Inara terbangun begitu mendengar suara azan dari masjid rumah sakit. Matanya masih terasa berat. Efek menangis tadi malam, membuat kelopak matanya sedikit membengkak. Gadis itu mengucek matanya dengan tangan kanan. Lampu yang semalam dimatikan Syabil, kini sudah menyala kembali. Inara melongok ke arah sofa. Tidak ada siapa pun di sana. Pandangannya beralih ke kamar mandi. Lampu di ruangan kecil yang terletak dekat pintu itu masih padam. “Tega banget ninggalin istrinya.” Inara menarik selimut, kemudian membuka ponsel. Udara subuh masih terasa dingin. Ia kembali memikirkan ucapan Syabil semalam. “Apa dia cemburu?” Inara menautkan kedua alisnya. Senyuman terkembang di wajahnya. “Bagus, dong, cemburu.” Sepuluh menit kemudian, Inara bangkit dari posisinya. Tangannya meraih satu botol besa