Episode 05

3175 Words
Elsa sampai di depan pintu apartemen yang Mami beritahukan padanya, berikut dengan kata sandi unit tersebut. Sekarang, melihat pintu metal yang tampak sangat kokoh itu, membuat nyali Elsa menciut, pegangan pada tali tas bekalnya semakin erat. Bagaimana dia bisa menyetujui ide maminya ini tanpa berpikir terlebih dahulu? Bagaimana respon Leon nanti? Dia pasti bakal marah besar kalau sampai tahu Elsa datang ke sini. Kata Mami, Elsa bisa langsung mengetik kata sandi di pintu itu dan membukanya. Tapi Elsa bahkan tidak tahu harus mengetik di mana. Lagipula, jika dia melakukan seperti yang Maminya sarankan, hal itu terkesan tidak sopan sekalipun pemilik apartemen ini adalah suaminya sendiri. Apalagi dengan hubungan pernikahan mereka yang sangat membingungkan ini. Elsa pun memencet sebuah tombol bel di samping pintu, lalu menunggu beberapa saat sampai pintu terbuka, dan memperlihatkan sosok perempuan cantik berdiri di hadapannya. Napas Elsa nyaris tercekat dan tubuhnya langsung menegang. Matanya membesar ketika melihat wanita cantik berpakaian seksi yang berdiri di ambang pintu. Wanita itu juga memperhatikan Elsa, lalu mengernyit. “Maaf, siapa ya?” Elsa merasakan tenggorokannya kering ketika dia hendak membuka suara. Namun teringat akan perkataan Leon sebelumnya yang tidak ingin orang lain tahu mengenai pernikahan mereka. Elsa pun menjawab dengan suara tegang; “Saya disuruh Ibu Maya untuk nganter makan malam ini ke Pak Leon.” Wanita itu menatapnya dengan angkuh lalu mengulurkan tangan. “Yaudah siniin.” Elsa menggeleng. “Ng… Ibu Maya juga menugaskan saya untuk menghidangkannya langsung ke meja makan pak Leon.” Elsa benar-benar tidak yakin akan apa yang baru saja dia ucapkan. Namun dia begitu dibuat penasaran dan ada dorongan yang begitu besar yang menyuruhnya untuk masuk ke dalam sana dan bertemu dengan suaminya. “Oh, yaudah,” sahut wanita itu lalu membuka pintu lebih lebar untuk Elsa masuki. Wanita cantik nan seksi itu berjalan di hadapannya. Elsa memperhatikan dress merah berlekuk tubuh yang sangat sempurna, dipadu dengan  kaki jenjang yang mulus, dan rambut bergelombang yang terurai di punggung. Kalau boleh jujur, Elsa tidak pernah melihat wanita secantik ini sebelumnya. Dan sebuah pertanyaan terngiang-ngiang di kepalanya; Siapa wanita ini? Apa hubungannya dengan Leon? Dan apa yang dilakukannya di sini?   *   Elsa merasakan sebuah teguran di dalam dirinya bahwa dia seharusnya tidak ada di sana. Ketika masuk ke dalam apartemen itu, Elsa dibuat terkagum-kagum oleh kemewahannya, dan kebersihannya. Apartemen itu luas dengan ruang tamu bersofa abu-abu, dapur yang luas, dan beberapa pintu yang mengarah ke ruangan lainnya. Semua furniturnya tampak mahal, lukisan-lukisan di dindingnya juga pasti adalah lukisan asli. Lalu naik satu anak tangga dari ruang tamu, sebuah meja makan besar berada yang bersebelahan dengan dapur yang telah dilengkapi oleh peralatan yang mengilap.        Dan wanita itu membawa Elsa ke sana. Sedikit bingung, sampai wanita itu pun berdehem dan Elsa langsung tersadar. dia mengalihkan pandang dari kegiatan mengagumi interior unit tersebut, lalu beralih ke arah kotak makan yang masih digenggamnya dengan erat. “Tunggu apa lagi? Cepat sajikan!” perintah wanita itu pada Elsa. Tersadar lagi, Elsa pun langsung bergerak cepat mengeluarkan segala macam lauk yang ada di dalam kotak makanan yang dibawanya dan menyajikan mereka di atas piring-piring yang tampak elegan yang Elsa temui di dapur. Sedangkan wanita cantik tadi, telah meninggalkan Elsa sendiri dan entah pergi kemana. Setelah selesai, Elsa menatap meja makan cukup lama sambil berharap bahwa makanan yang telah dimasaknya itu cukup lezat dan cukup hangat untuk selera sang suami dan… bagaimana dia harus memanggil wanita itu? Teman suaminya, mungkin? Ya, mungkin saja. Intinya, semoga mereka suka, batin Elsa. “Siapa yang datang?” Tubuh Elsa langsung menegang ketika mendengar suara itu, diikuti dengan langkah kaki yang mendekat. “Katanya pelayan yang disuruh Mami kamu untuk ngantar makan malam.” Seharusnya tadi dia tidak menghabiskan banyak waktu untuk berpikir dan menyelesaikan tugasnya menyajikan semua makanan itu denga cepat sebelum Leon datang. Tapi sudah terlambat, Leon tepat berdiri di belakangnya dan Elsa jelas merasakan punggungnya panas oleh tatapan lelaki itu. Perlahan, tubuh Elsa pun bergerak, dia sedikit meyeret kakinya menuju dapur. “Elsa?” Elsa langsung berhenti dan dengan refleks tubuhnya berbalik, lalu melirik Leon yang menatapnya terkejut. Elsa berdoa semoga Leon tidak marah padanya. Momen dalam keheningan itu terpecahkan oleh suara wanita yang berdiri di belakang Leon. “Kenapa, babe? Ayo kita makan, aku tahu kamu dari tadi siang belum makan apapun.” Wanita itu menyentuh lengan Leon sehingga mengalihkan fokus Leon dari Elsa. Lalu mereka duduk di meja makan, sedangkan Elsa masih berdiri dengan canggung di ambang pintu dapur. Aku seharusnya pergi, batin Elsa lagi. Tapi, kenapa dia tidak juga mengangkat kaki dan pergi? Karena suaminya, tentu saja. Karena suaminya berada di dalam satu apartemen dengan seorang wanita cantik nan seksi. Dan apa tadi kata perempuan itu? Belum makan apapun semenjak siang? Leon pasti kelaparan. Dan dari situ pun Elsa menyadari bahwa hubungan Leon dan perempuan itu pasti sangat dekat. Leon mendorong kursi dan bangkit, berjalan mendekati Elsa. Jantung Elsa sudah berdegup tidak karuan ketika lelaki itu kian mendekat, tatapan mereka tidak terlepas. Lalu ketika Leon berdiri tepat di hadapannya, Elsa melihat tatapan itu lagi, tatapan yang membuatnya merinding dan berujung pada Leon menciumnya. Tapi kali ini Elsa cukup yakin bahwa Leon tidak akan melakukan itu. “Air… minum,” ucap Leon. Elsa pun tersadar bahwa dia belum menyajikan air minum di meja makan, sehingga dengan gerakan cepat dia mengambil dua gelas dan sebuah teko kaca dari dalam rak lalu mengisinya dengan air. Leon mendekati Elsa dan berdiri di sampingnya, dia menoleh ke arah Kanaya yang asyik memainkan ponsel sambil menunggunya. Mumpung wanita itu sedang teralihkan, Leon pun menatap Elsa lagi. “Ngapain kamu disini?” bisiknya kasar. Elsa menggigil ketakutan setelah mendengar suaranya. Mata besar gadis itu mendongak menatap Leon. “Nga-nganterin makan malam untuk kak Leon,” jawab Elsa yang berupa cicitan tertahan. Leon melirik Kanaya lagi. “Jangan kemana-mana, tunggu aku di kamar.” Lalu Leon meraih nampan berisi gelas dan teko itu, dan membawanya sendiri ke meja makan. Elsa masih sulit mengatur detak jantungnya setelah Leon pergi. Lelaki itu marah! Elsa tidak bisa berbohong bahwa dia takut pada tempramen suaminya yang suka marah seperti ini. Bagaimana tidak? Elsa hanyalah gadis biasa berusia 18 tahun, sedangkan Leon sudah nyaris 30. Usia yang terpaut sangat jauh itu membuat Elsa terkadang merasa bahwa dia tidak seharusnya berada di sana, di manapun tempat Leon berada. Karena ketika bersamanya, Elsa benar-benar merasa sangat kecil dan lemah. Dan itu bukanlah sebuah kiasan, karena Elsa memang bertubuh kecil dan lemah sedangkan Leon memiliki tubuh kekar tinggi yang mampu membuat gadis berusia 18 tahun sepertinya menciut dan mudah terintimidasi ketika berdiri bersama-sama dengan lelaki itu. Elsa menghembuskan napas dengan tenang lagi. sepertinya dia memang harus tinggal lebih lama. Karena Elsa tidak berani membantah Leon dan dia pun dengan segera meninggalkan dapur.   * Elsa tidak mengerti kenapa dia begitu gugup dan tegang, perasaan seperti ini tidak pernah disukainya. Namun ketika knop pintu diputar dan Leon muncul, jantung Elsa berdebar, berdebar dengan sangat menyenangkan, penuh antisipasi, gugup, dan ketegangan yang tinggi. Elsa berharap dia bisa bersikap dengan tenang, merespon dengan normal, setiap kali berhadapan dengan Leon. Akan tetapi, sepertinya itu sangat mustahil dilakukan. Terlebih dengan cara lelaki itu menatapnya saat ini. Elsa merunduk. Apa Leon akan benar-benar memarahinya? Dia sudah menunggu setidaknya selama lima belas menit yang terasa berjam-jam sampai Leon dan teman wanitanya selesai dengan acara makan malam mereka, padahal Elsa sendiri juga belum memakan apapun semenjak siang tadi. Dia lapar, namun tidak mungkin memiliki keberanian untuk menyuarakannya di hadapan lelaki itu. “Siapa yang ngasih tau kamu alamat apartemen ini?” tanya Leon, sambil bersandar di pintu, menatap Elsa yang berdiri kaku di tengah ruangan. “Mami,” jawab Elsa jujur. Leon memperhatikannya lagi. Dia sudah mencoba menghindari Elsa semenjak ciuman mereka, namun kini justru gadis itu yang menghampirinya. Padahal Leon sengaja pergi ke apartemennya karena bagi Leon, tempat ini adalah tempat teraman. Kanaya sudah pergi, dan kini hanya ada mereka berdua di sana. Sejujurnya Leon khawatir pengendalian dirinya akan lengah, sehingga sesuatu seperti yang terjadi kemarin malam terulang kembali. Apalagi dengan penampilan Elsa yang tampak benar-benar cantik, dibalut gaun berwarna coklat yang membuat Leon menduga-duga apa yang ada di balik warna gelap dan membosankan itu. Rambut hitam panjang Elsa dikuncir dengan asal-asalan, banyak anak rambutnya yang juga menempel di wajah oleh keringatnya, memperjelas seberapa tegangnya gadis itu saat ini. Sama, Leon juga tegang. “Ka-kak Leon?” cicit Elsa bingung, bersamaan dengan Leon yang melangkah lebar mendekatinya, dengan tatapan berkilat yang membuat lutut Elsa lemas. “Kamu berani sekali datang ke sini tanpa persetujuanku. Bukannya aku pernah memperingatimu untuk tidak memasuki kehidupanku terlalu dalam? Untuk tidak peduli padaku sebegitu banyak? Bukannya aku sudah bilang, Elsa, bahwa sekalipun kamu istriku, kamu tidak akan berarti apapun bagiku.” Elsa ingin lari dari sana. Saat itu juga. Jika Leon berniat untuk mengintimidasinya, maka lelaki itu berhasil. Elsa bahkan dibuat takut olehnya. Lalu telapak tangan yang hangat menangkup pipi Elsa yang sedingin es, mengusap bawah mataya, dan menyadari dirinya (entah sejak kapan) menangis. “Sstt… kamu kenapa malah nangis?” kening Leon berkerut-kerut dalam. Sedetik yang lalu dia tampak seolah ingin meledak oleh amarah, ekspresinya keras. Tetapi ketika menatap mata Elsa yang basah oleh air mata, tatapan Leon berubah lembut. Dia seharusnya senang, bisa mengintimidasi gadis ini seperti yang diinginkannya, namun kenapa sekarang rasanya sungguh salah? Elsa buru-buru mengusap air matanya dengan tangan. “A-aku nggak cengeng,” lirihnya. Dia tidak tahu kenapa dirinya malah menangis seperti ini, tapi rasa takutnya pada Leon tadi sekarang bercampur menjadi cemas. Dia tidak ingin Leon menggapnya anak kecil, manja, apalagi cengeng. Elsa adalah perempuan yang kuat, dan sisi itulah yang seharusnya dia tunjukkan pada suaminya, bukannya malah berlinang air mata seperti ini. Elsa yakin, sekarang Leon pasti semakin jijik padanya. Lalu, dari balik bulu mata yang basah itu, Elsa menatap Leon dengan ragu. Untuk tercenung setelahnya karena bagaimana cara Leon menatapnya saat ini, membuat lutut Elsa lemas. Tadi, dia sangat ingin lari dari sana, dari hadapan lelaki itu, dari radius manapun tempat lelaki itu berada. Namun sekarang, entah apa yang terjadi pada dirinya, Elsa ingin mendekat, Elsa tidak ingin kemana-mana. Tatapan itu menghipnotisnya, mata itu membuatnya tenggelam. Leon mengerutkan kening ketika Elsa menggigit bibirnya dalam kegugupan yang jelas terlihat, kepolosan yang tidak bisa dihindarinya. Dan jemari Leon tidak tahan untuk tidak membelai wajah gadis itu, lalu membebaskan bibir bawahnya yang ia gigit. Mata bulat Elsa melebar, seolah dia siap lari dari sana kapanpun Leon melepasnya. Dan sebelum itu terjadi, Leon merengkuh pinggang Elsa merapat ke tubuhnya, lalu kepalanya tertunduk dan bibir mereka bertemu dalam pautan erat dan keras. Leon menggeram di tenggorokannya, merasakan bibir Elsa yang terasa sangat lembut dan manis. Leon tidak ingat kapan terakhir kali dia merasakan letupan-letupan gairah sebesar ini hanya karena sebuah ciuman. Sebelah tangan Leon menangkup leher Elsa, memiringkan wajahnya dan memperdalam ciuman mereka, memagut bibir itu seolah sudah menjadi candunya. Sebelah tangannya lagi meremas pinggang Elsa, mendesaknya semakin mendekat. Gelenyar panas menjalari sekujur tubuh Elsa, membasuhnya dalam hitungan detik. Dia tidak tahu harus bagaimana atau melakukan apa, ciuman Leon membuatnya pusing. Elsa menahan napas selama itu, lalu sebelum dirinya pingsan karena kekurangan oksigen, dia mendorong d**a Leon dengan dua kepalan tangannya. Leon pun menjauh, matanya yang tertutup perlahan terbuka, menatap sayu wajah Elsa yang memerah. Napas mereka sama-sama menderu tajam, berlomba-lomba menghirup oksigen sebanyak mungkin. Tatapan Leon turun pada bibir merekah Elsa yang memerah akibat ciumannya, lalu naik untuk bertemu dengan mata gadis itu yang baru saja terbuka. “K-kak Leon…” bisik Elsa dengan terengah. Dan Leon bersumpah, bahwa suara gadis itu yang memanggil namanya membuat Leon semakin b*******h. Dia menginginkan Elsa. Entah bagaimana caranya, dia harus memiliki gadis ini, malam ini juga. Jika tidak mungkin dirinya akan gila karena menginginkan gadis itu namun tidak lagi memiliki keberanian melakukannya. Maka Leon pun memagut bibir Elsa lagi, membuang segala petuah moral yang pernah Mami ucapkan padanya. Leon menggigit bibir bawah Elsa yang membuat gadis itu mengerang, yang semakin membakar gairah Leon. “Balas ciumanku,” kata Leon ketika menjauhkan bibirnya lagi, untuk mencium Elsa lagi dan lagi. Elsa membalas ciumannya, terkesan penuh keraguan, namun ketika Leon memaksa gadis itu membuka mulutnya, Elsa mengerang lagi. Bibirnya terbuka, lidah Leon membelit lidahnya, saliva mulai bertukar, turun ke dagu Elsa yang segera Leon usap dengan ibu jarinya. “Aku menginginkanmu,” ucap Leon dengan napas memburu, lalu dengan sekali gerakan, ia mengangkat Elsa dan mencium bibir manis itu lagi, sambil membawanya menuju ranjang di mana kemudian Leon membaringkan Elsa dengan lembut. Pagutan bibir mereka terlepas, Leon menatap wajah cantik istrinya yang memerah, dengan bibir ranum yang basah dan merekah, terbuka mengambil napas terengah-engah. Tatapan mata gadis itu ditutup kabut gairah, sama sepertinya. Lalu Leon menurunkan pinggulnya dan menggesekkannya di antara kedua paha gadis itu yang terbuka lebar. “Ahh…” Elsa terkesiap dan mendesah panjang. Leon menurunkan wajahnya, mencium rahang gadis itu, memaksanya mendongak untuk beralih mengecup lehernya. Leon menggunakan bibir, lidah, dan gigitan-gigitan kecil untuk membuat sebuah tanda kemerahan di sana, sedangkan pinggulnya masih terus bergerak di antara mereka. Penghalang kain itu sebenarnya sangat mengganggu, namun terasa seperti kulit bertemu kulit. Jika terus seperti ini, Leon takut dia akan menemukan pelepasannya dengan cepat. Tidak, dia bahkan nyaris mendapatkannya. Elsa hanya bisa merintih, perasaan asing itu melandanya tiada henti. Rasa nikmat dari kedekatan, setiap gesekan, dan ciuman basah Leon di lehernya membuat kepala Elsa pening. Apakah ini yang dinamakan gairah? Seperti inikah rasanya? Elsa merasa seperti tengah dibawa ke langit, paru-parunya sulit meraih oksigen namun Elsa sedikitpun tidak mempermasalahkan hal itu. Leon mencium lehernya tiada henti, bergerak semakin cepat di atasnya, membuat Elsa memejam semakin rapat dan menggigit bibirnya semakin kuat. “Elsa, keluarkan suaramu, jangan ditahan,” kata lelaki itu dengan suara seraknya. Elsa menggeleng dengan gelisah. Dia malu. Sangat malu! “Mendesahlah, Elsa,” desak Leon lagi, meraih sebelah kaki Elsa dan mengangkatnya untuk melingkari pinggul lelaki itu. Elsa merasakan gejolak di bawah perutnya semakin kuat, gejolak yang membuatnya ingin berteriak, pergi dari sana, atau memeluk Leon dengan erat. Dan Elsa memilih opsi kedua. Dia memeluk tubuh yang masih dibalut lengkap pakaian itu dengan erat, lalu sebelum ledakan itu sampai, Leon berhenti dengan tiba-tiba. “K-kak Leon…” rintih Elsa dengan lemah sekaligus bingung. Leon menunduk menatap wajah gadis yang merupakan istrinya itu dengan tatapan takjub. Elsa sangat cantik, namun kerutan di kedua dahinya mengganggu Leon. Elsa belum mendapatkan pelepasan pertamanya, dan saat ini Leon juga masih berada jauh dari sana. Ada dorongan yang begitu besar pada diri Leon untuk merengkuh gadis itu dan bercinta saat itu juga dengannya, dengan kasar, dengan keras, sampai ledakan o*****e itu mengguncang mereka. Namun tidak, Leon menahan diri dengan sekuat tenaga. Elsa masih perawan, dia harus bersikap lembut. Tubuhnya yang kecil juga pasti akan remuk jika Leon memperlakukannya sebagaimana yang ada di benaknya saat ini. Elsa merintih sakit. Entah sakit di mana, namun ada rasa kekecewaan yang begitu tinggi yang melandanya saat ini. Dia kebingungan, dan hal itu jelas terlihat pada raut wajahnya yang dengan mudah disadari Leon. Namun lelaki itu malah tersenyum. “Jangan memberengut begitu, aku janji o*****e pertamamu akan terasa lebih indah dari yang apa yang seharusnya kamu dapatkan tadi.” Memberengut? o*****e? Oh ya Tuhan! Elsa merasakan seolah kepalanya sudah siap untuk meledak ketika mencerna perkataan lelaki itu. Namun Leon tidak memberinya waktu untuk berpikir lebih jauh. Dia membawa tubuh Elsa yang lunglai dan panas untuk duduk. Tatapan mereka terkunci satu sama lain. “Aku menginginkanmu malam ini, Elsa.” Kesiap Elsa tertelan ketika Leon menciumnya, memagut bibirnya kuat dan menyatukan lidah mereka dengan panas. Elsa mengerang tertahan sebelum Leon menjauh lagi. Apa yang lelaki itu tunggu? Pikir Elsa. Jika suaminya itu menginginkannya kenapa dia tidak segera melakukannya saja? Elsa tidak pernah berpikir bahwa sebuah ciuman akan membawa kenikmatan sebesar ini, dan dia diliputi penuh penasaran akan apa yang terjadi selanjutnya. Dan rasa penasaran itu tidak akan tuntas kalau tidak dipenuhi oleh suaminya ini. Leon masih menatapnya dengan tatapan intens yang membuat lutut Elsa terasa seperti jeli, beruntung saat ini dia tidak sedang berdiri, karena sudah pasti dia akan membutuhkan tumpuan yang kuat. “Cium aku kalau kamu juga menginginkan ini.” Leon akan benar-benar gila jika Elsa tidak menciumnya. Dia juga akan tergila-gila ketika Elsa benar-benar menciumnya. Dan Elsa pun mencium Leon, dengan penuh keraguan yang memastikan satu hal yang pasti. Bahwa gadis itu juga menginginkannya, mungkin tidak sama besar sebagaimana Leon menginginkan gadis itu. Leon mengusap wajah Elsa, memperbaiki rambutnya yang sedikit acak-acakkan dengan gerakan lembut. Lalu tangan Leon turun ke leher Elsa, dan gadis itu secara naluriah mengusap wajahnya dalam rengkuhan tangan besar Leon, yang kemudian turun membelai bahunya. Lalu ketika tangan itu sampai di lengan gaun Elsa, Leon berhenti dan menatap mata gadis itu, hanya matanya, sedangkan tangan Leon bergerak melepas gaun itu beserta bra yang Elsa kenakan. Lalu tatapan Leon pun menurun, menatap p******a ranum istrinya yang membuat kabut gairah dalam dirinya semakin pekat. Ketika tangan Leon bergerak membelai sisi dua gundukan itu, Elsa terkesiap dan refleks menutup dadanya dengan kedua tangan. Tatapan keraguan bercampur cemas itu lagi-lagi hadir di antara gairahnya sendiri. Elsa menggeleng. “Kamu malu?” tanya Leon lembut. Lebih dari malu! Elsa ingin menjawab, namun menggantinya dengan anggukan. Leon tersenyum, perlahan melepaskan kedua lengan Elsa dari dadanya, lalu dengan cepat menangkup salah satu p******a gadis itu. Elsa berjengit mundur dengan mulut terbuka yang segera ia tutup sambil menggigit bibir. Lalu tangan Leon tidak lagi hanya menangkup, namun juga meremasnya dengan gerakan yang membuat Elsa nyaris hilang. Leon terus memperhatikan perubahan raut wajah nikmat Elsa yang masih bercampur dengan kecemasan dan keragu-raguannya. “Jangan khawatir,” bisik Leon, “kamu cantik, dan percayalah bahwa aku akan melakukannya dengan pelan. Apa kamu percaya padaku, Elsa?” tanya Leon sambil melepas gigitan gigi Elsa pada bibirnya, yang refleks membuat gadis itu mendesah kecil berulang kali bersamaan dengan remasan tangan Leon di dadaya. “Kamu percaya?” ulang Leon. Elsa hanya mampu mengangguk, tidak kuasa untuk berbicara.   ***   Elsa merasa tubuhnya seketika itu menjadi ringan, seperti berada di awan penuh bintang. Ya, jauh rasanya dari pijakan bumi. Untuk pertama kali, dia merasakan semua beban dalam hidupnya sirna, hanya ada kenikmatan dan perasaan membuncah dalam d**a. Dan Elsa juga melihat hal itu terjadi pada suaminya. Dia merasakan semburan hangat memenuhi rahimnya, perasaan penuh itu terasa asing dan nikmat, lalu suara desahan Leon memenuhi indera pendengarannya. Elsa tidak pernah menyangka bahwa kenikmatan itu seindah ini. Dan Leon juga tidak akan pernah percaya bahwa perempuan berusia sangat muda ini mampu membawanya ke ledakan puncak tertinggi yang pernah ia rasakan. Tenaganya nyaris terkuras habis, mereka terdiam dengan suara jantung bertalu-talu dan napas berat yang saling bersahutan. Kepala Leon di d**a Elsa, dan kedua tangan Elsa masih memeluknya erat, lalu mulai membelai di sekitaran punggungnya. Mungkin, itu hanya suatu gerakan kecil yang tidak Elsa sadari, namun gerakan seremeh itu ternyata mampu membangkitkan gairah Leon lagi yang dirinya kira sudah tidak tersisa. Dan sebelum Leon lupa diri untuk membawa Elsa ke ronde selanjutnya, dia melepas diri dan mendengar Elsa melenguh pelan, lalu berguling ke samping dan membawa Elsa ke dalam pelukannya. Seluruh tubuh Elsa lemas, dan matanya terasa sangat berat. Dia kemudian jatuh tertidur dalam pelukan ternyaman yang pernah ia rasakan.   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD