“Karena sering kali, mantan akan menjadi setan kalau dibahas dengan masa depan.”
Episode 9 : Tahap Awal
****
Windy berlapang d**a sekalipun ke dua matanya sudah berkaca-kaca, seiring sesak yang kian menyumbat dadanya.
Windy sadar diri. Gadis bermata sendu itu berniat melanjutkan langkah menuju ruang tempatnya ditinggalkan Sandy. Terpikir olehnya, andai saja dulu ia memiliki hubungan cukup baik dengan Dyana, mungkin keadaan tidak serunyam sekarang.
“Iya, Ma, aku ngerti. Terima kasih banyak untuk semua perhatian yang selalu Mama kasih ke aku. Tapi untuk ke sekian kalinya, aku hanya butuh Windy. Karena bagiku, Windy lebih dari segalanya. Aku hanya mencintai Windy. Bahkan Mama juga tahu, Windy merupakan satu-satunya alasanku bertahan.”
Bimbang menyergap Windy. Balasan Sandy kepada Dyana benar-benar di luar prediksinya. Tanpa terkecuali dengan reaksi Dyana yang akhirnya menyerah, memasrahkan semua keputusan kepada Sandy.
Windy bergegas kembali ke ruang tempat ia diminta menunggu tadi. Tahap awal perihal restu sudah dikantongi. Namun, masih ada satu hal yang belum Windy mengerti.
Apa status Manda sampai-sampai foto wanita itu ada di kediaman keluarga Sandy?
****
“Ciee, Calon manten!” Tito menyesap cappuccino-nya. Tangan kanannya mencengkeram kaitan cangkir, sementara tangan kiri menahan lambar agar tetap di bawah cangkir.
Windy tersenyum kecil, kemudian menggeleng tanpa reaksi berarti.
“Hahaha … aku seneng banget akhirnya kamu bisa senyum lagi, Ndy.”
“Doakan yang terbaik saja, To.”
Tito berangsur meletakan cangkir berikut lambar cappuccino-nya dengan santai. “Iya, Ndy. Aku juga selalu berdoa, kok, agar kamu selalu bahagia. Intinya gini, tidak selamanya yang mendekat itu jahat. Kamu harus tetap memberi mereka kesempatan. Kalaupun gagal lagi, berarti memang belum jodoh.”
Balasan Tito yang sangat berbeda dari kebiasaan pria itu, cukup menggelitik Windy.
“L-loh, ini apa lagi? Semuanya baik-baik saja, kok.”
“Hahaha … jangan kaku gitu kenapa? Kayak nggak kenal aku aja.”
“Kamu terlalu keseringan bercanda, To. Nanti malah nggak ada yang percaya kalau kamu lagi serius, lho.”
“Hahaha … tenang saja, Ndy. Bikin orang ketawa kan ibadah, biar sekalian bisa senam wajah.”
“Tapi nggak selamanya bercanda bisa bikin ketawa, terlebih kalau bercandanya nggak lihat situasi.”
“Iya, aku ngerti. Jadi, gimana rasanya balikan sama mantan?” Tito menjadi sibuk menahan senyumnya yang perlahan lepas menjadi tawa.
“Ngeledek kamu, ya!” pekik Windy yang mengakhirinya dengan cemberut.
“Hahaha … inget, ya, Ndy. Jangan pernah bahas mantan dengan masa depan. Karena sering kali, mantan akan menjadi setan kalau dibahas dengan masa depan.” Tito teramat sulit mengakhiri tawanya. “Bisa ngamuk si Sandy, kalau kamu masih mikirin apalagi bahas si Kevin!”
“Tapi kalau mantan justru menjadi masa depan, apakah itu masih akan menjadi setan?” sahut Sandy yang tiba-tiba.
Sandy langsung menarik kursi di sebelah Windy dengan santai. Tatapannya yang kelewat santai juga masih menunggu balasan Tito.
Tito sendiri langsung terlonjak hingga terjatuh dari kursi tempatnya duduk. “Ya ampun, Sand! Kamu bener-bener setan!” umpatnya
Windy tidak bisa menahan tawanya. Itu mengapa ia segera menggunakan kedua tangannya untuk menekap mulut. Ekspresi kaget Tito yang sampai jatuh terduduk di lantai teramat lucu dan membuatnya sangat terhibur, meski ia tahu betul, sahanatnya itu kesakitan dan benar-benar terkejut.
Tito bergegas bangkit kemudian mencondongkan tubuh kepada Windy. “Ndy, daripada nikah sama Sandy, mending sama aku saja!” bujuknya lirih tapi masih bisa Sandy dengar dengan jelas.
“Sembarangan kamu, To! Racun!” Sandy meraih garpu dari piring wafel Windy kemudian menghantamkannya ke kening Tito.
“Aw … kok kamu mukulnya beneran, Sand!” Tito mengelus bekas hantaman Sandy, kemudian merapikan cangkir berikut lambar cappuccino miliknya yang berantakan, lantaran tadi tersambar tangannya sebeluh jatuh, hingga sebagian isi cangkir tersebut tumpah.
“Ndy, ayo kita pulang. Ada yang harus aku bicarakan dengan orang tuamu.” Sandy menatap serius ke dua manik mata Windy.
Raut Windy kembali tegang sekalipun anggukan telah ia berikan sebagai jawaban.
Sandy merogoh saku bagian dalam jasnya kemudian mengeluarkan dompet dari sana. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu dari sana dan meletakannya di meja, tepat di hadapan Tito. “Kamu yang bayarin,” ucapnya yang menjadi tersenyum geli.
“O-oh, tentu. Kan aku bosnya!” balas Tito dengan bangganya menatap berbinar uang ratusan ribu yang Sandy berikan dan pastinya lebih dari cukup untuk membayar semuanya.
Sandy hanya tersenyum geli sesaat sebelum pergi sembari menggandeng salah satu tangan Windy. Tito melepas kepergian ke duanya dengan mata terpusat pada tangan Windy yang digandeng Sandy.
Dulu, selain Sandy sangat tenar di kalangan cewek, termasuk mereka yang beda sekolah, hal yang sama juga menimpa Windy. Hanya saja, ketika Sandy menerima dan memacari semua cewek cantik sekaligus keren, Windy justru kebalikannya. Windy selalu mengabaikan semua cowok yang mendekatinya.
“Eh, … sekarang mereka malah akan menikah.”
“Yang namanya jodoh memang gitu, ya. Ke mana pun kita pergi bakalan ketemu lagi. Ketemu dan diresmikan sama pak penghulu! Ah, semoga langgeng terus deh kalian!” gumam Tito yang menjadi cengar-cengir sendiri.
Namun tak lama kemudian, sadar wafel berikut cappuccino milik Windy belum tersentuh, Tito segera memboyongnya sambil memastikan sekitar. Mengingat situasi di sana terbilang aman tanpa ada yang memperhatikan lantaran kafe keberadaannya juga terbilang sepi, Tito langsung buru-buru menghabiskan semuanya termasuk wafel berikut cappuccino miliknya.
****
“Jadi, bagaimana keputusannya? Setelah menikah, kalian akan tinggal di mana?”
Pertanyaan Ardan tak ubahnya dengan menagih. Kini, di meja makan, Sandy dan Windy telah bergabung menikmati makan malam nikmat yang dihiasi kehangatan dalam kebersamaan.
Semua mata tertuju kepada Sandy, tanpa terkecuali Windy yang melakukannya melalui lirikan sembari mengunyah pelan makanan di dalam mulutnya.
“Sepertinya kami akan menetap di apartemen, Om.” Sandy menjawab singkat.
Ardan mengernyit. “Jadwalmu sangat padat dan kamu juga sering ke luar kota. Bagaimana dengan Windy?” lanjut Ardan masih menyikapi Sandy dengan serius.
“Kalau tidak bentrok dengan jadwalnya, tentu lebih baik Windy juga ikut ke luar kota, Om.”
Kali ini semua mata tertuju pada Windy yang seketika celingusan. “Aku baru resign.”
Windy terlihat jauh lebih santai sembari menyantap tumis baby pakcoy berwarna hijau tua dari piringnya. Meski masih terlihat tidak bersemangat apalagi berselera, Windy tampak jelas berusaha menerima kenyataan. Kenyataan di mana kini bukan lagi Kevin yang harus ia hadapi sekaligus cintai, melainkan Sandy.
“Bagus kalau begitu. Kamu memang jauh lebih baik menghabiskan waktumu untuk mengurus rumah tangga, Ndy.” Raut Ardan terlihat jauh lebih santai.
Sandy berangsur berdeham. “Kalaupun mau bekerja, Windy bisa mengambil pekerjaan yang bisa dikerjakan di rumah, agar Windy jauh lebih memiliki waktu, Om. Atau kalau tidak, Windy juga bisa membuka usaha sendiri dan mempekerjakan orang lain untuk membantu. Saya tidak membatasi gerak Windy, kok, Om.”
Sejujurnya, alasan Sandy menyikapi orang tua Windy dengan gaya kelewat resmi layaknya ketika ia sedang mengajak klien berkomunikasi, tak lain karena Sandy masih merasa sangat tegang. Sandy takut, restu orang tua Windy mendadak hilang jika ia sampai salah bahkan meski karena ucapan.
“Itu jauh lebih baik!” sanggah Ardan dengan mulut yang masih penuh.
Mendapati itu, Sandy mesem kemudian berdeham hingga fokus tujuan kembali tercuri kepadanya. “Selanjutnya, besok orang tua saya akan datang. Mungkin sekitar jam makan siang, sebab saya masih ada urusan di paginya, Om, Tan. Dan besok juga, orang tua saya akan melakukan lamaran secara resmi.”
Mendengar itu, Windy nyaris tersedak. Namun demi mengendalikan situasi, ia mencoba bersikap sebiasa mungkin. Windy segera meraih segelas air putih yang sudah tersaji di setiap sebelah tangan kanan di sana, kemudian meminumnya. Kendati demikian, ke tiga pasang mata di sekitarnya telanjur menjadikannya sebagai fokus perhatian.
Ardan, Fania, apalagi Sandy menyadari, Windy sedang sangat gugup bahkan tegang. Di mana kenyataan tersebut terjadi karena pengakuan Sandy.
“Memangnya, sudah sampai mana, persiapan pernikahan kalian?” ujar Fania yang sedari awal menjadi penyimak baik obrolan di sana.
Baik Sandy maupun Windy sama-sama terdiam sebelum kompak saling melempar pandangan.
Jujur saja, Windy masih merasa canggung bahkan malu kepada Sandy. Karena meski di masa lalu mereka pernah bersama, tapi lantaran suasana sekaligus keadaan sudah berbeda, semuanya juga menjadi terasa berbeda.
“Kami hanya perlu melanjutkan semuanya, dan mungkin akan menambahi di beberapa bagian.” Gaya Windy menjadi tak kalah serius sekaligus resmi layaknya Sandy, terlepaa dari Windy yang sampai tidak berani menatap wajah tiga orang di sekitarnya.
Sandy tersenyum simpul. “Ya. Kami akan langsung melanjutkan semua persiapan, setelah orang tua saya datang dan membereskan lamaran secara resmi, Om, Tan.”
“Semoga semuanya berjalan dengan lancar.” Seulas senyum menghiasi wajah Fania yang menghentikan ke dua tangannya dalam menyusun makanan melalui sendok berikut garpunya.
Ke dua mata Windy berkaca-kaca. “Mohon doanya, Pa, Ma.” Bukankah kata itu yang harus terucap darinya? Windy masih belum yakin, tapi hatinya sungguh terenyuh, terlepas dari ia yang juga sangat ingin menangis.
Suasana meja makan mendadak dihiasi nuansa haru. Nyaris semuanya menjadi berkaca-kaca, tanpa terkecuali Ardan yang selalu memasang wajah serius bahkan garang.
Ardan berdeham. “Pasti. Papa dan Mama akan selalu mendoakan yang terbaik untuk kalian,” tegasnya penuh keoptimisan dengan suara yang terdengar sengau.
Senyum lembut menghiasi wajah Windy. Kemudian gadis itu menoleh kepada sang mama yang duduk tepat di hadapannya. Ada gurat nelangsa sekaligus bahagia yang kali ini menghiasi wajah penebar ketenangan itu. Apalagi, mereka yang duduk berhadapan bisa memandang satu sama lain dengan sangat leluasa.
“Mama bahagia, Ndy. Percayalah, Mama benar-benar bahagia dan akan selalu bahagia, jika kamu juga bahagia!” batin Fania masih mempertahankan senyum berikut tatapannya kepada Windy yang juga masih menatapnya dengan tatapan nelangsa.
Windy menunduk sedih seiring butiran bening yang nyaris berjatuhan dari ke dua matanya. “Ini seperti mimpi. Menjelang hari pernikahanku, aku menerima lamaran dari dua pria yang berbeda. Satu lamaran dari Kevin dan akhirnya mencampakkanku, digantikan oleh lamaran Sandy yang masih membuatku merasa sangat asing. Benar-benar asing … ah tidak … tidak, Ndy. Rasa asing ini pasti karena kamu belum terbiasa. Karena kalian masih sama-sama sibuk, terlepas dari kalian yang belum punya banyak waktu untuk bersama,” batin Windy yang dikejutkan oleh genggaman Sandy.
Tangan kiri Sandy yang tak lagi menahan garpu, mendadak menggenggam tangan kanan Windy yang kebetulan turun tersimpan di pangkuan. Ketika Windy memastikan, menatap genggaman tangan mereka dan masih ada di pangkuan Windy, nyatanya Sandy menggenggamnya tanpa menatap tangan Windy dengan gamblang. Fokus pandangan pria itu masih lurus kepada Ardan yang duduk persis di hadapan Sandy. Ke duanya tengah mengorbol serius membahas kesibukan sekaligus pekerjaan Sandy.
Sandy menceritakan kesibukan sekaligus pekerjaanya. Menurut cerita yang Windy simak, Sandy memiliki usaha dalam bidang tekstil. Sandy bekerja di perusahaan orang tuanya, di Suverior Tekstil. Bagi Windy, nama perusahaan orang tua Sandy terbilang tak asing.
“Sepertinya merek ternama? Yang barang sama harganya luar biasa itu, kan? Tapi … masa, sih?” batin Windy tidak yakin. Apalagi sejauh ini, status Sandy masih belum ia ketahui sepenuhnya. Namun, jika melihat rumah orang tua Sandy yang begitu megah, Windy bisa memastikan, usaha sekaligus pekerjaan Sandy sekeluarga mencakup ranah besar bahkan terpandang.
Secepatnya, Windy merasa harus bertanya dan mengetahui semua tentang Sandy. Tak hanya keluarga, melainkan pekerjaan berikut semua yang menyangkut Sandy, setelah “tahap awal” menuju persiapan pernikahan, telah mereka kantongi.
*****