Bab 9

1321 Words
"Ma, Rara risih sama pelanggan yang pake jas hitam gagah tinggi itu," ucapku pada Mama. Bagaimana tidak, kalau pemuda itu diam-diam memperhatikan aku yang sibuk mondar-mandir mengantar pesanan pelanggan. Alhamdulillah warung pecel ayam kami selalu ramai pengunjung. Terlebih saat kantor baru itu buka hari ini, pas jam makan siang sangat ramai dan membuatku super sibuk. Seperti siang ini tentunya, yang satu ruangan hampir penuh dengan para karyawannya. "Yang mana?" Mama bertanya sambil celingukan mencari pria itu. "Mama! Jangan tengak-tengok begitu. Itu yang dipojok," ucapku. "Oh, ganteng ya, Ra," ucap Mama. "Mungkin memperhatikan kamu karena pesanannya belum diantar, Ra. Jadi jangan ke-GR-an," ucap Mama. Sumpah menohok banget. "Ya sudah, ini kamu antar pesanan dia." Aku pun segera mengantarnya. Aduh, baru kali ini ketemu pelanggan perasaan aku dag dig dug tak karuan. "Permisi, pesanannya," ucapku seraya meletakkan pesanannya di meja. "Terimakasih, Mbak," ucapnya ramah. Entah kenapa aku ingin menjawabnya lagi. "Sama-sama, Mas." Aku menunduk karena malu dan kembali memalingkan tubuh. "Mbak," panggilnya ramah. "Iya," jawabku penuh senyum. Kali ini aku berani menatap wajahnya. Ya Allah, tampan sekali pemuda ini dari jarak terdekat. Wajahnya putih, penampilannya rapi, matanya sedikit sipit persis wajah indo koreaan, dan senyumnya begitu mempesona. Allahuakbar, aku mengaguminya. "Saya pesan jus alpukat yang kental, tanpa es batu, dan banyakin s**u coklatnya, ya." "Siap, tunggu sebentar, dan saya segera kembali." Aku pun segera membuatkan pesanannya. "Mbak Rara!" panggil Yunda. "Iya, Yund!" jawabku. "Biar aku saja yang buatkan?" tawar Yunda aku mengangguk. Yunda itu karyawan baru. Ya, karena warung kami sangat ramai, dari awal buka hingga dua minggu belakangan ini, aku dan Mama memutuskan untuk menambah karyawan. Mama juga telah menambah satu tukang masak. Ya Allah … "Nikmat mana lagi yang kamu dustakan," lirihku atas rezeki yang Allah kasih untuk aku dan Mama. Karena Yunda mengambil alih, aku pun kembali di sibukkan di meja kasir. Iya, waktunya p********n. Saat ini, aku fokus menjadi kasir di warung Mama. Tapi aku ngasir pun sambil bantu-bantu antar pesanan, jadi tidak hanya duduk diam menunggu uang. Sekitar pukul setengah dua, warung kami sedikit sepi tidak seperti tadi saat masih banyak karyawan kantor. Sekarang tinggal satu atau dua orang yang datang. Biasanya rame lagi, nanti pukul 7 malam sampai pukul 10 malam. Baru kami tutup. Pmeuda tampan itu masih berada di posisinya sambil bermain ponsel dan sesekali menyruput jus alpukat yang tengah ia aduk-aduk dengan sedotan. "Mbak!" panggil pria itu. Aku salah tingkah karena terpergok tengah memperhatikannya. "Saya mau bayar," ucapnya penuh senyum. "Iya, Mas. Boleh." Aku segera menghampirinya. Aku hari ini menggunakan celana Levis panjang dan kaos berwarna putih, rambut panjangku di ikat sedikit tinggi, lalu tas pinggang menempel erat di pinggangku. Sudah bisa dibayangkan aku mirip seperti apa bukan? Itu yang membuatku malu-malu bertemu menghampiri pria itu. "Jadi berapa, Mbak?" tanyanya. Aku tersentak! Ternyata aku tengah melamun. Parah! "Nasi ayam+tahu tempe, 25 ribu. Jus alpukat 15 ribu, jadi 40 ribu," ucapku. Pria tampan itu mengeluarkan selembar uang ratusan. "Kembalinya, Mas," ucapku seraya memberikan uang 60 ribu. "Ambil saja, Mbak,"balasnya seraya berlalu. Kulihat dari dalam, pria itu menyebrang menuju kantor mewah nan megah itu. Kantor yang menjadi harapanku dalam sebuah angan. "Pak Nana, sini!" panggilku. "Iya, Neng." Pak Nana menghampiri. "Rezeki buat, Pak Nana. Dari pria itu!" ucapku seraya menunjuk pria tampan yang hendak masuk ke dalam kantor. "Wah,,, terimaksih, Neng," ucap Pak Nana. Aku mengangguk. ???? "Akhirnya, tutup juga kita, Ma," ucapku sembari menyelonjorkan kaki dan memijatnya. "Capek banget!" lanjutku. "Hush! Jangan ngeluh, nggak baik. Kita harus bersyukur. Bukankah rasa capek ini yang kita inginkan?" tanya Mama. "Iya, Ma. Maaf." Aku menjewer kedua telingaku. Persis seperti anak kecil. "Kami pamit pulang dulu, Mbak Lirna, Neng Rara," pamit Pak Nana dan kedua anaknya. "Hati-hati!" ucapku. "Allhamdullillah, sekarang semenjak usaha kita lancar, keluarga Pak Nana juga punya pemasukan, Ra." "Iya, Ma. Rara senang banget lihat kehidupan, Pak Nana sudah mulai membaik. Pak Nana sudah seperti keluarga kita ya, Ma. Apa karena kita berdua hanya sebatang kara?" ujarku penuh senyum. Meski sebenarnya menahan lara yang luar biasa. Di dalam hati aku, hati yang terdalam ini, jujur kukatakan, aku merindukan Papa. Andai dapat kupinta pada Tuhan, aku menginginkan keluarga yang sempurna. Dimana ada aku, Mama dan, Papa. Namun itu hanya angan semata. Haruskah aku melupakan, Papaku? Sementara dia adalah ayah kandungku. Tidak! Aku tidak akan pernah melupakannya. Biar rasa sayang pada Papa kusimpan rapat dalam diam. "Ra," panggil Mama. "Mama tinggal rebus air hangat dulu untuk mandi kamu ya." Aku mengangguk. Setelah Mama menaruh panci berisi air di atas kompor, ia segera beranjak ke atas. Tidak lama kemudian, Mama turun lagi lalu menyerahkan jubah handuk padaku. Sedari tadi aku belum memegang ponselku. Aku pun mengeluarkan dari saku celana dan memainkannya. Aplikasi favoritku adalah Egram. Disana aku bisa melihat postingan teman dan juga artis-artis favorit. Sebuah foto nan indah mencuri perhatianku. Sebuah foto yang menampakan kebahagiaan sebuah keluarga yang sempurna. Pak Adrian, Tante Tania dan Dila. Poto itu baru saja diposting. Mereka bertiga terlihat sangat bahagia. Postingan yang sangat indah, namun mampu membuatku sedih hingga meneteskan air mata. Harusnya melihat kebahagiaan orang lain, aku merasa bahagia. Tapi, kenapa ini justru sebaliknya. Aku tidak boleh jahat. Setelah aku puas memandang foto itu, dan membayangkan jika aku dan Mama yang berada di foto itu, aku pun mengusap air mata yang menetes dengan derasnya. Tak kusadari Mama ada di belakangku. Mengusap pundakku lalu melayangkan sebuah kecupan indah di rambutku. Aku membalikkan badan ke arah Mama dan menatap lekat matanya. Mata seorang wanita yang menyimpan luka, namun dia mampu menyembunyikan-nya. Sorot mata yang masih menyimpan cinta untuk Papa. Kalau memang cinta Mama untuk Papa tidak besar, kenapa Mama masih sendiri dan tidak menikah lagi? Apakah luka yang Papa torehkan menyisakan trauma tersendiri? "Ma, duduk di samping Rara sini." Aku menepuk lantai yang tengah menjadi tempat duduk saat ini. Mama pun mengangguk dan duduk di sampingku. Lalu, kurebahkan kepala di atas paha Mama. Dengan lembut Mama pun mengusap rambutku. "Mama masih cinta sama, Papa? Tolong jawab jujur, Ma. Aku ingin tahu bagaimana perasaan Mama untuk, Papa sesungguhnya?" "Mama bilang, Mama kecewa sama, Papa. Tapi kenyataannya? Mama masih menyimpan cinta untuk, Papa, meski tidak diungkapkan," tegasku. Mama hanya terdiam. Matanya ber-embun. "Mama tidak bisa membenci, Papa. Meski Mama sudah berusaha, Ra," aku Mama dengan Isak tangis yang tertahan. "T-t-tapi… Mama tidak pernah menyesal telah menikah dengan, Papa. Seandainya tidak ada, Papa, Mama tidak mungkin memiliki putri hebat seperti kamu. Mama tidak perlu menikah lagi. Lagipula, Mama kan sudah pernah menikah," ucap Mama. "Mama tidak benci sama, Papa?" Mama hanya menggeleng. "Mama tidak pernah bisa membenci, Papa, Ra …hikz … hikz …." Mama terisak. Aku bangun dari paha Mama dan mengusap air matanya. Aku ingin menjadi teman berbagi kesedihan Mama. Sebab aku tahu, bertahun-tahun Mama menyimpan luka ini seorang diri. Luka pengkhianatan yang dilakukan orang terdekat. "Mama sudah berusaha sekuat tenaga. Namun, ternyata Mama rapuh. Ketika dalam kesendirian, memori ingatan tentang masa indah bersama, Papa. Terus menari di pikiran, Mama. Mungkin Mama bodoh, Ra. Tapi Mama pun tidak tahu kenapa tidak bisa membenci papamu! Hiksz … hiksz …." Segera aku pun menarik tubuh Mama ke pelukanku. Wahai perempuan di luar sana yang mengambil paksa milik orang lain, tahukah kalian? Seperti inilah hati wanita yang kau rampas suaminya. Hancur perasaan dan hatinya. Bahkan selain menyisakan luka yang terus membekas, juga menyisakan trauma tersendiri. Tegakah kau berbuat sedemikian? "Ma, sudah cukup. Maafkan, Rara yang telah merobek lagi luka yang hampir kering," lirihku. "Sekarang, Rara sudah tahu bukan? Isi hati Mama yang sesungguhnya? Meski demikian, Mama tidak akan pernah mau ataupun meminta kembali pada, Papamu. Sekalipun, Papamu menginginkan untuk kembali. Meski itu tidak mungkin karena Papamu sudah memiliki keluarga yang bahagia." Aku hanya mengangguk sambil terus memberi semangat supaya Mama bisa bangkit. Hari ini, aku janji dalam diriku sendiri, ini akan menjadi air mata kesedihan Mama untuk yang terakhir kalinya. Seterusnya, hanya akan ada air mata untuk kebahagiaannya. "Ra, airnya pasti sudah mendidih. Kamu mandi dulu sana," perintah Mama. "Siap, Ma." Cup! Aku pun mencium pipi Mama, setelah itu, baru beranjak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD