Sunshine Florist yang berada di Jakarta Selatan kembali buka setelah tutup selama seminggu. Tutupnya Sunshine Florist tentu saja karena Maya—selaku pemiliknya mengalami patah hati yang cukup lama dan membuatnya menenangkan diri di Bali. Namun sepulangnya dari Bali, patah hatinya memang membaik, tapi rasa dongkol masih bercokol di hatinya.
Memang sudah konsekuensi jika mengunggah aplikasi s*x Time dan bercinta dengan stranger akan membuat Maya kehilangan keperawanannya, memberikan mahkota berharganya untuk orang asing. Maya mungkin menyalahi aturan di s*x Time, Maya ingin memiliki kontak Ibra.
Bukan karena Ibra kaya dan Maya langsung mengincarnya. Bukan, namun Ibra adalah lelaki yang bisa membuatnya membuka diri dan nyaman dalam waktu cepat. Maya jarang sekali menemukan lelaki yang dapat mengambil hatinya secepat itu.
Dan Ibra sepertinya benar-benar mematuhi peraturan dalam aplikasi s*x Time untuk tidak memberikan kontak dan tidak akan bisa bertemu lagi dengan partner one night stand-nya.
“Aahh, kenapa sih gue harus inget dia lagi?” Eluh Maya sambil menunduk di depan konter floristnya.
“KAIA MAYA!” Sentakan keras seorang wanita yang memanggil Namanya bersamaan dengan lonceng pintu florist yang berdenting kencang sontak membuat Maya tersentak dan langsung berdiri tegap.
Kinan langsung memegang kedua pundak Maya dan mengguncangnya keras. “Kemana aja sih lo?! Sialan! Gila lo ya!”
“Kin—”
“Gue udah kaya orang gila nyariin lo dan khawatir soal keadaan lo ke bali!”
Namun Maya masih sempat-sempatnya tertawa kecil. “Kalau gitu, kenapa nggak nyusulin gue aja ke bali—aduh!” Ucapan Maya langsung terputus ketika Kinan menjitak kepalanya tanpa permisi.
“Masih bisa bercanda lo ya!” Omel Kinan sambil berkacak pinggang.
“Sakit tauk.” Eluh Maya sambil mengerucutkan bibirnya dan mengusap-usap puncak kepalanya. Namun Kinan masih menatapnya kesal dan tetap dalam posisi berkacak pinggangnya. Maya sontak menghela napas dan merentangkan kedua tangannya. “Mau peluk…”
Kinan sontak menghela napas dan memeluk Maya yang sudah menjadi sahabatnya dari sekolah dasar.
“Kalau lo udah bisa bercanda gini, artinya lo udah baik-baik aja, kan?”
Maya kemudian melonggarkan pelukannya, menatap Kinan sambil tersenyum. “Dikit, hehe.” Jeda sejenak. “Lo mau sampai kapan berdiri di sini? Ayo masuk ke dalam. Mau gue bikinin teh madu?”
Sambil masuk ke dalam ruang kantor manajemen Sunshine Florist, Maya berkata, “ada hal menyenangkan yang buat gue sedikit mendingan.”
“Hal apa yang bagi lo menyenangkan itu?” Kinan mengikuti Maya masuk ke dalam kantor. “Gue nggak bisa lama-lama, harus segera balik ke kantor. Soalnya Bu Tania sudah balik dari Swiss.”
“Bos lo liburan mulu perasaan. Enak-enakan dong lo jadi sekertaris pribadinya nganggur terus di Indo.”
“Sembarangan. Dia juga kerja disana. Gue sibuk tahu, nyiapin gedung di Senayan yang bakalan dibuat kantor cabang perusahaan dia. Gila ya, keluarga Old Money tuh, May. Nyari duit mulu.” Kata Kinan ceriwis.
Maya meletakkan secangkir teh dihadapan Kinan sambil tertawa. “Crazy rich Indonesia, ya?”
“Really crazy rich. Tapi keluarganya pada merendah sih. Apalagi anak bontotnya, Namanya siapa ya? Abian… yah, gue lupa. Pokoknya itu. Udah ganteng, sederhana banget, ga neko-neko. Suamiable deh pokoknya!” Kinan masih terus bercerita, tapi begitu Maya duduk dihadapannya, ia langsung terdiam. “Eh, lo jangan-jangan biarin gue nyerocos mulu biar gue nggak bisa tanya-tanya ke lo ya! Ayo ayo, back to topic.”
“Aduh, Kin.” Maya menutup mulutnya ketika tertawa. “Lo tuh selalu jadi moodboster gue dari kecil.”
Kinan hanya mengangguk-angguk, lalu memutar tangannya, seolah menandakan bahwa ia ingin Maya kembali ke topik pembicaraan awal. Namun Maya menekan bibirnya, memikirkan kata apa yang harus keluar dari mulutnya untuk bercerita pada sahabatnya.
Kinan terlalu mengenal dirinya. Kinan tahu bahwa Maya tidak ingin melakukan hubungan sexsual sebelum benar-benar menjadi suami dan istri. Namun Maya juga menjaga perasaan Kinan, sahabatnya itu pasti akan kecewa karena Maya sudah melepaskan keperawanannya demi lelaki yang tidak ia kenal dan lelaki itu kemudian meninggalkannya begitu saja.
“Hello! Harus berapa lama lo ngelamun? Gue harus ke kantor nih.” Ucap Kinan menyadarkan.
Maya mengerjapkan matanya, lalu tersenyum malu. “Tapi lo jangan kaget, ya…”
“Apanih?” Kinan membenarkan posisi duduknya, wajahnya jelas memperlihatkan keingintahuan yang besar.
Maya lalu tertawa kecil dan berbisik, “gue ikut kencan buta di Bali.”
“Apa?!”
“Lewat aplikasi kencan.”
“Maya!” Kinan melotot tajam. “Bukannya kita udah janjian buat nggak bakal mau kenal sama cowok lewat aplikasi kencan begituan, ya?!”
“Kin, lo nggak tahu posisi gue waktu itu.” Maya memutar bola matanya. “Gue depresi banget. Kesepian, butuh teman curhat dan teman tukar pikiran.”
“Salah sendiri lo nggak ngajakin gue.” Kinan mencebikkan bibirnya, sedangkan Maya hanya menyengir bersalah. “Terus gimana cowoknya? Sampai sekarang masih kontakan? Dan lo ngapain aja sama dia di Bali?”
Maya sontak menatap sahabatnya itu datar. “Bukannya lo mau ke kantor, ya?”
Kinan lalu menatap smartwatch di pergelangan tangannya dan kembali membelalakan matanya. “Oh iya!” Kinan langsung berdiri, tapi dia menepuk dahinya ketika teringat sesuatu. “Sebelum gue berangkat, gue kesini juga karena mau pesan beberapa karangan bunga buat kantor yang baru. Oh, dan buket bunga untuk anaknya Bu Tania yang bakal jadi direktur utama perusahaan baru ini.”
“Abian?”
“Gatau sih, mungkin.”
Maya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya, tidak ingin tahu lebih lanjut. Ia dan Kinan lebih fokus untuk memilih design rangkaian bunga dan bunga apa saja yang akan dipakai untuk karangan bunga dan buket bunga untuk perusahaan dimana Kinan bekerja.
***
Sudah cukup lama Ibra tidak mengunjungi Jakarta. Dirinya terlalu sibuk mengurusi perusahaan property yang berkembang di beberapa negara dan juga perusahaan batubara di Kalimantan.
Dan kini, ibunya mempercayakan perusahaan property di Jakarta serta pengelolaan tower perusahaan di Jakarta untuknya. Ibra menyandarkan kepalanya di sandaran kursi mobil sambil menatap deretan gedung-gedung tinggi kota Jakarta.
Menjadi anak pertama lelaki dalam keluarga Hadinata membuatnya dipasrahi banyak tugas oleh keluarganya. Sedangkan saudaranya bontotnya malah masih bersantai karena barusan lulus kuliah. Betapa beruntungnya anak itu.
Namun menghabiskan beberapa hari di Bali dan mengakhirinya dengan malam panas bersama Maya membuat rasa stress pada dirinya seolah sedikit mereda.
“Maya.” Ibra kembali menggumamkan nama itu dan tersenyum.
Ia harus meninggalkan Maya karena Ibra tidak ingin Maya mengetahui siapa dirinya sebenarnya dan Ibra ingin membuat Maya aman agar tidak harus berurusan dengan keluarganya. Ibra tahu bahwa keluarga Hadinata sangat menjaga nama baik keluarga karena banyak yang ingin menyerang keluarga mereka untuk menghancurkan nama baik dan perusahaan.
Perang antar perusahaan walaupun mereka saling bersaudara sudah cukup membuat Ibra di peringatkan ibunya untuk menghindari hal itu. Sebisa mungkin Ibra harus menjaga nama baik, bahwa ia tidak bermain perempuan sembarangan dan meniduri sembarang wanita.
“Wanita yang kemarin, sudah Anda bereskan?” tanya Toni—sekertaris pribadinya.
Ibra hanya melirik Toni sekilas. “Bukannya saya yang harusnya bertanya begitu sama kamu, Toni?”
Toni hanya diam dan mengedikkan bahunya. “Siapa tahu Tuan mencari dirinya.”
Ibra berdecak. “Aku langsung meninggalkannya pagi itu, Ton.”
“Baik.”
“Jangan sampai mama saya tahu.”
“Sudah jelas.” Jawab Toni.
Dan kemudian mobil mewah yang mereka tumpangi memasuki lobi tower perusahaan yang baru. Sebelum pintu terbuka, Ibra melihat seorang wanita cantik berkulit putih, rambut panjang hitam, berwajah cantik, tinggi dan langsing, serta memakai setelan pakaian kerja yang rapi dengan celana panjang dan stiletto berwarna putih.
Wanita itu menunduk hormat begitu Ibra keluar dari mobilnya.
“Selamat pagi, Pak. Perkenalkan, saya Kinan selaku asisten pribadi Ibu Tania Hadinata. Beliau sudah menunggu di ruangannya.”
Ibra hanya mengangkat kedua alisnya dan mengangguk, mengikuti langkah Kinan.
Oh, jadi ini Kinan yang sering mama ceritakan. Sambil mengikuti langkah Kinan, Ibra membatin. Kinan seringkali disebut-sebut oleh Mamanya. Mamanya bercerita bahwa memiliki sekertaris cantik yang begitu cekatan.
“Silahkan, Pak.” Kinan membukakan pintu begitu mereka sampai di ruangan Ibu Tania.
“Nah, kalian sudah bertemu rupanya.” Tania langsung berdiri dari duduknya. “Masuk dulu, Kin.”
“Baik, bu.” Kinan mengangguk sopan, menutup pintu dan bersama Ibra menemui Tania.
“Gimana kantor baru kamu, Tama? Suka?” Tanya Tania.
Ibra Tama Hadinata, keluarganya selalu memanggilnya dengan nama Tama. Ibra kemudian melangkah mendekati jendela dari lantai tiga puluh ini dan memperhatikan pemandangan dari sini.
Tania langsung mendekati Kinan. “Tama anak sulung saya. Gimana, bener kan kata saya, ganteng?”
“Hehe, iya, bu.” Kinan tidak bisa mengelak bahwa Tama adalah sosok yang tampan. Begitu tampan malah bagi Kinan.
“Kalian harus mengenal lebih jauh lagi, ya. Harus lebih akrab.” Kata Tania.
Ketika Kinan hendak menyangkal karena bingung, Tania sudah terlebih dahulu menghampiri Ibra dan berbicara dengannya.
Merasa sudah tidak diperlukan, Kinan kemudian keluar dari ruangan Tania dan kembali ke pekerjaannya.
“Semoga kamu betah ya di Jakarta.” Kata Tania. “Mama ingin hari tua Mama bersama anak-anak Mama.”
Ibra menghela napas. “Tama kan juga harus keluar kota dan keluar negeri terus, Ma.”
“Tetap saja, perusahaan di Jakarta ini harus kamu urus.” Tania bersikeras.
Ibra hanya bisa kembali mengehela napas. “Iya.”
“Eh, gimana kalau kita makan siang?”
“Boleh.”
“Sama Kinan sekalian, ya? Mama harus selalu dekat sama Kinan soalnya. Anak itu banyak membantu.” Ucap Tania. “Gimana, Tam? Tania cantik, kan?”
“Ma,” Ibra memperingatkan. Ia sudah mencium bau-bau perjodohan. “Mama nggak ada niatan untuk bikin Kinan dekat dengan Tama, kan?”
“Ada dong!” Tania malah semangat. “Tam, kamu udah mau tiga puluh tahun, loh. Sudah saatnya kamu menikah. Mau sampai kapan kamu dilangkahi adik-adik perempuanmu terus?”
Iya, Ibra punya dua adik perempuan yang sudah menikah dan masing-masing sudah mempunyai anak.
“Pokoknya Mama mau kamu tahun ini menikah.”
“Iya, Tama akan bawa calon Tama nanti.” Ucap Tama asal dan Mamanya hanya mendengkus.
“Mama maunya kamu menikah sama Kinan.”
Ibra lalu mendahului langkah ibunya. “Kalau Tama nggak cocok sama dia?”
“Tam, semua butuh proses. Seiring waktu kamu juga akan nyaman sama dia. Percayalah, perasaan seorang ibu selalu benar.”
Ibra hanya tersenyum, lalu merangkul pinggang mamanya sembari keluar dari ruangan. Kinan langsung berdiri begitu Ibra dan Tania keluar dari ruangan. Tanpa sengaja, tatapan mata Ibra berserobot dengan tatapan Kinan.
Kinan segera menundukkan wajahnya untuk memutus kontak mata mereka dan Ibra hanya tersenyum tipis.
***
Acara pembukaan tower perusahaan keluarga Hadinata akhirnya hari ini dilaksanakan. Sebelum acara dibuka, Maya bersama team Sunshine Florist sudah sibuk di lantai dasar perusahaan hingga lobi serta bagian depan pekarangan perusahaan untuk menata penempatan papan rangkaian bunga serta menata bunga di lobi perusahaan.
Menurut informasi dari Kinan, Ibu Tania Hadinata sangat menyukai bunga dan ingin ada banyak hiasan bunga di pembukaan tower perusahaannya.
“Untuk bunga-bunga calla lily bisa ditaruh di meja yang ada di tengah ruang tunggu itu, ya.” Kata Maya yang sedang memberi komando pada team-nya.
“Maya!”
“Kinan!” Maya sampai takjub melihat penampilan Kinan hari ini dengan short dress berwarna putih. “Cantik banget!”
“Makasih.” Kinan tersipu malu, lalu berbisik pada Maya. “Ini Bu Tania yang beliin gue.”
“Serius lo?!”
“Iya, serius. Dia kaya makin deketin gue sama anak sulungnya yang jadi direktur utama disini.”
“Wah…” Maya lalu merangkul pundak Kinan hingga membuat wanita itu terkejut. “Jangan-jangan lo mau dijadiin menantunya si crazy rich Indonesia ini!”
“Gila apa ya lo?” Kinan hanya mencebikkan bibirnya. “Kentang kaya gue gini, yakali jadi menantunya beliau.”
“Gapapa dong, nggak ada yang nggak mungkin di dunia ini. Meghan Markle yang dulunya cuma foto di depan istana Buckingham aja sekarang bisa jadi keluarga kerjaan. Siapa yang sangka?”
Kinan mengerucutkan bibirnya. “Gue juga nggak nolak sih menikah sama anak sulungnya. Ganteng banget, May!”
“Halah, lo semua cowok atletis juga dibilang ganteng.”
“Ih, gue nggak peres ya. Beneran ganteng kalau dia.”
“Seganteng apa? Mana orangnya? Mana lihat fotonya?”
“Orangnya belum datang, lah. Lagipula keluarga Bu Tania sangat nggak mau keluarga di ekspos. Jadi kita nggak bisa sembarangan ambil foto dan ngasih tahu data pribadi anak-anaknya.”
Maya hanya tertawa kecil. “Iyadeh, iya. Gue lagian juga udah mau selesai ini. Habis ini gue tinggal.”
“Lah, mau kemana?” Kinan memegang tangannya. “Kalau lo disini, lo bisa ketemu sama anak sulungnya Bu Tania.”
“Nanti aja waktu udah jadi suami lo, baru gue ketemu.” Bisik Maya yang membuat keduanya sama-sama tertawa. “Gue nanti mau ke restoran yang gue bangun sama Arga, Kin.”
“Hah? Ngapain?”
“Ada yang harus dibahas.”
Kinan jelas tidak dapat memasang wajah khawatirnya. “Gabisa nanti malam aja? Gue temenin deh. Lo nggak boleh ketemu cowok berengsek itu sendirian.”
“Gapapa,” Maya mengusap pundak Kinan menenangkan. “Lo sibuk banget. Ini cuma masalah restoran kok. Urusan gue sama dia jelas udah selesai.”
“Oke kalau lo bersikeras.”
Maya tersenyum lembut. “Udah sana, kerja.”
Kinan mengangguk sambil memaksakan senyumnya. Ia tetap khawatir pada sahabatnya itu.
“Kerja kerja! Ngumpulin duit banyak biar kita bisa liburan ke Zurich!” Kata Maya menyemangati.
“Okay!” Kinan mengangguk semangat sekarang.
Zurich menjadi kota impian keduanya sejak remaja. Mereka ingin menikmati keindahan kota di Swiss dan menghabiskan waktu disana, tentu saja dengan uang sendiri.
Kinan kemudian menghilang setelah menaiki lift dan Maya kembali lanjut bekerja. Ia kemudian keluar dari lobi perusahaan untuk mengecek rangkaian bunga di pekarangan perusahaan.
Tanpa Maya sadari, sebuah mobil baru saja berhenti di depan lobi mobil. Ibra turun dari mobil dan melihat banyaknya rangkaian bunga di perusahaannya.
“Harus sebanyak ini ya bunganya?” Gumam Ibra, namun ternyata Toni selaku asisten pribadinya mendengar.
“Ibu Tania sangat menyukai bunga.”
Ibra langsung melirik Toni yang menjawab ucapannya. Namun tatapan matanya malah menatap wanita dengan hitam kecokelatan dan rambutnya di curly bagian bawahnya. Ibra memiringkan wajahnya, makin menatap punggung yang tidak asing dalam pandangannya.
Sampai wanita yang berdiri di depan pekarangan itu berdiri menyamping dengan tangan bersedekap di depan d**a melihat pekarangan bunga itu dan Ibra melebarkan matanya. Ibra tak menyangka bahwa ia akan merasakan desiran di dadanya ketika ia dapat kembali bertemu dengannya.
Ibra ternyata tidak bisa melupakan pesona seorang Kaia Maya.