Chapter 4 : Luka yang tertahan

2272 Words
Luisa tersenyum kaku. Gadis itu balas melambai pada Alianka. "Hai!" sapanya gugup. Riska yang berdiri di sampingnya menyikut lengan Luisa pelan. "Lo kenal sama dokter ganteng itu, Sa?" tanyanya berbisik. Luisa mengangguk pelan. Entah kenapa dia merasa sangat malu bertemu dengan Alianka lagi. Terlebih dengan keadaanya yang seperti ini. Gadis itu bisa melihat tatapan geli Alianka saat melihatnya. Pria itu sedang menahan tawa. Dan Luisa yakin itu semua karena dirinya. "Itu dokter yang gue ceritain tadi pagi Ris," balasnya lirih seraya tersenyum tipis pada Alianka. Riska membulatkan matanya. Gadis itu menatap Luisa tak percaya. "Oh My God! Cakep gila, Sa!" pekiknya tak tertahan. "Luisa?" Luisa tersentak. "Ya?" Alianka tersenyum. "Bisa anter teman-teman kamu keluar dulu? Saya mau periksa pasien," ujar Alianka dengan sopan. Luisa mengangguk begitu patuh seolah terhipnotis akan sosok Alianka. Gadis itu buru-buru mengajak semua temannya untuk keluar ruangan. Dan membiarkan Alianka memeriksa istri Jono di dalam ruangan. Riska menarik Luisa menjauhi teman-temannya. Riska mengetok kepala Luisa pelan. "Tega ya lo, Sa. Punya kenalan dokter ganteng nggak bilangbilang! Parah lo!" geram Riska. Luisa mengaduh kesakitan. Gadis itu balik memelototi Riska. "Kan tadi pagi gue udah bilang Ris," balasnya tak terima. Masa tadi pagi dia cerita sepanjang itu tapi Riska nggak paham juga. "Tapi lo nggak bilang dokternya seganteng ini!" ucap Riska gemas. Luisa mendengus menatap Riska kesal. Sementara gadis itu begitu heboh memuji Alianka dengan antusiasnya di depan Luisa. Tiba-tiba seseorang berdehem di dekat mereka. Sontak Luisa dan Riska kompak menoleh. Mereka mendapati Tara berdiri tak jauh dari tempat mereka berdiri. Bersindekap dengan sombongnya. Menatap Luisa remeh. "Kenal dimana lo sama tuh Dokter?" tanyanya sinis. Luisa mengernyit. Mendengus pelan mendengar pertanyaan Tara. "Apa urusannya sama lo? Emang jadi masalah lo gitu?" balasnya tak kalah sinis. Tara mendelik. "Jelas jadi urusan gue, dong. Gue nggak percaya kalo lo kenal sama orang kayak Dokter Romeo. Pasti lo cuma pura-pura kenal aja, kan?" serangnya. Luisa menggertakkan giginya marah. Gadis ini sepertinya benarbenar minta dirobek mulutnya yang selalu sinis dan pedas itu. "Heh, topeng monyet! Lo kalo ngomong jangan sembarangan ya! Lo nggak liat itu tadi Alianka duluan yang nyapa gue! Itu artinya dia juga kenal sama gue!" tekannya. Riska terkikik mendengar sebutan Luisa untuk Tara. Apalagi melihat ekspresi Tara saat ini. "Dasar lo cewek nggak laku! Mulut lo sembarangan kalo ngomong!" desis Tara. Luisa menyeringai. "Terus lo mau apa? Ngajakin berantem. Ayo sini kalo berani. Biar gue cakar abis itu muka mulus lo!" balasnya. Tara melotot pada Luisa. Menatap horor kedua tangan Luisa yang menampilkan kuku panjangnya. Gadis itu terlihat berancang-ancang untuk mengeluarkan jurus cakar-mencakarnya. Bukan Tara tidak tau Luisa tidak pernah main-main dengan ucapannya. Mereka sudah pernah beradu jurus beberapa bulan yang lalu. Luisa ternyata musuh yang tangguh. Gadis bertubuh mungil itu mampu membuat Tara bertekuk lutut memohon ampun. Bahkan Tara masih ingat benar saat rambutnya rontok mengenaskan di tangan Luisa kala itu. Tara bergidik ngeri. Cepatcepat gadis itu mundur menjauhi Luisa. Kembali ke gerombolan teman-temannya. Riska tertawa terbahak melihat ekspresi ketakutan Tara saat diancam oleh Luisa. Gadis itu sampai memegangi perutnya yang terasa sakit karena tertawa terus menerus. Luisa terkikik melihat Tara yang sudah ngacir duluan karena takut padanya. Ternyata gadis itu masih trauma dengan pergulatan sadis mereka waktu itu. "Parah lo, Sa. Tuh anak orang ampe ngacir gitu. Sadis beneran lo!" ucap Riska di sela-sela tawanya. Luisa terkekeh. "Iya juga ya, Ris. Kok gue ngerasa kayak monster gini sih," celetuknya yang membuat tawa Riska makin meledak. "Luisa!" panggil seseorang tiba-tiba yang langsung menghentikan tawa Luisa dan Riska. "A-" "Alianka?" sela Riska. Luisa berdecak. Gadis itu menyikut perut Riska dengan kesal. karena Riska berani mendahului kata-katanya. Riska hendak memprotes perbuatan Luisa padanya namun urung saat melihat wajah seram Luisa. Riska tersenyum tipis pada Alianka kemudian bergerak mundur ke belakang. Memberikan ruang untuk Alianka dan Luisa berbicara berdua meski sebenarnya dia tidak rela. "Hai, kita ketemu lagi," ucap Alianka lembut. Luisa mengangguk pelan. "Iya nih." "Di keadaan yang sama." Luisa meringis saat mengetahui Alianka melirik bajunya yang basah dan kotor. "Hehe. Ini tadi ketumpahan minum anak kecil di depan," jawabnya. Alianka menggeleng pelan. "Mau aku pinjemin baju?" tawarnya. "Aku ada baju temen di loker. Kalo mau kamu boleh pinjem. Daripada pake baju kotor gitu," lanjut Alianka. Luisa terdiam. Gadis itu menunduk malu. "Gimana?" tanya Alianka. Akhirnya Luisa pun mengangguk kaku. Kemudian mengikuti ajakan Alianka untuk berjalan menuju ke ruangannya. *** Alianka diam tak berkedip saat melihat Luisa di hadapannya yang sedang memakai dress ungu selutut milik Salsa, teman dokternya di klinik. Gadis itu terlihat begitu manis. Badannya pas sekali dengan dress itu. Alianka tidak salah mengira-ngira ukuran baju Luisa dengan Salsa yang hampir sama. Hanya saja dress itu terlihat lebih panjang saat dipakai oleh Luisa. Karena memang tubuh Luisa lebih pendek dari Salsa. Alianka tersenyum tipis pada Luisa yang terlihat malu-malu. Gadis itu bergerak maju mendekati Alianka. "Ini gapapa bajunya aku pinjem?" tanyanya. Alianka mengangguk mantap. "Gapapa. Pake aja! Orangnya lagi di luar kota," balasnya. Luisa menunduk dengan pipi bersemu merah. Dia malu karena Alianka sejak tadi tak henti menatapnya. Alianka melihat jam tangannya. Sudah pukul setengah tujuh malam. Sudah waktunya dia pulang. "Temen-temen kamu balik jam berapa?" tanyanya pada Luisa. Gadis itu mengendikkan bahunya. "Ga tau. Paling bentar lagi juga balik kok." "Kamu pulang bareng mereka?" Luisa menggeleng pelan. "Nggak kayaknya. Mereka balik ke kantor dulu. Ngambil motor. Kan tadi kesininya bareng-bareng naik mobil kantor." "Terus kamu naik apa pulangnya? Nggak ikut mereka balik ke kantor juga?" "Nggak lah. Kan aku ngga bawa motor. Kalo berangkat bareng sama sepupu yang kuliah di kampus deket kantor." Alianka mengangguk pelan. "Mau pulang bareng aku aja nggak?" tawarnya. Luisa terperangah mendengar tawaran Alianka. Astaga. Ini pangeran beneran ngajak aku pulang bareng kan, batinnya. Alianka berdehem. Tak enak melihat ekspresi terkejut Luisa. "Kalo kamu mau sih," lanjutnya. Tanpa dia duga, Luisa langsung mengangguk cepat. "Mau!" serunya antusias. Alianka terkekeh. Pria itu tertawa geli melihat ekspesi lucu Luisa. Apalagi saat gadis itu salah tingkah karena baru menyadari reaksinya sendiri. *** Sepanjang perjalanan pulang, Luisa dan Alianka terus bercakap-cakap. Mereka ngobrol mengenai pekerjaan mereka satu sama lain. "Jadi Dokter enak nggak, sih?" tanya Luisa iseng. Alianka tersenyum. "Enak maksudnya gimana?" "Ya enak. Soalnya kamu kayaknya seneng banget bisa jadi dokter." Alianka tertawa. Pria itu mengangguk cepat. "Bener. Aku seneng banget bisa bantu orang lain. Bahagia karena hidupku bermanfaat buat orang lain." "Kamu dokter kandungan?" Alianka mengangguk. Luisa tersenyum masam. Alianka yang melihatnya merasa bingung. "Kenapa?" "Gapapa. Cuma kasian aja," balas Luisa singkat. "Kasian sama aku?" "Bukan. Kasian istri kamu ntar." Alianka mengerutkan alisnya tak mengerti. "Kenapa harus kasian? Takut aku nggak bisa kasih makan istriku nanti?" Luisa menggeleng. "Kasian istri kamu karena harus nahan cemburu. Suaminya pegang-pegang perempuan lain. Apalagi ngebantu ngelahirin. Kan...." Ucapan Luisa terhenti saat melihat Alianka tengah menahan tawanya. Luisa jadi malu sendiri. Gadis itu menunduk dengan pipi bersemu merah. "Kenapa mikirnya jadi kesitu?" goda Alianka. Luisa menggigit bibirnya menahan senyum. Oh My God, dia benar-benar malu sekali. Iya juga, kenapa dia bisa berpikiran sampai kesana? Alianka tertawa terkekeh melihat ekspresi malu-malu Luisa. Pria itu menggeleng pelan sembari menatap lurus ke depan. Luisa tersenyum kecil melihat Alianka sedang menyetir dengan senyum yang masih tersungging di bibir merahnya. Wajah pria itu begitu tampan. Hidungnya, bibirnya, matanya yang indah. Apalagi bulu mata lentiknya itu. Jika boleh Luisa ingin sekali menyentuh bulu mata lentik itu. Memainkannya dengan jari-jarinya. Membayangkannya membuat Luisa senyum-senyum sendiri. "Berarti istriku nanti hebat banget dong, ya? Bisa nerima suaminya yang tiap hari pegang-pegang wanita lain," gurau Alianka. Luisa sontak mendelik. Menatap Alianka tajam. Enak saja dia mau pegang-pegang wanita lain sesukanya, batin Luisa geram. Tunggu, kenapa Luisa jadi marah? Memang apa haknya? Gadis itu menggeleng pelan. Sedang Alianka tertawa renyah. Luisa berdecak pelan. Terdiam menatap Alianka lama. "Jadi kamu belum nikah, ya?" tanyanya. Alianka mengernyit. "Kenapa emangnya?" "Ya gapapa," balas Luisa. "Emang kalo aku belum nikah kamu mau nikah sama aku gitu?" Luisa ternganga mendengar pertanyaan Alianka. Sumpah demi apa? Gadis itu mengerjap menatap Alianka. Dan saat itu pula tawa Alianka pun pecah. Pria itu tertawa terbahak-bahak sambil menyetir. Alianka sampai memegangi perutnya yang terasa sakit karenanya. Pria itu benarbenar gemas dengan ekspresi Luisa. Kenapa bisa ada gadis seperti Luisa, batinnya. Luisa mencebikkan bibirnya saat sadar sedang dikerjai oleh Alianka. Alianka perlahan menghentikan tawanya. Mengusap air mata yang keluar dari sudut matanya saat tertawa tadi. "Luisa... Luisa... kamu ini!" ucapnya dengan nafas terengah-engah. Alianka membelokkan setirnya memasuki sebuah kompleks perumahan. Menurunkan kaca mobilnya dan menyapa seorang satpam yang berjaga di pos. "Daerah sini cukup nyaman juga ya, Sa?" Luisa mengangguk. "Iya. Nyaman juga lumayan rame. Nggak terlalu jauh juga dari kantor tempat kerjaku," balasnya. "Kamu kok bisa sih merantau sendirian ke Jakarta? Apa nggak lebih enak tinggal deket keluarga aja?" tanya Alianka pada Luisa. Luisa terdiam. Gadis itu tersenyum tipis. Mengalihkan pandangannya pada kaca mobil. Alianka terdiam menunggu jawaban Luisa. Namun gadis itu tak bergeming. Alianka pun tak lagi bertanya. Membiarkan Luisa diam memandangi kota Jakarta petang itu dari balik kaca jendela mobilnya. Hingga akhirnya mereka tiba di depan rumah kontrakan Luisa. Gadis itu melepas sabuk pengaman. "Makasih ya, Alianka. Udah mau repot-repot nganter sampe rumah," ucapnya pada Alianka. Alianka mengangguk. "Gapapa kok. Kan rumahku nggak terlalu jauh juga dari sini." Luisa tersenyum kecil. "Oh iya, bajunya nanti gimana? Aku anter ke klinik aja ya? Kan aku nggak tau rumah kamu." "Em... boleh deh. Kalo kamu nggak sibuk. Atau biar nanti aku ambil kesini aja. Jadi kamu nggak perlu jauh-jauh ke klinik." "Apa nggak ngerepotin kamu, Alianka?" Alianka menggeleng pelan. "Gapapa, kok. Biar aku ambil aja nanti. Kamu tinggal hubungi aku kalo mau balikin bajunya." "Aku kan nggak punya nomer telfon kamu," balas Luisa. Alianka menepuk dahinya pelan. "Oh iya aku lupa. Bentar!" Pria itu merogoh kantongnya. Mencari dompet miliknya dan mengeluarkan selembar kartu dari dalamnya. "Ini kartu namaku. Ada nomer aku. Nanti kamu hubungi aku aja!" Luisa menerima kartu nama yang diberikan Alianka. Romeo Alianka M Obstetricks/Gynecology Luisa tersenyum tipis lalu mengangguk pada Alianka. Menyimpan kartu nama yang diberikan Alianka ke dalam tasnya. Lalu berpamitan dan keluar dari mobil. Luisa melambai pada Alianka saat mobil pria itu mulai berjalan. Gadis itu menatap mobil Alianka yang kian menjauh. Luisa memegangi dadanya yang berdebar dengan begitu keras hingga rasanya dia hampir kehilangan kemampuan bernafasnya. Membuat tubuhnya lemas. Untuk pertama kalinya sejak setahun yang lalu, Luisa merasakan jantungnya kembali berdetak. Ya setelah sekian lama, seorang Romeo Alianka mampu menghidupkan kembali sesuatu yang mungkin telah mati. *** "Dianter siapa, Kak?" Luisa tersentak kaget karena Della tiba-tiba berdiri di belakangnya. Sedangkan dia masih senyum-senyum di depan pintu. Dengan tatapan marahnya, Luisa berjalan melewati Della tanpa menggubris pertanyaannya. "Kak Luisa! Ih... kok nggak dijawab sih?" ucap Della kesal. "Kepo deh. Anak kecil nggak boleh ikut campur urusan orang gede!" balas Luisa ketus. Della tersenyum miring. "Perasaan gedean badan Della dari pada Kak Luisa deh," ledeknya. "Della!" ujar Luisa geram. Gadis itu pun masuk ke kamarnya diikuti suara tawa renyah Della. Luisa melempar tasnya ke kasur. Kemudian mengambil tali rambut di atas meja rias. Mencepol rambutnya ke atas. Lalu meraih handuk yang menggantung di belakang pintu kamarnya. "Kak, Budhe telfon." Luisa terdiam. Berbalik menatap Della yang menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Gadis itu tidak menjawab. Kembali membalikkan tubuhnya. Berniat masuk ke kamar mandi. "Kak Luisa!" panggil Della. "Bilang aja belum pulang!" jawab Luisa cepat. "Aku udah bilang Kakak udah pulang," ujar Della dengan cengirannya. "Bilang lagi mandi!" "Kan kakak belum mandi?" Luisa menggeram kesal. "Bilang gitu aja kenapa sih, Del? Ribet deh! Kam-" Ucapan Luisa terhenti saat melihat Della menunjukkan ponselnya yang terhubung dengan nomor ibunya di Surabaya. Luisa menggertakkan giginya kesal. Gadis itu menodongkan kepalan tangannya pada Della. "Awas kamu, ya!" ancamnya berbisik. Della terkekeh. Lalu menyerahkan ponselnya ke tangan Luisa. Dan bergegas menjauh dari sana. Luisa menghela nafas sejenak sebelum berbicara, "Hallo, Bu." "Luisa! Kamu ini ya! Kenapa sih ngak mau terima telfon dari ibu?" "Iya, Bu. Maaf..." "Pulang kerja jam berapa?" "Baru pulang." "Jaga diri baik-baik! Jangan pulang terlalu malam. Kalo perlu nggak usah lembur, lah. Kamu itu anak cewek. Jauh dari keluarga. Harusnya nggak boleh pulang malam-malam." "Iya, Bu. Udah ya. Luisa belum mandi nih." Terdengar suara helaan nafas dari seberang sana. "Kamu itu selalu aja kayak gitu, Nduk. Menghindar terus kalo Ibu telfon." "Nggak menghindar, Bu. Emang Luisa lagi mau mandi ini." "Ya sudahlah. Nanti Ibu telfon lagi. Kata Della kamu udah punya pacar ya? Baguslah, Nduk. Akhirnya kamu bisa ngelupain Ello juga." Luisa mengernyit. "Pacar? Nggak kok, Bu." "Itu tadi kata Della kamu dianter pacar kamu pulang." Luisa mendesis pelan. Kurang ajar si Della, batinnya. "Cuma temen, Bu." "Kalo pacar juga Ibu malah seneng kok, Nduk." "Beneran cuma temen, Ibu." "Ya sudah. Kalo gitu kamu cepet-cepet cari pacar. Terus bawa pulang ke Surabaya." "Bu..." "Ibu ini biar nggak terus-terusan nahan malu, Nduk. Orang-orang mandang keluarga kita kayak nggak ada harganya begitu kamu nggak jadi nikah sama Ello. Apalagi sekarang Ello udah mau nikah." "Keluarganya Ello kapan hari kesini ngasih undangan. Ibu nggak tau, mereka beneran mau ngundang kita atau sekedar pamer kalau mereka bentar lagi punya mantu." Luisa terdiam. Matanya memanas. Apalagi saat mendengar isakan samar dari seberang sana. Hati siapa yang nggak perih kalau gini jadinya. Keluarga Ello memang seperti tidak ada rasa bersalah sama sekali pada Luisa dan keluarganya. Padahal jelas-jelas disini Luisa yang menjadi korban. Satu tetes air mata jatuh dari sudut mata Luisa. Cepat-cepat dihapusnya air matanya. Gadis itu mendongakkan kepalanya. Mencegah air matanya turun lagi. Menatap langit-langit kamarnya. "Iya, Bu. Doain aja Luisa cepet ketemu jodoh disini. Biar Luisa bisa bawa pulang ke Surabaya," ujarnya serak. "Amiin... doa Ibu selalu buat kamu, Nduk." Luisa menggigit bibirnya kencang. Menahan isakan yang hampir lolos dari bibirnya. Mendekap ponsel Della di dadanya, gadis itu menangis dalam diam karena luka yang tertahan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD