Mencari Maya

2010 Words
Selama acara pembukaan tower perkantoran dari Hadinata Group, pikiran Ibra tidak bisa jauh-jauh dari seorang wanita yang memandangi papan rangkaian bunga di depan lobi tadi. Setelah acara potong pita, foto bersama dan penandatanganan serah terima jabatan di perusahaan, kali ini diadakan lunch break dengan makan siang bersama. Ketika Ibra hendak melangkah ke kursi tempat ia akan menyantap makan siangnya, Toni—asisten pribadinya kemudian melangkah mendekat. Toni berucap pelan. “Wanita yang Anda lihat tadi, benar dia adalah Maya.” Wajah Ibra langsung sumringah. “Dia masih ada di lobi? Aku mau menemui dia sekarang.” “Tidak bisa, tuan.” Toni menghalangi langkah Ibra. “Banyak tamu undangan dan rekan bisnis yang harus Anda sapa serta temani untuk mengobrol. Nyonya Tania juga sudah berpesan pada saya agar tidak membiarkan Tuan pergi terlebih dahulu dari acara.” Ibra mengusap wajahnya frustasi. Jika mempunyai acara besar di perusahaan, kebiasaan Ibra adalah meninggalkan acara terlebih dahulu sebelum acara benar-benar selesai. Ibra tidak suka keramaian dan basa-basi, ia juga lelah harus berpura-pura ramah terhadap rekan bisnis yang tidak ia sukai. “Terus kapan lagi aku bisa ketemu Maya, Ton?” Tanya Ibra frustasi. Dari gerak-gerik tubuhnya juga terlihat bahwa ia tidak tenang. “Anda tidak bisa menjalin hubungan dekat dengan sembarang orang, Tuan.” Jawab Toni memperingatkan. “Maya bukan sembarang orang.” Ibra menatap wajah Toni dengan tajam. “Cari tahu keberadaan Maya sekarang. Aku tidak mau tahu, selesai semua urusanku, aku harus bisa menemui dia.” Ibra kemudian meninggalkan Toni yang terlihat terkejut dengan ucapan Ibra dan kemudian Ibra melangkah menuju ke meja ibunya, saudara-saudarinya dan tentu saja bersama Kinan.  “Bicara apa kamu sama Toni?” Tanya Tania begitu anak sulungnya duduk disampingnya. “Kelihatan serius sekali dan kamu jadi tidak tenang.” “Bukan apa-apa.” Jawab Ibra, berusaha santai sambil mengusap dahinya. Sambil mengiris daging steak-nya, Tania berbisik lagi kepada Ibra. “Kinan cantik kan hari ini?” Ibra mengalihkan tatapannya kearah Kinan yang duduk di seberangnya dan sedang mengobrol ringan bersama saudarinya. Iya, Kinan terlihat cantik dengan white short dress yang ia pakai dan jepit rambut putih yang menjepit rambut hitam indahnya. Make-up Kinan natural, namun tetap memberikan kesan mewah dan memukau pada wajahnya. “Mama yang belikan semua yang dia pakai hari ini.” Lanjut Tania. “Nanti jangan lupa, puji dia cantik agar dia senang.” Perut Ibra seketika mulas. Ia memutar matanya sekilas, tapi gerakannya barusan ditangkap oleh Abian—adik bungsunya yang langsung menahan senyum mengejeknya mati-matian. Ibra mengambil pisau steaknya dan memotong steak dengan kesal. Ia tahu bahwa Abian pasti juga tahu bahwa Ibra sudah lelah dengan segala suruhan ibunya. *** Dulu saat masih menjalin hubungan, dari pacaran hingga bertunangan, Maya dan Arga membangun sebuah restoran all you can eat untuk masakan ala Prancis. Maya masih ingat bahwa ia sampai menghabiskan seluruh tabungannya dan sampai berhutang pada Papanya untuk membangun bisnis ini bersama Arga. Tapi ketika bisnis restoran semakin berkembang, karir Arga semakin menanjak, pendapatan Arga semakin tinggi, Arga malah berselingkuh dengan seorang staff di kantor notaris miliknya. Kinan melangkahkan kakinya masuk ke restoran ala Prancis miliknya dan Arga. Banyak staff menyapanya, bahkan beberapa diantara mereka senang karena bisa bertemu lagi dengan Maya. Tapi ada yang berbeda dengan restoran ini, restoran ini