Chapter 11

1532 Words
"Aku ingin beberapa orang tinggal dekat di rumah itu, awasi terus apa yang dilakukan oleh ayah tirinya dan laporkan semuanya padaku sesegera mungkin." Askan memberi perintah pada supir yang aslinya supir itu adalah bodyguard terlatih milik Basri. "Baik, Tuan," sahut supir. Askan mengakhiri telepon. Setelah mengakhiri percakapan yang sangat tidak mengenakan baginya, Askan kembali melirik ke arah layar ponsel di mana sebagian isi dari email yang dikirimkan kakak ipar belum dibaca olehnya. "Politikus … pernah mencalonkan diri di kursi walikota tetapi gagal?" Askan menaikkan sebelah alisnya. Kemudian dia membuka sebuah file di mana ada beberapa gambar atau foto pribadi dari Barnett baik itu di depan publik maupun di tempat privasi. "Sudah umuran tapi kelakuannya menjijikan. Berani sekali memukul wanita, cuih!" Askan merasa berang ketika memandangi foto Barnett yang seluruh rambutnya putih. Barnett adalah politikus asal Inggris, dia sangat berambisi ingin menjadi walikota London, sudah tiga kali gagal dalam mencalonkan dirinya menjadi walikota London, dia menikah dengan Catherin bukan karena tujuannya murni karena cinta melainkan ada maksud tertentu. "Janda kaya dengan peninggalan bisnis batu bara?" Askan menaikkan sebelah alisnya. "Perbedaan usia mereka dua puluh tahun. Bagaimana mungkin Mama Menda bisa jatuh hati pada pria tua ini?" heran Askan. Jiwa kejulitan milik Askan mulai meronta-ronta keluar. "Dibandingkan dengan Ayah yang juga umur enam puluh tahun, Ayah Bilal bahkan masih tampan dan segar. Orang tua bau tanah ini malah menyebalkan, dasar kakek-kakek tua," cibir Askan sambil melihat foto milik Barnett. "Huh … akan lebih mudah jika dia orang Indonesia, sayangnya malah bukan," ujar Askan. Askan mengirim pesan pada seseorang, setelah itu dia meletakan ponsel di atas nakas asrama dan ke kamar mandi untuk melakukan ritual mandi malam. Bintang masuk ke kamar asrama yang memuat empat orang itu. "Jes, Askan mana?" tanya Bintang pada teman yang sedang menutup mata. "Kau nggak lihat? si Rajes udah ke alam baka, udah tidur tenang dia," canda seorang teman lagi. Tiba-tiba Rajes membuka matanya. "Amit-amit jabang bayik! aku masih mau umur panjang!" Rajes melotot ke arah sang teman. Pintu dibuka lagi, Candra masuk dengan selimut dan bantal ke dalam kamar itu. "Aku tidur di sini saja. Otto, kamu ganti tidur ke tempatku gih!" Candra langsung membanting badan di ranjang milik Askan. "Jangan harap! kalian di sebelah sepi macam kuburan," balas Otto yang tadi bercanda saat Bintang masuk ke kamar. "Ck! nggak enak kalau kita ganjil gini. Apalagi di sebelah cuma tiga, berasa aku yang tidur di tengah jadi mikir yang nggak-nggak," ujar Candra. "Kalian berdua itu sama, tukang mikir yang nggak-nggak, otak nggak bener. Untung dapat istri psikolog militer jadi bisa terobati," celetuk Bintang ke arah Candra dan Otto. Otto melirik ke arah Bintang. "Aku mo ganti profesi istri ah. Kayaknya kalau punya istri guru lebih bagus, lemah lembut," ujar Otto. "Hahahaha!" Bintang terbahak. Askan keluar dari kamar mandi sambil mengenakan handuk. "Oh, jadi kamu rencana mau cerai sama, Meddy?" tanya Askan. "Amit-amit jabang bayik!" bantah Otto. "Tuhan berkata, apa yang sudah dipersatukan oleh Tuhan tidak dapat diceraikan oleh manusia!" Otto cepat-cepat berubah menjadi alim. Askan memakai kaos militer angkatan lautnya, lalu melirik ke arah Otto. "Tadi aku dengar kamu ingin ganti profesi istri dari psikolog ke guru, katanya guru lebih lemah lembut, kok sekarang malah berubah pikiran?" "Ck! kamu kayak nggak tau aja deh. Aku cuma ngomong asal-asalan aja kok, jangan dibawa serius," balas Otto. "Beberapa hari ini kok aku justru pernah lihat kamu mondar-mandir di depan salah satu marinis cewek angkatan laut Inggris? apa jangan-jangan kamu berniat punya kosong dua di sini? sebagai cadangan mungkin?" tuduh Rajes. "Cadangan ndasmu! kosong dua dari Hongkong?" Otto mencibir ke arah Rajes. Rajes mengedikkan dua bahunya, sementara itu Candra sudah menguasai seluruhnya ranjang milik Askan. "Terserah kalian kalau kalian mau ganti istri kek, ganti ibu-bapak kek, tapi tempat tidur ini sudah jadi milikku. Siapa yang tidur di sini sebelumnya mohon berganti tempat denganku, silakan minggat ke kamar sebelah," ujar Candra sambil menunjuk sebelah dinding. Pintu terbuka lagi, kali ini dua teman Askan yang lain datang sambil membawa bantal dan selimut masing-masing di pelukan mereka. Lima orang yang sebelumnya berada di dalam kamar asrama itu memandangi dua teman mereka dengan tatapan cengo. "Kenapa kalian berdua malah ikutan datang ke sini?" tanya Candra. "Ck! nggak enak di sebelah. Apalagi kamar mandinya, masa beol cebok pakai tisu, berasa masih ada lengket-lengketnya," ujar seorang teman dari dua teman yang masuk ke kamar itu. "Hahah!" Candra terbahak, dia menunjuk ke arah teman yang baru saja berkata demikian. "Tanya si Koko, dia nggak betah di asrama ini padahal belum satu hari," ujar Candra. "Perasaan di tengah laut juga pake tisu deh," ujar Askan sambil mengenakan celana training. Semua orang mengangguk. "Tapi aku nggak pakai tisu pas cebok," ujar Askan sambil mengeringkan rambut cepaknya. "Eh? jadi pake apa? di toilet sana kan nggak ada spray dan air cebok," ujar Candra. Beberapa detik kemudian dia melotot ke arah Askan dan menunjuk ke arahnya. "Kamu nggak cebok selama dua minggu di kapal?" "Hahahahahaha!" semua teman-teman terbahak hebat. Askan mencebikkan bibirnya. "Seperti kalian cebok pakai tisu saja. Pasti kalau pertama kali dilap ada lengket-lengketnya kan?" "Hahahahahaha!" Candra dan yang lainnya terbahak-bahak. * Pada hari berikutnya semua orang berkumpul untuk sarapan bersama. "St! jalan-jalan yuk!" ajak Rajes ke arah Askan. Bintang melirik ke arah Askan lalu melirik ke arah Rajes. "Dia udah punya janji sama gebetan," balas Rajes yang mewakili jawaban dari Askan. Rajes menaikkan sebelah alisnya. "Siapa?" tanyanya. Candra melirik serius ke arah Rajes. "Selama tiga hari pertama kita latihan bersama, kamu sama sekali nggak lihat dengan jelas?" Rajes menggelengkan kepala. "Ah, sudah aku duga, matamu picek," cibir Bintang. "Pfft!" beberapa teman menahan tawa. Ponsel Askan bergetar, notifikasi pesan email masuk. Saat dia membawa pesan itu, dia menaikkan sebelah alisnya. 'Hampir pailit'. Dana yang mengalir keluar dari kas PT. Tjen Tambang ke luar negeri selama lima tahun terakhir ini sangat mengejutkan. "Perusahaan ini nggak bayar pajak?" Askan hampir tercengang. "Ada apa dengan pasangan suami-istri ini?" Askan bahkan heran saat melihat dua nama yang tertera di situ. Cathrine Airin dan Barnett Edward. Ponsel bergetar lagi. Pesan dari orang lain masuk. Askan membuka pesan itu. 'Nona Menda baru saja keluar rumah.' Askan tersenyum kecil, dia meneguk habis teh dan berdiri. "Aku lapor." "Ke mana?" tanya Rajes. "Komandan," jawab Askan. "Maksudku mau ke mana?" tanya Rajes. "Lupa ingatan lagi nih anak. Bukan cuma matanya aja yang picek tapi kepalanya juga picek," ujar Candra. "Hei!" Rajes melotot ke arah Candra. * Saat kaki Mendaline berjalan di sekitaran kampus, dia menerima telepon dari Askan. Mendaline menahan senyum senang saat melihat layar ponsel. "Hum?" ujar Mendaline. "Aku di depan kampusmu," ujar Askan. Mendaline melotot. "Lagi?!" Beberapa saat kemudian dua orang beda gender itu berjalan saling beriringan di sekitar kampus. "Kamu sudah sarapan?" tanya Askan. Mendaline menggelengkan kepalanya. "Buru-buru," jawabnya. Askan menggenggam tangan kanan Mendaline. "Kalau begitu ayo sarapan!" "Kamu sudah sarapan?" tanya Mendaline. "Aku lapar lagi," jawab Askan. "Hei? apa maksudnya lapar lagi?" tanya Mendaline. "Artinya aku ingin makan," jawab Askan. "Ck! dasar." Mendaline agak mencebik. Beberapa saat kemudian Askan dan Mendaline duduk di sebuah restoran. Roti panggang, sosis, telur, dan bacon dan s**u disajikan di atas meja. Askan memandangi menu sarapan itu. Sementara itu Mendaline sudah mulai menggigit bacon dan roti panggang. "Ada apa? kenapa hanya melihat saja makananmu?" tanya Mendaline. Askan menggaruk pelan pelipisnya, dia menjawab, "Jangan tersinggung, aku nggak makan daging babi." Mendaline tiba-tiba berhenti makan. Dia menatap wajah Askan. "Nggak apa-apa, kamu makan, pasti lapar kan?" tanya Askan mempersilakan Mendaline melanjutkan makan. "Kamu … mayoritas?" tanya Mendaline. Askan mengangguk. "Ya." Mendaline meletakan pisau dan garpu lalu meminum jus jeruk. Kemudian dia berdiri dan meraih tas dan tangan Askan. "Ayo!" ajak Mendaline. "Kamu nggak habiskan makananmu," ujar Askan. "Ada restoran turki di depan, itu rasanya enak. Pagi seperti ini kami bisa makan makanan enak," balas Mendaline. Askan berhenti berjalan, hal ini membuat Mendaline juga berhenti berjalan. "Ada apa?" tanya Mendaline. "Aku toleran, nggak perlu rasa nggak enak," ujar Askan. Mendalind agak mendekat ke arah wajah Askan lalu berkata, "Aku lebih toleran dari siapapun." Askan menaikkan sebelah alisnya. "Ayo kembali dan habiskan makananmu, setelah itu kami akan melanjutkan jalan-jalan hari ini," ujar Askan. "Aku nggak ada nafsu makan lagi, ingin makan di tempat lain, ayo!" Mendaline menarik tangan Askan dan melangkah menjauh bersama Askan. * Mendaline menatap mobil di depannya, malam telah menghampiri mereka dan kini saatnya mereka pulang dan beristirahat di tempat masing-masing. "Sudah kubilang, nggak perlu mengantarku pulang," ujar Mendaline. Dia tidak ingin masuk ke dalam mobil itu, namun Askan yang bersandar di pintu mobil yang sedang terbuka itu berkata, "Besok aku akan melanjutkan latihan lagi. Selama dua minggu kami akan terombang-ambing di tengah lautan bebas. Setidaknya biarkan aku mengantarmu pulang untuk malam ini." Mendaline diam selama beberapa detik, kemudian dia mengangguk. "Di depan gerbang rumah saja," ujarnya. Askan mengangguk. Dalam perjalanan pulang, Askan dan Mendaline terlibat percakapan ringan. "Kau tinggal bersama orang tua?" tanya Askan. Mendaline mengangguk. "Aku pikir di umur yang dua puluh lima tahun dan sudah sangat dewasa ini, kamu akan tinggal di tempat terpisah dari orang tuamu," ujar Askan. Kepalan tangan Mendaline terkepal erat, dia diam cukup lama, Askan menyadari perubahan suasana hati dari Mendaline. Diam-diam Askan mencebik dalam hati. 'Aku salah bicara, dasar mulut bodoh!' "Hanya dalam mimpi jika ingin tinggal sendiri," balas Mendaline setelah sekian lama diam. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD