Rasanya seperti sudah berjam-jam matanya tertutup, Elsa pikir hari sudah siang. Dia terbangun di atas ranjang kamarnya dengan pikiran linglung. Jam digital di atas nakas menunjukkan bahwa beberapa jam yang dirasakannya ternyata hanya dua jam, kini sudah pukul 1 dini hari.
Elsa menyadari bahwa Leon tidak ada di sampingnya, dan seprai itupun tidak tampak seperti telah ditempati. Dia menyingkap selimut dan menurunkan kedua kakinya ke lantai, baru menyadari bahwa pakaian yang digunakannya bukan jenis pakaian tidur yang biasa ia gunakan. Kepala Elsa pun mulai memutar balik kejadian sebelumnya.
Dan di saat ia telah mengingat semuanya, Elsa terkesiap, jantungnya mulai berpacu cepat. lalu tangannya yang sedikit gemetar menyentuh bibirnya, mau tidak mau terlempar ke dalam ingatan dan rasa ketika Leon menciumnya sampai dia kehabisan napas.
Elsa bertanya-tanya, apakah sebuah ciuman dapat membunuh seseorang?
Setelah ini, bagaimana dia akan menghadapi suaminya? Pasti bakal canggung, pikir Elsa. Karena itu adalah ciuman pertamanya. Tidak ada yang pernah mencium Elsa sebelumnya. Bahkan ketika kecil, Elsa tidak ingat pernah dicium oleh Mama dan Ayahnya. Ini adalah pertama kalinya dia berada begitu dekat dengan seseorang. ‘dekat’ mungkin bukan pilihan kata yang tepat, karena yang benar adalah ‘intim’.
Beberapa menit kemudian, Elsa kembali membaringkan tubuhnya di atas ranjang, pura-pura tertidur sampai Leon kembali.
Namun, ketika pagi menyingsing pun, Leon tidak kembali.
***
Berada di lantai ke tujuh sebuah gedung ternama di Jakarta. Seorang pria tengah menggerakkan otot-ototnya pada besi penggantung di atas. Keduanya mencengkram erat permukaan besi yang dingin, lalu membawa serta tubuhnya ke atas dan ke bawah berulang kali. Otot lengannya tampak menonjol, bentukan kotak pada perutnya semakin kencang, peluh membanjiri wajah dan tubuhnya yang shirtless. Namun hal itu tidak menghentikan Leon dari aktifitas olahraganya yang sudah berlangsung selama hampir dua jam.
Dia perlu menenangkan dirinya dari kejadian semalam. Leon tidak tahu bagaimana cara menghadapi Elsa tanpa mendambakannya setelah apa yang terjadi di antara mereka. Itu seharusnya tidak pernah terjadi.
Maka dari itulah, Leon diam-diam pergi ke apartemennya dan bermalam di sini. Ponselnya sedari tadi bergetar tanda ada telpon yang masuk, pasti dari Mami yang menyuruhnya pulang. Sekarang Leon mengerti kenapa Mami bersikeras menyuruhnya untuk tinggal di rumah utama, alih-alih tinggal di apartemennya sendiri. Agar supaya Mami bisa mengawasi mereka. Karena Mami tahu hal-hal seperti ini tidak seharusnya terjadi, mengingat usia Elsa yang masih di bawah umur. Sekarang Leon baru mengerti. Dan dia bersumpah bahwa hal semalam tidak akan terulang lagi.
Elsa bukanlah siapa-siapa melainkan istri yang dijadikan sebagai jaminan hutang. Seharusnya Leon tidak merasakan hal ini mengingat posisi Elsa dan prinsip yang selama ini Leon pegang. Bagaimana gadis itu mampu merubahnya menjadi seperti ini?
Namun ketika bayangan tubuh langsing Elsa mampir ke kepalanya, semua alasan dan tekad itu hilang. Ingatan akan bagaimana rambut sehalus sutra itu jatuh di antara jemarinya, kulit selembut beludru yang meremang di bawah sentuhan telapak tangannya, dan bibir ranum yang manis itu, membuat Leon gila.
Ia mengerang, melakukan beberapa pergerakan lagi, lalu beberapa saat setelah itu membasuh seluruh tubuhnya dengan air dingin, dan merasa jauh lebih baik kemudian.
***
Hari ini, sedikit berbeda dari hari-hari sebelumnya ketika Elsa berada di sekolah. Ada anak baru, dan untuk pertama kali Elsa merasakan bagaimana rasanya mengobrol dengan seorang teman kelas. Mengobrol dalam artian yang sebenarnya, bukan jenis suatu obrolan berupa pamrih dari apa yang telah ia kerjakan.
Namanya Arya, cowok pindahan yang baru pertama masuk sekolah hari ini. Dia mendekati Elsa lebih dulu ketimbang yang lain. Elsa belum tahu karena apa, dia tidak terbiasa menilai seseoran pada sisi positifnya. Ketika mereka bertukar kalimat-kalimat sepele mengenai obrolan seputar sekolah, atau pelajaran, Elsa terus bertanya-tanya apa yang Arya inginkan. Mungkin cowok itu mendekatinya karena Elsa adalah murid terpintar di kelas, bahkan di angkatannya saat ini. Elsa tidak tahu, namun dia tidak bisa menolak kehadiran Arya dan membiarkannya terus mengoceh. Cowok itu sangat cerewet.
Bel pulang berbunyi nyaring. Elsa sudah berdiri di halte menunggu bus yang akan membawanya pulang bersama Arya yang juga berdiri di sampingnya. Mereka mengobrol dengan topik obrolan yang dikuasai oleh Arya seorang.
Elsa sengaja memilih bus. Tadinya dia berniat untuk memberitahu Arya caranya menaiki transportasi umum itu, mengingat hal ini adalah pengalaman baru bagi Arya. Elsa juga tidak mau terlalu dimanjakan. Dulu, kalau tidak menggunakan angkot, maka Elsa akan memilih bus untuk transportasi pulangnya. Sekarang, Elsa hanya berharap bisa sampai di rumah sebelum pak sopir yang diperintahkan mami untuk menjemputnya, datang. Elsa belum terbiasa diperlakukan semanja itu.
Namun ketika sebuah mobil hitam mengilap memelan dan berhenti di hadapannya. Tubuh Elsa langsung membeku. Karena tentu saja dia mengenal mobil itu.
Lalu benar seperti yang Elsa pikirkan, Leon menurunkan kaca mobil, dan dengan raut dinginnya memberi Elsa insyarat untuk masuk ke dalam.
“Siapa?” tanya Arya.
Elsa tergugu, tidak mampu terjawab.
“Itu jemputan kamu?” tanya Arya lagi.
Lalu Elsa pun mencoba untuk mengangguk walau gerakannya tampak seperti robot hidup.
“Dia Ayah, paman, atau kakak kamu?” Arya benar-benar memiliki mulut yang cerewet dan tingkat penasaran yang tinggi.
Elsa tergelitik untuk menjawab bahwa itu adalah suaminya, namun tentu saja Elsa tidak akan melakukan itu. Leon akan marah besar padanya nanti jika seseorang tahu tanpa dia kehendaki.
“A-aku… pulang dulu,” kata Elsa. Arya menganggukkan kepala, tersenyum, lalu tangannya refleks terangkat dan mengacak rambut Elsa. Dan setiap pergerakannya itu tidak luput dari pengamatan Leon di balik kaca hitam mobil.
Elsa tampak memaksa seyum walaupun dia merasa sangat gugup sekarang, lalu dengan tergesa dia masuk ke dalam mobil. Elsa langsung merasa kecil, kecil sekali sampai dia tidak berani mendongakkan kepalanya. Beberapa saat dalam keheningan dan Leon tidak juga menyalakan mesin mobil.
“Sore, kak Leon.” Elsa menyapa canggung, melirik Leon hati-hati, namun Leon tidak menyahut. “Kenapa?” tanya Elsa heran.
Leon pun menyalakan mesin mobil dan menggerakkan rodanya menjauh dari tempat itu. setelah memasuki jalan raya yang ramai namun tetap renggang, Leon menoleh ke arah Elsa, dan gadis itu yang sedari tadi menatapnya dalam diam, langsung mengalihkan pandang.
“Yang tadi siapa?” tanya Leon.
Elsa tampak berpikir. “Yang tadi? Arya?”
“Arya,” dengus Leon pelan. “Siapa? Pacar kamu?”
Wajah Elsa langsung memerah. “Bu-bukan.”
Tanpa melihat ke arahnya, Leon berkata; “Muka kamu merah. Berarti benar, kan?”
Elsa menggelengkan kepala kuat-kuat. “Bukan! Arya itu anak baru di sekolah. Dia ngajak aku ngobrol terus kita kenalan. Dan dia juga minta tolong untuk dikenalin ke lingkungan sekolah.” Setelah mengucapkannya, Elsa melirik Leon lagi, namun raut di wajah pria itu tidak mengisyaratkan apapun.
“Hmm. Kenapa kamu?”
“Hee?”
“Kamu punya ketua kelas, kan?”
Elsa mengiyakan, tapi masih tidak mengerti.
“Seharusnya sebagai perwakilan dari kelas, dia yang memiliki tugas itu.”
“Ketua kelas aku cowok, anaknya cuek. Biasanya kalo disuruh guru aja dia kerja,” Elsa berkata, masih tidak mengerti kemana arah pembicaraan ini mengalir.
Setelah jeda yang cukup lama, Leon pun kembali membuka suara. “Hm, aku harap kamu gak lupa sama status kamu sebagai seorang istri sebelum kamu mutusin untuk main-main sama temen cowok kamu.”
Elsa ingin membantah kalau dia tidak pernah main-main, dan dia juga tidak punya teman. Namun semua kata itu menyangkut di tenggorokan dan tidak pernah terucap oleh lidah. Leon pasti tidak tahu bagaimana kehidupannya di sekolah, dan itu lebih baik. Jika Leon sampai tahu, Elsa takut lelaki itu akan malu, malu memiliki istri sepertinya.
“Iya. Aku ngerti,,” jawab Elsa kemudian.
Beberapa saat setelahnya mereka telah sampai di rumah. Leon memasuki gerbang yang bergerak secara otomatis, lalu menurunkan Elsa di depan teras.
Elsa baru saja hendak membuka pintu ketika menyadari Leon tidak juga mematikan mesin mobil. Elsa pun berbalik. “Kak Leon nggak turun.”
Dengan nada dinginnya Leon menjawab singkat. “Nggak.”
Lagi-lagi, Elsa menahan protesannya. Padahal dia sudah merencanakan untuk masak masakan spesial hari ini yang kemarin telah Mami ajarkan. “Tapi kak Leon pulang kan nanti malam?” tanya Elsa dengan sedikit ragu.
Leon mencengkram kuat kemudi. “Cepat turun, Elsa! Aku nggak punya waktu seharian untuk dengerin permintaan manja kamu!”
Elsa menegang. Manja? Kapan dia bersikap seperti itu? Apakah secara tidak sadar?
Elsa pun segera turun dari mobil dengan pikiran yang terganggu dan rasa aneh di dadanya. Lalu secepat Elsa menutup pintu mobil, secepat itu pula benda itu bergerak pergi dengan suara gas yang menderum tajam.
Elsa masih berdiri di tempatnya. Dia benar-benar tidak suka dikatai manja. Oleh karena itu, dia bertekad untuk membuktikan kepada suaminya, bahwa dia bukanlah istri atau gadis yang manja. Dia tidak pernah seperti itu.
***
Aroma ragi dan rempah-rempah yang menggiurkan menguar di udara, berasal dari dapur dimana saat ini Elsa tengah memasak. Bersama Mami mertua, dia menghidangkan makan malam terlezat yang membuat siapa saja tergugah untuk mencobanya. Elsa benar-benar senang bahwa semua masakannya matang dan terasa seperti yang dia inginkan.
Dia tidak sabar melihat respon Leon nantinya, ketika lelaki itu mencicipi setiap hidangan dan mengetahui bahwa Elsa yang memasak dan menyiapkannya. Tidak semua sih, karena Mami mertua juga ikut membantu.
Namun, ketika tidak sengaja mendengar percakapan sang Mami dengan Leon di telepon, saat itu juga Elsa merasakan kekecewaan yang cukup dalam. Mami terdengar marah-marah dan menyuruh Leon pulang, dari itu Elsa sudah dapat menebak bahwa Leon tidak akan pulang.
Apa ini karena kemarin malam? Ciuman itu? Elsa tidak bisa berhenti memikirkannya. Apa Leon kini merasa jijik padanya?
Mungkin iya. Karena kemarin malam pun, Leon tidak tidur di rumah. Mungkin malam ini juga sama.
Elsa menghela napas pasrah.
Mami mertua kemudian kembali ke dapur dan sepertinya menyadari bahwa Elsa telah menguping, dari raut kecewa gadis itu yang terlihat sangat jelas.
“Kak Leon gak pulang, Mi?” tanya Elsa.
Mami berkata jengkel, “Dasar memang anak itu! Mami sudah minta dia pulang, tapi dia ini sama seperti ayahnya, sama-sama gila kerja dan keras kepala. Maafin Mami ya sayang, malam ini sepertinya Leon memang nggak pulang ke sini, dia menginap di apartemennya.”
Elsa mengangguk. “Iya, Mi, nggak apa,” jawabnya, sambil memaksa senyum, lalu menatap nanar hidangan menggiurkan di meja makan yang telah ia siapkan sejak sore.
Maya pun mendekatinya dan mengusap kepala Elsa ringan. Turut sedih melihat kekecawaan pada menantunya itu, dan sangat kesal oleh keputusan yang dibuat oleh Leon. Lalu sebuah ide pun muncul dalam kepala Maya.
“Kamu jangan khawatir! Bagaimana kalau malam ini kamu datang ke apartemen Leon dan mengantarkan makan malam untuknya?”
Elsa langsung mendongak dengan mata berbinar.
“Kamu mau, kan?”
Elsa mengangguk kuat. “Iya, Mi, mau!”
***