menjadi… sepi. “Akhirnya kamu datang.” Sapa Arga dengan senyumannya di depan pintu ruang meeting restoran. “Ayo masuk, ada yang harus ia bicarakan.” Arga sudah menggenggam tangan Maya. Tapi secara refleks Maya menampik tangan Arga dan memberinya tatapan benci. “May—” Maya tidak memperdulikan ucapan Arga. Ia masuk begitu saja ke ruang meeting dan duduk di salah satu kursinya. “Jadi, apa yang mau kita bicarakan?” Sesaat setelah bertanya seperti itu, Maya membenarkan kata-katanya. “Membicarakan soal restoran ini.” Hal itu langsung membuat Arga menelan semua kata-kata yang sudah ia persiapkan dari rumah. Pasalnya, dia awal Arga ingin menanyakan tentang kelanjutan hubungan mereka berdua. Maya memang sudah mengatakan putus dan ingin membatalkan pernikahan mereka berdua. Tapi baik orangtua Maya dan Arga, masing-masing keluarga belum sepenuhnya mengetahui tentang keputusan ini. Arga kemudian memilih bersifat professional. Ia duduk di depan Maya dan membuka laptopnya. “Pendapatan restoran kita semakin menurun, May. Kerugian semakin banyak disini.” Arga lalu menatap Maya. “Restoran kita semakin sepi begitu ada salah satu youtuber yang berfokus dengan konten makanan kemari. Dia bilang kalau dia kurang puas dengan rasa makanan kita, jenis makanan kita dibilang membosankan dan standar, dan dia juga protes dengan pelayanannya yang bisa dibilang individual.” “Jelas individual. Ini restoran yang mengusung all you can eat, bebas mengambil makanan yang dia mau sendiri sesuai durasi waktu.” Jawab Maya sinis. Arga berusaha menurunkan ego. “Restoran kita semakin kacau semenjak kamu membatalkan pertunangan kita, May. Kita jadi pisah dan enggak bisa memperbaiki bisnis ini lagi.” “Mungkin maksud kamu, semenjak kamu selingkuh.” Maya menekan tiap katanya. “Semenjak kamu selingkuh siapa yang selalu kesini dan cek semua keadaan restoran dari makanan sampai keuangan? Cuma aku, Ga! Dan kamu sibuk senang-senang dengan wanitamu itu.” Arga yang tadinya hendak tenang langsung menatap Maya tidak suka. Memang sulit menjalin bisnis dengan wanita, karena wanita selalu mengutamakan perasaan dan susah memakai nalar. “Lalu kamu lepas tangan begitu aja, May? Divisi sosial media nggak ada yang ngurus, nggak ada promosi lagi, nggak ada hari promo di restoran ini seperti biasanya atau event menarik yang lain. Ini semua bukan sepenuhnya salah aku, May. Kamu juga menelantarkan bisnis ini.” Arga berusaha membalik keadaan, ia tidak ingin salah di mata Maya. “Itu semua terjadi karena aku butuh kamu saat itu!” Maya tidak bisa menahan diri untuk meneteskan air matanya. “Aku butuh partner untuk berkeluh kesah, untuk merundingkan semuanya. Tapi kamu kemana, Ga? Kamu berfoya-foya, menyenangkan p*****r itu. Wanita yang kamu tiduri karena tidak bisa meniduri aku, wanita yang kamu belikan perhiasan dan ajak berlibur ke luar negeri dengan mudahnya sedangkan saat bersama aku apa pernah kamu melakukan itu? Kamu acuh, Ga!” Maya menekan dadanya. Sesak, rasanya begitu sesak menatap wajah Arga—yang ternyata masih ia cintai walaupun sudah menyakitinya sedalam itu. Maya memang sudah lama menahan tentang rasa sakitnya. Tapi di depan Arga yang bahkan tak merasa bersalah sedikitpun, Maya pikir bahwa Arga harus tahu mengenai sakit hatinya. “Wanita itu Namanya Olivia! Dan Olivia bahkan lebih segalanya dari kamu! Lebih cantik, lebih seksi, lebih memuaskan dan oh, tentu saja lebih perduli dengan aku. Olivia selalu ada, bukan selalu menuntut agar aku bisa menjadi lelaki baik dan mapan agar bisa dihargai oleh keluarganya!” “b******n!” Teriak Maya keras sampai tangannya melayang menampar pipi Arga dengan keras. Tangan Maya bergetar, wajahnya menatap Arga tak habis pikir dan hatinya benar-benar merasa begitu sesak. Arga menggerakan ujung bibirnya dan memegang pipinya yang berdenyut karena tamparan Maya. “Mau kamu sekarang apa, May? Menutup restoran ini?” Maya masih terdiam, menatap kearah lain dan membekap mulutnya untuk meredam isakannya yang sulit untuk berhenti. Sudah terlalu banyak rasa sakit hati yang ia alami. “Aku pergi, May. Aku sudah menyerah untuk menjalankan bisnis dengan kamu.” Ibra melangkah terlebih dahulu keluar dari ruangan. Meninggalkan Maya yang akhirnya dapat berteriak keras, menekan dadanya sekuat mungkin ia bisa, berusaha tidak menangisi Arga yang membuat dirinya patah hati seperti orang gila. Nyatanya, mencintai seseorang terlalu dalam memang sangat berbahaya jika cinta itu dapat pupus. *** Kinan duduk canggung di kursi penumpang mobil Tesla yang dikendarai Ibra malam ini. Setelah acara pembukaan tower perkantoran Hadinata Group, Ibra dan mamanya melakukan rapat bersama kolega dari Prancis, kemudian rapat keluarga di rumah kediaman Hadinata hingga malam hari. Kinan tentu saja selalu mengikuti kegiatan sampai malam karena ia merupakan asisten Tania—Mama Ibra. Namun hal itu ternyata sengaja dilakukan oleh Tania. Mamanya itu sengaja menyuruh Ibra mengantarkan Kinan, padahal di rumah keluarga Hadinata juga banyak supir yang biasa mengantar Kinan. Namun Tania berasalan bahwa tidak baik Kinan pulang sendiri semalam ini. Mobil yang Kinan dan Ibra naiki memang nyaman. Tapi suasana di dalam mobil jelas tidak nyaman. Kinan sadar bahwa Ibra merasa lelah oleh kegiatannya hari ini dan kemudian masih menuruti mamanya untuk mengantarkan Kinan. Dan juga, Ibra terlihat tidak sungkan menunjukkan rasa malasnya mengantarkan Kinan. Terbukti dengan Ibra yang menyetir dengan tangan kiri memegang kemudi, sedangkan tangan kanan diletakkan di tepian pintu mobil untuk menyangga kepalanya. Penampilan Ibra bahkan terlihat lelah. Wajah yang kuyu walaupun tetap tampan, rambut yang sedikit acak-acakan, kemeja berwarna biru tua yang sudah ia gelung sampai siku di bagian lengan dan dua kancing teratas yang terbuka. Setampan apapun Ibra, tetap saja wajah juteknya membuat Kinan makin tidak nyaman. “Eum, maaf, Pak.” Kinan menginturpsi lamunan Ibra yang masih memikirkan Maya. “Bapak pinggirkan saja mobilnya. Bapak jelas kelihatan lelah, enggak seharusnya bapak mengantarkan saya. Saya bilang pulang naik taksi online.” Kata Kinan. “Dan membiarkan saya kena omel ibu saya?” Ibra melirik Kinan dengan sangsi. “Saya nggak bakal bilang sama Bu Tania, kok!” Kinan mengangkat jari telunjuk dan tengahnya membentuk huruf V. “Suer!” “Nggak ada jaminan. Mulut wanita siapa yang tahu.” Jawab Ibra ketus, membuat Kinan langsung menutup mulutnya. Kinan diam-diam mencebikkan bibirnya. Memang sih Ibra sangat tampan, namun ia baru tahu bahwa sifat Ibra tidak seramah anak-anak Ibu Tania yang lainnya. Tanpa Kinan sadari, Ibra melirik Kinan lagi. Asisten Mamanya itu sedang mencebikkan bibirnya kesal. Ibra tahu pasti ia sudah membuat Kinan dongkol dan Ibra bersyukur akan hal itu. Agar Kinan tidak mau dengannya dan menolak jika dijodohkan olehnya. “Ngomong-ngomong, kamu cantik hari ini.” Ucapan Ibra sontak membuat kepala Kinan langsung menoleh kearahnya dan menatapnya tak percaya. Ibra lalu berdeham dan mengusap tengkuknya. “Mama saya yang suruh bicara seperti itu sama kamu. Katanya biar kamu senang.” Kinan memejamkan matanya rapat-rapat. Menahan diri agar tidak mengumpat. Ia kembali memutar kepala dan menatap kedepan, lalu berusaha menampakkan senyumnya. “Terimakasih untuk pujiannya, Pak Tama.” Kata Kinan penuh penekanan. Ibra memilih tidak menanggapi. Ia hanya melajukan mobilnya lebih cepat, tidak sabar bisa kembali menemui Maya. *** Maya mengernyitkan kening ketika ia melihat orang b******u di hutan kota Gelora Bung Karno pada malam ini. Taman ini begitu indah di malam hari. Kinan benar, ia bisa sesakali kemari untuk menenangkan pikirannya. Kinan pernah merekomendasikan tempat ini, sahabatnya itu beberapa kali pergi ke hutan kota Gelora Bung Karno jika penat dengan aktivitas di kantor. Maya menghentikan langkahnya di tengah-tengah jembatan kayu, menatap aliran air di kolam buatan ini. Berkali-kali Maya mengumpati kebodohannya karena terbawa emosi ketika berunding dengan Arga mengenai masalah restoran. Mengumpat karena ia bisa-bisanya menangis dihadapan Arga dan membuat dirinya terlihat lemah. Yang tidak Maya sadari kali ini. Tepat setelah mengantarkan Kinan, Ibra menyusulnya kemari berdasarkan informasi dari asisten pribadinya. Ibra berlari, mencari Maya di hutan buatan di tengah gedung-gedung kota Jakarta yang melingkupinya. Hingga langkah Ibra melambat dan entah kenapa ia menghela napas lega ketika akhirnya ia dapat menemukan Maya. Ibra tidak menunggu lama lagi untuk segera menghampiri Maya. “Maya!” Maya yang sedang menatap aliran air sontak mengernyit. “Kaya suara Ibra.” Maya tersenyum miris. “Tapi nggak mungkin. Dia udah ninggalin gue gitu aja.” “May,” Namun Ibra menarik pergelangan tangannya, memutar tubuh Maya menatapnya dan langsung memeluknya dengan erat. Ibra sedikit menundukkan tubuhnya. Menyurukkan kepalanya ke tengkuk Maya, secara tidak langsung mencium aroma manis rambut Maya yang membuatnya terbuai. Ibra memejamkan matanya, ia tidak pernah merasa setenang ini memeluk seorang wanita. Rasa lelah akibat semua aktivitasnya hari ini seolah sirna ketika ia dapat memeluk Maya. “Ibra?” Maya memastikan. “Iya, May. Ini aku, Ibra.” Setelah berucap seperti itu, hening setelahnya. Maya tidak merespon apapun, tidak terlihat senang sama sekali. Ibra kemudian melepaskan pelukannya, melihat Maya yang hanya menundukkan wajahnya hingga rambut indahnya menutupi wajah cantik yang ingin sekali terus ditatap oleh Ibra. Sesaat kemudian, hanya isakan yang Ibra dengar dari Maya. “Maya, kenapa nangis?” kedua telapak tangan Ibra memegang pipi Maya dengan lembut, membuat Maya menatapnya. Maya tapi kemudian tertawa di dalam tangisannya hingga makin membuat Ibra bingung. “Aku sudah gila kali, ya?” Maya mengusap air mata di pipinya, masih tertawa kecil. “Aku kira nggak akan ketemu kamu lagi. Aku kira, kamu dan aku hanya kenangan.” Ibra sontak menghela napas lega. Ia mengusap air mata di pipi Maya dan memeluknya. “Maafin aku, May.” “Kenapa kamu pergi saat itu?” “Aku nggak bisa terlalu dekat dengan seorang wanita, May. Karena akan membahayakan wanita itu dan juga aku.” Ibra kemudian melepaskan pelukan Maya lagi dan menatap wanita cantik itu. “Aku kira aku bisa melepas kamu semudah itu, May. Tapi kenyataan tidak sesuai realitanya.” Maya hanya menatap Ibra tidak paham. “Kamu terlalu sulit untuk dilupakan, May. Wanita pertama yang memberikan sesuatu yang berharga dalam dirinya untuk aku.” Ibra tidak bisa lagi menahan diri. Ibra menarik Maya semakin dekat dalam dekapannya, menghapus jarak diantara keduanya dengan menempelkan bibirnya pada bibir Maya. Mengulum bibir itu dengan keras, menciumnya dengan menuntut saat itu juga. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD