POV Tania.
"Papa kemana, sih, Ma? Katanya mau ke kantor, Dila tungguin nggak ada, Papa itu datang, Ma," kesal putriku sambil melempar tasnya dan langsung merebahkan tubuhnya di sofa.
"Capek ya, Sayang?" tanyaku.
"Capek banget, Ma," jawabnya. Kasihan memang putriku yang cantik ini harus kelelahan mengurus kantor.
"Tadi itu, Papa bilang sama Mama mau ketemu teman bisnis. Rekan bisnis Papa. Ada acara peresmian kantor. Mereka bilang sih,,,," Aku tidak melanjutkan ucapanku agar Dila penasaran. Dila itu putri kesayangan kami. Ya, meski suamiku itu memiliki anak dari mantan istrinya, dia seakan tidak peduli dan lebih perhatian pada putriku. Jelas aku tahu, sebab apapun yang ia punya, pokoknya semua yang ia miliki, semuanya untuk Dila.
Sudah hampir dua minggu belakangan ini, sejak pertemuan dengan anak dan mantan istrinya, Mas Adrian terlihat biasa saja. Tidak ada kesedihan sedikitpun. Mungkin ia sudah bisa menerima dan melupakan masa lalunya. Menganggap pertemuannya hanya denganku, dan hanya Kamilah yang dia punya. Tidak ada yang lain selain kami, dan yang lebih aku suka dari Ibu dan anak itu, mereka cukup tahu diri dengan setatusnya sekarang, jadi tidak mengganggu kebahagiaan keluarga kami yang sudah hampir 21 tahun. Aku kira, setelah kembali bertemu dengan Lirna, dia akan mengabaikan kami, ternyata aku salah menduga. Suamiku tetap sama seperti 20 tahun yang lalu….
"Ma, Mama tadi mau ngomong apa?" tanya Dila.
"Kasih tahu nggak ya, hum … kasih tahu deh."
"Ish, Mama! Jangan bikin aku penasaran!" ucap Dila.
"Dengerin baik-baik, Mama ngomong ya." Dila mengangguk.
"Kamu itu, mau di jodohin sama Lingga. Lingga Prasetyo. Putra Pak Bram Prasetyo. Lingga itu pengusaha muda, Sayang. Tahu kamu? Dia juga akan memimpin kantornya sendiri. Kantornya baru saja diresmikan hari ini." Dila membulatkan matanya. Mungkin dia kaget.
"Sayang, dengar, Mama. Selain muda dan sukses, dia juga sangat tampan. Pokoknya dia jodoh sempurna buat kamu. Umurnya 28 tahun," jelasku sambil memikirkan memiliki menantu seperti Lingga. Latar belakang keluarganya bahkan sangat cocok dengan latar belakang keluarga kami yang sama-sama pengusaha sukses.
"Ya Tuhan, Mama! Aku ini masih muda. Masa depanku masih panjang." Dila mengrenyitkan keningnya.
"Jangan pikirkan masa depan kamu kalau menikah dengan pengusaha sukses. Hidupmu! Masa depanmu, sudah jelas berada digenggaman tangan."
"Sudah jangan mendebat! Lusa mereka akan datang. Tidak ada bantahan! Lagipula sekarang kamu boleh menolak, Mama yakin setelah kamu bertemu dengannya, kamu yang tidak sabar untuk segera menikah dengan Lingga. Tahu kamu kenapa?" Dila hanya menggeleng. "Karena Lingga adalah pria idaman wanita, dan menantu idaman mertua," lanjutku.
"Terserah, Mama deh. Dila mau masuk kamar dulu. Capekkkk!" ucapnya seraya bangun dari duduknya dan beranjak.
????
"Ma, bangun. Kok tidur diluar. Pindah ke kamar!" Mas Adrian menepuk wajahku. Rupanya aku sampai tertidur di sofa karena menunggu suami pulang.
"Papa sudah pulang," ucapku sambil mengucek mata.
"Sudah, Sayang. Ayok pindah," ajak Mas Adrian. Suamiku memang sangat perhatian. Senang … banget. Aku dan Dila menjadi prioritas Mas Adrian. Untung Lirna itu pergi meninggalkan Mas Adrian. Sehingga dia hanya milikku seutuhnya. Tidak ada kata berbagi.
"Dila sudah pulang?" tanya Mas Adrian.
"Sudah dong, Pa. Sudah pulang dari sore tadi. Dia nanyain, Papa," jawabku sambil melangkah ke kamar.
"Lusa, keluarga Pak Bram mau datang ke rumah kita, Ma. Mama persiapkan sesuatu untuk menyambutnya. Jangan sampai bikin, Papa malu," ucap Mas Adrian sambil melepas pakaian setelah sampai di kamar. Aku mengunci pintu kamar, lalu membaringkan tubuh di ranjang, hendak melanjutkan tidur yang sempat terbangun karena harus berpindah tempat.
"Sejak kapan, Mama itu bikin malu, Papa. Sudah, Papa tenang saja. Mama akan masakin makan malam sepesial untuk menyambut mereka." Mas Adrian mengangguk lalu gegas ke kamar mandi. Setelah beberapa menit, dia pun keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar. Setelah mengelap wajahnya menggunakan handuk, Mas Adrian membaringkan tubuh di sampingku. Dia tidak lagi menyapa, atau bahkan menyentuhku. Pandangan matanya menerawang ke langit kamar. Kedua tangannya digunakan sebagai bantal. Lalu, dia terlihat melamun. Entah apa yang dia lamunkan hingga seperti tak menganggap kehadiranku di sampingnya.
"Mas! Ayok tidur!" ajaku sambil menggoyangkan bahu tangannya.
"Hum!" Hanya itu. Menyebalkan. Mas Adrian pun langsung memejamkan mata begitu saja. 'Siapa yang dia pikirkan? Kenapa aku takut Mas Adrian memikirkan Lirna dan anaknya? Tidak boleh … aku tidak mau berbagi suami. Mas Adrian tidak boleh memikirkan, Lirna dan anaknya.'
?????
Pagi ini seperti biasa aku menyiapkan sarapan untuk suami dan anakku yang hendak pergi ke kantor. Kuperhatikan sikap Mas Adrian pagi ini sangat berbeda. Dia tidak seperti biasanya yang menyantap sarapan dengan lahap. Ada apa ini? Aku benar-benar harus mencari tahu penyebabnya.
"Mas, kamu kenapa? Jujur! Dari semalam Mama perhatikan sikap kamu berbeda sekali!" Dila melirik ke arahku.
"Tidak apa-apa, Ma. Papa hanya sedikit pusing memikirkan perusahaan yang di kota. Semenjak Papa tinggal beberapa hari ini, justru semakin mengalami penurunan. Sekarang lebih parah, perusahaan juga mulai kesulitan untuk menggaji karyawannya. Sekarang juga sedang ada demo karyawan di sana. Sepertinya perusahaan Papa yang di Jakarta akan segera tutup." Aku terdiam. Memang sudah beberapa bulan belakangan perusahaan menunjukkan tanda-tanda kebangkrutan. Bisa bertahan karena adanya suntikan dana dari perusahaan yang di sini.
"Apa, Mama temani Dila disini, sementara Papa di Jakarta? Papa mau selesaikan masalah disana dulu. Bagaimana kelanjutannya. Setelah selesai urusan di kota, Papa segera kembali." Aku sedikit lega sih, mendengar alasan yang keluar dari mulutnya. Aku kira gara-gara kepikiran Lirna.
"Ini hanya alasan, Papa. Atau memang benar adanya?" tanyaku menyelidik. Siapa tahu itu hanya alasan Mas Adrian. Mas Adrian pernah selingkuh denganku, jadi bisa saja dia melakukannya kembali. Atau dia kembali menjalin hubungan dengan Lirna mungkin?
"Maksud kamu apa, Ma? Ya memang keadaan perusahaan Papa yang di Jakarta sedang tidak stabil!" bentaknya.
"Sudah! Masih pagi malah ribut-ribut. Mama juga kenapa ketakutan dan cenderung curiga gitu sama, Papa? Mama mau, kalau tuduhan tidak jelas Mama itu benar-benar terjadi sama, Papa? Ia?" sahut Dila bertanya. Membuatku terdiam untuk sejenak. Dia tidak tahu bagaimana masa lalu Papanya.
"Lagipula, Papa perginya setelah acara lamaran keluarga Pak Bram," ucap Mas Adrian.
"Perjodohan itu jadi, Pa?" tanya Dila. Mas Adrian mengangguk. "Kalau seandainya aku merasa tidak ada kecocokan bagaimana, Pa? Dan lagi, usia anak Pak Bram itu terpaut cukup jauh dengan, Dila. Dila masih terlalu muda!" protes anakku.
"Iya, nanti kamu lihat saja wajah Lingga. Boleh kamu berkata seperti ini, karena belum pernah melihatnya. Tidak ada celah dalam diri Lingga. Sudah tampan, karirnya sebagai pengusaha juga sukses. Dan ya, satu lagi. Yang pastinya Lingga itu anak konglomerat!" tegas Mas Adrian.
"Aku jadi penasaran seperti apa wajahnya. Sampai segitunya memuji mereka," ucap Dila seraya beranjak. Seperginya Dila, Mas Adrian pun langsung bergegas.
"Papa berangkat dulu, Ma. Ada janji bertemu Pak Ronald." Pak Ronald yang bertanggung jawab saat Mas Adrian tidak berada di kantor.
"Iya, Pa. Semoga cepat kelar urusan, Papa," ucapku. Setelah aku mencium punggung tangan suamiku, ia pun berlalu. Tidak apa-apa tutup satu perusahaan. Toh masih ada yang di sini. Sebentar lagi juga dapat menantu yang bisa lebih pesat lagi mengembangkan perusahaan ini supaya menjadi lebih besar. Tersohor tentunya jika perusahaan Mas Adrian dan Pak Bram bersatu. Besan dan menantu idaman ….
Jadi tidak sabar menyambut kedatangan mereka besok ….