7 - perlakuan eca

1453 Words
Siang telah berlalu, bahkan malam pun mulai larut, tapi Eca belum juga menampakan batang hidungnya setelah kepergiannya tadi pagi, Tomi sedang menyelesaikan pekerjaanya lebih tepatnya ia hanya mengecek bagian yang perlu ia pelajari sebelum menghadiri rapat besok. Walau dengan fikiran yang tidak Fokus, fikirannya melayang jauh dan tengah cemas dengan kondisi istrinya saat ini, akhirnya ia bisa menyelesaikan pekerjaanya. Ia melirikan matanya, melihat kearah benda bulat yang tertempel rapih di dinding. "jam 3, kemana Eca pergi, kenapa belum juga pulang" ia bergumang kemudian beranjak, tangannya meraih ponsel di atas meja mencari kontak Eca dan mulai menelfonnya. Hingga beberapa kali mencoba tapi tetap saja tak ada jawaban, Tomi menyerah ia mengerang frustasi, kemudian dengan sigap tangannya meraih kunci mobil dan tak lupa jaketnya dan memutuskan untuk pergi mencari keberadaan Eca. Setengah jam memutari daerah, dan mengunjungi tempat yang biasa di kunjungi Eca, mencari dan terus saja mencari, menajamkan pandangannya tapi tetap saja nihil, ia tak menemukan sosok Eca dimanapun, tapi tetap saja nihil. Tomi sudah berusaha mencari di kantornya, dan satpam kantor bilang Eca sudah pulang sejak jam 9 malam, lalu kemana dia sekarang? Satu jam berlali, Tomi masih saja belum menemukan keberadaan Eca, akhirnya ia menyerah, kembali kerumah dan akan memutuskan untuk menunggu. Takutnya jika ia terus saja mencari sedangkan Eca sudah pulang. Ia memutar balikan Mobilnya, melaju dengan kecepatan standar dengan tatapan yang masih saja menelisik segala sudut jalan, masih berharap akan menemukan sosok Eca, hingga mobilnya berbelok ke dalam rumah, tetap saja Tomi tak menemukan Eca. Dengan langkah frustasi ia beranjak dan masuk kedalam Rumah, semalaman ia belum tidur sama sekali, ia merasa lelah dan berat. Ingin segera tidur tapi suara adzan sudah memanggilnya, "astagfirullah!" segera saja ia berlari masuk kedalam kamar mengambil wudhu dan segera menunaikan kewajibannya. Setelah melakukan sholat dua raka'at tak lupa dengan doanya, Tomi segera membereskan alat dan memasukan kembali pada tempatnya. Ia tak memutuskan untuk tidur, melainkan pergi ke dapur membuatkan sarapan untuk Eca seperti pagi sebelumnya, masih berharap jika Eca bisa membuka sedikit saja hatinya untuk ia masuki. Terdiam dan melamun, membuat dirinya tak menyadari sosok yang sedari ia tunggu sudah melangkahkan kakinya gontai, kemudian menjatuhkan tubuhnya di atas sofa. "Huek.... Hueek... Huek..." pekikan atau lebih tepatnya suara muntahan itu terdengar di telinga Tomi. Membuat dirinya menghentikan kegiatannya, melangkahkan kaki ke arah sumber suara yang begitu ia kenali. Siapa lagi kalo buka Eca. Matanya membulat sempurna tatkala melihat tubuh Eca yang terbaring di atas lantai dengan cairan muntahan yang begitu banyak membasahi lantai dan karpet. Dari aromanya Tomi tau jika Eca tengah mabuk. Tomi menghela napasn berat, di rengkuhnya tubuh itu tanpa perasaan jijik sekali pun. Kemudian Tangan kanan ia selipkan di antara pahanya dan tangan kiri tepat di tengkuk Eca. Menggendong tubuh lemah Eca ke dalam kamar. Setelah sampai di sana, dengan perlahan Tomi menidurkan Eca di atas ranjang. Tangannya bergerak melepas hels milik Eca. Meletakkan kembali pada tempatnya dan setelahnya barulah ia kembali duduk di sisi ranjang, tepat di sebelah Eca, Dia mengelus pelan puncak kepala Eca hingga Eca tertidur dengan pulas. Setelah di rasa Eca sudah terlelap dalam tidurnya, Tomi beranjak dari sana. Namun baru saja ia akan berdiri, tangannya di cekal oleh Eca, membuat Timi mau tak mau kembali duduk dan menatap wajah Eca dengan perasaan yang bercampur. "Kenapa? kenapa lo tega giniin gua, yo! lo tau, kan kalo gua itu sayang sama lo. Kenapa lo jahat sama gua. Apa salah gua yo?!" Eca mulai mericau tak jelas, Tomi terdiam, beberapa saat. menatap tak percaya pada gadis di hadapannya yang tak lain adalah istrinya itu. dengan ini jelas sudah bagaimana perasaan Eca kepada Rio. dan dengan ini ia tau bahwa akan sangat sulit untuk masuk dalam kehidupan Eca, tapi itu biarlah menjadi urusan nanti. Dengan perasaan tak karuan Tomi memberanikan diri untuk merengkuh tubuh Eca. Membawanya kedalam dekapannya. Mengelus lembut puncak kepalanya meski hatinya begitu sakit. "Rio... Please jangan tinggalin gua...," ricau Eca dalam isak tangisnya. Bahkan air matanya kini sudah membasahi kemeja milik Tomi. "Sttt... Tenanglah. Tenangkan dirimu." Hanya kata itu lah yang bisa keluar dari mulut Tomi. Bahkan ia tak tau harus berkata apa untuk saat ini. Kemudian pikirannya kembali berkecamuk. Mungkinkah keberadaanya memanglah menjadi masalah di kehidupan Eca. Lalu apa salah jika dirinya ingin berjuang untuk mendapatkan posisi dalam kehidupan Eca, walau pun itu hanya sepetak tempat di hati Eca untuk dirinya? perlahan Eca kembali tenang dalam pelukan hangat itu. Tomi mulai merebahkan tubuh Eca, menarik selimut untuk menutupi tubuh yang terbalut gaun tipis yang menampakan sebagian besar lekuk tubuhnya. Setelahnya Tomi memutuskan untuk Meninggalkan Eca dengan perasaan berkecamuk. Tomi kembali ke dapur. Menyelesaikan kegiatannya yang beberapa saat dia tinggal tadi. Bahkan kini ia berinisiatif untuk membuatkan Eca bubur. Setelah semua dirasa siap, tomi segera mengambil ember dan kain pel guna membersihkan bekas muntahan Eca tadi. Tomi melakukan itu tanpa rasa jijik sekalipun, mengepel dan membilasnya hingga bersih, dan setelahnya barulah ia meraih ponsel yang ada di dalam saku celananya. Memanggil sebuah nomor di dalam buku telponnya dsn mengatakan jika dirinya tak bisa hadir dalam rapat hari ini. Ia lebih mementingkan Eca dari pada urusan kantornya. Karena baginya Eca lebih penting dari segala macam pekerjaan yang bisa dia selesaikan esok atau lusa. ➿➰➿ Eca terbangun dari tidurnya kala merasakan gejolak dalam perutnya, segera dia memilih duduk dan menyandarkan kepalanya pada kepala ranjang, hingga Rasa mual itu tak dapat tertahankan lagi, Eca memuntahkan segala isinya di lantai samping ranjangnya. Setelah semua isi perutnya terkuras Eca kembali merebahkan tubuhnya di kepala ranjang. Tangan kirinya memijit pelipisnya pelan, rasanya pusing itu kembali menyerang, dan seakan membuat kepalanya ingin pecah. Sumpah saja, jika bukan karena dirinya gila, mungkin dia tidak akan nekat seperti malam tadi, mabuk seperti orang gila dsn mericau seperti orang yang tak mengenal "Udah bangun?" Eca tersentak mendengar suara berat yang baru saja masuk kedalam kamarnya Tomi masuk kedalam dengan membawa nampan berisi bubur dan segelas air putih. Di letakan nampan itu di atas nakas, kemudian ia duduk di tepian ranjang, menatap Eca sedih. Kemudian indra penciumnya menangkap aroma tak sedap, hingga tatapannya menemukan sebuah cairan yang Tomi tau itu adalah muntahan milik Eca. "Ini aku bawain aspirin sama air, mending kamu minum biar pusingnya mendingan." tangan kanan Tomi meraih gelas dan sebuah bungkus obat yang mungkin bisa meredakan rasa pusing yang di rasakan Eca saat ini. "Ca, di minum ya, aku tau pasti itu pusing banget" ucap Tomi kembali seraya menyodorkan gelas dan bungkusan bubuk itu. "Keluar" satu kata yang mampu membuat Tomi berhenti. Menatap nanar pada gelas yang ia sodorkan tadi. Beralih menatap Eca tak percaya. "Tapi ca, aku gak mungkin ninggalin kamu sendiri" kekeh Tomi. "Gua bilang keluar. lo tau gua malah tambah eneg liat muka lo!" Tomi terpaku. tak tau apa yang akan ia perbuat kali ini. Sebenci inikah Eca pada dirinya?. Tak ada celah sedikit saja kah untuk Tomi masuki?. "Tapi ca...?" "Tom, Keluar!" kembali satu kata bernada tegas keluar dari mulut Eca, membuat Tomi mengangguk pelan. Meletakan kembali gelas dan bungkusan bubuk itu di atas nampan. "aku bakal keluar setelah kamu minum obat kamu". suara lembuat itu kembali mengalun indah di dalam ruangan, namun sayang suara lembut atau indah itu sama sekali tak berpengaruh pada Eca, malahan membuat gadis yang masih di landa migran itu semakin emosi. "KELUAR!!" satu teriakan kuat tak membuat Tomi bergerak dari sana. "aku udah bilang, aku bakal keluar setelah kamu minum obat kamu!" cukup, jika seperti ini terus maka lelaki berengsek ini tak akan pernah pergi dari sini. masih dengan emosi yang memuncak, Eca meraih gelas yang di sodorlan Tomi tadi, menelan bungkusan bubuk itu dan menenggak habis aor dalam gelas. "PUAS!?" Tomi mengangguk pelan, setelahnya ia beranjak keluar tanpa kata. benar adanya jika keberadaanya memang tak pernah berarti bagi Eca. Eca mengalihkan tatapannya, menatap tak percaya kearah nampan. "Cih sok peduli. biar apa gitu dia bawa ginian?, biar gua luluh?, bodoh!, sebaik apapun lo jangan harap kalo gua bakal luluh!. Karna bagi gua lo sama aja kayak yang lain. Berengsek!!" geram Ela menyempar nampan itu hingga terjatuh dan pecah berantan. Tomi hanya mampu berdiri di depan pintu, memaku tanpa berani bertindak. Bahkan kini tanpa sadar air matanya keluar dengan sendirinya. "Sebenci ini kah kamu kepadaku ca?, apa memang aku hanyalah sampah di matamu?", tomi bergumang pelan, perasaan sakit itu kembali ia rasakan. Memenuhi seluruh ruangan di dalam hatinya, perlahan ia membalikan tubuhnya, membuka sedikit celah pintu itu, hingga menampilkan tubuh Eca yang tengah berbaring dan terisak dalam tangisannya. "Sepertinya apapun yang aku lakuin buat kamu selalu salah, gak tau aku emang salah atau emang aku gak pernah ada benernya di mata kamu, segitu bencinya sama aku sampek gak pernah nganggep aku ada" Tomi menatap nanar Eca yang tengah berbaring di tempat tidur. Ia memutuskan menutup pintu dan berlalu meninggalkan Eca sendiri. Mungkin ia ingin sendiri,
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD