Episode 5 : Kesempatan

2159 Words
“Boleh, saya menikah dengan Windy?” Episode 5 : Kesempatan **** Bayang kabur yang berlangsung lama menjadi pemandangan pertama kala Windy mencoba membuka mata. Ke dua mata Windy terasa sangat berat sekaligus panas.  “Sayang …?” Suara hangat itu terdengar berat. Windy bisa mendengarnya seiring bayang semu yang menjadi semakin jelas dalam usahanya membuka mata. Fania, itulah sosok yang ada di hadapannya. Mamahnya itu berderai air dengan kedua mata yang kelewat sembam. “Pah … Pah, Windy sadar, Pah!” Sesekali Fania menoleh ke belakang sementara kedua tangannya sibuk membelai sekujur wajah Windy. Tubian kecupan juga ia layangkan di kepala berikut wajah Windy. Ardan, papa Windy yang ketiduran di sofa belakang Fania, seketika terjaga. Pertama-tama, ia membenarkan posisi kacamatanya, kemudian melayangkan pandangan pada Windy. Benar, putri semata wayangnya memang sudah sadar. Malam kemarin, tiba-tiba istrinya mendapat kabar dari Tito bahwa Windy masuk rumah sakit. Tito hanya mengatakan masuk rumah sakit. Sahabat anaknya itu tidak memberikan keterangan lanjutan. Tito yang berbicara sambil menangis hanya meminta mereka untuk datang.  Raut bingung terpancar jelas dari wajah Windy. Sementara yang terjadi pada Fania, wanita ayu yang memiliki rupa bak pinang dibelah dua dengan Windy, terus saja menangis. “Sebenarnya apa yang terjadi sampai-sampai kamu nekat bertindak ceroboh, Ndy?” Ardan bertutur lembut dalam suara berintonasi tegasnya.  Wajah Windy bergetar. Alasannya nekat mencoba bunuh diri dengan membuat dirinya over dosis setelah menenggak obat, … memikirkan itu, Windy kembali terkukung dalam keterpurukan. Kevin, … calon suaminya. Pria itu merupakan alasannya nekat mengakhiri semuanya. “Kenapa kamu nggak cerita sama Mama kalau kamu memang ada masalah?” Windy terisak, kemudian menangis. Tangis yang berangsur pecah. Windy meraung-raung, seolah ada bagian yang hilang dari kehidupannya jika ia harus dihadapkan pada alasannya nekat melakukan percobaan bunuh diri. Ardan menghela napas pelan dan terlihat jauh lebih tabah dari Fania yang langsung mendekap tubuh Windy.  “Ma … Pa … maafin aku, ya. Aku benar-benar minta maaf.” Fania berangsur menyudahi pelukannya. Penuh kasih sayang, ia mengelap linangan air mata Windy. “Iya, Sayang, nggak apa-apa. Nggak apa-apa. Asal kamu sudah baik-baik saja dan jangan sampai mengulanginya.”  “Katakan pada Papa, Kevin ke mana? Kenapa dia sangat sulit dihubungi? Kalian sudah akan menikah, tapi sekadar komunikasi saja susah!” Ardan meledak-ledak. “Iya, Ndy, Kevin ke mana? Mama rasa dia harus tahu kalau kamu sedang sakit.” Fania menambahi. Windy menunduk dan membisu. Hanya air matanya yang terus berlinang, seolah mewakili keadaannya. Kenyataan itu membuat Ardan dan Fania kian bertanya-tanya, di tengah penantian balas mereka. Mungkin dua menit, kenyataan itu berlangsung. Windy sungguh membuat mereka menunggu. Windy berangsur mengangkat tatapannya, menelan salivanya beberapa kali di tengah kesibukannya menghela napas. “Pa … Ma… Ke-vin… dia ….” “Kevin kenapa?” Ardan terlihat tidak sabar. Windy menelan salivanya untuk kesekian kalinya. Tak hanya sesak, tapi juga terlihat sangat berat. Kemudian ia memalingkan wajah. “Kevin batalin pernikahan ….” Dada Fania dan Ardan seolah dihunjam ujung mata tombak. Sesak, perih, ngilu, mereka rasakan pada saat itu juga. Fania menoleh pada Ardan. Suaminya itu masih bergeming dan terlihat sangat marah bahkan terpukul, melibihi dirinya yang nyaris jantungan detik itu juga. “Kevin batalin pernikahan, tapi dia nggak ngasih alasan meski aku sudah berulang kali minta kejelasan ….” Tangis Windy kembali pecah. Tubuhnya kembali terguncang pelan, membuat Ardan berikut Fania yang melihatnya semakin merasa hancur. Tangis Fania yang seketika kembali pecah refleks mendekap Windy. Sekalipun terlihat sangat terpukul, Fania masih memiliki sisa kesadaran untuk bertahan. Terlebih ia sadar, yang harus dilakukan kini adalah melindungi Windy. Bagaimana bila anak gadisnya sampai kembali melukai diri sendiri seperti saat ini? Nyawa Windy nyaris tidak terselamatkan setelah meminum racun. Bila saja Tito tidak membawa Windy ke rumah sakit tepat waktu, mungkin apa yang Windy lakukan juga akan menimpa Fania. Fania sungguh tak sanggup, tak rela anaknya asal dicampakkan begitu saja di tengah persiapan pernikahan yang sudah nyaris rampung, terlepas dari hari pernikahan yang sudah ada di depan mata. “Ini benar-benar tidak bisa dibiarkan!” Napas Ardan terdengar memburu sementara suaranya sudah parau. Di depan pintu ruang rawat, Tito menyimak dari sela pintu yang telah ia buka sedikit. Sementara, dari lorong yang sama, Sandy melangkah di belakang Tito sembari berbincang melalui ponsel. “Jadi Josh dirawat di kamar Mawar nomor berapa, Ma? Aku udah di Ruang Mawar.” Ke dua mata Sandy yang sedang memperhatikan kamar demi kamar, melihat Tito. Pria muda seumurannya itu tampak serius memperhatikan sebuah kamar rawat. Dahi Sandy berkerut tipis. Dan tak berselang lama, ia juga menjadi bagian dari kegiatan Tito. “Win-dy?” desisnya tidak percaya.  “Bagaimanapun caranya, Papa akan meminta pertanggungjawaban Kevin! Kenapa dia tiba-tiba membatalkan pernikahan kalian?! Bahkan bila perlu, Papa akan membawa masalah ini ke ranah hukum!” Windy menangis tersedu-sedu dalam dekapan Fania yang mengalami hal serupa, sementara Ardan masih tenggelam dalam kemarahannya. Ayah mana yang bisa terima putri semata wayang sekaligus kesayangan dicampakkan sampai nekat melakukan percobaan bunuh diri? Rahang Sandy mengeras seiring ke dua matanya yang menajam. Tangan kanannya mencengkeram lengan kanan Tito. Tito sendiri langsung terlonjak dan terlihat sangat terkejut tatkala menatap Sandy.  Tanpa pikir panjang, Sandy membawa Tito dengan cukup kasar menuju lorong pertigaan dan kebetulan tidak jauh dari hadapan ruang rawat Windy. “Sa-sand ….” Tito menggeragap, bingung sekaligus takut kepada Sandy yang tampak jelas murka kepadanya. “Ternyata dugaanku bener, To. Kamu memang bohong ke aku!” umpat Sandy. “Kalaupun aku jujur tidak akan mengubah keadaan, kan?” elak Tito mulai frustrasi. Tak hanya karena cara Sandy memperlakukannya dan jelas tengah menghakiminya, melainkan keadaan Windy sendiri. “Keadaan apa, hah?” bentak Sandy masih dikuasai emosi. “Windy pasti tetap mencoba bunuh diri karena pernikahannya yang tinggal hitungan hari, dibatalkan sepihak oleh Kevin!” pekin Tito yang akhirnya menangis. Tak tega sekaligus marah rasanya jika ia harus menghadapi keterpurukan Windy akibat ulah gila Kevin. Hati Sandy terasa perih seiring kedua matanya yang menjadi bergetar. Windy sudah akan menikah daj sampai mencoba bunuh diri? “Kevin itu siapa?”  “Calon suami Windy.” Tito menjawab dengan lebih tegar. “Antarkan aku padanya!” Sandy ingin memberi pria bernama Kevin itu pelajaran. “Tidak mungkin. Dia sedang pergi ke luar negeri ….” Tito menunduk pasrah seiring butiran air mata terus berlinang membasahi pipinya.  “Beri aku alamatnya. Aku akan membuatnya kembali dan meminta maaf kepada Windy sekeluarga!”  “Awalnya, aku juga berpikir begitu. Tapi melihat caranya yang tidak bertanggung jawab, apakah kamu bisa menjamin dia layak diandalkan? Apakah laki-laki sepertinya pantas mendapatkan cinta dari Windy?” Tito kembali menyikapi keadaan dengan serius bahkan emosi. Kevin; satu nama yang tidak pernah bisa ia maafkan setelah apa yang pria itu lakukan kepada Windy sahabatnya. Tito masih meledak-ledak membahas Kevin, sementara Sandy yang masih terdiam terlihat semakin kesal. “Bukan hanya sekali dua kali, Sand, Windy mengemis kepada Kevin demi kelanjutan persiapan pernikahan mereka!” “Apakah hubungan mereka karena dijodohkan?” Sandy angkat suara. Merasa ada yang janggal kenapa Kevin sampai mencampakkan Windy yang di matanya merupakan wanita sempurna.  “Tidak. Mereka saling mencintai dan tidak ada perkara aneh sebelumnya. Bahkan mereka nyaris tidak pernah bertengkar.” Sandy menghela napas dalam, sebab dadanya terasa sangat sesak. Namun, helaan napas yang berusaha ia atur pun tidak mengubah rasa sesak pada dadanya, justru terasa semakin menyiksa.  “Enggak sampai satu bulan lagi seharusnya mereka menikah, tapi Kevin justru membatalkan semuanya. Pantas saja Windy memilih untuk menyerah.” Tito menekapkan kasar ke dua tangannya pada wajah. Terdengar suara pintu ruang rawat yang terbuka secara kasar. Kenyataan itu membuat Sandy dan Tito terjaga. Ke duanya menoleh pada pintu ruang rawat Windy yang memang terbuka. Ternyata itu Ardan yang baru saja keluar dan pria itu melangkah cepat meninggalkan ruang rawat Windy. Mendapati itu, Sandy segera mengejar Ardan dengan setengah berlari. Tito kebingungan dengan maksud Sandy, tapi ia semakin melongok untuk memastikan.  Kenapa Sandy begitu buru-buru mengejar Ardan? Apa yang pria itu rencanakan setelah mereka membahas kilas balik hubunga Windy dan Kevin, terlepas dari Sandy yang Tito yakini masih memiliki perasaan spesial kepada Windy, meski jarak dan waktu telah memisahkan mereka? “Om …?” Panggilan Sandy membuat langkah Ardan berhenti. Dahi Ardan refleks berkerut samar. Sandy segera berdiri di hadapan Ardan.  “Om masih ingat saya?” Ardan tampak masih mencoba mengenali Sandy. Wajah tegang pria paruh baya berkacamata itu menjadi semakin berkerut. “Saya Sandy, Om. Teman Windy sewaktu SMA.” Kemudian Ardan mengangguk. “Ya, ada apa?” balasnya kaku. “Boleh, saya menikah dengan Windy?” Ardan terkesiap.  “A-astaga, Sandy?” Tito menggeragap lantaran syok dengan apa yang Sandy lontarkan kepada Ardan. “Tolong beri saya kesempatan, Om. Saya berjanji akan selalu melindungi sekaligus membahagiakan Windy. Om bisa memegang janji saya! Dan bila saya tidak bisa menjalankan janji saya, Om bisa menghukum bahkan memenjarakan saya!” tegas Sandy tanpa sedikit pun keraguan. Ardan masih bergeming. Itu juga yang membuat Tito tenggelam dalam ketegangan. “Tidak ada yang berubah. Hanya mempelai laki-lakinya saja yang berubah. Saya akan menjadi mempelai Windy, menggantikan Kevin. Dan secepatnya, saya akan membawa ke dua orangtua saya untuk menemui Om sekeluarga! Om bisa memegang ucapan saya!” “Gila ….” Bibir Tito sibuk mendesis. “Kira-kira, Om Ardan mau bales apa, ya? Setuju, apa nolak? Ya ampun, nunggu balesan Om Ardan kok bikin perutku mules kayak nunggu adegan bola masuk ke gawang hasil tendangan jarak jauh terus dimodif jadi slow motion!” gumam Tito menjadi sibuk berspekulasi sendiri, tak ubahnya pembaca acara sebuah infotaiment yang sedang menanggapi gosip bawaan mereka. “Dulu, saya dan Windy sudah sangat dekat. Kami bersahabat, bahkan sempat pacaran. Tapi, semenjak Om sekeluarga pindah dari Bandung, kami jadi lepas komunikasi.” Sandy menambahi, masih berusaha mendapatkan restu Ardan. “Bagaimana mungkin saya bisa percaya kepamu, sementara laki-laki yang sudah empat tahun menjalin hubungan serius dengan Windy saja bisa dengan mudah meninggalkan bahkan menyakiti Windy?” tegas Ardan. “Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, Om bisa memegang janji saya. Dan bila memang saya tidak bisa memberikan bukti dari janji saya, saya yakin, Om jauh lebih tahu dengan apa yang harus Om lakukan kepada saya.” Sandy tak mau menyerah. Ke dua mata Ardan mengerling. Kemudian ia menghela napas beberapa kali tanpa menatap Sandy. “Memangnya, orangtuamu akan setuju begitu saja?” Sandy segera mengangguk. “Pasti, Om!” “Atas dasar apa? Kenapa kamu begitu yakin sementara kamu tahu, pernikahan Windy tinggal hitungan hari?” tantang Ardan. “Karena orang tua saya juga tahu, bila Windy merupakan alasan saya bertahan hingga sekarang.” Sandy masih bertutur yakin. “Hmp! Kalau begitu, bawa orangtuamu ke sini!” Ardan sengaja menantang. “Ti-tidak bisa, Om.” Sandy kebingungan. “Kenapa begitu?! Bukankah kamu sendiri yang mengatakan bila orangtuamu akan memberi restu dan secepatnya membawa mereka menemui saya sekeluarga?!” balas Ardan langsung murka. Tito yang menyimak langsung ketakutan di ujung sana. “Karena, sekarang orang tua saya masih di luar negeri, Om. Mungkin lusa, saya akan langsung membicarakannya dengan mereka.” “Kalau begitu, telepon mereka sekarang. Saya ingin mendengar kesediaan mereka mengenai lamaranmu.” Ardan masih menunggu bukti keseriusan Sandy. “Baik, Om!” Sandy segera merogoh saku celana bagian samping dan mengeluarkan ponsel dari sana. Tidak ada sedikit pun keraguan yang terpancar dari wajah Sandy, membuat Ardan cukup menaruh simpati.  “Baiklah.” Ardan mengangguk-angguk, menyimak setiap apa yang Sandy lakukan dengan sangat teliti. Sandy baru membuka menu kontak pada ponselnya, ketika Ardan tiba-tiba berseru. Dilihatnya Ardan yang menatapnya dengan tatapan jauh lebih santai. “Bila memang Windy bersedia, saya akan memegang janjimu!” Jauh dalam benaknya yang telanjur dipenuhi keraguan, Ardan perlahan mulai kembali ingat. Dulu, saat masih tinggal di Bandung ketika Windy masih SMA, Sandy selalu mampu membuat wajah Windy berseri-seri. Hati Tito mencelis melihat senyum Sandy yang tidak bisa menutupi kebahagiaannya. “Dengan catatan, segera selesaikan semuanya.” “Baik, Om!” Ardan mengangguk tanpa perubahan ekspresi berarti. Semuanya masih sama—datar sekaligus tegang. “Boleh saya menemui Windy sekarang?” Ardan tersentak. Mengerjap sendu, kemudian mengangguk. Sandy menunggu Ardan melangkah, kemudian mengikuti kepergian pria paruh baya berwajah dingin itu.  Ketika Sandy masuk mengikuti Ardan, Tito masih terpaku di tempatnya berdiri. Bahkan meski sudah berulang kali menelan ludah dan mencubit pipi, pria muda bermata belo itu masih tidak percaya dengan kenyataan yang ada. “Kenapa Sandy bisa datang pada waktu yang sangat tepat? Kenapa sampai ada kesempatan yang membuatnya bersama Windy lagi?” Dari belakang Ardan, Sandy melongok. Kedua matanya telah menangkap tubuh Windy masih terbujur dalam balutan selimut warna biru muda. Sementara Fania yang mengusap wajah Windy menggunakan handuk kecil, tampak terkesiap dan melongok sesosok bersetelan jas di belakang Ardan. “Windy tidur?” Fania segera mengangguk, pandangannya refleks menatap kedua mata Ardan, kemudian mencoba mengenali sosok di belakang suaminya. Sosok yang berangsur menampakkan diri.  Sandy masih mengambil posisi agar Ardan tetap lebih di depannya. “Apa kabar, Tante?” Seulas senyum menghiasi sapaannya. Fania terlihat menerka-nerka. “Nak Sandy, bukan?” ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD