Bab 6. Bertemu Untuk Bicara

1265 Words
"Kamu lagi di mana, Ra?" [Baru abis ada perlu. Ada apa, Mas?] "Bisa kita ketemuan?" [Kapan?] "Sekarang!" [Oh, ok. Di mana?] "Restoran masakan Sunda yang kemarin kita kunjungi, gimana? Sekalian makan malam." [Ok. Paling aku satu jam lagi nyampe.] "Ya, aku tunggu." Arsa memutus sambungan teleponnya dengan Lara --sang istri. Setelah dua sahabatnya --Nabila dan Heru-- pulang, pria itu memutuskan untuk berbicara dengan istrinya itu. Mengambil kunci mobil tanpa mengganti bajunya sama sekali --celana berbahan drill pendek berwarna hitam dipadu kaos kerah berwarna putih-- Arsa langsung segera menyalakan mobil dan keluar dari garasi rumah. *** "Kamu mau ikut aku, Sab?" tanya Lara pada sahabat di sampingnya itu. Mereka baru saja pulang dari panti sekitar pukul lima sore tadi. Suasana yang selalu ramai di sana ketika Sabrina datang bersama Nita, tentu saja menambah kehebohan tersendiri. "Ikut ke mana, Mbak?" tanya Sabrina ketika mereka sudah setengah dalam perjalanan. Menatap Nita yang sama-sama bingung. "Ketemuan sama seseorang. Sekalian kita makan malam." "Terima kasih untuk tawarannya, Mbak. Aku sama Nita langsung pulang aja. Lumayan cape hari ini, pingin istirahat." Senyum yang Sabrina selalu berikan semakin membuat Lara merasa yakin, jika gadis di depannya ini adalah memang orang yang tepat untuk menggantikan posisinya di hati Arsa. Tujuh tahun saling mengenal, bukanlah waktu yang sebentar bagi keduanya. Lara yang memiliki sifat pendiam, selalu merasa nyaman bisa memiliki teman seperti Sabrina. Seorang gadis yang ceria dan ramah kepada siapa pun. Lara selalu bersyukur bisa mengenal Sabrina walaupun ia bukan berasal dari kalangan seperti dirinya. Tidak seperti teman-teman Lara yang lain, yang mau berteman hanya karena ia adalah putri dari orang kaya dan terpandang. "Enggak apa-apa kan, Mbak?" Suara Sabrina mengagetkan wanita itu dari lamunannya. "E-eh, ya, enggak apa-apa kok. Biar aku antar kalian sampai rumah, yah!" "Terima kasih, Mbak." "Enggak usah berlebihan begitu, Sabrina. Aku cuma mengantar kalian pulang." "Hehe, iya, Mbak." Setengah perjalanan itu mereka lalui dengan mengobrol santai meski terjadi jeda berkali-kali. Seharian di panti, membuat Sabrina dan Nita sedikit kelelahan. Berbeda dengan Lara, yang masih terlihat fit tanpa ada raut lelah sama sekali. Hal itu wajar saja terjadi. Lara yang memiliki bisnis Event Organizer, bahkan bisa kuat begadang bila sedang ada event. Tak jarang wanita itu bisa tidak tidur bila event itu merupakan event yang cukup besar. "Aku enggak mampir yah, Sab, Nit. Mau langsung jalan." Lara berbicara di balik kemudinya, menatap Sabrina dan Nita yang sedikit membungkuk di jendela mobil sebelah kiri. Keduanya sampai rumah kontrakan, tepat pukul tujuh malam. "Iya, Mbak, enggak apa-apa. Sekali lagi terima kasih untuk hari ini yah!" "Yah, sama-sama, Sabrina. Aku jalan dulu yah." "Iya, Mbak." "Yuk, Nit!" "Iya, Mbak. Hati-hati." Mobil putih itu melaju dengan kecepatan sedang meninggalkan rumah kontrakan bertingkat dua itu. Sabrina dan Nita masuk ke dalam pagar setelah mobil milik Lara tidak lagi terlihat. Membawa satu buah kantong plastik putih berukuran besar, berisi makanan ringan dan beberapa botol minuman. Lara yang membelikannya, ketika di jalan tadi pamit untuk berhenti di sebuah mini market. Saat kembali, wanita itu telah membawa dua buah kantong plastik. Satu miliknya berukuran kecil dan satu buah kantong berukuran besar diberikan pada Nita yang duduk di bangku belakang penumpang. "Untuk kalian ngemil di rumah." Sabrina dan Nita saling memandang satu sama lain. "Terima kasih, Mbak. Kok pake dibeliin kaya gini sih?" Sabrina menatap wanita yang duduk di sampingnya. "Enggak apa-apa, Sab. Sekali-kali." Padahal bukan sekali itu saja Lara memberi mereka makanan atau kue yang sengaja ia belikan, bisa sepekan atau dua pekan sekali ketika ada acara yang tak sengaja dekat dengan daerah tinggal Sabrina tinggal, wanita itu akan mampir hanya untuk memberi mereka sebuah bungkusan. Bisa berisi apa saja. *** "Udah dari tadi, Mas?" tanya Lara sambil cium pipi kiri kanannya dengan Arsa --sang suami. "Enggak, paling sepuluh menit. Kamu dari mana? Aku dengar kaya lagi di jalan tadi." "Iya. Abis dari panti." "Panti? Panti asuhan?" Arsa memicingkan matanya. "He-em. Aku abis dari tempat masa kecil Sabrina," ucapnya sembari membolak-balikan menu. "Kamu udah pesen makanan?" Menatap wajah sang suami yang terlihat seperti orang kebingungan. "Kamu kenapa, Mas?" Bertanya sambil menutup buku menu. "Memang Sabrina pernah tinggal di panti asuhan? Sabrina sekertaris aku kan yang kamu maksud?" "Iya, Sabrina sekertaris kamu. Memang siapa lagi?" Tersenyum menanggapi pertanyaan Arsa. "Ya, Sabrina memang pernah tinggal di panti asuhan waktu kecil." "Kok kamu enggak pernah cerita sama aku sebelumnya?" "Untuk apa, Mas? Aku rasa itu bukan sesuatu hal yang mesti aku ceritakan. Aku tidak mau menceritakan pribadi seseorang tanpa ijin terlebih dahulu." Memanggil waiter dengan memberikan kode lambaian tangan. "Lagipula, Sabrina kan cuma sekertaris kamu. Aku pikir sebagai seorang direktur, kamu tidak akan peduli dengan masalah pribadi bawahan kamu." Ada niat tersembunyi dari kalimat yang Lara ucapkan —entah apa itu— hanya wanita itu yang tahu. "Mau pesan apa, Bu?" tanya seorang pelayan pria di depan mereka. "Kamu udah pesan belum, Mas? Tadi aku nanya belum dijawab." "Eh, aku belum pesan. Tunggu kamu saja yang pesankan." "Oh, ok. Dua paket masakan Sunda aja yah, Mas. Tambah gurame goreng tepung, dua es jeruk dan air mineralnya juga dua botol." "Baik, Ibu. Ditunggu pesanannya." "Jadi apa yang mau kamu bicarakan?" Langsung bicara pada tujuan, setelah pelayan pergi dari hadapan mereka. "Aku ingin tanya, kapan kamu mau pulang ke rumah?" Terdengar helaan napas dari arah Lara. Menyandarkan punggungnya pada dinding bale tempat mereka duduk. Sebuah tempat berkonsep lesehan dengan area duduk yang hanya berisi meja dengan dinding dari bilik dan juga pilar-pilar bambu. "Aku belum ingin pulang, Mas. Aku sudah merasa nyaman tinggal sendiri." "Tapi sampai kapan, Ra?" "Kenapa kamu tiba-tiba menanyakan hal ini, Mas? Dari kemarin kamu tidak pernah bertanya kapan aku kembali. Kalau aku tidak salah ingat, bukannya kamu akan menuruti apapun kemauanku dari pada harus bercerai. Bukankah begitu?" "Ya, aku memang pernah mengatakan hal itu. Namun apakah salah kalau aku akhirnya ingin tahu apa yang sudah kamu dapatkan dengan meninggalkan aku dan hidup sendiri?" "Nyaman. Itu yang aku rasakan sekarang. Meski keluargaku masih terus saja bertanya mengenai masalah anak, tetapi aku lebih merasa bebas setelah kembali ke apartemen." "Apakah kamu terkekang hidup bersamaku?" "Mas, aku sudah pernah mengatakan hal ini padamu. Aku tidak terkekang. Aku hanya merasa kasian padamu. Meski pun tidak ada yang salah dalam hal belum hadirnya anak di tengah kehidupan rumah tangga kita, tapi aku merasa aku sebagai seorang wanita yang tidak mampu menjadi istri yang sesungguhnya bila aku selalu melihat kamu." "Lantas, sekarang kita harus bagaimana, Ra? Setelah aku pikir, sepertinya kita memang tidak bisa seperti ini terus bukan?" "Aku sudah memberikan solusi padamu, Mas. Ceraikan aku dan kita bisa mencari kebahagiaan masing-masing." Lara menatap serius manik mata hitam milik suaminya itu. Lara masih ingat dengan ucapan dari sepupu perempuannya, Agnes —anak Om Wisnu— adik papanya. Usia yang sama membuat mereka cocok ketika bercerita hal pribadi satu sama lain. Agnes adalah satu-satunya orang yang tahu kalau ia dan Arsa tengah pisah ranjang —dan sekarang Sabrina. Wanita yang sudah memiliki dua putri yang cantik-cantik itu, pernah mengatakan hal yang membuat Lara sedikit tersentil. "Kamu akan sampai kapan hidup berpisah seperti ini, Ra?" Pertanyaan yang Agnes berikan ketika Lara baru dua hari pisah dari Arsa. "Aku tidak tahu, Nes. Tidak ada batas waktu yang aku minta atau Mas Arsa berikan padaku." "Aku hanya mau mengingatkan saja, sebagai seorang perempuan, selama apapun kita hidup sendiri tanpa pasangan, kita masih bisa menahan gejolak hasrat di dalam tubuh dan jiwa kita, Ra. Tapi hal itu berbeda dengan pria. Mereka tidak akan kuat lama bertahan mengendalikan hal itu." Lara terdiam ketika itu. Ia bukanlah wanita bodoh. Lara tahu masalah itu tanpa Agnes memberitahunya. "Aku tahu itu, Nes." "Sekarang aku tanya, kapan terakhir kali kalian berhubungan suami istri?" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD