Episode 8 : Restu

2328 Words
“Apa pun yang terjadi, aku tidak akan pernah membiarkanmu kembali meninggalkanku!” Episode 8 : Restu **** [Tito : Ndy, jangan lupa kabari Yasmine untuk mengubah nama Kevin menjadi Sandy, di undangan pernikahan kalian.] Windy menelan salivanya dengan pelan, merasa beruntung sebab di tengah keadaannya yang masih bimbang, ada Tito yang dengan senantiasa mengingatkan. [Windy : Iya, To. Makasih banyak udah ngingetin.] [Tito : Iya. Awas, takutnya Yasmine justru nulis namaku. Tahulah, dia ngepens berat ke aku! Hahahaa.] Pesan balasan Tito membuat Windy tersenyum geli. Senyum yang teramat tipis seiring ia yang sampai menggeleng. “Ada masalah?” Sandy masih berkonsentrasi dengan kemudinya meski sesekali, ia akan melirik Windy yang duduk di sebelahnya. Mereka sedang melakukan perjalanan menuju Bandung.  “Tidak,” balas Windy, tampak masih belum bersemangat. Suara Windy masih terdengar sangat lirih, terlepas dari wajah gadis itu yang seolah masih dihiasi ‘mendung’. Menandakan, Windy belum sepenuhnya bisa menerima kenyataan termasuk mengenai hubungan mereka. “Apakah ada tempat yang ingin kamu kunjungi setelah kita sampai di Bandung?” tanya Sandy yang juga menyikapi Windy dengan serius. Boleh dibilang, sekadar komunikasi pun mereka masih sangat kaku. Dalam mengobrol saja, seolah-olah mereka orang asing yang dipaksa dipersatukan; sangat kaku dan cenderung resmi. Windy menoleh dan memang sengaja untuk menatap Sandy. “Bukankah kamu sibuk?” “Sepertinya hari ini akan free.” Sandy yang menjawab cepat, mengangguk santai beberapa kali. “Terserah kamu. Kamu saja yang atur.” Windy sungguh tidak mau ambil pusing. Asal semua aman terkendali tanpa melewati batas, ia pasti akan menjalani. Lantaran Windy langsung diam bahkan melirik Sandy pun tidak, Sandy berkata, “ngobrol dong, Ndy. Kok asing banget rasanya. Memangnya, aku semenakutkan itu?” Pernyataan barusan sukses mengusik Windy yang seketika menggeragap. Windy memaksakan diri untuk menoleh menatap Sandy, membiasakan diri kepada pria itu. “Kalau gitu kita jalan-jalan dulu sebentar, biar enggak terlalu kaku. Gimana?” tawar Sandy. “Fokus ke orang tuamu dulu. Kalau semuanya sudah beres, baru!” sergah Windy. Setelah mengangguk-angguk santai dan cenderung kerap menatap Windy, Sandy menyetujui. “Ya sudah. Tapi kamu jangan setegang apalagi sekaku itu, ya?”  Sandy berangsur memberikan tangan kirinya kepada Windy. Sebuah kenyataan yang langsung membuat Windy kebingungan. “Ada apa?” “Aku bisa nyetir pakai satu tangan. Pegang saja biar kamu bisa lebih tenang.” Sandy mendapati ke dua tangan Windy yang masih sibuk saling remas di pangkuan. Mendapati kenyataan tersebut, Windy buru-buru menggeleng dan menepis perhatian Sandy. “Fokus dengan kemudimu saja. Aku bak-baik saja!” Sandy mengangguk pasrah dan benar-benar menuruti saran wanita di sebelahnya; fokus mengemudi menggunakan ke dua tangan. ***** Tidak lebih dari tiga jam, mereka sampai di kawasan elite salah satu perumahan di Bandung. Rona sejuk turut menyambut. Suasana hari ini memang tidak begitu terik dan cenderung berkabut.  “Kita mau ke mana?” tanya Windy merasa ada yang ganjil lantaran perumahan di sana terlampau elite. Raut Windy terlihat semakin bingung tatkala Sandy memarkirkan mobil di depan gerbang sebuah rumah, berukuran paling besar di kawasan keberadaan mereka. Sandy mengernyit menatap Windy. Sembari melepas sabuk pengaman dari tubuh, ia pun berujar, “Ketemu orang tuaku, kan? Tujuan kita emang gini?” Windy masih tidak mengerti. Ia membiarkan Sandy membukakan sabuk pengaman dari tubuhnya. Tadi, saat mereka berangkat, Sandy juga yang memasangkan. “Sa-Sand ….”  “Ndy, kamu masih belum percaya kepadaku?” Windy menunduk, mengembuskan napas pelan dan terlihat sangat pasrah. “Kamu tidak pernah menceritakan latar belakangmu, sebelumnya.”  “Aku pikir, latar belakang seseorang tidak akan membuatmu terpengaruh. Kamu bukan tipe pilah-pilih dalam bergaul. Itu kenapa aku belum pernah menceritakan latar belakangku sebelumnya, kepadamu.” Windy melirik Sandy. Sekalipun mereka pernah bersama di masa lalu, bahkan mereka sempat menjalin ikatan istimewa, Windy memang belum mengetahui seluk-beluk kehidupan Sandy. Memang, dulu santer terdengar Sandy berasal dari keluarga kaya raya, di mana kini, Windy membuktikannya sendiri. Namun, … kemewahan yang menyelimuti Sandy justru membuat Windy ragu bahkan takut. Rumah Sandy berdiri di atas tanah yang luas. Bangunan bercorak putih dengan sentuhan keemasan itu menjulang megah bak istana. Bila dibandingkan dengan milik keluarganya, Windy menjadi tidak yakin. Ayah Windy memang seorang pengacara dengan karier yang terbilang cemerlang, sementara ibunya memilih menjadi ibu rumah tangga biasa demi lebih fokus mengurus keluarga.  Keluarga Windy menjalani hidup dengan sangat sederhana. Kenyataan tersebut membuat Windy menyadari, kehidupannya dan Sandy ibarat langit dan bumi. Benar dugaan Windy, Sandy terlalu ‘menyilaukan’ untuknya. “Kamu yakin?” Windy menatap ragu Sandy untuk beberapa saat, sebelum akhirny mengakhirinya. Ia menggigit kuat bibir bawahnya dengan keraguan yang semakin mengakar. Windy berpikir, belum terlambat untuk mengubah keputusan, mengakhiri hubungan yang belum sepenuhnya resmi antara dirinya dan Sandy. “Apa maksudmu?” Sandy menatap Windy tak mengerti. Mendapatkan pertanyaan tersebut, Windy segera menatap sekaligus menyikapi lawan bicaranya dengan serius. “Katakan padaku, bagaimana tanggapan orang tuamu ketika kamu mengatakan akan menikahiku?” “Mereka menanggapi dengan santai.” Sandy menjawab cepat tanpa berpikir. Dahi Windy berkerut samar, masih menatap Sandy penuh kepastian. Sandy buru-buru menambahi. “Mereka tahu, kamu sangat berarti untukku.” Windy mendadak dibuat gugup atas lanjutan Sandy. “Bu-bukan itu. Maksudnya … aduh, bagaimana aku menjelaskan padamu, ya?” Ia justru menjadi bingung bahkan uring-uringan sendiri.  Sandy meraih tangan kanan Windy dan menggenggam erat jemari itu. “Apa pun yang terjadi, aku tidak akan pernah membiarkanmu kembali meninggalkanku.” Wajah Windy tampak mengenaskan. Ia menepis tatapan Sandy yang begitu dipenuhi keseriusan. Belum lagi, Sandy sampai mengeratkan genggamannya. Padahal malam kemarin, Tito mengatakan bahwa Windy sangat beruntung mendapatkan Sandy yang jauh lebih segalanya dari seorang Kevin. Namun nyatanya, kini, apa yang ada pada diri Sandy justru membuat Windy merasa tertekan. Sandy terlalu menyilaukan karena pria itu memiliki segalanya. Tak hanya fisik maupun rupa, melainkan harta. Demi meredam kekacauan yang menimpa akibat gugup berikut ketidakyakinan yang saling berpadu, Windy menghela napas beberapa kali kemudian menatap Sandy yang ternyata masih menatapnya. Tidak ada yang berubah, pria muda berwajah rupawan itu masih menatapnya penuh keseriusan. “Bagaimana jika orang tuamu tidak memberi restu?” “Tidak mungkin.” Sandy menggeleng penuh keyakinan. “Atas dasar apa? Kamu tidak membuat cerita palsu untuk mendapatkan restu mereka, kan?” sergah Windy. “Aku harus berkata jujur, atau tidak sepenuhnya jujur?” tanya Sandy ragu. Windy mengulum bibirnya dan tampak menimang rasa. “Jujur saja. Dan kalau memang kenyataannya memberatkan, jangan dilanjutkan.” “Sudahlah, kita turun. Biar aku saja yang mengurusnya,” balas Sandy cepat. Sesuai perkataannya, Sandy bergegas turun kemudian memutari mobil bagian depan menuju pintu keberadaan Windy. Sandy membukanya, menuntun Windy untuk turun, tapi gadis itu justru sibuk menggeleng melakukan penolakan. “Kalau tetap nggak mau turun, aku bakalan gendong kamu!” ancam Sandy. “Sand ….” Windy menggeragap. “Ayo, nanti nggak beres-beres.” Windy masih terdiam dan menunduk dalam. Gadis itu terlihat merenung. Kenyataan tersebut pula yang membuat Sandy nekat menarik salah satu tangan Windy hingga gadis itu nyaris tersungkur, tapi ia segera menaruh tubuh Windy di salah satu pundaknya. Sandy melakukan gerakan ‘fireman’s carry’ pada Windy yang langsung meronta meminta diturunkan. “Aku bisa jalan sendiri, Sand … turunin!” Ke dua satpam yang sedari tadi menunggu di sekitar mereka, tampak menahan senyum.  Sandy segera menurunkan Windy setelah melewati pintu gerbang yang dibukakan oleh salah satu satpam.  Windy terlihat sangat gugup karena ke dua satpam di sana jelas menjadikannya fokus perhatian. Ketika ke duanya mulai melangkah, Sandy kembali menggenggam tangan kiri Windy sangat erat hingga jemari mereka saling mengisi ruas satu sama lain. Sandy melakukannya lantaran takut Windy kembali meninggalkannya bahkan parahnya kabur. **** Rumah Sandy sangat megah di mana langit-langit rumahnya saja menjulang begitu tinggi. Semuanya serba besar sekaligus mewah, sedangkan lantai berikut sebagian dinding yang tidak tertutup wallpaper, menggunakan marmer hingga suasana di sana terasa dingin.  Banyak pajangan patung berikut pot mewah dengan berbagai macam ukuran, selain lemari berisi hiasan barang antik yang menghiasi setiap sudut ruang keluarga. Ornamen warna emas membuat kesan mewah, termasuk wallpaper dinding yang berwarna senada. Sedangkan Windy yang mendadak merasa tersesat karena memasuki rumah tersebut, masih berusaha meredam kegugupan yang menimpa karena aksi Sandy yang nekat tadi.  Sandy langsung membawa Windy menuju Dyana, mamanya, yang kebetulan baru selesai yoga di teras taman depan kolam ikan.  “Ma?” Panggilan Sandy sontak membuat Dyana yang tengah menyeka buih keringat menggunakan handuk kecil dan sebagiannya tersampir di tengkuk, segera menoleh. Wanita paruh baya berambut pendek yang jelas merawat diri itu terlihat cukup terkejut atas kehadiran Windy di sisi Sandy. Ke dua matanya yang tajam dan awalnya sempat tersenyum kala membalas sapaan sang anak, menjadi terkunci kepada gandengan tangan Windy dan Sandy. Kemudian tatapannya menepi, berhenti pada jemari tangan kanan Windy. Ia menatap intens cincin yang tersemat di jari manis kanan gadis cantik nan sederhana itu.  “Ma, ini Windy.” Windy terlihat tidak bisa menyembunyikan rasa gugupnya sekalipun Sandy sudah menggandengnya bahkan semakin erat. “Hallo, Tan? Apa kabar?” Senyum kaku menghiasi sapaannya. Windy sungguh tidak tahu, kenapa ia merasa begitu kaku bahkan untuk sekadar menyapa? Pikirannya telanjur kacau tanpa bisa dikendalikan. “Hallo juga, Ndy. Kabar Tante baik. Kamu sendiri baik juga, kan?” Dyana mengangguk pelan sembari mengamati Windy dari ujung kepala hingga kaki.  Dalam balutan blus jingga dan celana pensil panjang berwarna putih, gadis cantik di hadapannya terlihat sangat sederhana.  Windy melirik Sandy dan dibalas oleh pria berusia dua puluh lima tahun itu. “Iy-iya, Tante. Kabarku juga baik.” Seuntai senyum menghiasi wajah Dyana. “Ajak Windy untuk makan dan istirahat dulu. Mama mau beres-beres sebentar.” Kemudian fokusnya teralih pada Windy. “Ndy, Tante tinggal mandi dulu, ya? Keringatan, bau. Kamu sama Sandy dulu. Nanti baru kita ngobrol-ngobrol.” Windy merasa ada angin segar yang menghiasi kerongkongan sekaligus diafragmanya hanya karena balasan Dyana, meski jika ditelisik, Dyana menyikapinya dengan biasa saja. Sungguh tidak ada yang spesial. Namun, bukankah apa yang Windy dapatkan jauh lebih baik ketimbang ia langsung Dyana tinggalkan atau parahnya justru dicaci kemudian diusir? “Ya ampun … setegang ini sampai-sampai pikiranku jadi sangat kejam melebihi sinetron!” batin Windy. “Terbilang mulus, kan? Semuanya akan baik-baik saja.” Sandy bertutur tanpa menatap Windy. “Tapi kamu genggam tanganku terlalu erat. Bukankah itu bertanda, kamu juga tidak kalah tegang?” tepis Windy yang bahkan sampai kebelet pipis bahkan mules. “Memangnya, kalau aku tidak menggenggam tanganmu sangat erat, aku harus melakukan apa?” Sandy menoleh dan menatap Windy dengan senyuman lembut. Namun, Windy membalasnya dengan mendengkus kemudian menghela napas sekenanya.  “Duduklah, aku mau ambil minum dulu.” “A-ku ikut.”  “Aku nggak bakal ninggalin kamu, Ndy.” “Ya bukan begitu maksudnya. Lah, kenapa kamu malah jadi ngeledek terus?” “Hahaha … sudah sana duduk, aku mau ambil minum dulu. Belum pernah, loh, aku ngambilin minum buat orang lain selain kamu.” “Nggak usah gombal-gombal, lah!” “Hahaha … ya sudah, kamu duduk di sana.” Windy beranjak menuju sofa megah di tengah ruangan yang setiap sudutnya dihuni lemari antik berisi barang hias. Sofa yang membentuk huruf ‘n’ menghadap tivi berukuran 88 inci. Ia memilih duduk di sofa samping dan membuatnya menghadap jejeran bingkai foto di meja belakang sofa hadapannya.  Hati Windy seketika mencelis tatkala kedua matanya mendapati salah satu bingkai berisi sesosok wanita yang teramat ia kenal. “Man-da?” Atas dasar apa, foto Manda ada di antara jejeran bingkai keluarga Sandy?  Setelah delapan tahun tidak pernah berkomunikasi, Windy memang tidak mengetahui tentang perkembangan kehidupan Sandy. Bisa jadi, Manda memang masih ada dalam kehidupan Sandy dengan status yang jauh lebih istimewa melebihi apa yang Windy bayangkan. Windy menghela napas pelan, seiring rasa sesak yang tiba-tiba memenuhi dadanya dan terlampau tidak bisa diajak kompromi. Bahkan meski ke dua tangannya telah silang menahan d**a dan sesekali memukul pelan di sana. Semua itu tak lantas mengurangi apalagi mengakhiri rasa sesaknya. Belum lagi, ke dua matanya juga kerap tercuri ke foto Manda. Tak lama kemudian, terdengar derap langkah di belakang keberadaan Windy. Windy menoleh. Ternyata Dyana yang berlalu menuju arah kepergian Sandy. Kenyataan tersebut membuat langkah Windy mengikuti kata hatinya untuk menyusul Dyana secara diam-diam. **** “Aku hanya ingin menagih janji Mama dan Papa.”  “Tapi bagaimana dengan Manda, Sand?” Sandy bertutur serius menatap mamanya yang masih berpenampilan sama seperti tadi, sekalipun Dyana sempat berdalih akan mandi.  Diam-diam, Windy menyimak dari balik tembok sebelah pintu dapur. Gadis itu mensyukuri keputusannya mengikuti kepergian Dyana yang membuatnya mengetahui kenyataan yang boleh dibilang rahasia. “Ma, Mama sudah berjanji akan memberikan restu kepadaku untuk menikahi Windy bila aku berhasil memajukan perusahaan. Dan sekarang, setelah aku bisa menemukan Windy, aku ingin Mama memberikan bukti dari janji Mama. Aku ingin menikahi Windy, Ma!” “Tapi Manda juga sangat membutuhkan kamu, Sand. Dia sangat mencintai kamu!”  Ke dua mata Windy kembali berkaca-kaca seiring sesak yang semakin menyumbat kehidupannya. Jawaban dari pertanyaan yang memenuhi benaknya sejak tadi, langsung muncul begitu saja atas kebersamaan Dyana dan Sandy, kali ini.  Ternyata Manda memang memiliki tempat istimewa dalam keluarga Sandy. Tak hanya mengenai foto wanita itu yang sampai dipajang di rumah Sandy, melainkan Dyana yang nyatanya menaruh perhatian lebih.  Dan meski Sandy memiliki keseriusan untuk menikahi Windy, Windy tidak mau memasuki hubungan orang lain. Hubungan Sandy dengan Manda, juga hubungan ke duanya dengan keluarga masing-masing yang sepertinya lebih dekat dari yang Windy bayangkan “Setidaknya, jika memang kamu tidak memikirkan Manda, kamu bisa menikahi anak dari sahabat Mama yang lain, atau rekan kerja kita. Mereka jelas tertarik kepadamu. Latar belakang mereka juga sudah sangat Mama kenal. Terlebih, jika kamu menikahi salah satu dari mereka, usaha kita juga akan semakin maju. Terutama, jika kamu mau menikah dengan Jennie anak Mr. Jack. Usaha kita pasti akan merambah kancah internasional dengan sangat mudah.”  Lanjutan ucapan Dyana membuat niat Windy melangkah, terhenti. Ternyata, mendengar langsung alasan sesungguhnya jauh lebih menyakitkan dari apa yang Windy bayangkan.  Benar bukan, Dyana sungguh mempermasalahkan latar belakang Windy yang tidak sebanding dengan keluarga Sandy? Benar-benar seperti dugaan awal setelah Windy melihat kemegahan yang menyelimuti kediaman keluarga Sandy! ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD