Pada akhirnya, Elsa masuk ke dalam kamar Leon dan sangat bersyukur bahwa lelaki itu tengah ada di kamar mandi, night shower mungkin, terdengar dari air yang mengalir. Itu artinya, Elsa tidak perlu berhadapan dengannya dan dia hanya akan menyelinap masuk ke dalam selimut lalu tidur.
Atau pura-pura tidur, karena beberapa saat kemudian, setelah tubuhnya terbaring di atas ranjang, pintu kamar mandi terbuka, dan Elsa tidak bisa menghentikan degup jantungnya yang sangat kencang.
Lain halnya dengan Leon yang sedikit terkejut mendapati tubuh mungil yang membelakanginya itu berada di atas ranjangnya yang besar dan luas. Sweater cokelat kebesaran yang Elsa kenakan tidak cukup menutupi semua bahunya, memperlihatkan tulang selangka yang tampak menonjol, dan Leon tidak bisa menghentikan gejolak di dalam tubuhnya yang ia kira telah padam dibasuh air dingin.
Dengan kasar Leon mengusap rambutnya dengan handuk putih itu, lalu melemparnya ke keranjang kotoran dengan kasar. Dia meraih laptop di meja dan membawanya ke atas ranjang. Leon tidak perlu memelankan suara karena ia tahu bahwa gadis itu belum tertidur. Suasana sangat hening, dan suara napas beratnya terdengar jelas.
Tapi Leon berniat mengabaikan gadis itu sepenuhnya, dan membuatnya tidak nyaman sepanjang malam.
*
Elsa merutuki dirinya sendiri, menyesal telah meminum banyak air tadi ketika dia tengah gugup berat, berharap air mineral yang mengalir dalam sistemnya akan mampu meredakan kegugupannya. Namun sekarang, gugupnya tidak hilang, Elsa justru merasakan keinginan yang begitu kuat untuk buang air kecil.
Dia merapatkan kaki, menahan sekuat tenaga, berharap lelaki di sampingnya tidak menyadari.
Akan tetapi Leon yang sedari tadi memang sibuk dengan pekerjaan di laptopnya menyadari pergerakan Elsa. Walau gerakannya tidak terlalu mengguncang ranjang namun cukup mengganggu konsentrasi Leon.
Leon pun meraih bahu gadis itu dan membaliknya dengan sedikit kasar, diikuti oleh kesiap Elsa. Mata gadis itu menatapnya berkaca-kaca, sedangkan Leon (sekalipun merasa kebingungan akan alasan mengapa gadis itu seperti ingin menangis) tetap memiliki raut tegas di wajahnya.
Leon pun memperbaiki posisi duduk, meraih bahu Elsa dan membawanya ke posisi yang sama.
“Kenapa?” tanya Leon kasar dan tidak sabaran.
Elsa menggigit bibirnya kuat-kuat. Ya Tuhan, dia sudah tidak tahan. “Aku pengen buang air kecil.”
Membelalak, Leon pun langsung melepaskan Elsa. “Yaudah sana.”
“Gak kuat! Kalo berdiri pasti keluar.”
Dengan ekspresi ngeri bercampur heran, Leon mengumpat. “Kamu nahan dari tadi?”
Elsa mengangguk kuat-kuat. Wajahnya memerah menahan malu sekaligus kebutuhan yang sudah di ujung. Membayangkan dirinya buang air kecil tidak di kamar mandi membuat Elsa ketakutan, mungkin saja dia bisa mengompol di sini jika ditahan lebih lama lagi.
“Kak Leon…” rengek Elsa.
“Apa? Sekarang aku mesti ngapain?”
“Gak kuaaat!”
“Ya-yaudah pipis aja di situ.”
“HUAAA…”
“What the…” Leon mulai dilingkupi kecemasan yang sama. Dia tidak bisa membayangkan seseorang mengotori ranjangnya dengan air seni, itu… terlalu ekstrem. Leon baru pertama kali menyayangkan kamarnya yang begitu luas dengan toilet yang terletak cukup jauh dari ranjang.
“Sana buruan lari!” panik Leon.
Elsa menggeleng, merapatkan kedua pahanya semakin kuat. “K-kak Leon… Kak Leon keluar, please.”
Pengacau kecil sialan! Leon pun bangkit dari posisinya dan turun dari ranjang, menatap Elsa tajam dengan kemarahan yang ditahan. “Lima menit!” tegasnya.
Elsa mengangguk, tidak sanggup mengeluarkan kata-kata.
Tidak sampai lima menit kemudian, Elsa telah selesai dengan urusan kamar mandinya, dia akhirnya mampu bernapas lega, dan dengan santai membuka pintu kamar, menemukan Leon tengah bersandar di tembok dengan wajah masam. Elsa menyengir dengan mata berbinar, lalu kembali redup oleh rasa takut ketika Leon mengalihkan pandang padanya dan amarah di mata pria itu masih tampak dengan jelas. Tidak menunggu lebih lama, Leon masuk ke dalam dengan Elsa yang menepi membukakannya pintu semakin lebar.
“Lain kali, jangan ditahan-tahan.”
Elsa merasakan darahnya naik ke wajah dan memiliki keinginan besar untuk menghilang saja dari sana karena diliputi rasa malu. Sambil menangkup wajahnya yang memanas, Elsa mendekati ranjang, merangkak naik, lalu berbaring di punggung.
Leon memperhatikannya sesaat, lalu menghela napas sambil memejamkan mata, seolah menahan dirinya untuk tidak meledak-ledak saat itu juga. Leon mematikan lampu tidur, membiarkannya dalam posisi gelap. Dan akhirnya, dia pun dapat mengistirahatkan dirinya dengan tenang.
Sepuluh menit dalam keheningan yang Leon dambakan, Elsa mulai bergerak-gerak gelisah dan hal itu benar-benar menguji kesabaran Leon sampai batas. Dengan kasar, dia bangun dari posisinya dan kembali menekan saklar lampu tidur.
Elsa terkejut, mata besarnya terbuka lebar, menatap Leon takut-takut. Khawatir, Leon pasti marah lagi padanya.
Leon siap untuk menyemburkan amarahnya yang sudah sampai di ujung lidah, namun melihat tatapan memelas berbalut takut itu, membuatnya tidak tega. Dia berbaring lagi di tempatnya, menatap nyalang langit-langit kamar.
“Kamu kenapa sih?” tanya Leon tidak sabaran.
“Aku… aku nggak bisa tidur kalau gelap.” Elsa mendongak, melirik Leon, memastikan responnya. Namun pria itu, dengan raut wajah dinginnya, masih menatap langit-langit kamar dengan tajam. Elsa memiliki firasat bahwa Leon pasti tengah menahan dirinya untuk tidak membentak Elsa.
Tidak ada respon apapun.
Elsa semakin gugup dan gelisah. “A-aku tidur di kamar tamu aja ya, kak?” tanyanya meminta izin.
Leon lantas menoleh padanya, menatap Elsa lama, dan tatapan itu membuat Elsa merasa tidak nyaman. Dia tidak pernah ditatap terlalu sering, atau terlalu lama oleh seseorang, kebanyakan dari orang-orang di sekitarnya hanya mengabaikan Elsa dan keeksistensiannya di sekitar mereka. Jadi segala sesuatu yang berubah semenjak dirinya bergabung dengan keluarga Fernandez ini, benar-benar belum bisa membuat Elsa terbiasa.
Karena kediaman Leon, dia menganggapnya sebagai sebuah persetujuan. Elsa melepas selimut yang menutupi sebagian tubuhnya lalu bangkit. Baru saja ujung jemari kakinya menyentuh lantai, sentakan yang begitu kuat membuat Elsa kembali tersungkur ke belakang, jatuh terlentang.
“Siapa yang suruh kamu pindah? Diam di sini.”
Tidak berani membantah, Elsa pun menganggukkan kepala. Dia tahu Leon tidak akan peduli pada rasa takutnya yang satu ini, kegelapan. Oleh karena itu Elsa berharap sekali dia membawa serta boneka teddy bear-nya yang ia tinggalkan di rumah, yang setidaknya bisa ia peluk dan membuatnya merasa aman. Ranjang ini tidak dilengkapi dengan guling atau bantal tambahan untuk Elsa peluk. Jadi dia mempertahankan posisinya, tidur menyamping membelakangi Leon, menunggu lelaki itu mematikan lampunya lagi. namun setelah beberapa saat, kamar itu masih diteringai cahaya.
Sedangkan di belakangnya, Leon menatap punggung kecil itu lama, seolah daripada menutup mata dan tidur, hal itulah yang lebih penting. Keberadaan Elsa di dekatnya membuat Leon bertanya-tanya dengan ke-normal-an dirinya. Dia memiliki kontrol yang kuat dalam masalah gairah. Beberapa kali dalam sebulan dia memiliki teman kencan untuk mengurusinya dalam masalah itu, dan standarnya mengenai perempuan sangat tinggi. Yang pasti bukan jenis perempuan muda berusia delapan belas tahun bertubuh kerempeng seperti ini.
Leon menyentuh lengan Elsa yang membuat gadis itu berjengit. Elsa menoleh ke belakang, rambut panjangnya jatuh ke leher dan tersebar di atas seprai putih, yang mana pemandangan itu membuat Leon semakin b*******h.
“Aku gak bisa tidur kalau lampunya nyala,” ucap Leon, lalu sedetik setelahnya merutuki diri sendiri.
Elsa bangkit duduk, kini rambut hitamnya tampak acak-acakkan, namun sedikitpun tidak mengurangi kadar kecantikannya yang alami.
“Kak Leon punya guling? Atau bantal tambahan? Aku biasanya harus peluk sesuatu biar bisa tidur kalau di rumah lagi mati lampu. Aku punya teddy bear, tapi aku gak bawa ke sini.”
Entah kenapa Leon senang mengetahui secercah informasi itu, dia menyeringai singkat yang tidak disadari Elsa.
“Oh ya?” tanyanya memastikan, dengan raut tanpa ekspresi yang ia pertahankan.
“Iya,” jawab Elsa.
Leon lalu bertumpu di sikunya, mengambil bantal Elsa dan meletakkannya di tengah, dekat dengan d**a Leon. “Kalau begitu, sini.”
Elsa menatap bingung.
“Kamu mau tidur atau nggak?” desak Leon mulai jengkel.
Elsa pun mengangguk-anggukkan kepala dan kembali berbaring. Kali ini, dia bisa merasakan kehadiran Leon sangat dekat dengannya walaupun Elsa membelakangi lelaki itu.
“Hadap sini,” perintah Leon yang Elsa turuti lagi.
Mereka berbaring berhadap-hadapan, sangat dekat sampai Elsa merasa kesusahan untuk bernapas, aroma lembut khas lelaki itu mencemari indera penciuman Elsa. Dan sebelum dia sempat mundur, Leon menahannya dengan meletakkan tangannya di pinggang ramping Elsa.
“Te-terus?” tanya Elsa terbata.
Leon benar-benar terhibur akan kepolosan Elsa dan kepatuhan gadis itu pada dirinya.
“You can hug me now,” kata Leon, dengan suara rendah.
Kata-kata yang diucapkan dalam bahasa Inggris fasih itu bukannya tidak dimengerti Elsa, yang membuatnya bergeming cukup lama, dia terkesiap. Apakah benar Leon bersedia dipeluk olehnya demi membuatnya aman dan tidur dengan nyenyak malam ini. Benarkah? Karena sulit bagi Elsa untuk mempercayai hal itu.
Tanpa menunggu respon dari Elsa, Leon pun mematikan lampu tidur dan ruangan itu langsung diliputi gelap gulita. Biarkan saja kalau gadis keras kepala ini menolak dan tidak tidur semalaman, tapi Leon memiliki firasat bahwa Elsa akan menurutinya, terbukti ketika tubuh itu beringsut mendekat. Lalu telapak tangan yang bergetar bergerak di d**a Leon, mengirimkan sengatan listrik yang keduanya tidak bisa hindari. Keragu-raguan Elsa, semakin menarik Leon pada pusaran yang membuat tubuhnya semakin panas. Dia benar-benar tidak terbiasa dengan respon seperti ini. Namun dia menahan dirinya dan membiarkan perempuan itu mencari kenyamanan dengan memeluknya, sekalipun tubuhnya panas diliputi gairah.
Sekarang Leon tahu, bukan lagi lampu menyala yang membuatnya tidak bisa tidur, namun juga kehadiran pengacau kecil ini.
***