mereka lebih dekat. "Apa yang terjadi? katakan padaku!" Mendaline diam selama beberapa detik, lalu dia menjawab, "Kita baru saja kenal, kenapa aku harus mengatakan semuanya padamu?" Askan menarikkan sebelah keningnya. Ternyata seperti ini jika berurusan dengan perempuan yang keras kepala. "Ok, kita baru saling kenal selama dua minggu lebih. Sekarang mari kita perlahan lebih mengenal saling dekat lagi agar kita bisa saling mengetahui, bagaimana?" Mendaline melirik ke arah lain, dia seperti tidak enak memandangi wajah Askan. "Jika kamu terlalu mengenal dekat aku, aku pikir kamu nggak akan mau lebih dekat lagi denganku, bisa saja kamu menghindar dan meninggalkan aku," ujar Mendaline. "Menda, kita sepakat kan mulai membangun hubungan baru? kenapa kamu berkata begini?" Askan agak kesal setelah mendengar ucapan Mendaline. "Siapa bilang aku sepakat ingin denganmu? terlalu percaya diri," gumam Mendaline gugup. "Jadi … kamu nggak menganggap serius apa yang aku katakan sebelumnya?" tanya Askan. Mendaline hanya diam, dia agak dilema dengan pertanyaan dari Askan. "Ah, jadi kamu belum menyukaiku?" tanya Askan. Mendaline melirik mata Askan. Askan mengangguk mengerti. "Aku ngerti. Sebelumnya aku yang lebih dulu menyatakan suka padamu, namun kamu belum terlalu mengenalku. Kamu bilang kita belum terlalu saling kenal. Baik, mari kita lebih mengenal, dan jangan katakan mengenai jika aku lebih mengenal dekat denganmu maka aku akan pergi meninggalkan kamu. Aku laki-laki Basri, pria Basri selalu menepati janjinya." Mendaline menahan senyum senang. Tiba-tiba tangannya ditarik oleh Askan. "Eh, mau ke mana?" tanya Mendaline. "Aku diberi libur dua hari, mari kita habiskan bersama," jawab Askan. * "Sambil menunggu makanan datang, mari aku oleskan salep pada wajahmu," ujar Askan. "Ah, aku lupa membawa salepnya," desah Askan. Mendaline mengeluarkan salep dari tas kuliah. "Aku bawa," ujarnya. Askan melihat salep itu. "Aku bisa oleskan sendiri, tadi nggak sempat aku oleskan pada wajahku," ujar Mendaline. "Aku ke kamar mandi, kamu tunggu di sini," ujar Mendaline. Askan mengangguk. "Tinggalkan tas dan buku kuliahmu sebagai penjamin," balas Askan. Mendaline tertawa pelan. "Aku nggak akan lari." "Siapa tahu?" balas Askan. "Huh, sudah aku bilang aku nggak akan lari. Tunggu di sini, aku ke kamar mandi," ujar Mendaline. Askan mengangguk. Mendaline melangkah meninggalkan ruang restoran dan menuju ke kamar mandi. Setelah kepergian Mendaline ke kamar mandi, Askan terlihat merogoh ponsel dari saku celana militer dan terlihat mengirim sebuah pesan ke seseorang. 'Kakak Ipar, aku ingin bantuanmu. Tolong berikan aku informasi lengkap dari gadis yang bernama Mendaline Septian Nata. Terima kasih.' Pesan terkirim ke nomor kontak yang diberi nama 'Kakak Ipar'. Sementara itu, di dalam kamar mandi, Mendaline sedang mengolesi wajahnya dengan salep lebam. "Laki-laki tua itu memang benar-benar sialan," desis Mendaline. "Tunggu saja, suatu saat aku pasti akan membalasmu," ujarnya kesal. Tulang pipi kanannya bukan terlihat merah melainkan itu telah membiru, sementara itu pelipis kanannya juga membiru, ditambah lagi rahang kanan bawah. Setelah selesai mengolesi obat salep pada wajahnya, rasa sejuk yang nyaman mulai terasa pada lebam di wajah, Mendaline memejamkan mata sejenak sambil berkata, "Um … rasanya nyaman." * Pelayan restoran menunduk singkat pada Askan sambil berkata, "Selamat menikmati makanannya, Tuan." Askan mengangguk. "Terima kasih." Pelayan pria itu pergi ke dapur, tiga detik kemudian Mendaline yang baru saja dari kamar mandi duduk di tempat miliknya. "Sudah ada yah makanannya." Askan mengangguk, dia memberikan sendok dan garpu pada Mendaline sambil berkata, "Ayo makan." Mendaline menerima sendok dan garpu. Mereka menikmati makan siang bersama di sebuah restoran mewah. Askan memperhatikan wajah Mendaline. "Bagaimana rasa salepnya?" tanyanya. "Salep ini sejuk jika dioleskan di wajah, aku suka. Hanya beberapa jam saja setelah mengolesi salepnya pada wajahku, lebam akan tersamarkan. Aku ingin lebih banyak lagi salep ini, ah itu jika kamu nggak keberatan," jawab Mendaline. Askan mengangguk. "Baik. Akan aku berikan lebih banyak lagi salepnya padamu besok," balas Askan. "Um? besok?" tanya Mendaline. Askan mengangguk. "Besok kita akan jalan-jalan lagi," ujar Askan. "Aku nggak bilang kalau besok aku akan setuju jalan-jalan sama kamu," ujar Mendaline. Askan tersenyum miring. "Kamu pasti mau." "Jangan terlalu percaya diri," ujar Mendaline. "Oh, jangan lupa, kita telah sepakat sebelumnya bahwa kita akan saling mengenal lebih dekat," ujar Askan. "Sh! kamu!" Mendaline agak melotot ke arah Askan. Askan terkekeh. Mendaline menunduk dan melanjutkan makan siang, sementara itu Askan yang tadi terkekeh, kini wajahnya berubah agak dingin dan datar setelah melihat lebam di wajah Mendaline. Entah mengapa, cengkraman di sendok dan garpu jadi erat. * Pada malam harinya, Askan dan Mendaline sedang jalan-jalan di sekitar trotoar jalan. "Sudah malam, aku akan mengantarmu pulang," ujar Askan. Mendaline menggelengkan kepalanya. "Nggak perlu. Kita berpisah di sini saja, aku bisa naik bus atau taksi ke rumah. Sudah jam segini, nggak mungkin lagi kembali ke kampus untuk mengambil mobil," balas Mendaline. "Menda, aku tau kamu nggak ingin aku tau di mana rumahmu, tapi bisakah kamu membiarkan salah satu temanku untuk mengantarmu pulang?" tanya Askan. Mendaline diam selama beberapa detik. "Askan, percaya apa yang aku katakan. Meskipun kamu mengantarku dengan mengenakan setengah dinas militer, tapi kamu tetap nggak akan bisa masuk ke rumahku," ujar Mendaline. "Baik, kalau begitu izinkan aku mengantarmu pulang hanya di depan rumahmu," balas Askan. Mendaline diam selama beberapa detik. "Baik, temanku saja yang mengantar kan kamu?" ujar Askan. Mendaline mengangguk setuju. * Sebuah mobil hitam berhenti di depan gerbang rumah mewah. Sebelum Mendaline turun dari mobil, dia berkata pada supir. "Terima kasih telah mengantar saya. Ah, kamu yang memberikan sarapan waktu itu kan?" Supir mengangguk. "Benar, Nona." Mendaline turun dari mobil, dia berkata, "Aku melihatmu pergi lebih dulu." Supir mengangguk. Mobil terlihat menjauh dari depan gerbang rumah itu. Setelah Mendaline merasa bahwa mobil yang tadi dia tumpangi oleh nya telah pergi, dia memberanikan diri masuk ke gerbang rumah, namun tanpa dia sadari, mobil itu berhenti di sebuah persimpangan, supir yang tadi keluar dari kemudi dan buru-buru berjalan cepat ke arah rumah yang tadi. Saat Mendaline memasuki pintu utama rumah itu, sebuah tamparan keras mendarat di pipi kirinya. Plak! "Perempuan sialan!" maki pria paruh baya yang beberapa waktu lalu melakukan hal yang sama padanya. "Honey!" teriak seorang wanita yang berusia kira-kira empat puluh lima tahun. Wanita itu buru-buru memeluk suaminya. Wajah pria paruh baya itu terlihat marah ke arah Mendaline. "Menda, kenapa kamu tidak menghubungi daddy jika pulang malam?" tanya perempuan itu. "Aku banyak kerjaan, Ma," jawab Mendaline. "Kamu tidak tahu diuntung!" teriak lelaki paruh baya itu. Sang istri menenangkan suaminya. "Istirahat dulu, Honey. Dokter mengatakan kamu tidak boleh terlalu lelah," ujar sang istri. Mendaline menahan air mata saat menatap ibu dan ayah tirinya. Dia berjalan ke kamar. "Mau ke mana kamu?!" bentak ayah tirinya. "Sayang, mari aku gantikan baju tidurmu," rayu sang istri agar sang suami tidak marah. "Sudah besar jadi dia makin keras kepala di sini," ujar suaminya. "Biar bagaimana pun juga Mendaline sudah dua puluh lima tahun, dia sudah bisa memutuskan apa yang ingin dia lakukan. Mungkin saja dia masih ingin kembali ke Indonesia untuk bertemu dengan saudara ayahnya," ujar sang istri. Wajah suami berubah acuh tak acuh dan dia dingin. Di balik pintu, supir itu ternyata menguping. * Askan melihat pesan email yang dikirimkan oleh kakak iparnya. Mendaline Septian Nata, 25 tahun, lahir di Surabaya. Ibu, Catherin Airin, 45 tahun pengusaha batu bara di kalimantan, asli Singkawang–Kalimantan Barat, ayah Mark Immanuel Nata, wafat pada usia tiga puluh lima tahun, sebelumnya adalah pengusaha elektronik di Surabaya. 15 tahun lalu pindah ke London setelah Catherin menikah dengan Barnett Edward, 65 tahun, politikus. Informasi lainnya masih dibaca oleh Askan, lalu teleponnya berdering. "Halo," ujar Askan. "Tuan Muda, Nona Menda sering dipukuli oleh ayah tiri beliau," ujar laki-laki dari seberang telepon. Rahang Askan mengetat. "Dari dulu aku paling tidak suka melihat laki-laki pecundang yang main tangan terhadap wanita. Dasar kakek-kakek busuk tau tanah." *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD