5 - menjelang hari yang ditentukan

1783 Words
Janji setiaku 5 - menjelang hari yang ditentukan Dengan menghela napas berat mengakhiri pekerja Eca hari ini, dia menyandarkan tubuhnya sejanak pada kursi kerjanya, tatapannya menerawang jauh, lalu melirik ke arah ponsel yang tergeletak di sisi meja kerja, benda yang sudah sejak tadi dia abaikan, tepat setelah sang ibu menelpon dirinya untuk memintanya segera pulang lebih awal, karena besok adalah hari di mana sang ibu sudah merencanakan untuk Eca dan Tomi untuk datang ke butik tempat di mana sang ibu sudah menyiapkan pakaian pengantin. Yah memang besok adalah rencana mereka mencoba semua pakaian yang akan dia kenakan di acara pernikahannya nanti. Pernikahan yang tentu saja tidak dia inginkan. Dan karena hal itu juga, jadwal Eca hari esok sudah di kosongkan oleh sang ayah. Eca tentu tak bisa menghindari rencana hari esok jika dia tidak ingin kehilangan pekerjaan lagi. Sungguh hal semacam itu benar-benar membuat dirinya jengah, walau ini karena keterpaksaan tetap saja, urusan pernikahan memang tak semudah yang dia bayangkan. Apalagi setelah hari esok masih ada serangkaian yang harus dia lakukan untuk memuaskan hasrat sang ibu tercintanya. Jika membantah maka sang ayah akan mengancamnya dengan ancaman halus yang membuat Eca lagi-lagi tak bisa berkutik. "Nggak pulang Lo?" Eca membuka matanya, lalu melihat sang sahabat berjalan masuk kearahnya. "Bentar lagi lah, masih pusing gue." "Masalah besok?" Tebak wanita yang kini menarik kursi di hadapan Eca dan memilih duduk di sana. Sejenak Eca mengangguk pelan, lalu ditatapnya jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Setidaknya dia masih memiliki beberapa menit untuk tetap di sini dan menjernihkan pikirannya. Dan dia bisa menjadikan alasan macet untuk menghindari banyak pertanyaan dari sang ibu nantinya. "Kenapa harus pusing, ini udah keputusan yang Lo pilih, kan?" "Cuma nggak habis pikir aja gue." Jawab Eca menghela napas panjang. "Bayangin aja, di saat gue masih menggebu-gebu soal percintaan, tapi ibu gue malah memangkas harapan yang baru gue daku bareng Rio pupus, seolah di paksa oleh kehendak yang nggak gue inginkan." "Terus?" "Jujur gue muak." "Terus? Lo mau batalin rencana ini?" Tanya Linda dengan tubuh yang co.dong kedepan, tatapan menyorot dalam ke arah mata Eca. Melihat bagaimana frustasinya sahabatnya itu. "Itu yang saat ini gue pikirin, tapi batalin rencana sama aja gue bunuh diri." "Nah ya udah, Lo udah setengah jalan sekarang, terus kenapa harus bingung?" "Masalahnya gue nggak tau musti ngelakuin apa setelah ini." "Katanya Lo bakal ambil ini perusahaan dan berusaha untuk lepas dari orang tua Lo. Terus kemana semangat Lo itu?" Tanya Linda yang mengingat ucapan Eca sebelum ini. "Bukannya Lo bilang ini momen yang Lo tunggu?" "Yang jadi pertanyaan, apa gue bisa?" "Kenapa nggak, toh Lo udah siapin rencana setelah ini kan." "Dan kalau Rio tahu gue udah nikah." "Itu udah masuk ke bagian resiko di dalam naskah yang udah Lo siapkan di kehidupan Lo. Jadi sebelum semuanya berantakan dan nggak seusai sama apa yang Lo pikirkan, gue saranin Lo berhenti mulai sekarang." "Berhenti?" Linda mengangguk pelan. "Dari rencana ini?" Tanya Eca dengan tampang lolos yanng berhasil membuat Linda geram setengah mati. "Kan udah gue bilang, berhenti sama aja gue bunuh diri astaga!" "Yang gue maksud buat berhenti tuh bukan Lo berhenti dari rencana yang udah Lo iyakan ini, tapi berhenti dari hubungan Lo sama Rio." "Eh sembarangan aja, mana bisa gitu!" "Ya terus, apa yang bakal Lo lakuin sekarang? Maju salah, mundur juga malah tambah salah kan?" Tanya Linda dengan alis sebelah kirinya naik ke atas. "Lo itu tinggal pilih aja. Bertahan dengan jaminan tempat usaha bapak lo ini atau nyerah dan kehilangan semua hal yang udah Lo dapatkan semuanya." Lanjut Linda dengan suara yang terkesan santai di sana. "Semua keputusan aja di tangan Lo." Dan benar saja, hal ini seperti halnya dia makan buah simalakama, semua yang dia lakukan seolah salah di mata orang tuanya dan dia tak bisa berkutik sekalipun. Hanya bisa menurut dan berusaha untuk sabar, dan tentu saja dia harus berpikir untuk rencana yang akan dia jalankan kedepannya. Menghela napas lelah, dia memilih untuk memutar kursi kerjanya dan melarikan tatapannya ke arah luar jendela, menatap sekumpulan awan yang ada di hadapannya. Mungkin hidupnya sudah diatur, tapi jika dia berjalan dengan lebih perlahan lagi, semua yang akan dia dapatkan setimpal dengan apa yang harus dia korbankan. Diam termenung dengan mengabaikan Linda yang masih sibuk duduk dengan ponsel di tangannya. Eca hampir terkejut ketika ponselnya tiba-tiba berdering dengan kuat, meraih ponsel dengan malas, dia melihat siapa nama yang menelpon dirinya. Lalu seutas senyum terbit begitu saja ketika melihat nama Rio tertera di layar ponselnya. Secepat itu juga dia langsung mengangkat panggilannya dan segera meletakkan ponsel itu di telinganya. "Ya, Yo. Kenapa?" Tanya Eca pelan. "Kamu di mana?" "Aku masih di kantor. Kenapa?" "Besok ada acara?" Sejenak Eca terdiam. Dia tidak ingin Rio curiga tentang apa yang akan dia lakukan besok. Bergerak gelisah dia mencoba melirik Linda yang hanya mengedikkan bahu acuh di sana, wanita itu seolah tidak ingin terlihat dengan masalah sahabatnya itu. Apalagi jika sudah berhubungan dengan Rio. Linda benar-benar menghindarinya. "Besok aku ada meeting kayaknya." Balas Erin tiba-tiba, mau tidak mau dia harus berbohong, semua tentu demi kebaikan dirinya. "Sibuk banget ya?" "Kayaknya bakal seharian, kenapa emang?" "Enggak, aku kira kamu free. Aku mau ajak kau keluar gitu." "Yah... Lain kali aja ya, aku masih ada kerjaan besok. Kalo aku keluar gitu aja. Yang ada Linda bakal ngomel." "Gitu ya?" Sebenarnya Eca tidak tega jiga harus menolak keinginan Rio. Bagaimanapun dia juga sudah sangat merindukan kekasihnya itu. Hanya saja keadaan yang membuat dia tak bisa bersenang-senang untum sementara waktu. "Ya udah nggak papa deh kalo gitu." Suara Rio terdengar sedikit kecewa di sana, tapi mau bagaimana lagi. Eca benar-benar tidak bisa untuk hari esok. "Maaf banget ya Yo." "Em... Iya nggak papa kok, beb. Lain kali aja nggak papa." Mendengar itu membuat Erin sedikit melengkungkan sudut bibirnya, seperti biasa Rio selalu saja mengerti akan dirinya, walau dirinya sibuk, pria itu tidak pernah menuntut banyak akan dirinya dan selalu saja ada di sisinya. "Tapi, ca. Besok aku boleh nggak sih pake mobil kamu, aku mau nganterin mamah belanja, tapi motor aku kayaknya nggak akan sanggup deh bawa belanjaan mamah yang banyak itu." "Oh, bisa, pake aja, kebetulan aku besok nggak kemana-mana kok." "Beneran nggak papa?" "Iya nggak papa, nanti biar dianter Linda mobilnya." Balas Eca sembari melirik sahabatnya yang kini tengah melotot tajam kearahnya, dari tatapannya terlihat jika wanita itu benar-benar tidak suka dengan ucapan Eca barusan. "Eh nggak usah, biar aku aja yang ambil di kantor." "Jangan, biar Linda aja, besok dia anter ke rumah kamu, ok!" Karena jika Rio ke kantor maka kebohongannya akan segera terbongkar, dan Eca tidak menginginkan hal itu terjadi. "O... Oke, besok aku tunggu di rumah aja kalo gitu." "Nah gitu dong." Balas Eca dengan senyum manja yang terlihat begitu menjijikan di hadapan Linda. Benar-benar seperti anak remaja yang baru saja jatuh cinta. Eca dengan cintanya yang berlebihan adalah racun yang mampu membunuh Linda secara perlahan. Mereka mulai larut dalam obrolan pajang yang diabaikan oleh Linda. Wanita itu memilih menyibukkan diri dengan bermain ponsel dan berselancar di dunia Maya. Melihat beberapa belanjaan yang menurutnya layak dan menarik perhatiannya. Walau nyatanya dia tidak memiliki hobi dalam berbelanja, tapi Linda memiliki sisi wanita yang menuntut dirinya untuk memiliki sedikit saja pakaian wanita dan segala keperluan wanita. Merepotkan memang, tapi seperti itulah kodratnya terlahir sebagai wanita. "Ya udah besok aku kabari lagunya, beb." Oh akhrinya. Balas Linda dengan helaan napas pelan, sepertinya penderitaan telinganya yang mendengar celoteh tidak berguna dari sahabatnya itu sedikit menghilang. Dia mendongakkan wajahnya, menatap sahabatnya yang kini meletakkan ponsel di atas meja kembali. "Udah?" Tanya Linda dengan nada sinis tak bersahabat seperti biasanya. "Udah...." Balas Eca sembari mengangguk pelan. "Terus kapan Lo bakal berhenti buat gue repot?" Tanya Linda yang kini meletakkan ponselnya juga, melipat kedua tangannya di atas meja dengan tatapan menantang yang membuat Eca meringis kecil. "Bisa nggak sih, jangan pernah libatin gue dalam hubungan Lo sama Rio." "Kenapa emang?" "Karena gue nggak suka." "Nggak suka ya udah sih, Lo kan cuma nganter mobil aja abis itu Lo balik." "Enak banget Lo nyuruh gue kek pembantu. Kan bisa Lo nyuruh supir pribadi Lo ketimbang harus nyuruh gue." Balas Linda dengan tatapan tajam. "Dan biarin orang tua gue tau kalo gak ada hubungan sama Rio?" "Terus seandainya hubungan Lo ketahuan, gue bakal keseret ke dalam sana, anjir!" "Ya Lo kan sahabat gue!" "Sahabat Lo bilang?" Tanya Linda yang benar-benar bingung dengan pemikiran Eca. "Iya Lo kan sahabat gue." "Gue tau kalo gue sahabat Lo, tapi apa harus gue ikut ke dalam urusan dan percikkan api yang udah Lo mulai itu, dan seandainya Lo kebakar, gue juga yang kena!" Desis Linda tajam. Eca memang terkadang tidak pernah sadar diri. Apa yang dia lakukan bisa saja berpotensi membunuh dirinya secara perlahan. "Sahabat apa yang tega narik sahabatnya sendiri ke dalam masalah yang "SENGAJA" Lo lakuin?" Desak Linda lagi. "Kain cerita jika masalah itu tanpa sengaja lo lakuin, gue mungkin bakal diem dan ngikutin kemanapun Lo pergi, tapi ini beda, Ca. Masalah ini jelas-jelas udah bertentangan sama bapak Lo, kalo gue kena, gue juga yang bakal abis!" Karena ayah Ela bukanlah orang sembarangan yang bisa dipermainkan begitu saja, jika sudah berurusan dengan orang itu, maka tamatlah riwayatnya. "Ya karena Lo sahabat gue. Makanya gue berani cerita semua masalah gue ke Lo. Andai kata Lo orang lain, mungkin gue nggak perlu repot untuk minta tolong ke Lo." Linda benar-benar terperangah di hadapan Eca yang bisa dengan santainya berkata demikian, padahal jelas-jelas dia sendiri adalah sumber masalah untuk dirinya, tapi Eca sama sekali tidak terlihat bersalah di sana. "Serius?" Dengan santai Eca mengangguk. Dia hanya memikirkan dirinya sendiri. Memikirkan bagaimana caranya agar dia bisa lepas dari belenggu sang ayah dan bisa berhubunan dengan Rio, pria yang sudah sejak lama dia cintai itu. "Terserah lo aja lah, capek gue ngomong sama Lo!" Derit keras antara kaki kursi dengan lantai terdengar nyalang di ruangan itu. Dan semua karena pergerakan Linda yang kesal dengan sahabatnya ini. "Terus, besok Lo bisa, kan nganter mobil gue ke Rio?!" "Terserah!" Balas Linda yang berlalu meninggalkan Eca. Wanita yang hanya bisa terkekeh pelan karena tingkah sahabatnya itu. Dia tahu, Linda memang sering keras dan menentang dirinya dalam segala hal, tapi wanita itu tetaplah sahabatnya, dan akan sampai kapanpun juga dia akan selalu peduli dan akan selalu ada untuk dirinya. Karena Linda adalah sahabat yang benar-benar bisa dia andalkan sejak lama. Tanpa Linda, mungkin saat ini dirinya sudah benar-benar gila dengan semua hal yang sudah dia hadapi. Bayangkan saja, jika dia terikat pada sesuatu yang segalanya sudah diatur. Bahkan untuk bergerak saja Eca sudah kesulitan karena batasan batasan yang diberikan oleh sang ayah, karena itu juga dia sangat membutuhkan keberadaan Linda untuk menjadi teman berkeluh kesah, tempat berbagi cerita antara senang ataupun susah. Dan hanya pada Linda dia berani mengeluarkan segalanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD