Episode 6 : Menentukan Pilihan

1687 Words
“Apakah Sandy bisa dipercaya? Apakah aku bisa percaya kepada Sandy?” Episode 6 : Menentukan Pilihan ***** Kedua mata Windy bergerak samar disertai dehaman yang berujung dengan terbatuk hingga gadis itu mencoba bangkit dari baringannya. Fania terjaga dan segera meraih sebotol air mineral dari nakas lengkap dengan sedotan. Begitu pula dengan Sandy yang kebetulan duduk di sofa di hadapan Fania—mengapit keberadaan ranjang rawat Windy. Pria muda itu segera membantu Windy duduk dengan rangkulan di punggung. Sementara Ardan yang awalnya duduk di sebelah Fania, hanya mengamati di tengah keterjagaannya. Ardan menatap saksama gerak-gerik Sandy. Memantau keseriusan pria itu terhadap Windy. Fania segera membuka tutup botol dan membantu Windy minum melalui sedotan. “Pelan-pelan.”  Windy menarik dan mengembuskan napas pelan setelah selesai minum. Kali ini pandangannya ia arahkan ke depan dan membuatnya mendapati Ardan yang menatapnya penuh cemas. Dahi Ardan berkerut samar menatapnya. Lantas, siapa yang menahan punggung berikut pergelangan kanannya, jika Ardan justru ada di hadapannya?  Jantung Windy berdebar melebihi batas normal. Ia memastikan sosok yang ada di sebelah kanannya dan justru membuatnya tegang bahkan bergidik. Sebuah jemari panjang nan bersih, ia dapati sebagai penahan pergelangan tangan kanannya. Windy meyakini bila itu bukan pergelangan orang terdekat dalam hidupnya—baik itu Tito, atau malah Kevin yang baru saja mencampakkannya.  Windy refleks mendengkus berat ketika tak sengaja menatap wajah Sandy. Ia sangat terkejut bahkan nyaris terlonjak tak ubahnya baru saja melihat penampakan menyeramkan, sebelum buru-buru menunduk mengakhiri tatapannya. “Sandy? Apa yang telah terjadi? Kenapa dia sampai ada di sini?” pikirnya ketar-ketir. Ke dua tangannya refleks mencengkeram selimut yang masih menyelimuti sebagian tubuhnya. Fania berdeham lirih, kemudian menghela napas pelan. “Ndy, Sandy datang ke sini dengan maksud baik. Dia … dia minta restu Papa dan Mama untuk ….” Fania terlihat serba salah. Ia menoleh dan menatap Ardan dengan resah. “Restu?” batin Windy lagi.  Windy yang masih tertunduk semakin bertanya-tanya. Sandy minta restu Papa dan Mama, untuk apa? Baru datang dari masa lalu, mendadak meminta restu? “Sandy ingin menikahimu dan melanjutkan semua persiapan yang sudah ada.” Ardan mengambil alih sambil menatap serius sang putri. Windy terkesiap. Tatapannya mengedar dengan sendirinya, menatap tidak percaya orang tuanya, dan hanya sekadar mengerling keberadaan Sandy. Mengapa Sandy tiba-tiba datang bahkan meminta untuk melanjutkan semua persiapan pernikahan? Dan kenapa pertemuannya dengan Sandy justru ketika ia berada di posisi paling buruk?  “Keputusan ada di tanganmu, Ndy. Kalian bisa membicarakannya lebih dulu.” Ardan berdeham kemudian melirik Fania.  Meski tidak yakin sekaligus ragu, Fania memutuskan untuk mengikuti kepergian Ardan yang sebelumnya sudah memberinya kode melalui lirikan. Suaminya itu memintanya untuk keluar, meninggalkan Windy hanya berdua dengan Sandy. “Pa, kok malah jadi begini?” Fania melongok ke dalam. Ia dapati, posisi Sandy dan Windy yang sama sekali tidak tampak mengalami perubahan.  “Sudah, Ma, jangan mengharapkan Kevin lagi. Belum apa-apa saja dia sudah nyakitin Windy, apalagi kalau sudah menikah dan merasa berhak dengan kehidupan anak kita?” Ardan mendengkus kesal. “Yang namanya laki-laki bukan janji-janjinya yang dipegang, tapi bukti!” lanjut Ardan telanjur malas membahas Kevin. Muak rasanya jika ia teringat Kevin yang telah melukai Windy teramat dalam dan bahkan tanpa disertai alasan jelas. Fania menunduk sembari melangkah lirih mengikuti kepergian Ardan. Kesalahan yang Kevin lakukan memang fatal. Tak salah Ardan begitu kecewa kepada pria yang tak lain “atasan” Windy tersebut. “Mama mau, Windy hidup dengan pria egois bahkan plinplan seperti Kevin?” Kali ini Fania menggeleng lirih. “Awas saja kalau Kevin sampai berani mengganggu hidup Windy lagi. Papa nggak akan tinggal diam!” Ardan masih dikuasai emosi. **** Di dalam ruang rawat, baik Windy maupun Sandy sama-sama terdiam. Windy masih tidak percaya jika di tengah keadaannya yang sedang sangat terpuruk, Sandy selaku seseorang dari masa lalu justru hadir menawarkan pengobatan atau malah kehancuran. Tidak mungkin bukan, bila semuanya hanya karena kebetulan? Sandy berdeham, melepas rangkulan berikut genggaman pergelangan tangan kanan Windy dengan sangat hati-hati. Gadis itu masih tertunduk tanpa perubahan berarti dan terlihat jelas menghindarinya.  “Ndy?” Sandy cukup membungkuk, mencoba menatap wajah Windy. Windy yang telanjur malu sekaligus bingung, justru semakin menunduk. Ia merasa sangat nelangsa. Bahkan ia tidak mampu membendung air matanya yang telah mewakili isi hati berikut keadaannya. Apalagi bisa Windy pastikan, Sandy mengetahui semuanya. Tak hanya mengenai Windy yang dicampakkan dan harus menghadapi pernikahan sendirian, melainkan percobaan bunuh diri yang sempat membuat Windy sekarat dan nyaris meregang nyawa. “Jangan begitu, nanti leher kamu sakit.” Sandy berusaha membenarkan posisi wajah Windy. Namun apa daya, ke dua tangan Windy menyingkirkan kedua tangannya.   “Tolong tinggalin aku. Biarkan aku sendiri.” Windy masih belum berani menatap Sandy. “Tapi aku enggak mungkin ninggalin kamu, meski aku juga tahu kamu butuh waktu buat sendiri, Ndy.” Sandy menatap Windy sarat rasa cemas. Akan tetapi, gadis itu bergeming, sementara linangan air mata Windy yang menghiasi pipi sampai berjatuhan di selimut. “Jika kamu tetap di sini, kamu justru bikin aku tambah sedih, Sand!” Windy mengulum bibirnya demi menahan tangis agar tidak semakin pecah. Sedih, malu, canggung, semua itu Windy rasakan dalam waktu yang bersamaan. Sandy menghela napas dalam dan mengembuskannya pelan melalui mulut. “Ndy …?” Suara Sandy terdengar parau. Kenyataan itu membuat Windy tergagap dan sibuk menghela napas pelan. Apalagi tak berselang lama, ke dua tangan Sandy justru membingkai wajah Windy di mana wajah mereka menjadi berhadapan.  “Aku tahu kesalahanku di masa lalu tidak kalah besar dari luka yang sedang kamu rasakan, tapi aku mohon, beri aku kesempatan untuk menebusnya.” Sandy menatap Windy penuh penyesalan yang turut ia bubuhi dengan cinta. “Dan seharusnya kamu juga tahu kalau aku merasa sangat malu harus bertemu denganmu dalam keadaanku seperti sekarang!” Tangis Windy pecah. “Kamu pasti sudah tahu semuanya, itu sebabnya kamu ada di sini!” Sandy menelan salivanya yang entah kenapa terasa begitu kasar. Tak sanggup melihat Windy semakin menyedihkan, kemudian ia mendekap erat kepala beserta punggung Windy. “Tolong, … tolong beri aku kesempatan untuk menebus semua kesalahanku, Ndy. Ini bukan hanya tentang aku dan kamu, melainkan semua yang ada dalam hidupmu. Aku yakin kamu tahu maksudku. Pernikahan tinggal menghitung hari, sementara semua anggota keluarga, tetangga, juga rekan orang tuamu, sudah mengetahui.” Tatapan Sandy kosong di tengah ke dua matanya yang berkaca-kaca. “Aku tidak keberatan bila kamu menganggapku memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Tapi aku yakin, Tuhan memiliki rencana tersendiri kenapa aku justru hadir pada situasi seperti ini. Setelah bertahun-tahun berlalu dan akhirnya kita bisa bertemu lagi.”  Belum ada perubahan yang berarti dari Windy selain terisak dalam dekapan Sandy.  Sandy mengakhiri dekapannya, menahan kedua lengan Windy dan menatap saksama wajah gadis itu, kemudian mengelap lembut setiap linangan air mata yang ada di sana. “Kamu bisa mengandalkan aku.” Ke dua mata Windy merangkak naik dan bertemu dengan kedua mata Sandy. Namun Windy segera menepis tatapan Sandy. “Kehadiranmu membuatku semakin tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi?” Windy menghela napas sekenanya, kemudian menelan salivanya dengan pelan. “Bagaimana mungkin aku bisa percaya semuanya akan baik-baik saja? Apa yang membuatku bisa begitu?” Setelah ia menatap Sandy penuh kepastian, ia berangsur menggeleng. “Enggak ada ….” Di antara linangan air mata, tatapan ke dua mata Windy jelas menyimpan banyak luka sekaligus beban, selain ketakutan yang begitu besar. Dan Sandy yakin, semua itu terjadi lantaran pembatalan pernikahan yang Kevin lakukan. Belum lagi, percobaan bunuh diri yang sempat Windy lakukan Sandy yakini berdampak fatal kepada Windy. Windy pasti merasa malu bahkan bisa jadi lebih. Sandy menelan salivanya dengan pelan di tengah ke dua matanya yang terus menatap ke dua mata Windy. “Aku mencintaimu dan akan mengupayakan yang terbaik untukmu. Itulah yang akan membuatmu percaya bila semuanya akan baik-baik saja. Ndy, menikahlah denganku. Kita lanjutkan semuanya!” Sandy menatap Windy dengan sangat teduh sambil mengangguk pelan. Menuntun wanita itu untuk memberinya kesempatan. “Kalau begitu, kamu harus benar-benar bersih dan tidak memiliki hubungan dengan wanita mana pun.” Windy menatap tegas Sandy kendati ia bukanlah tipikal yang bisa meledak-ledak dalam bertutur kata bahkan meski sedang marah. Sandy terdiam beberapa saat di antara keseriusan yang menyelimuti rautnya. Masih dalam hitungan menit yang sama, ia mengangguk. “Memang aku sudah tidak memiliki hubungan dengan wanita mana pun.” “Man-da …?” Windy menatap sanksi pria muda di hadapannya. Pria muda yang memiliki fisik sekaligus rupa di atas rata-rata. Di mana, kenyataan tersebut pula yang membuat Windy yakin, begitu banyak wanita yang dengan suka cita mengobral cinta kepada Sandy. Ke dua mata Sandy bergetar. Ia terdiam beberapa saat ketika nama itu menjadi bahan pertimbangan lanjutan Windy. “Tidak. Aku sungguh sudah tidak memiliki hubungan dengan wanita mana pun, termasuk Manda.”  “Apakah kata-katamu bisa kupercaya?” Windy masih meragukan Sandy. “Tentu. Kamu bisa memegang kata-kataku, Ndy.” Sandy mengangguk yakin dan masih mempertahankan tatapannya dari ke dua mata Windy. “Apakah Sandy bisa dipercaya? Apakah aku bisa percaya kepada Sandy?” pikir Windy yang masih sangat meragukan Sandy, meski dari tatapan pria itu yang masih berlangsung saja, Sandy tampak berusaha keras meyakinkannya. “Aku tidak akan meninggalkanmu lagi.” Sandy masih berusaha meyakinkan. Ke dua mata Windy bergetar. Apa yang Sandy katakan tentu beralasan. Mereka pernah ‘ada’ di masa lalu, sedangkan hubungan yang sempat terbilang erat yang mengikat mereka, justru berakhir dengan keputusan Windy yang memilih meninggalkan Sandy. Terlepas dari masa lalu mereka, di lain sisi, Windy juga khawatirkan banyak hal. Begitu banyak beban yang tengah merundungnya akibat persiapan pernikahan yang Kevin telantarkan.  Windy berangsur mengalihkan tatapannya dari Sandy dengan tidak bersemangat. Ia menatap infus di pergelangan tangannya dan teringat raut wajah ke dua orang tuanya. Berapa banyak luka lagi yang akan ia lukis di sana? Wajah-wajah tak berdosa yang selalu memberinya banyak cinta.  Setelah memejamkan mata dan menarik napas dalam, Windy berkata, “Baiklah, aku … aku mau menikah denganmu.”  Sekalipun masih belum sepenuhnya yakin, Windy merasa harus segera menentukan pilihan. Pilihan yang langsung membuat Sandy seolah mendapatkan angin segar. Pria itu langsung tersenyum haru, menatap tak percaya wanita di hadapannya. Namun, kendati melihat semua itu yang boleh dibilang tampak tulus, Windy yang masih terpuruk, tetap merasa ragu. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD