Riska tertawa terbahak-bahak mendengar cerita Luisa saat pergi ke acara amal kemarin. Gadis itu saking semangatnya tertawa hingga perutnya terasa sakit. Perlahan Riska menghentikan tawanya sembari memegangi perutnya.
Menatap Luisa yang sedang merengut sebal karena ditertawakan oleh Riska. Bukannya menghiburnya yang gagal mencari jodoh, Riska malah menertawakannya dengan kejam.
Gadis itu membiarkan saja Riska terus menertawainya. Luisa membuka laptopnya. Memilih mengerjakan laporan keuangan daripada terus mendengarkan ledekan Riska yang tidak penting.
Sekilas Luisa berpikir apa dia harus menjahit mulut Riska saja agar berhenti membullynya. Riska menepuk pundaknya pelan. "Jangan ngambek dong!" ucapnya sembari tersenyum manis.
Luisa mendengus. Senyum-senyum, dia pikir senyumnya bikin gue jatuh cinta gitu, batinnya. Gadis itu mencembikkan bibirnya menanggapi rayuan sahabatnya itu.
"Ya elah, si Luisa ngambek beneran!"
"Sa! Luisa! Eh jangan ngambekan dong! Ntar makin jauh dari jodoh loh!"
Seketika Riska langsung meringis saat dahinya bertemu dengan pulpen bergambar mickey mouse milik Luisa. Gadis itu meringis kecil. Mengusap-usap dahinya yang terasa cenut-cenut karena tadi Luisa lumayan keras menimpuknya.
"Kejam ih!"
"Biarin! Yang penting cakep!"
"Cakep tapi jomblo!" celetuk Riska.
Luisa langsung mendelik menatapnya. Membuat Riska nyengir, terkekeh kecil. "Sorry..."
"Eh, ntar ikutan jenguk anaknya si Jono kan?" tanya Riska.
"Jono siapa?" ucap Luisa malas. Dia masih gondok pada Riska.
"Jono si office boy!"
"Istrinya udah ngelahirin ya?"
Riska mengangguk. "Anaknya cewek. Katanya sih lahiran di klinik. Kasian banget itu si Jono," ujarnya.
"Kenapa kasian? Kan harusnya seneng anaknya udah lahir?" balas Luisa
"Ya emang seneng anaknya udah lahir. Tapi kasiannya dia nggak punya biaya buat bayar klinik tempat bininya ngelahirin. Tadi sih si Desy bilangnya sama anak-anak mau jenguk sekalian ngasih sumbangan ke si Jono. Biar bisa buat nebus anaknya di klinik," jelas Riska.
"Oh... kalo punya niat nyumbang kenapa nggak dikumpulin sekalian duitnya. Kita bikin kotak sumbangan aja sekalian. Terus kita edarin ke temen-temen lain. Kan lumayan tuh kalo duit ngumpul dari anak sekantor. Bisa buat nebus anak sama dokternya sekalian!" balas Luisa tanpa dosa.
Riska menoyor pelan kepala Luisa. "Pikiran lo!" serunya.
Luisa terkekeh. Gadis itu teringat kembali pada dokter tampan yang sudah menolongnya kemarin. Dia tersenyum kecil mengingat bagaimana wangi pipi si dokter saat kemarin dia menggendong Luisa dan hidung Luisa menabrak pipi tembam itu. Pipinya sedikit tembam. Sama seperti pipinya. Jangan-jangan jodoh, batin Luisa.
"Lo sehat kan, Sa?" ucap Riska saat melihat Luisa yang sedang senyum-senyum sendiri sambil memegangi pipinya.
Luisa tersentak kaget. Gadis itu menjadi salah tingkah. Dengan cepat dia kembali menghadap laptopnya menutupi rasa malu karena tadi dia sempat membayangkan Alianka.
"Nggak. Gapapa," jawabnya pura-pura biasa.
"Ntar ikut kan jenguk anaknya si Jono?" tanya Riska.
Luisa mengangguk pelan. Kemudian gadis itu tidak lagi mendengar ocehan Riska. Saat meliriknya, Luisa melihat gadis itu ternyata sudah fokus pada laptopnya. Luisa mendesah lega. Syukur, batinnya.
***
Luisa menggeliat perlahan. Bangun dari tidurnya, dia berada di dalam mobil. Gadis itu tersentak kaget saat sebuah usapan lembut menyentuh pergelangan tangannya. Di sampingnya, Alianka sedang tersenyum menatapnya.
Gadis itu sontak membalas senyumannya. Alianka mengusap pipinya pelan. "Turun, yuk!" ajaknya.
Luisa mengangguk. Kemudian menyusul Alianka turun dari mobilnya. Alianka mengulurkan tangannya pada Luisa. "Aku bantu. Kaki kamu masih sakit kan?"
Gadis itu langsung mengangguk cepat. Menyambut uluran tangan Alianka. Menggenggamnya erat. Alianka membiarkan Luisa memeluk erat lengannya. Pria itu tersenyum tipis melihat Luisa yang tampak malu-malu.
"Makasih udah nganterin aku kesini!" ucap Luisa.
Alianka mengangguk kecil. Tersenyum lembut pada Luisa. "Gapapa. Lagian kan aku lagi nggak sibuk kok," jawabnya.
"Nggak ada pasien?" tanya Luisa.
"Ada. Tapi cuma sedikit. Jadi bisa pulang cepet. Oh iya, istri temen kamu itu dirawat disini ya?"
Luisa mengangguk. "Iya. Tapi aku nggak tau kamarnya. Anak-anak tadi duluan. Harusnya sih udah nyampe," balasnya.
Alianka mengusap lembut kepala Luisa yang sedang terlihat bingung. "Gapapa. Kita coba tanya sama resepsionis. Pasti dikasih tau nomor kamarnya."
Luisa tersenyum. Mengangguk pelan. Tapi belum sempat dia dan Alianka melangkah menuju meja resepsionis, sebuah suara buru-buru menghentikannya.
"Luisa! Luisa!"
Luisa menoleh dan mendapati Riska sedang berlari-lari ke arahnya. Sambil memanggil-manggil namanya. "Itu temenku!" ucap Luisa pada Alianka. Pria itu membalasnya dengan senyuman kecil.
"Luisa! Luisa!"
Riska menepuk-nepuk pipi Luisa. Sesekali mengguncangkan badannya. "Luisa! Ish! Ini anak tidurnya pules bener, deh. Sa! Luisa!"
Luisa mengerjap. Gadis itu memincingkan matanya yang masih terasa berat. "Alianka?" lirihnya serak.
"Alianka! Alianka! Gue Riska! Lagian siapa lagi itu si Alianka!" ucap Riska sewot.
Luisa menoleh kanan-kirinya. Dia di mobil. Tapi sendirian. Tidak ada orang lain disana. "Alianka mana?"
"Alianka siapa sih? Alibaba? Aligator? Apa Aliando? Eh jangan Aliando. Dia punya gue!"
Luisa menggeleng cepat. "Alianka tadi disini. Dia yang nganter gue kesini."
Riska mendengus. "Nggak ada Alianka disini! Elo mimpi kali! Yang nganter kita kesini tadi Pak Sutomo, sopir kantor. Elo molor mulu sih! Jadi mimpi kan! Anak-anak udah di dalem semua noh!" omel Riska.
Luisa mengernyit. Jadi tadi dia sedang bermimpi? Yah, sayang banget dong, batinnya. Jadi dia bisa dipeluk Alianka, di elus-elus Alianka cuma di dalam mimpi?
"Sa! Yee... ngelamun ini anak! Ayo buruan kita masuk!" sentak Riska.
Luisa mendengus kesal. "Lo duluan aja deh sana!" ujarnya.
Jadi tadi dia mimpi? Bodohnya dia! Mana mungkin juga Alianka bisa meluk-meluk sama ngelus-elus dia? Kan mereka baru kenal, apalagi Alianka juga udah punya istri batinnya.
Dengan wajah cemberutnya, Luisa turun dari mobil. Melangkah pelan mengikuti Riska yang sudah lebih dulu masuk ke dalam klinik.
Langkah Luisa terhenti. Gadis itu berbalik. Kembali ke depan. Mengamati pintu masuk klinik. Kok rasanya dia pernah kesitu sebelumnya ya? Gadis itu pun mengingat-ingat. Klinik...klinik... klinik...
"Klinik!" seru Luisa senang.
Dia ingat sekarang. Klinik itu tempat kemarin dia bertemu Alianka, si dokter tampan itu. Mata Luisa langsung bersinar. Dia ingat betul klinik ini. Meskipun dia kemarin kesini pas malam hari, tapi Luisa hafal dengan tata letak dan tampak depan dari Klinik itu.
Dengan langkah tertatih karena kakinya masih diperban, Luisa pun masuk ke dalam klinik itu. Matanya mencari-cari dimana kemarin ruangan tempat dia diperiksa oleh Alianka.
Tapi tiba-tiba sebuah tubuh mungil menabraknya. Luisa tersentak kaget saat merasakan sentuhan dingin di tubuhnya. Gadis itu langsung mendelik tak percaya saat melihat bajunya basah dari perut ke bawah.
Gadis itu sontak menjerit. "Baju gue!" pekiknya.
Si makhluk mungil yang menabaknya menatapnya takut-takut. Apalagi saat Luisa menatapnya tajam. Gadis kecil itu menunduk takut. Berdiri dengan kaku di depan Luisa. Memainkan tangannya.
"Vio!" Tiba-tiba seorang wanita berlari-lari ke arah Luisa dan anak kecil itu.
"Kamu ini! Kan udah mama bilang, jangan lari-lari!" ucap wanita itu pada si bocah.
Bocah yang dipanggil Vio hanya bisa menunduk. Sambil memeluk tubuh mamanya. Wanita itu menatap Luisa bingung.
"Mbaknya kenapa bisa sama anak saya?"
Luisa mendengus. Dia melirik bocah yang masih betah menunduk itu. "Anak ibu numpahin minuman ke baju saya. Nih coba liat!" Luisa menunjukkan blouse dan rok selututnya yang terkena tumpahan air minum si bocah.
Wanita itu geleng-geleng kepala melihatnya. Menghela nafas panjang, dia mengelus kepala putrinya yang terlihat ketakutan.
"Vio bener numpahin minum ke baju Tantenya? Kok Vio diem aja? Nggak mau minta maaf sama Tantenya?" suruhnya.
Bocah itu menangguk pelan. Atas perintah ibunya, gadis kecil itu mencium tangan Luisa sekilas. Kemudian berlari menjauh. "Vio...!" seru sang mama.
"Maafin anak saya ya, Mbak. Udah bikin baju Mbak kotor. Saya bener-bener minta maaf," ucap wanita itu pada Luisa.
Mau tidak mau pun akhirnya Luisa mengangguk. Setelahnya wanita itu pergi meninggalkan Luisa sendirian. Mengejar si bocah yang sudah berlari entah kemana.
Luisa menghela nafas panjang. Dengan wajah merengut, gadis itu menatap penuh sesal pada blouse sifon berwarna ungu bermotif bunga yang menjadi favoritnya itu.
Luisa pun melangkah menuju kursi tunggu. Duduk di sana sambil merengut. Luisa merengek menyesali kenapa dia bisa selalu saja sial. Lama gadis itu menyesali nasibnya. Hingga terdengar suara lembut di telinganya.
"Luisa?"
Di depannya Alianka sedang tersenyum tipis menyapanya. Melambai lembut padanya. "Hai!"
Luisa menatap wajah tampan yang terus membayanginya sejak kemarin. Gadis itu terdiam dengan mulut menganga. Apa ini mimpi lagi, pikirnya.
Luisa menggeleng-gelengkan kepalanya berkali-kali dengan mata terpejam. Setelah itu dia mendongak, membuka matanya. Gadis itu terheran karena bayangan Alianka tidak mau pergi dari hadapannya.
Luisa kembali menutup matanya. Mengulangi apa yang dia lakukan seperti tadi. Kemudian saat dia membuka mata, Luisa masih menemukan Alianka di hadapannya.
Alianka terdiam kebingungan dengan reaksi Luisa. Kenapa dengan gadis itu, batinnya. Dia benar-benar aneh. Alianka memandangi Luisa dari atas ke bawah. Blousenya basah hingga ke rok span hitamnya.
Dua kali dia bertemu dengan gadis itu, di tempat yang sama dan dengan keadaan yang sama pula. Kenapa bajunya selalu basah saat dia bertemu dengan Alianka?
"Dok..." Seorang suster menghampiri Alianka dengan terburu-buru.
"Iya?"
"Pasien yang masuk tadi malam sekarang mengalami kontraksi Dok," ucap si suster.
Alianka mengangguk pelan. Matanya tak lepas memperhatikan Luisa yang masih dengan sikap anehnya itu. "Kita kesana sekarang!" jawabnya kemudian mengikuti si suster.
Kembali lagi Luisa mengulangi hal yang sama. Dan saat dia membuka mata, gadis itu mendesah lega. Alianka sudah tidak ada disana. Ternyata dia benar, jika itu hanya mimpi.
Dengan langkah tertatih, Luisa menghampiri meja resepsionis. Menanyakan kamar rawat istri temannya yang baru melahirkan itu.
***
"Oh My God, Luisa! Baju lo kenapa itu?" pekik Riska saat melihat baju Luisa yang basah.
Luisa masuk ruang rawat pasien dengan cemberut sekaligus malu karena perhatian semua orang yang ada disana tertuju padanya.
Gadis itu kesal pada Riska yang bicara asal ceplos tak tau tempat. Sudah tau banyak orang disana. Bicaranya tidak pakai di rem. Luisa jadi malu, kan.
Luisa jadi makin kesal saat melihat ekspresi mengejek dari Tara, rivalnya di kantor. Gadis ganjen itu memang sejak dulu tidak suka pada Luisa. Karena Luisa seringkali mendapat predikat karyawan teladan karena dedikasinya yang tinggi pada perusahaan.
Dia juga selalu disiplin waktu dalam bekerja. Tak heran, baru dua tahun Luisa bekerja disana sudah diangkat menjadi Staff bagian maketing.
"Aduh... udah biasa deh, cewek nggak laku! Suka cari perhatian. Biar diperhatiin orang!" sindirnya.
Luisa mendelik. Menatap Tara dengan penuh amarah. Gadis itu sudah akan maju mendekati Tara. Ingin sekali merobek mulut berbisanya itu. Meskipun dengan kaki yang pincang, Luisa yakin bisa mengalahkan gadis itu dengan mudahnya.
"Kurang ajar!" desisnya.
Namun Riska buru-buru menahan tangannya. Menarik Luisa menjauh dari Tara. "Udah jangan diladenin. Ini rumah sakit. Nggak enak sama yang lagi kita jengukin tuh!"
Luisa terdiam sambil melirik jono, juga istrinya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Menghela nafas pelan, Luisa menghampirinya. Ikut bergabung dengan teman-temannya yang lain.
"Istri sama anak kamu rencananya pulang kapan, Jon?" tanya Riko, salah seorang teman Luisa pada Jono.
Jono menggeleng lemah. "Belum tau, Bang Riko. Anak saya masih di inkubator. Kondisinya masih belum memungkinkan buat dibawa pulang," jawabnya.
"Beneran Jon? Bukannya anak lu ditahan karena ngga bisa bayar biaya perawatan?" sela Mona, teman Luisa yang lainnya.
Jono menggeleng pelan. "Enggak kok, Mbak. Orang istri saya melahirkan ini gratis. Biaya perawatan anak saya juga gratis. Dokternya baik banget, Mbak. Pasien kurang mampu yang melahirkan disini dibebaskan dari biaya," jelasnya.
Semua teman-teman Luisa terlihat heran. Mereka menganga tak percaya. "Jadi itu dokter yang bayarin biaya rumah sakit pasien yang kurang mampu?" tanya Riko.
"Dokter itu yang punya Klinik ini Mas Riko," jawab Jono.
"Wah... kaya banget berarti itu dokter. Baik pula mau gratisin biaya buat pasien kurang mampu," ujar Mona takjub.
Luisa ikut-ikutan merasa takjub. Ternyata di dunia ini masih ada orang sedermawan itu. Yang tidak keberatan menghamburkan uangnya untuk membantu orang lain.
"Dokternya cewek apa cowok, Jon?" tanya Mona dengan antusias.
"Cowok, Mbak Mona. Masih muda terus ganteng lagi."
Wajah Mona langsung berseri-seri. Gadis itu berdecak kagum mendengar semua cerita Jono tentang dokter itu.
Riska menyenggol pelan lengan Luisa. "Tuh, ada Dokter ganteng yang kaya. Lo nggak mau ikutan Mona nemuin itu dokter ntar?" tanyanya berbisik.
Luisa tersenyum tipis. Entah kenapa mendengar ciri-ciri si dokter yang diceritakan Jono, dia jadi teringat pada Alianka. Tapi tidak mungkin dokter itu Alianka, kan? Alianka sudah menikah. Sedangkan dokter itu masih single.
Luisa mendesah pelan. Apa nggak bisa dituker aja statusnya. Dokternya Jono yang udah punya istri. Terus Alianka masih singel. Jadi kan Luisa bisa deketin tuh.
Suara heboh teman-teman Luisa yang membicarakan dokter itu seketika terhenti saat mendengar suara pintu terbuka. Semua orang yang ada disana terdiam ketika melihat sosok tampan bak pangeran memasuki ruang rawat istri Jono dengan senyuman manis.
"Permisi, maaf mengganggu. Saya mau memeriksa pasien dulu. Bisa tolong Mbak-Mbak dan Mas-Masnya keluar sebentar?" ujarnya sopan.
Luisa tertegun. Mendengar suara lembut dan halus itu melewati indera pendengarannya. Gadis itu sontak berbalik menatap sumber suara. Dan seketika jantungnya berhenti berdetak.
"Lah, itu Dokter Romeo!" ucap Jono pada semua temannya.
Luisa membeku. Menatap kaget pada Alianka yang berdiri di depan pintu. Dan saat mata mereka saling beradu, Luisa menahan nafasnya. Jadi Alianka itu...
"Luisa?" suara Alianka yang lembut menyapa Luisa.
Luisa meringis. Membalasnya dengan tersenyum tipis. "Alianka..." ucapnya.
"Kamu disini juga?"
Luisa mengangguk salah tingkah. Gadis itu tersenyum kaku saat semua mata tertuju padanya seorang.