Keterkejutan Maya memang tidak bisa dihindari ketika Ibra menciumnya di wilayah hutan kota. Tapi rasa rindu juga menyeruak begitu saja dari dalam diri Maya ketika bibir Ibra kembali mencium bibirnya. Mencium bibirnya dengan lembut namun menuntut. Mata Maya terpejam, tangannya meremas kemeja Ibra di bagian d**a.
Hingga kemudian suara dering ponsel diantara keduanya mengintrupsi ciuman mereka berdua. Mereka berdua sama-sama tersentak, saling menjauhkan diri. Maya langsung menatap ke sekeliling, takut-takut ada yang melihatnya.
Sedangkan Ibra berdeham untuk menyembunyikan dirinya yang terlihat salah tingkah. Ia melirik Maya sejenak, lalu menatap ponselnya dan melihat layarnya menunjukkan panggilan masuk dari Toni—asisten pribadinya.
Ibra mendecak kesal, melangkah menjauhi Maya sejenak dan mengangkat telepon. “Ada apa, Ton?!”
Toni berdeham diseberang sana. “Jika Anda lupa, kalau ini adalah Indonesia. Anda tidak bisa sembarang mencium orang di depan umum dan Anda harus mengantisipasi agar tidak ada orang yang memotret Anda. Apa Tuan lupa, tentang resiko seorang wanita yang menjalin hubungan dengan Anda secara diam-diam?”
Ibra langsung menatap Maya yang kelihatannya ingin tahu soal apa yang sedang dibicarakan Ibra. Hidup Maya mungkin baik-baik saja sebelum mengenal Ibra, tapi ketika hubungan mereka lebih jauh lagi dan ada saingan bisnis yang mengetahui soal Ibra yang menjalin hubungan dengan wanita sembarangan, maka hal itu akan menjadi boomerang besar pada Ibra dan juga keluarganya.
Maya sendiri mengulum bibirnya, lalu mengusap ujung bibirnya ketika Ibra yang sudah selesai mengangkat telepon kemudian melangkah mendekatinya. Jantung Maya makin berdegup kencang saat Ibra melangkah mendekat. Ia masih tak menyangka bisa kembali menemui Ibra dan menatap kembali postur tubuh atletis itu serta wajah tampannya.
Kaki Maya sampai rasanya bergetar. Kakinya bergerak-gerak tak jelas ketika Ibra berdiri di depannya. Banyak hal yang ingin ia tanyakan sekarang pada Ibra. Intinya Maya ingin menghabiskan waktu lebih lama dengan Ibra.
Tapi kalimat yang keluar dari bibir Maya adalah, “sudah makan malam?”
Ibra langsung mengangkat kedua alisnya tak paham.
Maya menggigit bibir bawahnya, berusaha menutupi dirinya agar tidak terlalu kentara salah tingkah. Tapi sepertinya ia gagal.
“Aku belum makan malam.” Lanjut Maya. “Mau makan malam? Aku masakin, di apartemenku. Gini-gini masakanku enak, yah walaupun—”
“Ayo.” Jawab Ibra menyetujui begitu saja dan memotong ucapan Maya. Ibra kemudian menggenggam telapak tangan Maya. “Aku temani makan malam.”
Sial, rasanya jantung Maya melompat-lompat kegirangan sekarang. Ia menarik senyumnya begitu lebar, membiarkan Ibra melihat bahwa ia begitu bahagia bisa kembali bertemu dengannya.
***
Selagi Maya sedang memasak makan malam untuk mereka berdua, Ibra berdiri di ruang tengah sembari melihat-lihat bingkai foto yang tertempel di dinding. Foto yang ada di dinding adalah foto Maya sejak masih balita bersama kedua orangtuanya dan dua saudara perempuannya, foto Maya sekolah dasar bersama seorang gadis dan berpose saling merangkul menggunakan baju olahraga.
Ibra terkekeh, Maya kecil berambut pendek seperti lelaki dan senyumannya begitu manis. Ibra menatap foto kecil Maya, tidak menyangka bahwa gadis kecil di foto itu akan tumbuh dewasa dengan paras yang begitu cantik, penampilan feminism, dan wajah manis serta tubuh yang begitu seksi.
Banyak foto yang Ibra lihat. Tapi Maya terlalu sering memasang potret wajahnya dengan gadis yang sama. Hingga Ibra melihat foto kelulusan SMA Maya. Tenggorokan Ibra terasa tercekat, ia menelan salivanya, sampai tak berkedip ketika sadar bahwa potret seorang gadis yang menemani Maya sedari dulu adalah Kinan.
“Oh, itu Kinan, sahabat aku dari kecil.” Maya yang tiba-tiba berada di sampingnya membuat Ibra terkejut. Maya lalu menyengir. “Cantik ya, Kinan? Dari dulu banyak yang bilang Kinan cantik dan banyak teman-teman priaku yang mau kenalan sama Kinan.”
Ibra hanya mengedikkan kedua bahunya. “Kalau aku sih, nggak mau kenalan sama Kinan. Maunya sama kamu yang cantik, mau mengenalmu lebih jauh.”
Maya langsung mencibir dan menyenggol lengan Ibra. “Masakanku sudah matang. Ayo makan dulu.”
Ibra sebenarnya sudah makan malam. Tentu saja bersama keluarganya dan juga Kinan. Namun untuk bisa menghabiskan waktu lebih lama dengan Kinan, Ibra akhirnya makan malam lagi. Ia juga tidak menolak untuk terus makan.
Ketika duduk di meja makan, Ibra dihadapkan dengan chicken katsu teriyaki buatan Maya.
“Maaf ya kalau enggak enak.” Maya tersenyum sungkan. “Ayo makan.”
Ibra mengangguk. “Selamat makan, Maya.”
Maya hanya memotong chicken katsu-nya. Tapi langsung mengangkat pandangannya lagi menatap Ibra. Ia gugup melihat Ibra yang mulai menyendokkan nasi dan ayam kedalam mulunya. Ibra sendiri tidak bisa menahan senyumannya, mengakui kalau masakan Maya enak.
“Enak!” Kata Ibra bersemangat, sampai menyuapkan makanannya lagi.
“Beneran?” Maya masih ragu.
Tanpa berkata apa-apa Ibra kemudian menyendokkan makannya dan mengangsurkan sendoknya kearah mulut Maya. “Cobain.”
Maya menahan senyum gelinya, tak menyangka Ibra akan menyuapinya. Maya membuka mulutnya, menerima suapan Ibra dan juga menyantap makanannya. Sambil makan, Maya menatap Ibra dan entah kenapa bersyukur kembali ia bisa bertemu Ibra.
Setidaknya, hari ini tidak menjadi hari yang begitu buruk setelah segala pertengkarannya dengan Arga.
“Kamu kelihatannya laper banget. Belum makan habis pulang kerja?” tanya Maya ketika melihat Ibra yang lahap memakan masakannya.
“Pulang kerja?” Ibra langsung menatap bajunya dan tersenyum seadanya. “O-oh, iyanih, pulang kerja. Tapi masakanmu enak banget, May. Bikin nagih.”
“Kalau kamu mau, tiap hari aku juga bisa masakin buat kamu. Nggak ada lagi yang aku masakin sekarang.”
“Nggak ada lagi yang dimakasin? Berarti dulu ada?”
Maya menghela napasnya. “Kan dulu. Kalau sekarang kan ada kamu. Itu juga kalau kamu nggak ngilang lagi kaya kemarin.”
Ibra tertawa kecil mendengar sindiran Maya itu. “Maaf, May. Kemarin aku terlalu sibuk sama jadwal kerja. Jadi nggak sempat pamit sama kamu sebelum pergi.”
“Emang kamu kerja apa sih?” Tanya Maya penasaran. “Orang seperti kamu nih, jelas kerjaannya bukan sembarangan.” Maya berkata seperti itu tentu saja mendasar.
Ibra terlihat bukan seseorang biasa yang mempunyai villa mewah di Bali, mempunyai banyak pelayan dan juga mobil mewah.
“Cuma karyawan kantor biasa kok, May.” Jawab Ibra merendah.
“Karyawan yang bisa punya property bagus dan mobil-mobil mewah serta banyak pelayan?”
“Itu—” Ibra sekarang bingung harus menjawab apa. Ibra akhirnya menghela napas. “Jabatan aku di kantor sudah cukup tinggi, May. Jadi uang yang aku dapatkan untuk membeli itu semua.”
“Kayaknya kamu belum jujur sama aku.” Maya tertawa kecil. “Tapi aku nggak mempermasalahkan itu. Yang aku bingung, kenapa kita bisa tiba-tiba ketemu di hutan kota sih?”
“Kebetulan yang menyenangkan kan, May?” Ibra jadi teringat keberuntungan menyenangkannya ketika melihat Maya di pekarangan kantornya. “Kebetulan yang diubah menjadi takdir sampai kita bisa bertemu.”
Tentu saja takdir yang dibuat oleh Ibra. Ia menyuruh asisten pribadinya untuk mencari tahu segala hal yang telah dilakukan Maya selepas dari kantornya, hingga Ibra menyusul Maya ke hutan kota Gelora Bung Karno.
Kedua ujung bibir Maya tertarik keatas membentuk senyuman manis. Mereka berdua kemudian melanjutkan makan sembari mengobrol kecil, membicarakan hal apapun hingga semakin dekat satu sama lain.
***
“Tadi ketika kita bertemu, kenapa kamu langsung menangis?” Tanya Ibra ketika Maya menuangkan wine ke gelasnya.
Mereka kini kembali ke ruang tengah dan bersantai sambil menonton movie series di televisi.
“Bukan karena terlalu terharu saat bertemu aku, kan?” Goda Ibra sambil menyesap perlahan wine-nya.
Maya sontak tertawa dan menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. “Gimana kalau benar karena terlalu terharu?”
“Nggak mungkin,” Ibra juga ikut tertawa sambil menatap Maya yang duduk disampingnya.
Tangan Ibra kemudian menyentuh kepala Maya, menyandarkan kepala Maya ke bahunya dan mengusap rambutnya dengan lembut.
“Banyak yang terjadi hari ini, Bra.” Jawab Maya akhirnya. “Aku memang sudah memutuskan pertunanganku dengan Arga, kekasihku yang selingkuh dengan rekan kerjanya. Tapi kita masih mempunyai restoran yang kita berdua bangun bersama dan sekarang semuanya kacau, restoran begitu sepi, banyak respon jelek dari pengunjung.
“Arga menyerah untuk melanjutkan bisnis restoran ini. Sisa aku sendiri dan aku nggak tahu harus menjalankan bisnis ini bagaimana. Aku juga belum bilang ke orangtuaku dan orangtua Arga kalau pernikahan kami akan batal.”
“Kenapa belum bilang?”
“Karena aku takut mengecewakan mereka. Aku dan Arga sudah menjalin hubungan dari SMA dan begitu banyak harapan kedua orangtua pada anaknya. Aku… bingung.” Kata Maya dengan suara seraknya, kerongkongannya terasa kering.
Maya kembali mengambil gelas wine-nya dan meminum wine dengan cepat begitu saja. Membiarkan rasa dominan manis namun juga sedikit pahit dan juga panas menjalar ke kerongkongannya. Tanpa sadar air mata Maya mengalir membahasi pipinya. Ia langsung menghapusnya, tidak ingin terlihat lemah lagi dihadapan pria, cukup Arga yang membuatnya hancur dan sudah berhasil melihatnya hancur.
Maya tak ingin terlihat hancur juga dihadapan Ibra. Maya kemudian kembali menuangkan wine-nya, meneguknya lagi dengan cepat, menuangkannya lagi, dan ketika Maya hendak meneguk wine-nya, tangan Ibra segera mencekal lengan Maya.
“Cukup, May.” Jawab Ibra tegas. Ibra kemudian mengambil gelas wine itu dari tangan Maya dan meletakkan kembali keatas meja. “Jangan minum lagi. Kamu akan mabuk, kehilangan kesadaran, tapi setelahnya apa? Di pagi harinya kamu akan teringat masalah ini lagi.
“Tidak ada orang yang bisa lari dari masalah, May. Yang ada, kamu harus menghadapinya.”
“Tapi aku tidak tahu bagaimana harus menghadapinya.” Air mata Maya kembali menetes. “Bisnisku—”
“Kita bangun bisnis itu lagi bersama, May.” Kata Ibra dengan begitu lembut. Sambil mengusap air mata Maya. “Aku akan membantu kamu. Tenang saja, ada aku.”
Iya, Ibra dan segala kekuasaan serta uangnya. Membangun kembali bisnis bersama Maya tentu hal yang mudah untuknya dan juga menyenangkan akan bekerja bersama wanita yang ia cintai.
Ibra terdiam menyadari pikirannya barusan. Ibra menatap wajah cantik Maya dihadapannya. Tatapannya terfokus pada mata dan bibir Maya. Ibra menelan salivanya, sial, ia tak tahan lagi!
Ibra tak pikir panjang untuk kembali mencium bibir Maya dengan menuntut begitu saja. Bibirnya langsung melumat bibir Maya dengan lembut, menyesap bibirnya, menciumnya makin dalam dan memainkan lidahnya di dalam mulut Maya, bergulat dengan lidah Maya. Saling bertukar saliva, mendengar cecapan mereka yang memenuhi ruangan ini.
Ibra haus akan napsu, napsu pada wanita yang ia cintai. Ibra jadi sadar bahwa cinta merupakan sebuah hal yang tak mendasar, dan cintanya pada Maya terbangun begitu saja dengan cepat.
Jika Maya menganggap bahwa Ibra dapat membuatnya nyaman dengan mudah, maka Ibra juga menganggap bahwa Maya dapat membuatnya jatuh cinta dengan mudah. Ibra tidak menyangka, jika percintaan malam itu akan membuatnya bertemu Maya dan bercinta menggunakan perasaan dengan Maya.
Ibra melepaskan ciumannya dari Maya sejenak, menghirup napas sebanyak-banyaknya dan kemudian kembali mencium bibir yang candu itu dengan napsu yang begitu tinggi. Tak perduli bahwa bibir Maya akan bengkak nantinya, Ibra tetap ingin terus mencium bibir Maya.
Ketika tangan Ibra bergerak nakal dari tengkuk Maya, ke punggungnya dan hingga menyentuh payudaranya, kemudian meremasnya, membuat Maya mengerang pelan dalam ciumannya dengan Ibra.
Ibra terus meremas p******a Maya secara bergantian dan tangan Maya juga tak tinggal diam. Ia melepas satu persatu kancing kemeja Ibra dan melepaskan kemejanya, membuat tangan Maya dapat menyentuh langsung tubuh atletis Ibra.
Ciuman diantara keduanya terputus ketika Ibra menarik keatas kaus Maya. Jakunnya bergerak naik turun ketika melihat Maya yang cantik dengan bra berwarna putih. Jantung Maya berdegup kencang ketika tangan Ibra bergerak kebelakang, tangannya melepas kaitan bra Maya dan bibirnya mencium pipi, telinga dan juga tengkuknya.
Maya mengulum bibirnya sambil memejamkan matanya, tangannya mengusap rambut belakang bagian Ibra ketika Ibra menciumi, menggigit pelan dan menghisap inci per inci bagian tengkuknya.
Hingga kecupan Ibra turun ke d**a Maya, ia mencium dadanya dan akhirnya memasukkan p****g p******a Maya ke mulutnya. Ibra mengulum p****g p******a Maya yang menegang, mengulumnya secara bergantian pada kedua payudaranya, membuat Maya menggumam nikmat.
Maya kemudian juga memberikan kecupannya pada tengkuk Ibra, kecupan bibir basahnya turun menciumi d**a Ibra, menyapu lidahnya pada p****g Ibra dan kecupannya turun ke perut six-pack Ibra.
Kepala Ibra menengadah keatas dan ia menelan salivanya ketika tangan Maya mulai mengelus-elus kejantanannya dan memberikan remasan kecil yang menggoda. Ibra kemudian menunduk, menatap Maya yang balas menatapnya.
“Boleh aku buka ini?” Tanya Maya dengan suara seksi sambil mengusap dan meremas kejantanannya.
Ibra mengangguk sambil mengusap rambut Maya, “bukalah.”
Maya yang masih berada di sofa kini menungging menyamping, kepalanya mengarah pada kejantanan Ibra. Ia membuka ikat pinggang Ibra, menarik resleting celananya turun dan menurunkan celana jeans dan juga boxer Ibra.
Kejantanan Ibra yang panjang dan juga besar menegang, berdiri ketika jemari lentik Maya mulai menyentuhnya, menggenggamnya dan mengocoknya lembut.
“Eumh!” Ibra menyentakkan kepalanya ke belakang, ia memjamkan matanya, menikmati nikmat tangan seorang wanita yang lihai memberikan kenikmatan untuk kejantanannya yang minta di puaskan.
Maya kemudian makin menunduk, mengecup ujung kejantanan Ibra dan mengulum bagian ujungnya, membasahinya sejenak. Tangan Maya kembali mengocok b***************n Ibra sembari meremas-remas buah zakarnya. Hingga kemudian mulut Maya kembali ikut andil.
Maya membuka mulutnya, memasukkan kejantanan Ibra pada mulutnya, mendorong masuk makin dalam mulutnya, memasukkan kejantanan Ibra pada mulut lembabnya. Ibra tak tahan untuk tidak mengerang nikmat.
Ia mengumpulkan rambut panjang Maya menjadi satu dalam genggamannya agar tidak menganggu wanita itu ketika memberikan blowjob untuknya. Maya memejamkan matanya, memainkan lidahnya pada b***************n Ibra yang menegang.
Mulutnya bergerak mengeluarkan dan memasukkan kejantanan Ibra, membiarkan kejantanan Ibra menusuk-nusuk di dalam mulutnya, menusuk hingga kerongkongannya karena Maya mengulum kejantanannya sepenuhnya di dalam mulut lembabnya.
“Oohh, Maya!” Ibra tak kuas mendesahkan nama Maya ketika mulut Maya bergerak semakin cepat mengulum kejantanannya.