Bab 7

1102 Words
POV Rara "Walaikumsalam," ucap Mama bergegas. "Mbak Lirna, saya mau ngasih tahu, itu tempat yang untuk jualan pecel ayamnya sudah rapi. Besok ataupun lusa sudah bisa dibuat jualan. Semua sudah beres seperti permintaan, Mbak Lirna. Bersyukurnya lagi, kantor yang baru jadi dibangun juga segera beroperasi. Pasti banyak yang makan siang di warung Ibu. Belum lagi orang-orang yang lalu lalang. Insya Allah rame, Mbak, warungnya," ucap Pak Jono panjang lebar. Pak Jono itu pemilik tempat yang dikontrak Ibu untuk dijadikan warung pecel ayam. Lebih enaknya lagi, bagian atasnya bisa untuk tempat tinggal kami, karena tempatnya bertingkat. Harga sewanya 20 juta per tahun Khusus tempat. Untuk biaya perlengkapan warung dan dekorasi, sekitar 20 juta. Itu sudah lengkap semua. Lokasinya sangat strategis di pinggir jalan dan juga dekat dari perkomplekan. Masakan Mama itu lezat, aku yakin pasti akan laris manis. Setelah bertahun-tahun kami menabung, allhmdullillah bisa buka usaha juga meski masih kecil-kecilan. "Allhamdullillah," jawab aku dan Mama serempak. "Berarti kami tinggal belanja bahan-bahan pokoknya saja ya, Pak Jono?" tanya Mama memastikan. "Betul!" jawab Pak Jono. "Di atasnya juga sudah rapi, sudah dibuatkan kamar juga untuk Neng, Rara. Dekorasi warungnya bagus, serba ijo dengan gambar lukisan ayam goreng, lele, dan sebagainya. Bikin pengunjung nyaman dan bisa memanjakan mata," lanjut Pak Jono. "Wah, allhamdullillah. Kami jadi tidak sabar. Kalau begitu, besok subuh saya dan Rara belanja ke pasar. Insya Allah, besok kami mulai jualan," ucap Mama. "Insya Allah rame, Mbak. Apalagi kalau yang jualan ramah," ujarnya. Mama mengangguk. "Oh iya, nama warungnya, Pecel Ayam Rara! lanjut Pak Jono. Aku dan Mama pun tersenyum senang. Setelah itu, Pak Jono berpamitan pada kami untuk kembali. Sedangkan Mama dan aku kembali ke dalam. Mama menutup pintu dan kami pun mulai bersantai di kursi bambu seperti biasa. Aku membaringkan tubuh dengan paha Mama sebagai bantalnya. "Ma,,, aku ikut Mama jualan saja ya. Aku tidak perlu lagi bekerja. Mama yang bagian masak, Rara bagian buat minum dan mengantar pesanan pelanggan. Sama angkat-angkat piring kotor," ucapku. "Kamu kerja saja. Masa kamu mau jaga warung sama, Mama? Kamu kan masih muda, Ra." "Memang kalau aku masih muda kenapa, Ma? Siapa tahu kalau aku yang jaga jadi tambah rame. Aku yakin, insya Allah warung kita rame. Dan yang sudah mencoba sambal buatan, Mama, pasti jatuh cinta." Aku memang sudah tidak ingin bekerja. Lebih baik menjaga warung pecel ayam dengan Mama. "Ra, apa kita pindah lagi saja, batalkan buka warung-nya?" tanya Mama. "Lho, kenapa, Ma? Menghindari, Pak Adrian? Jangan, Ma. Kita jangan menghindari Pak Adrian. Toh dia juga tidak tahu kita buka warung pecel ayam. Orang kaya Pak Adrian dan keluarganya juga tidak mungkin makan di warung pinggir jalan. Mereka kan orang kaya." "Untuk apa kita menghindari, Pak Adrian?Itu sama saja kita takut menghadapi kenyataan hidup. Buktikan padanya, Mama dan aku bisa hidup baik-baik saja, meski mereka ada di sekitar kita, dan mereka juga cukup bahagia. Kalau Mama tidak berani menghadapi kenyataan, sampai kapan Mama terus menghindar?" tegasku. Justru kalau aku sendiri lebih tertantang untuk tinggal di sekitar mereka. Biar mereka tahu aku dan Mama bisa bahagia, bisa hidup meski yang mereka pikir kami menderita. "Ya sudah, kita bismillah dan yakin saja sama Allah ya, Ra. Benar juga apa kata kamu. Kalau kita pergi, mereka berpikir kita tidak bisa melupakan masa lalu," ucap Mama. Aku pun mengangguk. Meskipun aku tahu tidak mudah untuk Mama. Mama yang hingga kini masih sendiri, harus menyaksikan kebahagiaan Papa dengan istri dan anaknya. "Semangat untuk Mama!" Mama pun mengacak rambutku dan mencium keningku. "Kalau begitu, Mama mau minta tolong tetangga untuk membantu kita pindahan," ucap Mama. Mama pun berlalu. Sementara aku mulai mengemasi apa saja yang harus dibawa. Barang-barang kami tidak terlalu banyak. Hanya ada beberapa barang penting. Sebenarnya kalau tidak dibawa pun tidak masalah. Mungkin hanya ada beberapa saja yang kira-kira dibutuhkan disana. Maklum, kami hanyalah orang miskin tanpa kehadiran seorang Ayah ataupun suami. Jadi hidup cukup sederhana. ???? Semua barang-barang sudah selesai dikemas dan mulai dibawa ke kontrakan baru oleh Pak Kirno tetangga kami. Ia membawanya menggunakan mobil pikap. Kami pun langsung menyusul kesana. Hari ini juga rumah kontrakan ini telah dikosongkan. Bismillah, kami akan memulai sesuatu yang baru. Semoga di tempat yang baru, segala sesuatunya akan menjadi lebih baik lagi. Karena jarak antara kontrakan baru dan lama tidak terlalu jauh, maka aku dan Mama pun berjalan kaki untuk menempuhnya. Di sepanjang jalan aku dan Mama terus berbincang. Membicarakan sesuatu yang indah tentang warung kami. Berkhayal jika kami menjadi sukses, dan dapat menunjukkan pada Pak Adrian. Setidaknya tanpa bantuan dia, kami pun bisa menjadi sepertinya. Meski itu hanyalah khayalan untuk saat ini, namun aku dan Mama akan berusaha untuk mewujudkannya. ? "Akhirnya, sampai juga," ucap Mama. Kami pun memandang warung pecel ayam yang baru saja jadi dan sudah sangat rapi. Nampak seperti rumah makan, dengan lukisan dinding yang cukup bagus. Meski letaknya di pinggir jalan, namun desainnya seperti restoran berbintang. Pak Jono memang pandai mencari tukang. Saat kami masuk, ke dalam, bangku-bangku dan meja sudah berjajar rapi. Sangat indah dan nampak nyaman … sekali. Dapurnya diberi pembatas etalase besar yang digunakan untuk meletakan ikan dan ayam segar. Sehingga pelanggan juga bisa memilihnya sendiri dengan menunjuk isi etalase. Atau jika mereka ingin duduk cantik, ada aku yang siap mencatat dan mengantar pesanan mereka. Kulkas bening berisi aneka minuman sudah tersedia. Jam dinding dan kipas angin serta harga menu makanan per porsinya juga nampak terpajang di dinding-dinding toko. "Mama puas banget sama hasilnya. Tampak seperti tempat makan mewah, Ra. Bukan seperti warung makan pinggir jalan pada umumnya," ucap Mama. Aku pun mengangguk senang. "Halaman parkir juga tersedia, Ma. Jadi setiap yang datang membawa kendaraan tidak kesulitan mencari tempat untuk parkir. Nah, untuk menjaga parkiran, kita suruh Pak Nana saja. Pak Nana sudah cukup tua. Anaknya banyak masih kecil-kecil, lumayan untuk penghasilan beliau," ucapku. Mama mengangguk setuju. "Tapi kita sistem menggaji, Pak Nana, Ma. Bukan Pak Nana yang meminta pada pelanggan. Kalau mereka mau memberi cuma-cuma dengan ikhlas, yaitu rezeki Pak Nana. Tapi kita tulis juga, Parkir gratis." "Siap anak, Mama!" "Kalau kita hanya berdua, otomatis akan kerepotan. Kita cari tukang cuci piring. Tukang cuci piringnya, anak pertama Pak Nana Si Desi, Ma. Kan lumayan untuk bantu-bantu keuangan keluarganya," sambungku lagi. "Pemikiran yang bagus, Sayang," ucap Mama. "Kalau begitu, nanti Mama pergi ke rumah keluarga Pak Nana untuk menawarkan pekerjaan ini," lanjutnya. Allhamdullillah, hasil kerja keras kami selama bertahun-tahun, akhirnya membuahkan hasil meski baru akan dimulai. Semoga semuanya lancar. Aamminn. Dalam diam memikirkan kesibukan yang akan terjadi, mataku tertuju pada sebuah gedung perkantoran yang cukup mewah. "Andai saja suatu saat nanti, aku bisa bekerja di kantor itu," lirihku. Ah! Mikir apa kamu, Ra. Bukankah ingin membantu, Mama untuk membangun usaha …. ????????
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD