6 - hari yang ditentukan

1797 Words
Janji setiaku 6 - hari yang ditentukan Siapa sangka, hari yang sudah ditentukan sudah ada di depan mata, siap tidak siap, mau tidak mau, Eca tidak boleh mundur sedikitpun. Walau saat ini dirinya sudah terlihat sangat cantik dengan segala riasan yang dia pakai, dan terlihat sangat bahagia di sana, tapi nyatanya, dia sama sekali tidak berharap akan tiba hari ini. Bayangkan saja menikah dengan orang yang baru saja dia kenal, bahkan pendekatan saja dia hanya beberapa kali saja. Tidak selayaknya untuk dia terlalu larut dalam kebahagiaan yang jelas bukan keinginannya sendiri. Katakan saja dia egois dan bodoh, tapi kebahagiaan itu bukanlah untuk dirinya. Melainkan untuk ibu yang sudah mengharapkan datangnya hari ini sejak sekian lama. "Udeh nggak usah manyun!" Sentak Linda yang sejak tadi memperhatikan tingkah Eca dengan tatapan bingung, wanita itu mengemban tugas untuk menemani Eca di kamar, sedangkan keluarga besarnya tengah menyambut kedatangan calon besan dengan kemeriahan dan suka cita yang luar biasa. Sungguh, Eca sendiri malah tidak begitu paham dengan posisinya saat ini, menjalani sesuatu yang tidak dia inginkan itu benar-benar membuatnya muak. "Muka Lo asem bener astsga, pahala ini hari pernikahan Lo." "Pernikahan yang nggak gue inginkan, tempatnya." "Iya, iya anggap aja gitu, tapi kan secara nggak langsung Lo ikut andil di dalam acara ini, toh lo yang bilang iya sejak awal kan?" Tanya Linda dengan raut yang membuat Erin benar-benar merasa jengkel. Dia hanya mendengkus dan merutuki dirinya sendiri, tapi, coba lihat sisi baiknya. Oke abaikan saja apa yang mereka semua rencanakan dan coba lihat sisi baik yang akan dia dapatkan setelah ini. Dari semua hal yang pernah dia lakukan, mungkin ini adalah hal paling gila di antara semuanya. Katakan saja seperti itu, karena dia mempertaruhkan segalanya dan hidup serta.masa depannya pada pernikahan ini. Hanya karena sebuah kebebasan, tentu saja. Itulah hal positif yang dia inginkan sejak awal. Setelah pernikahannya nanti, dia akan bisa menikmati hidupnya dan menikmati kisah asmara dengan Rio tanpa ada halangan sedikitpun, dia akan bisa lepas dari genggaman tangan orang tuanya. Dan dia bisa menikmati kebebasannya dengan sebuah kebahagiaan yang dia inginkan. "Heh! Malah bengong! Mata lo tuh binar banget, mikirin apaan?" Tanya Linda tiba-tiba yang berhasil menarik Eca dari lamunannya. Dia mendesis tajam sembari melirik kearah sahabatnya. "Apaan?" "Nama Lo di panggil tuh!" "Mana ada!" "Makanya dengerin, acara udah mau mulai juga, Lo banyakan ngelamun!" "Gue nggak ngelamun elah!" Kilas Eca kesal lalu melarikan tatapannya ke arah kaca, dan memperhatikan pantulan dirinya yang hari itu memang terlihat begitu luar biasa. Tentu saja karena hari ini adalah hari dirinya menjadi ratu sejagad dalam sehari, penampilan terbaik harus dia usahakan dengan sempurna agar tidak mengecewakan keluarga besarnya. Walau apa yang dia lakukan tentu saja untuk menyenangkan hati sang ibu. "Bengong lagi kan!" "Hah!" "Tuh!" Sengkak Linda dengan mata terpincing. "Tadi nggak mau di bilang ngelamun, padahal Deri tadi ngelamun." Ucap wanita itu sembari berjalan mendekat. "Lo ngelamunin apaan? Mikirin nasib Lo kedepannya?" Tanya Linda yang ikut berkaca di sana. Melihat penampilan dirinya yang begitu luar biasa di hari pernikahan sang sahabat. Siapa tahu saja kan, di acara yang super mewah ini dirinya akan berhasil menggaet salah satu pria tampan yang mungkin saja tertarik dengan dirinya. "Kagak." "Dih...!" Cibir Linda, kini tangannya sudah meraih sebuah liptint berwarna merah muda dari atas meja rias dan memakainya dengan perlahan. "Makanya, apa yang udah terjadi tuh nggak usah di sesali, jalani aja kenapa, siapa tau aja Lo hoki kan, dapet laki yang baik hati dan bisa ngertiin Lo, atau malah dapet laki yang ngizinin Lo buat selingkuh. Bayangin aja, seberapa hokinya Lo kalo dapet laki modelan kayak gitu." "Dan gue rasa, laki kayak gitu cuma ada di alam mimpi, atau novel konyol yang sering Lo baca itu." "Nah, itu Lo sadar, dan harusnya kalo Lo punya pemikiran kayak gitu, ya, mending berhenti aja lah, berhenti dari hubungan Lo sama cowok yang nggak jelas modelan Rio itu." "Masih mau bahas ini?" Tanya Eca dengan mata terpincing yang membuat Linda mengedikkan bahu acuh. "Gue cuma ngasih saran aja sebelum semua terlambat." Kata wanita itu sembari meletakkan liptint kembali ke atas meja dan memilih berdiri, kini dia mulai merapihkan rambutnya, lalu melihat gaun fit body yang dia kenakan dan setelahnya, Linda melakukan hal yang benar-benar tak masuk akal di sana. Dengan santainya dia membenarkan posisi kedua payudaranya agar terlihat lebih menonjol di sana, sungguh, Linda adalah sahabat yang paling cuek yang dimiliki oleh Eca. "Takutnya ya, kan? Kapan Lo terlambat sadar, ujung-ujungnya Lo lari ke gue dan bagus bombai di depan gue kek orang gila yang kesurupan. Gue cuma males aja nanggepin tangisan Lo nantinya." "Terus apa gunanya Lo buat gue kalo gue nggak boleh lari ke Lo tiap gue galau." "Nah itu, gue jadi merasa kalo Lo cuma manfaatin gue demi kepentingan Lo aja, semua yang Lo lakuin selalu aja menyusahkan buat gue." "Ya karena gue beban untuk Lo. Kano udah tau, jadi kenapa nggak nikmati aja alurnya." Melirik malas, Linda malah mendengkus keras sebelum membuang wajahnya dengan gaya arogan, lalu berlalu dari sana dan berjalan menuju pintu kamar. "Terserah deh, gue ngerasa capek aja ngingetin Lo saban hari, toh kalo nanti Lo ngerasain apa yang gue bilang sekarang, Lo sendiri yang rugi. Dan gue, cuma tinggal dengerin sambil ngemil dengan tenang." Katanya lagi dan kini memilih keluar dari dalam kamar, membiarkan Eca sendiri dengan pemikiran yang sedikit bimbang. Apalagi perkataan Linda sering terjadi, walau terdengar kasar, tapi nyatanya wanita itulah yang menjadi tempat dirinya berkeluh kesah selama ini, dengan semua hal yang dia alami, Linda adalah tempat dia mencurahkan perasaannya. Dan terkadang, apa yang diucapkan oleh Linda adalah sesuatu yang sering terjadi contohnya saja beberapa tahun yang lalu, ketika dirinya menaruh rasa pada seorang senior di kantornya. Linda berkata jangan karena ada kemungkinan pria itu sudah berkeluarga dan berpura-pura sendiri agar bisa bersenang-senang dengan wanita baru yang dia kenal. Dan hebatnya. Apa yang di katakan Linda benar terjadi, pria itu nyatanya sudah berkeluarga dan memiliki dua anak, tapi tingkah dan pesonanya sering di salah gunakan olehnya untuk memperdayakan pada wanita di kantor. Bukan hanya itu saja, Linda juga pernah melarang Eca untuk menjaga jarak ketika ada beberapa pria yang memiliki pengaruh penting di dalam perusahaan dan mencoba mendekatinya, dan semua itu benar adanya, pria-pria itu hanya penasaran dengan Eca dan ketika rasa penasaran itu hilang mereka mulai melupakan Eca dan seolah tak pernah melihat ataupun berhubung dengan dirinya. Dan sekarang, Linda selalu saja melarang dirinya untuk terlalu peduli dengan Rio, kekasih yang sudah menjalin hubungan dengannya selama kurang lebih dua tahun kebelakang. Linda adalah orang yang sering mengomel ketika dia tahu Linda sudah memberi begitu banyak hal untuk Rio, mulai dari uang, pakaian dan jam tangan mewah, bahkan dia juga mengizinkan Rio untuk menggunakan mobilnya sesuka hati pria itu. Linda sangat menyayangkan hal itu. Entah karena apa, tapi sepertinya Linda benar-benar membenci Rio akan hal ini. Menghela napas panjang, Eca memilih menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Telinganya mencoba mendengarkan ucapan sambutan yang cukup meriah di luar kamar. Dan sepertinya acara sudah akan masuk ke acara inti, di mana dirinya sebentar lagi akan di jemput untuk keluar dan duduk bersanding dengan Tomi. Laki-laki pilihan ibu. Pintu kamar terbuka tiba-tiba, lalu terlihat Linda yang melangkah masuk dengan Anang di tekuk ke dalam. "Kenapa?" "Kagak, di suruh keluar lu. Mau akad kayaknya." "Lah, ibu kemana?" "Sebentar lagi nyusul, lu suruh siap-siap dulu katanya!" Kata Linda yang berdiri di samping tubuh Eca. "Dih yang bentar lagi lu bakal jadi istri orang. Udah siap badan belum lu?" "Badan?" "Iya lah, selain acara resepsi yang panjang, lu juga kudu nyiapin diri buat malam pertama lah, ya kali nikah kagak ena-ena." Mengerut kening dalam-dalam, Eca sama sekali tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Linda. Ena-ena, apa sebenarnya maksud dari wanita itu. "Ena-ena apaan?" "Serius Lo nggak tau?" Tanya Linda dengan raut tak oercaya. "emang apa?" "Astaga, tobat gue!" Bala wanita itu sembari menepuk keningnya kuat. "Malam pertama elah, Lo kan manten baru, laki Lo pasti nuntut hak atas itu lah." "Hah?" Balas Eca dengan mulut terbuka. "Iye, malam pertama, jebol perawan! Tradisi tiap orang yang baru nikah." "Ih! Ogah amat gue, enak aja asal jebol perawan, emang gue apaan! Kehormatan gue nih, Udeh gue jaga puluhan tahun, seenaknya aja main jebol!" "Lah Lo kan udah nikah, mau nggak mau harus siap lah, dia laki sah lu, jadi wajar aja kalo dia nuntut." "Nggak!" Sentak Eca kuat, enak saja mau mengambil keperawanan di malam pertama pernikahan. Jelas-jelas pernikahan ini adalah pernikahan paksa yang sama sekali tidak dia inginkan, tentu hal semacam itu tidak akan Eca berikan. Apalagi dia sekalipun tidak mencintai pria itu, jadi jangan harap jika dia akan mendapatkan sesuatu yang berharga selayaknya nyawanya sendiri untuk pria seperti Tomi. "Terus gunanya nikah buat apa kalo Lo ogah kasih itu!" "Bodo amat! dan lagi, perlu di catat, gue nikah sama dia juga karena terpaksa, jadi nggak usah ngadi-ngadi buat minta sesuatu yang nggak akan pernah gue kasih ke dia," ucap Eca dengan nada menggebu. "lagian, Lo juga kenapa musti bahas hal ginian coba?" "Ya gue cuma kasih tau aja!" "Ya nggak gitu juga lah." Mereka berdua saling tatap dengan raut tegang di keduanya. Hingga tanpa sadar Aryana sudah berdiri di bibir pintu kamar dan sedikit bingung melihat kelakuan sepasang sahabat yang terlihat bersitegang di sana. "Loh, ini pada ngapain, kok pada melotot gitu?" Tanya wanita itu dengan suara lembut. Eca maupun Linda langsung terkejut seketika. "Eh, Tante. Udah dari tadi, Tan?" Tanya Linda dengan nada kikuk setelahnya. "Enggak, baru juga masuk." "Oh, kursi udah dari tadi." Balas Linda dengan cengir malu." "Baru aja. Kalian lagi ngapain itu, kok kayak lagi debat gitu?" "Ah ... enggak, tan. Cuma lagi bercandaan aja tadi." "Oh...." Balas Aryana dengan mulut membentuk huruf o dan setelah ya dia melihat ke arah putrinya, menilik sebentar penampilan wanita itu sebelum kedua sudut bibirnya terangkat secara perlahan. "Duh, putri kesayangannya ibu, udah cantik banget gini." Kata Aryana dengan nada bangga dan berjalan ke arah Eca. "Yang bentar lagi jadi nyonya. Ibu bener-bener nggak nyangka hari ini akan tiba juga, hari di mana kamu dipersunting dengan pria yang luar biasa seperti Tomi." Lanjut wanita itu lagi. Dalam hati Eca berkata. "Cih, berlebihan. Padahal semua ini udah masuk ke dalam skenario yang di siapkan." "Udah siap?" Tanya Aryana lagi. Yang di balas anggukan oleh Eca. "Udah, Bu." "Ya udah keluar yuk, akad udah mau mau tuh. Tomi juga kayaknya udah nggak sabar buat liat kamu." Ucap Aryana sembari mengulurkan tangannya untuk membantu Eca berdiri. Eca menerima uluran tangan itu, lalu berdiri dengan perlahan dan mengikuti langkah sang ibu menuju pintu yang akan membawanya ke dalam kehidupan yang baru, perjalanan yang mungkin saja akan membawa dirinya ke gerbang kebebasan yang terasa mencekik itu. Yah, dia berharap jika pilihannya kali ini akan berpihak kepadanya. Semoga saja....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD