Nama Elsa Putri yang ia sandang semenjak lahir sudah berganti menjadi Elsa Fernandez dalam beberapa menit yang lalu. Ketika nama itu ia ucapkan dengan lidah dalam bisikan kecil, rasanya sangat aneh dan kedengarannya juga tidak cocok. Cincin yang terselip di jari manis Elsa saat ini pun terasa semakin berat dari menit ke menit. Dia mencoba mengabaikan tatapan-tatapan penuh penilaian dari wajah-wajah yang sama sekali tidak dia kenal.
Keluarga terdekat Fernandez diundang dalam acara pernikahan yang cukup mendadak ini. Tiga hari yang lalu Elsa masih mengurung diri di dalam kamarnya mengerjakan tugas sekolah, sekarang dia telah berdiri di sini, di samping pria tinggi dengan gestur kaku, suaminya.
Ya, di usianya yang 18 tahun, Elsa masih mengenyam bangku terakhir di SMA di saat mungkin remaja seusianya sudah lulus dan memasuki jenjang kuliah. Itu karena Elsa telat masuk saat sekolah dasar.
Dan kini belum juga lulus, Elsa telah memiliki status baru selain seorang pelajar, yaitu seorang istri. Elsa tidak tahu harus merasakan apa selain dorongan untuk meraung tangis, tapi dia sudah melakukannya pada dua malam sebelumnya. Rasa gejolak di perut itu semakin melonjak naik ketika veil putih di atas kepalanya disingkap, dan kilatan kamera membuat Elsa mengernyit. Lalu Elsa mendongak, menatap wajah Leon Fernandez yang tampan. Lelaki tertampan yang pernah Elsa lihat.
Tapi sayangnya, sepertinya Leon tidak menyukainya. Ketika seharusnya pria itu mencium Elsa, dia malah menyunggingkan senyum miring penuh ejekan lalu mendekatkan tubuh dan seolah mencium pipi Elsa, tapi bibirnya tidak pernah sampai di sana, karena setelahnya kilatan kamera itu datang dan semua orang bertepuk tangan ringan, seolah enggan.
Menit yang berlalu terasa seperti berada berjam-jam di dalam neraka, Elsa hanya perlu memasang senyum, berfoto dengan beberapa sepupu yang tidak bisa ia tatap mukanya karena perbedaan sosial yang jelas ia rasakan, insecurity itu menghantam Elsa dengan keras. Bagaimana bisa keluarga Fernandez yang terpandang dan kaya raya, menikahkan putra sulungnya dengan perempuan biasa dan miskin yang terlilit utang seperti Elsa Putri? Hal itu masih sangat sulit diterima oleh nalarnya. Sekeras apapun Elsa mencoba untuk meredam kesedihannya, nyatanya rasa itu tetap hadir, semakin besar.
Elsa bertemu dengan ibu mertuanya, yang ia panggil Mami, atas permintaan wanita setengah baya itu sendiri.
“Kamu mau istirahat, Nak? Daritadi berdiri terus, pasti tumit kamu sakit.”
Perkataan penuh perhatian yang merasuk ke dalam d**a Elsa dan menghangatkannya. Tidak pernah ada yang berkata selembut itu padanya. Bahkan Mamanya sendiri pun tidak peduli pada apa yang Elsa rasakan. Tapi mendapati Mami mertuanya menerima dirinya dengan tangan terbuka membuat Elsa lega. Dia bisa bertahan karena itu.
“Elsa baik-baik aja, Mi,” jawab Elsa sembari memasang senyum yang dipaksakan. Dia tidak ingin dicap sebagai menantu yang manja.
Sangat jelas terlihat tatapan tidak setuju dari Mami Maya, namun wanita berdarah Jawa yang sangat cantik itu tidak ingin memaksa Elsa. “Yaudah, kamu tahan sebentar ya, acaranya bakal segera selesai kok.”
Sebagai jawabannya, Elsa memasang senyum, lalu kemudian menatap kepergian Mami Maya yang masuk ke dalam rumah, karena acara pernikahan tertutup ini dilaksanakan di halaman belakang kediaman Fernandez.
Elsa dapat kembali bernapas lega ketika pesta telah usai, kini Elsa duduk di sebuah bangku meja rias sambil menatap ke depan, ke pantulan wajahnya yang masih diriasi make up pengantin, namun matanya berkaca-kaca. Entah kenapa, bayangan kehidupan kedepannya membuat Elsa takut.
Lalu Elsa mendengar suara langkah kaki di belakangnya yang disusul dengan desisan tajam, “Jangan menangis!”
Elsa patuh dan menahan air matanya lagi. Setelah itu menatap pantulan sosok mama-nya yang berdiri di belakang. Dalam balutan kebaya mewah dan riasan make up tebal yang mempercantik wajahnya, Diandra berdiri dengan angkuh, berwajah masam yang sedetik kemudian berubah ceria.
Diandra mendekati Elsa dan memeluknya erat dari belakang. Bisa dikatakan, bahwa itu adalah pelukan pertama yang diberikan Diandra kepada diri Elsa setelah bertahun-tahun, mungkin itu juga pelukan pertama selama 18 tahun Elsa hadir di dunia. Entahlah, yang pasti rasanya begitu asing, sehingga Elsa ingin segera lepas dari rengkuhan dingin itu.
“Mama bener-bener bangga! Ternyata tidak sia-sia Mama merawat kamu dan mempercantik wajah kamu selama ini, karena sekarang kamu berhasil menikah sama orang kaya raya. Ya, walaupun dengan sedikit bantuan dari ayah kamu yang gak berguna itu.”
Ludah seolah tercekat di tenggorokan Elsa, dia tidak mengira bahwa ucapan mamanya itu mampu menimbulkan rasa sakit yang mencengkram di dalam d**a. Memang, kalau bukan karena hutang ayahnya yang mustahil terbayarkan itu, Elsa tidak akan berada di sini saat ini, menikah pada usia 18 tahun, dengan lelaki yang sebelas tahun lebih tua darinya. Itu sangat gila, namun itulah yang terjadi.
Ayah Elsa berhutang uang dengan jumlah besar pada keluarga Fernandez. Akal-akalan ayahnya yang mengatakan bahwa itu untuk menghidupkan kembali perusahaannya yang telah mati, padahal semua uang itu ia pergunakan untuk judi dan berfoya-foya. Elsa marah pada ayahnya, pada Mama, dan pada kehidupannya sendiri. Namun Elsa cukup sadar bahwa amarah itu tidak akan membuahkan hasil apapun, tidak akan merubah semua yang telah terjadi.
Diandra melepas pelukannya dan berdiri di samping Elsa, menunduk lalu mencengkram rahang Elsa dengan kedua jari tangannya yang berkuku panjang diberi polesan merah gelap mengilap.
“Kamu ingat yang sudah mama bilang pada kamu?”
Air mata itu sudah tidak dapat Elsa bendung lagi. Sebuah beban besar menghimpitnya begitu keras. Elsa bertanya-tanya pada tiga malam sebelumnya kenapa dia tidak memilih untuk menyerah karena hal itu akan selalu lebih mudah dilakukan. Tapi seolah dia memiliki pilihan saja, kalau mau hidup, maka inilah jalannya.
Dalam artian yang Elsa pahami, menikah adalah suatu ikatan suci antara lelaki dan perempuan yang menimbulkan hak dan kewajiban tertentu.
Hak suami dan kewajiban istri.
Namun, Elsa memiliki kewajiban lain selain harus mengabdikan dirinya pada suami. Kewajiban yang berkaitan dengan pengambilan dan kekuasaan atas sesuatu.
Yaitu; pertama, mengambil hati suaminya. Dan kedua, menguasai seluruh hartanya.
*
Sepanjang hari yang cerah ini, Leon memperhatikan Elsa mengenakan gaun putih berjalan di atas rerumputan di antara keluarganya yang hadir. Kenangan dua tahun lalu pada gadis pemberi payung itu tidak pernah luput dari benak Leon. Bagaimanapun, dia seseorang yang beradap dan tentu tahu apa itu ucapan terima kasih.
Leon pernah berpikir untuk mencari gadis kumuh itu dan menampungnya di salah satu panti asuhan milik keluarganya, tapi niat itu Leon urungkan. Dan lihatlah, betapa takdir kehidupan begitu enjoy mempermainkannya, sekarang gadis itu ada di sini, bahkan telah menyandang status sebagai istrinya.
Leon merasakan luapan amarah yang tidak terbendungkan. Bukan hanya kepada orangtuanya yang telah merencanakan semua ini, tapi juga kepada dirinya sendiri karena menyetujui hal itu dengan mudah. Sekarang setelah dipikir-pikir, Leon menyesali keputusannya. Elsa berusia 18 tahun. Leon selalu merasakan kepalanya berdenyut sakit setiap kali mengingat fakta itu.
Gairahnya…
Leon menggeram, bagaimana dia bisa memiliki gairah sebesar ini pada gadis seperti Elsa Putri? Tubuhnya sangat mungil, Leon masih ingat ketika mereka berdiri berdampingan tadi dan tinggi Elsa hanya sampai pada dadanya saja. Kulit mereka juga tampak sangat kontras pada perbedaan, Elsa berkulit putih pucat, sedangkan Leon cokelat tan seolah dia baru saja kembali sehabis berjemur di pantai.
Rambut gadis itu hitam panjang, mengilap lebat, dan Leon tidak bisa berhenti penasaran akan bagaimana rasanya helaian rambut itu menyelip di antara jemarinya, apakah sehalus kelihatannya?
Lalu mata Elsa berwarna senada dengan rambutnya, hitam kelam yang jernih. Hidungnya mancung dengan bibir ranum. Dan wajahnya dibingkai oleh rahang kecil yang tampak rapuh, Leon lagi-lagi penasaran akan bagaimana rasanya ketika tangannya menangkup wajah Elsa, apa tangannya yang besar ini akan menutup habis wajah itu, atau bagaimana? Leon nyaris terkekeh memikirkannya jika saja dia benar-benar kehilangan akal dan berpikir bahwa Elsa adalah istri normal untuknya.
Tidak, Elsa Putri, atau (dengan sangat enggan Leon mengakui) Elsa Fernandez, adalah sebuah kesalahan yang tidak seharusnya hadir di dalam kehidupan Leon. Pernikahan ini hanya semata-mata sebuah formalitas belaka. Entah apa tujuan orangtuanya sampai memiliki rencana seperti ini. Leon tidak seputus asa itu dalam memilih pasangan. Seriously?! Usianya baru saja 27 tahun. Yang artinya usianya terpaut 9 tahun dengan sang istri. Gila!
Ya, gila, karena untuk sesaat Leon nyaris membenarkan bahwa dirinya seorang paedofil. Hasrat yang menghantam tubuh Leon ketika pertama kali menatap mata istrinya, akan lenyap begitu saja dalam beberapa hari. Sama seperti ketika dia bersama kekasih-kekasihnya yang lain.
Dia hanya perlu mengabaikan kehadiran Elsa dalam hidupnya, atau dia juga bisa memanfaatkan gadis naif itu jika mau. Tapi tidak. Memiliki gairah dengan seorang gadis berusia 18 tahun ini saja sudah terasa sangat salah, Leon tidak akan melakukan lebih dari itu.
Kepala Leon pusing, dan dia percaya segelas kafein akan membantu.
***
Keluar dari kamar mandi, Elsa mendapati mami mertuanya tengah duduk di ranjangnya sambil memainkan ponsel.
Elsa berdehem dan Maya pun mengalihkan pandang menuju gadis itu. Maya tersenyum lembut.
“Pakaian kamu yang lain sudah mama pindah dan rapihin ke kamar Leon, malam ini kamu nggak perlu lagi tidur di sini. Kalian sudah sah, jadi kamu tidur sekamar sama Leon, ya.”
Telinga Elsa langsung berdengung oleh alarm penuh antisipasi setelah Mami Maya menyelesaikan ucapannya. Elsa tidak mengerti kenapa dia harus sekamar dengan Leon, bukankah tidak apa-apa jika mereka memiliki kamar masing-masing? Bukankah hal itu lebih baik? Di rumah, dia bahkan tidak pernah melihat Ayahnya memasuki kamar Mamanya, lelaki itu selalu tiduran di sofa atau memilih kamar tamu.
Kesadaran itu menghimpit Elsa, bahwa keluarga ini berbeda. Jauh… jauh… sangat jauh berbeda dari lingkungan keluarga yang selama ini menjadi tempatnya tumbuh. Tentu saja Elsa harus sekamar dengan Leon dan seperti yang Mami mertuanya katakan kemarin, Elsa harus belajar menjadi istri yang baik karena gadis itu bukan lagi remaja seperti sebelumnya, di usia itu Elsa harus belajar mengemban tanggung jawab sebagai seorang istri.
Dan apakah Elsa harus melakukannya malam ini?
Maya menyadari kecemasan di wajah Elsa dan langsung bangkit untuk mengusap bahu menantunya, menenangkan.
“Jangan terlalu dipikirin, Sayang. Mami tahu ini pasti juga sulit untuk kamu, tapi percayalah… Leon bakal jadi suami yang baik untuk kamu. Dia nggak akan melakukan sesuatu hal diluar kehendak kamu. Mama juga sudah berbicara dengannya sebelum ini. Kamu jangan khawatir, oke?”
Elsa tidak mengerti maksud dari perkataan Mami mertuanya, tapi dia juga tidak membantah, dan dengan patuh menganggukkan kepala.
Maya lagi-lagi menampilkan senyum hangatnya khas keibuan, dan Elsa tidak berbohong bahwa senyuman sekecil itu mampu menghilangkan seluruh khawatir yang tadi membasuh tubuhnya. Senyum keibuan yang tidak pernah Elsa dapatkan dari sosok ibunya sendiri.
“Aku ngerti, Ma.”
“Syukurlah kalau begitu. Kamu pasti lelah, malam ini kamu istirahatlah dengan baik.”
Elsa memang sangat kelelahan. Dan dia nyaris menangis mendengar perkataan penuh perhatian itu. Sepertinya mulai sekarang dia harus membiasakan diri berada di lingkungan barunya ini. Elsa memiliki firasat bahwa hal itu tidak akan sulit. Satu-satunya kendala adalah… suaminya.
***
Malam semakin larut, Leon sekali lagi menyesap kopinya dengan khidmat.
Well, tidak benar-benar khidmat sebenarnya, karena benak lelaki itu dipenuhi oleh hal lain selain kafein yang menyesap ke dalam sistemnya. Dia seharusnya fokus kepada layar laptop tempat pekerjaannya yang menunggu untuk diselesaikan, namun sedari tadi, Leon justru memikirkan hal lain. bertanya-tanya mengapa istri kecilnya tidak kunjung datang.
Leon memang menolak keras untuk sekamar dengan gadis itu. Dia tidak menyukai orang lain berada di dalam ruangan pribadinya, apalagi seseorang yang akan tidur dengannya. Oleh karena itulah kenapa Leon menjadi gelisah seperti ini. Dengan tidak sabar, dia pun bangkit dari kursi kerjanya sambil membawa cangkir kopi yang isinya telah tandas.
Di dapur, Leon mendengar suara air mendidih pada cerek, dan punggung kecil seorang perempuan yang dibalut sweater lusuh lebar.
Mendengar langkah kaki itu, Elsa pun menoleh dan nyaris terjengkang ke belakang karena terkejut.
“Kak… Leon,” sapanya dengan gugup.
Tatapan Leon yang tajam menghujam Elsa dan sesaat mereka hanya berdiri di sana hanya saling menatap. Lalu tatapan Leon turun ke tubuh Elsa, seolah menilainya, sebelum sebuah seringaian tipis menghiasi bibir lelaki itu. Elsa sama sekali tidak mengerti maksud dari tatapan itu namun ia merasakan rasa malu yang sangat besar, yang membuatya ingin segera kembali ke kamar dan berganti pakaian, lalu tersadar bahwa sebagian besar pakaiannya hanya berupa kaos biasa yang warnanya sudah dimakan usia.
“Mau teh?” tanya Elsa, sambil menyembunyikan rasa gugupnya.
Leon berjalan mendekatinya, membuat jantung Elsa berdetak semakin kencang, tapi lelaki itu rupanya hanya berniat meletakkan cangkirnya ke dalam wastafel, lalu duduk di meja makan.
“Buatkan aku kopi,” perintahnya.
Elsa tidak membantah dan membuatkan Leon kopi sekalipun yang ia tawari sebenarnya adalah segelas teh. Dan tanpa sadar Elsa menyuarakan pemikirannya itu.
“Aku tadi tawarin kak Leon teh, bukan kopi. Tapi kalau kak Leon maunya kopi, aku buatin kopi seperti yang kak Leon mau,” cerca Elsa sembari menuangkan bubuk kopi dan gula ke dalam cangkir yang baru. Setelah melirik ke dalam wastafel, dia tahu bahwa Leon baru saja menghabiskan segelas kopi dan sekarang menginginkan yang baru.
“Kak Leon tau nggak, minum banyak kopi itu sebenarnya nggak baik untuk kesehatan. Mami sudah cerita ke aku kalau kak Leon paling gak bisa lepas sama kopi. Tapi nggak apa-apa, kalau kak Leon tetep mau kopi, aku buatin kopi.”
Setelah berhasil menuangkan air mendidik ke dalam cangkir kopinya, lalu mengaduknya singkat, Elsa pun berbalik dan nyaris menjatuhkan cangkir itu jika saja Leon tidak menahan cangkir itu di tangan Elsa. Kulitnya yang dingin akibat gugup dilingkupi oleh kehangatan ujung jemari Leon yang menyentuhnya.
“Elsa,” panggil Leon.
Elsa tidak berani untuk mendongak dan menatap matanya langsung, jadi tatapan Elsa sejajar lurus menatap d**a Leon. Lalu menyahut singkat, “Ya?”
“Apa yang membuatmu berpikir, di usia sekecil ini, kamu bisa menjadi istri seorang pria yang 9 tahun lebih tua darimu?”
“Heh?” Elsa mengernyit bingung.
Leon masih menunduk menatapnya, lalu mengangkat sebelah tangannya dan dengan jemarinya, ia menyentuh dagu Elsa lalu mendongakkan kepalanya, memaksa gadis itu untuk melihat tepat ke matanya. Leon hendak mengatakan sesuatu yang mungkin akan mengundang murka Maminya jika wanita itu tahu, tapi Leon tidak peduli. Gadis kecil di hadapannya saat ini perlu diberitahu di mana letak posisinya berada.
“Dengar, aku benar-benar tidak mengerti apa yang orangtua kamu pikirkan sehingga membiarkan anak gadisnya yang masih sangat muda untuk menikah dengan lelaki yang jauh lebih tua darinya. Kalau ini disangkutkan dengan hutang ayah kamu yang bejibun itu, tidaklah cukup. Dan kalau kamu pinter, kamu pasti tahu artinya apa.”
Pernyataan itu menghantam Elsa tepat di titik yang membuatnya sakit. Ya, dia mengerti. Kenyataan bahwa orangtuanya baru saja menjualnya pada lelaki di hadapannya saat ini, yang berdiri menjulang tinggi dengan tubuh tegap yang gelap, mengintimidasi Elsa, membuatnya merasa bahwa dirinya berada dalam bahaya. Elsa sudah tahu apa yang orangtuanya pikirkan ketika mereka memutuskan untuk menikahkan dirinya dengan putra sulung Fernandez, tentu saja karena uang.
Dan sepertinya Leon menyadari kesadaran itu di kedua mata Elsa, rasa takut dan gelisah itu jelas terpancar pada manik hitam kelam itu. Leon tersenyum. Dia tidak menginginkan seorang bocah ingusan mengganggu kehidupannya yang telah ia atur selama bertahun-tahun, dan jika Elsa memang perempuan cerdas seperti yang Maminya katakan, maka gadis itu akan tahu untuk menjaga sikapnya di hadapan Leon.
“Kamu mengerti kan?” tanya Leon dengan suara rendah.
Elsa mengangguk lemah.
“Bagus. Karena pernikahan ini benar-benar tidak berarti apapun bagi kehidupan kita berdua,” salah, pernikahan ini benar-benar berarti bagi Elsa, “maka aku mau kamu tahu sesuatu. Bahwa kamu bisa tinggal di sini dan melakukan apapun yang kamu mau. Menikmati segala fasilitas yang aku berikan, asal kamu tidak menuntut lebih. Kamu juga bisa pergi ke sekolah seperti biasa, menikmati masa muda kamu seperti remaja kebanyakan, terserah. Hanya saja, semua itu ada syaratnya.”
Elsa merasakan dorongan yang sangat besar untuk menangis, dan dia membenci hal itu, dia tidak ingin tampak lemah di hadapan Leon karena sepertinya begitulah yang lelaki itu inginkan. Elsa terbiasa hidup untuk menekan segala perasaannya, jika dia memang benar-benar ingin bertahan. Maka dengan suara bergetar, Elsa bertanya; “A-apa?”
“Pertama, lakukan tugas kamu sebagai istri dengan benar, tapi jangan menuntut lebih. Aku tidak mau kamu mengurusi kehidupanku terlalu dalam, jangan ikut campur pada apapun. Tugasmu sebagai istri cukup untuk melayani suami, maka aku akan memberikan apa yang kamu inginkan. Kedua, rahasiakan pernikahan ini kepada siapapun. Termasuk teman-teman kamu di sekolah. Tidak boleh ada seorang pun yang tahu, kalau sampai ada, aku pastikan kamu tidak akan mau mendengar ganjarannya, kan?”
Elsa mengangguk kaku.
“Mengerti?”
“I-iya.”
“Kita akan tidur sekamar, karena di sanalah kamu akan melakukan tugasmu yang sebenarnya. Aku tidak menyukai jenis gangguan apapun pada ruang pribadiku, tapi untuk yang satu ini, akan aku toleransi.”
Apa Elsa harus merasa tersanjung pada toleransi yang dikatakan Leon? Sepertinya tidak, tidak bisa. Karena otak Elsa masih sulit untuk mencerna lebih baik apa yang lelaki itu katakan. Dia memang siswi cerdas di skeolah, namun karena semua tekanan baru yang ada pada hidupnya saat ini membuat Elsa tidak bisa berpikir jernih.
Tapi satu hal yang dia tahu pasti, mengenai tugasnya, sebagai seorang istri.
‘Kita akan tidur sekamar, karena di sanalah kamu akan melakukan tugasmu yang sebenarnya.’
Elsa mengerti apa maksud ucapan itu, namun kinerja otaknya menolak untuk memikirkan hal itu lebih jauh. Sebagai seorang istri… ya, dia memiliki sebuah tugas pasti. Tapi, apakah Leon akan benar-benar melakukannya? Karena lelaki itu jelas-jelas mengatakan bahwa dia tidak menerima kehadiran Elsa di dalam hidupnya. Dan tatapannya yang tajam, tersirat pandangan jijik di sana, seolah dia tidak menginginkan Elsa sedikitpun berada di manapun di dalam lingkupnya. Jadi, tentu saja, Leon tidak mungkin menuntut Elsa untuk melakukan hubungan ‘itu’ kan? karena jujur, Elsa tidak akan pernah sanggup. Tidak akan pernah. Tapi jika suaminya memaksa, apa yang bisa Elsa lakukan selain harus menurut? Pemikiran itu membuat Elsa menggigil.
Ketika kembali ke dalam kesadarannya, Leon sudah pergi, dan cangkir kopi yang tadi digenggamnya di tangan kini telah tiada. Pria itu sudah masuk kembali ke kamarnya, salah, ke kamar mereka. Apakah dia punya pilihan lain selain harus tidur di sana? Elsa sudah tidak memiliki cukup nyali untuk berhadapan dengan Leon lagi. Apakah tidak apa-apa jika dirinya tidur di kamar tamu untuk malam ini saja? Setidaknya, sampai keberaniannya yang tercecer kembali utuh.
Tapi tidak, Elsa tahu dia tidak memiliki jalan lain.
***