Bab 5. Maaf Aku Tak Bisa

1081 Words
"Aku mau minta tolong sama kamu, Sab!" ucap Lara ketika keduanya berada di bangku taman depan panti. Mereka tiba sekitar setengah jam yang lalu, setelah sebelumnya menyapa ibu panti dan adik-adik yang masih tinggal di sana. Memberikan hadiah berupa alat tulis sekolah dan juga beberapa makanan ringan. Tak lupa, Sabrina menyerahkan sebuah amplop berisi sejumlah uang. Uang gaji yang sengaja Sabrina dan Nita sisipkan setiap bulan untuk sedikit membantu kebutuhan panti." Aku tambahin, yah. Nih, kamu satuin!" Lara memberi beberapa lembar uang ratusan kepada Sabrina untuk gadis itu masukan ke dalam amplop yang sebelumnya sudah ia siapkan. Kemudian, di sinilah mereka berdua kini. Di sebuah taman, dengan rumput yang tertata rapi, seperti baru saja di potong. Pamit pada Nita dan Ibu Panti untuk mengobrol sebentar. "Mbak mau minta tolong apa?" balas Sabrina, yang sepertinya sudah mengerti arah tujuan pembicaraan mereka. "Ini mengenai masalah rumah tanggaku." Lara mengawali. Masih disimak oleh Sabrina yang mulai kembang kempis hatinya. "Aku belum pernah menceritakan masalah rumah tanggaku sebelumnya, kepada siapa pun itu. Ini baru pertama kalinya aku akan bercerita padamu, semoga kamu mengerti dan mau menolong." Lara mengambil napas sebanyak-banyaknya, berharap bisa menceritakan permasalahan kehidupan rumah tangganya bersama Arsa kepada Sabrina dengan baik. "Kamu tahu bukan, Sab, kalau aku sampai sekarang belum juga hamil dan memiliki anak?" Menatap Sabrina dan mendapat anggukan dari gadis di depannya itu. Semakin jelas pembahasan yang akan keluar dari mulut Lara. "Keluarga besar kami terus saja 'meneror' agar aku dan Mas Arsa memberi mereka generasi penerus." Lara beralih menatap pepohonan yang meliuk-liuk tersapu angin. Mencoba mencari kata yang pas dan tidak terlalu menampakan kekesalan dan juga betapa frustasinya wanita itu akan situasi yang tengah ia alami. "Ada hal yang keluarga kami tidak ketahui, pun dengan orang-orang di luar sana." Menjeda kalimat, kemudian kembali melanjutkan, "aku dan Mas Arsa sudah pisah ranjang sejak setengah tahun yang lalu." Ucapan yang Lara berikan, sontak saja membuat Sabrina terkejut. Namun dengan sangat pandai gadis itu bisa menutupi ekspresinya. "Tapi, bagaimana bisa keduanya masih nampak terlihat harmonis? Pasti tidak akan ada yang menyangka jika keduanya tengah pisah sementara." Batin Sabrina bicara. "Kami berdua sudah tidak memiliki perasaan seperti dulu, Sab. Perasaan di antara aku dan Mas Arsa kini hanya seperti hubungan kakak beradik. Perasaan yang Mas Arsa berikan, layaknya perasaan sayang seorang kakak yang tidak ingin adiknya bersedih. Sebab itulah, ia mengijinkan aku ketika memutuskan ingin hidup sendiri di apartemen." "Mbak tinggal di apartemen?" tanya Sabrina tak percaya. "Ya! Sudah enam bulan." Lara tersenyum melihat gadis di depannya yang tidak bereaksi apapun lagi. "Hingga di titik aku sudah putus asa, lelah atau pasrah, bisa dikatakan seperti itu, aku meminta Mas Arsa agar mencari seorang gadis untuk ia nikahi dan berharap bisa memberikan keturunan untuknya." Kalimat Lara kembali membuat Sabrina terkejut. "Jadi, permintaan Pak Arsa kepadanya itu adalah ide dari Mbak Lara?" Hatinya kembali bicara tanpa berani diungkapkan. "Tapi Mas Arsa keras kepala, ia tidak mau menceraikan aku, Sab. Ia hanya ingin mencari seorang gadis untuk ia nikahi, hanya supaya bisa memberikan anak dan kemudian ia akan ceraikan." Menatap manik mata yang terus berkedip, berharap mendapat reaksi yang ia inginkan. Sejujurnya, Sabrina sudah ingin berkomentar, tetapi keinginannya itu ia tahan. Sebisa mungkin tak memberikan pertanyaan yang malah akan menjebaknya. "Bukan perkara mudah mencari perempuan yang mau menyewakan rahimnya dan melepaskan anaknya begitu saja bukan, Sab? Apalagi kalau perempuan yang aku inginkan sebagai penggantiku adalah perempuan baik-baik." Sabrina hanya merespon dengan menganggukkan kepalanya. Ia masih bertahan dengan kebisuannya. "Oleh sebab itu, Sabrina. Maksud dan tujuanku membicarakan kondisi rumah tanggaku saat ini, adalah aku ingin meminta padamu. Maukah kamu menolong aku dan Mas Arsa?" Deg! Sudah terbayangkan sejak awal maksud pembicaraan yang ingin wanita itu sampaikan. Sabrina menarik nafas dan membuang perlahan. Mirip sekali seperti ibu yang sedang merasakan kesakitan hendak melahirkan. "Menikahlah dengan Mas Arsa, Sab!" "Mbak Lara, tanpa Mbak meminta dan memohon seperti ini, aku pasti akan menolong Mbak dan juga Pak Arsa, tapi ...?" "Tapi apa, Sab?" Ada rona bahagia di wajahnya ketika gadis itu mulai berbicara. "Tapi bukan permintaan yang seperti Mbak katakan." Lemas sudah harapan Lara agar Sabrina mau membantunya. "Apapun yang Mbak Lara minta, selama aku mampu, aku pasti akan bantu. Tapi kalau aku harus menjadi istri Pak Arsa dan memberikan kalian anak, kemudian aku diceraikan, maafkan aku, aku tidak bisa, Mbak." *** "Sudah setengah tahun ini aku meminta dia untuk menjadi istri keduaku, tapi dia menolak." "Tentu saja gadis itu menolak, dia enggan menjadi gadis yang menyewakan rahimnya hanya untuk sejumlah uang. Ya ... maksudku kalau gadis baik-baik pasti tidak akan mau." Nabila menyambar penjelasan Arsa. "Ia belum tahu kalau aku meminta untuk menyewakan rahimnya. Ia menolak karena tidak enak hati pada Lara yang merupakan seniornya di kampus dulu, dan juga sebagai teman yang selalu menolongnya di kala susah." "Apalagi kalau sampai ia tahu. Tanpa berpikir dua kali pun, Sabrina pasti akan menolak." Nabila terlihat sedikit emosi. "Lantas, menurut kalian aku harus bagaimana?" "Semua keputusan ada padamu, Sa. Kami hanya memberikan sedikit pendapat bukan keputusan." Heru gantian bicara. "Sebuah pendapat agar aku bercerai dengan Lara? Begitu!" sahut Arsa tak percaya. Bagaimana bisa kedua sahabatnya itu meminta ia untuk bercerai dengan istrinya. "Arsa, bila kita membicarakan agama di sini, memang perceraian itu tidak disukai oleh Tuhan, tapi hal itu tidak dilarang." "Ya aku tahu. Tapi kalau kalian yang ada di posisiku, sepuluh tahun mengarungi kehidupan rumah tangga bersama, apakah akan mudah melepaskannya begitu saja dengan kata cerai?" "Bila hal itu hanya akan membuat kita berdua sakit satu sama lain, maka aku akan memutuskan, iya." Heru dan Nabila saling mengangguk. "Arsa, apakah kamu tidak berpikir, bagaimana dengan perasaan Lara?" tanya Nabila. "Karena aku memikirkan perasaan Lara, makanya aku enggan untuk menceraikannya, Nab!" "Tapi, bukankah hal itu Lara yang meminta?" "Itu bukan kata hatinya!" "Dari mana kamu tahu? Apakah kamu pernah bertanya atau kamu hanya mengingkari saja bahwa sebetulnya Lara memang bersungguh ingin pisah darimu?" Arsa membeku. Ia tidak bisa mengelak lagi. Memang ia jugalah yang mengingkari semuanya. "Arsa, bicarakanlah kembali hal ini secara baik-baik bersama Lara. Kalau pun kalian memang harus berpisah, mungkin itu jalan yang terbaik. Siapa yang tahu takdir kalian berdua di masa depan. Mungkin saja nanti kalian akan menemukan pasangan masing-masing dan mendapatkan kebahagiaan dari pasangan baru kalian nantinya." Nabila menyetujui kalimat yang suaminya ucapkan, wanita tiga anak itu mengangguk. Menatap sang sahabat yang terlihat ada gurat kesedihan di wajahnya yang tampan. "Ya, sepertinya aku memang harus membicarakan hal ini bersama Lara. Istriku benar, jangan dibiarkan terlalu berlarut." "Apapun keputusan kalian nantinya, kami akan selalu ada untuk kalian, Sa." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD