Bab 2 : Kelicikan Marco
"Bakar rumah, beserta tua Bangka itu setelah aku pergi," bisik Marco pada pengawalnya. Pria dengan pakaian serba hitam itu mengangguk patuh.
Dan benar saja, sepeninggalan Marco dan Cydney, mereka menuangkan banyak minyak gas pada rumah kayu milik Barrett. Laki-laki tua itu terikat pada kursi yang ada di dalam rumahnya. Mulutnya tertutup dengan lakban, Barrett meronta, tapi pria kejam itu memukul kuat wajah Barrett dan laki-laki itu pingsan.
Seringai jahat nampak di wajah pengawal Marco. Dalam hatinya dengan pingsannya Barrett akan sangat mudah untuk menghabisinya.
Setelah seluruh rumah kecil itu mengeluarkan bau gas, anak buah Marco menyulut api. Dengan cepat nyala api berkobar.
Rumah kayu itu dengan cepat terbakar. Barrett tersadar dan dia tidak bisa melakukan apa-apa. Puing-puing bangunan mulai berjatuhan, dengan asal yang mengepul tebal.
Maafkan Daddy Cydney. Daddy berdoa untuk kebahagiaanmu, semoga kau menemukan laki-laki yang bisa menolongmu, membahagiakan dirimu. Daddy sayang kamu Cydney, batin Barrett.
Ajalnya sudah di depan mata, asap yang terus masuk dari lubang hidungnya membuat dirinya susah untuk bernafas. Di tambah dengan nyala api yang semakin membesar siap untuk memanggang dirinya hidup-hidup.
Berteriak pun tidak bisa ia lakukan. Berpindah tempat apa lagi. Inilah, ini akhir hidup dari Barrett, orang yang telah membesarkan Cydney, orang yang merawat Cydney sejak bayi. Ayah dari seorang Cydney, gadis yang lembut dan penuh kasih sayang.
Gadis itu tidak akan bisa lagi melihat dan bersenda gurau dengan ayahnya. Tidak lagi bisa melihat tawa sang ayah, atau bahkan hanya sekedar ingin bertemu.
Mobil pemadam datang saat semua telah menjadi abu, rumah yang jauh dari kerumunan, dan tidak memiliki tetangga adalah satu alasan terlambatnya pertolongan untuk datang.
Naasnya pembuat laporan itu justru pelaku yang membakar rumah itu, dengan menggunakan ponsel lain dan membuangnya ke laut yang tidak akan pernah bisa di temukan oleh siapapun.
[ Misi berhasil ]
Sebuah pesan terkirim pada Marco. Laki-laki itu tersenyum Devils setelah membaca pesan dari anak buahnya.
Marco turun dari mobil yang telah membawanya tiba di mansion miliknya. Rumah terbesar yang pernah Cydney lihat.
Gadis itu menatap takjub dan heran akan kemewahan yang terpampang di depannya. Dia mengikuti langkah Marco menuju pintu utama.
Banyak sekali penjaga di sana, hampir di seluruh sudut ruangan ada patung hidup yang berdiri. Dan siap melaksanakan perintah dari si bos.
Cydney merasa takut berada di sana. Marco membawa gadis itu menaiki tangga, banyak wanita di lantai dua rumah itu. Banyak sekali kamar, dan di tiap kamar pun ada penjaganya.
Tempat apa ini? Pikir Cydney. Tangannya bergetar. Satu yang terlintas dalam benaknya. Akankah dia dijual dan menjadi wanita pemuas nafsu?
Keringat dingin mengucur di pelipis dan tangan Cydney. Serta getaran dan debaran jantung yang semakin menambah kesan horor pada diri Cydney.
"Masuklah, akan ada yang mengantarkan makanan untukmu sebelum kau melayaniku," kata Marco. Setelah berkata demikian pria itu meninggal Cydney di depan pintu yang di duga adalah kamar untuk Cydney. Dan tentu saja ada satu penjaga di dekat pintu itu.
Dan benar saja, tidak lama setelah Marco pergi seorang pelayan datang dengan troli makanan. Sangat banyak dan semua tampak nikmat memanjakan lidah.
"Silahkan Nona, jika ada yang kurang, atau Nona membutuhkan sesuatu bisa panggil saya melalui penjaga di depan," titah si pelayan perempuan.
"Terima kasih," ucap singkat Cydney. Bukan tidak mau berucap lebih panjang. Namun liurnya seakan ingin menetes karena melihat makanan yang tersaji di depannya.
Tanpa dia harus memasak, tanpa dia harus kepanasan di dapur seperti biasanya. Pelayan itu pergi, meninggalkan Cydney, memberikan Cydney privasi untuk makan, untuk mengisi daya tubuhnya, sebelum semuanya di mulai.
Tentu semua fasilitas dan makan di rumah Marco tidaklah gratis. Mereka yang telah menikmati kehidupan di mansion milik Marco harus memberikan banyak keuntungan, dan imbalan untuk laki-laki itu.
Setelah pelayan itu keluar, dengan cepat Cydney duduk di sofa dan menarik troli. Memindahkan satu persatu makanan ke meja dan siap untuk menyantapnya.
Dengan lahap piring demi piring kosong di atas meja, Cydney seperti belum makan selama satu Minggu. Bukan tanpa sebab, masakan yang terhidang adalah makanan terbaik yang hanya bisa Cydney jumpai di restoran besar. Dan Cydney tidak memiliki uang untuk pergi ke sana.
Gadis itu menyandarkan punggungnya di sandaran sofa, bahkan ia sampai bersendawa.
"Ups," ucapnya sembari menutup mulutnya, dan malu jika ada yang mendengarnya.
"Daddy, apa kau sudah makan? Aku bahkan makan tanpamu. Aku akan segera kembali Daddy, tunggulah," gumam Cydney. Ia menerawang jauh di depan jendela yang ada di seberang.
Perut yang kenyang membuat Cydney tertidur di sofa, bahkan saat pelayan mengambil troli berisi piring kotor pun, Cydney tidak terusik.
Sampai malam tiba, dan semua menjadi gelap. Baik di luar ruangan maupun di ruangan yang di tempati Cydney. Wanita itu membuka matanya.
"Apa aku buta setelah makan begitu banyaknya? Tunggu! Apa makanannya di racun?" tebak Cydney.
Gadis polos itu berdiri dan berjalan meraba-raba sekitar, meraba setiap dinding berharap menemukan saklar lampu.
"Apa aku benar buta?" lirihnya lagi. Dia tidak menemukan apapun di dinding, selain bingkai foto pajangan.
"Kenapa tidak mau menyala?" kata Cydney pelan. Begitu dia mengucapkan kata menyala, lampu di ruangan itu menyala. Ya, benar ruangan dengan sensor suara. Menggunakan suara untuk melalukan apapun di dalam ruangan itu. Kamar istimewa untuk gadis seistimewa Cydney, dari Marco.
"Wah! Ini keren, Daddy. Kau akan banyak mendengar cerita dariku nantinya." Cydney melompat senang. Dia baru pertama kali melihat hal yang mustahil di depan matanya.
"Matikan lampu," teriak Cydney. Dan matilah lampu itu.
"Nyalakan lampu," teriaknya kemudian, dan lampu itu pun menyala.
"Wkwkwk, aku buat kau rusak nantinya," tawa Cydney menggelegar di seluruh ruangan.
Dia berlari ke atas ranjang dan berguling-guling di sana, merasakan empuk dan lembutnya bed itu. Jauh berbeda dari yang ada di rumahnya.
"Daddy, di sini begitu nyaman. Tapi Daddy tetap yang terbaik untuk Cydney. Aku menyayangimu dad," ucap Cydney. Apapun yang dia lakukan seakan dia selalu mengingat Barrett, yang dia tidak tahu bahwa sang ayah telah meninggal.
Cydney melirik jam yang ada di dinding, jam besar yang sangat bagus, hanya ada angka dan jarum raksasa yang menunjuk dan berputar.
Melihat waktu sudah berada di angka tujuh Cydney kemudian mengedarkan pandangan dan bertemu satu pintu yang mencuri perhatiannya.
Dengan cepat Cydney masuk dan menghilang di balik pintu itu.
"Ah-- segarnya," seru Cydney
To be continue