12 - kesendirian dan fakta mengejutkan

2026 Words
Eca terlihat tengah menyantap sarapannya dengan tak selera. Makanan cepat saji dari restoran ternama yang baru saja ia pesan menjadi menu pagi ini. Kini sudah hampir dua bulan ini Eca hanya menyantap makanan cepat saji, biasanya ia selalu makan sehat hasil masakan buatan Tomi, tapi sekarang tidak ada Tomi di sisinya maka tak ada lagi makanan sehat. Hanya makanan cepat saji ini lah yang menjadi andalannya. Walau kadang jika moodnya bagus ia sering menyempatkan diri untuk sekedar wisata kuliner dan berburu beberapa makanan yang dia sukai. Hanya saja terkadang dia malas untuk melakukan hal itu, apalagi jika moodnya anjlok, maka selesai sudah, hanya makanan cepat saji yang menjadi pelariannya. Jujur ada rasa sedikit rindu akan sosok Tomi di hati Eca. Namun rasa bencinya seolah menutup, dan mengalahkan rasa rindunya. Bahkan kejadian malam itu membuatnya semakin merasa muak kala melihat wajah suaminya itu. Walau sebenarnya Eca tau, Tomi melakukan itu hanya untuk menolongnya. tapi tetap saja. Karena kejadian itu rasa benci Eca semakin menjadi. Tak ada rasa iba atau pun peduli, bahkan setelah perdebatan panjang mereka pagi itu, Eca memutuskan untuk pergi dari rumah. Dan disini lah dia sekarang. Di sebuah perumahan yang terletak di daerah Bandar Lampung. Sendiri menenangkan diri dan menikmati indahnya sebuah kebebasan. Tapa pikiran yang membuatnya selalu stres. Melakukan aktifitas apapun yang ia sukai. Berlibur di berbagai macam wahana yang menurutnya bagus. Semua Eca lakukan hanya untuk melupakan semua rasa benci yang ada pada dirinya. Eca merasa nyaman berada di sini, sampai ia berpikir enggan untuk kembali lagi. Tempat di mana ia merasa tak pernah beruntung. Bahkan ia bekerja hanya lewat email, dan telpon tatap muka kala ada rapat dadakan. Untuk tanda tangan berkas penting sekretarisnya siap untuk datang ke tempatnya. Tengah asik menyantap sarapannya, tiba tiba ia merasa perutnya bergejolak. Ia beranjak dan segera ia berlari masuk kedalam kamar mandi. Di dalam sana dia memuntahkan segala isi perut nya. Bahkan makanan yang baru saja ia telan pun ikut keluar. Sudah hampir satu minggu ini ia di landa rasa mual. Bahkan terkadang bisa semalaman suntuk ia bolak balik ke kamar mandi membuatnya merasa lemas, tak jarang dirinya sampai ketiduran di dalam kamar mandi. Dan tentu saja, ia akan merasa demam ketika ia bangun di pagi hari. Merasa terus tersiksa dengan rasa mual yang sangat mengganggunya itu, akhirnya Eca memutuskan untuk mengecek kesehatannya. Ia mendatangi rumah sakit ternama di daerah itu. Setelah membuat janji sebelumnya, akhirnya ia bisa bertemu dengan dokternya. "Pagi dok." sapa Eca setelah masuk kedalam ruang praktek. "Selamat pagi ... Silahkan duduk." jawab sang dokter mempersilahkan Eca untuk duduk. "Jadi apa keluhannya bu?" tanya dokter setelah Eca duduk dengan nyaman di kursinya. "Jadi begini dok, saya merasa mual setiap waktunya, bahkan pernah satu waktu dimana saya harus begadang dan tertidur di lantai karena rasa mual ini tak kunjung berhenti." "Kalau boleh saya tau, apa mual ibu di sebabkan oleh sesuatu. Makanan atau aroma contohnya?" "Entahlah dok, sepertinya iya." Jawab Eca dengan ragu. "Baiklah, silahkan berbaring, akan saya periksa." Eca menuruti perkataan sang dokter. Beranjak dari duduknya dan melangkah kesebuah ranjang kecil, merebahkan tubuhnya di sana. "Maaf ya bu, coba saya periksa dulu." Eca mengangguk sebagai jawabannya. Setelah beberapa saat akhirnya pemeriksaan selesai. Eca segera bangun, beranjak dari sana dan duduk di hadapan dokter itu. "Jadi saya sakit apa dok?" Sang dokter hanya menggeleng pelan, kemudian tersenyum ke arah Eca, tentu kelakuan dokter itu membuatnya bingung. "Apa ibu sudah menikah?" Dengan ragu Eca menganggukkan kepalanya. Sang dokter tersenyum ramah pada Eca dan mulai menjelaskan, "Ibu tidak sakit, itu hal yang sangat wajar dialami para ibu hamil." Eca tersentak kaget mendengar ucapan sang dokter. "Ha-hamil dok?" Tanya Eca dengan suara bergetar, dia sama sekali tidak menyangka dengan kabar yang dia terima kini. "Iya, selamat ya bu. Perkiraan saya usia kandungan ibu sudah memasuki minggu ke lima, dan kondisi janin ibu sangat sehat, hanya saja, cobalah memberi asupan makanan bernutrisi untuk kesehatan janin ibu." Bahu Eca merosot, tubuhnya serasa lemas. Tak menyangka jika kejadian malam itu akan menghadirkan sebuah nyawa di perutnya. Lalu apa dia mampu menjaga nyawa itu dengan perasaan kebencian yang begitu dalam? "Saya menambahkan vitamin di resep ibu, tolong nanti di tebus di bagian obat. Dan saya sarankan ibu juga harus mulai mengkonsumsi makanan sehat serta s**u kehamilan demi kesehatan janin ibu." "Baik dok, terimakasih sebelumnya, saya permisi dulu." Eca segera beranjak dari kursi diikuti sang dokter yang masih mempertahankan senyumnya. "Baiklah, sekali lagi selamat ya bu." Hanya anggukan lesu yang Eca beri sebagai jawaban untuk dokter. Dengan langkah gontai dirinya keluar dari ruangan itu, bahkan kakinya seolah tak bekerja sama dengan otaknya. Kosong dan bingung, tanpa sadar ia telah sampai di pelataran parkir, dimana mobilnya berada, bahkan Eca lupa untuk menebus resep yang di berikan Dokter tadi. Kenyataan yang sukses membuatnya tak tau harus berbuat apa, kenyataan yang menyatakan jika dirinya tidak sakit, melainkan sebuah janin yang berumur lima minggu yang ia dapat. Lalu apa yang harus Eca lakukan. Bahkan ia tak pernah berharap mengandung anak dari pria b******k itu. Eca selalu benci akan sosok Tomi, banginya Tomi hanylah sumber masalah. Dan sekarang, kenapa dia harus menanggung semua ini. ➿➰➿ Bimbang cemas dan putus asa. Hingga tanpa sadar kakiku melangkah tak tentu arah, sepasang kaki itu membawaku ke sebuah taman yang cukup asri. Aku sempat mengedarkan pandanganku sekilas sebelum kembali melangkah. memilih duduk di bawah pohon besar, dan kembali memikirkan langkah apa yang harus aku ambil. sungguh hal ini membuatku merasa muak, belum lagi dengan janin yang ada dalam kandungannya. Apa lebih baik aku menggugurkan kandungan ku saja? Aku muak dengan semua ini, aku tak sanggup jika harus menerima Tomi dan janin ini. Entah lah aku sungguh membenci semua ini. Rasa sakit, hancur dan kosong itu seolah memenuhi sudut hatiku, hampa dan tak bermakna. Aku muak dengan diri nya dan semua laki-laki, Mereka semua busuk...!! aku benci semuanya...!! Tatapanku kosong, bingung membuatku hanyut dama sebuah lamunan. Hingga sebuah suara memaksaku kembali dari kehampaan. "Mbaknya...? kok bengong lagi mikirin apa?" Seketika aku menoleh ke sebelah, Pandangan pertama yang aku lihat adalah sosok tubuh gadis belia yang tengah tersenyum manis kearahku. Aku sedikit terpaku melihat senyum itu. Senyum menyejukan dan menularkannya kepadaku. Aku pun tersenyum menatap dirinya. "Eh... Ibunya Elo kan ya? kok di sini juga?" Yah sosok itu adalah gadis yang aku temui di cafe beberapa waktu lalu, sebelum aku menerima semua kenyataan itu. "Iya ini, biasalah liburan, kebetulan kakek angkat ku tinggal di sini, jadi sekalian jenguk beliau." jawabnya. Aku hanya mengangguk. "Oh iya, sebelumnya kenalin. Aku Nafisa, panggil aja Fisa." Ucapnya dengan mengulurkan tangan. Aku menerima uluran tangannya dengan senyum manis yang aku miliki. "Alecia, panggil aja Eca." "Jadi, kenapa kakak bengong aja kalo boleh aku tau?" Pertanyaan dengan suara yang begitu lembut. Mirip sekali dengan sosok ibuku. Tapi apa harus aku bercerita padanya? Ah sepertinya tidak, aku belum terlalu mengenalnya. Tanpa aku sadari tangannya terulur mengelus lenganku pelan, tentu saja perlakuannya membuatku tersentak kaget. "Aku tau kakak punya masalah, ceritalah jika kakak butuh tempat bercurah." Aku menoleh kearahnya, menatapnya dan tersenyum kaku. "Yah... kamu benar, aku memang punya masalah yang cukup rumit-" aku menjeda ucapanku hanya untuk menarik napas dan berharap bisa menghilangkan perasaan aneh yang aku rasakan. Aku menatap lekat kearahnya, berpikir jika masalah serumit ini tak pernah di alami oleh wanita belia ini. "Apa kamu juga pernah menghadapi masalah yang cukup pelik, yang membuat kamu merasa duniamu benar-benar berakhir?" Tanyaku dengan suara sendu, menahan semua gejolak yang ada dalam diri. "Tentu semua orang selalu punyak masalah bukan? aku juga pernah punya masalah, walau sepertinya gak seberat kakak, tapi itu cukup sukses membuatku tertekan-" Fisa menggantungkan perkataannya, menoleh dan mebatapku. "Kakak tahu? aku menikah di usia 15 tahun, aku hamil doble El pun setelah 7 bulan pernikahanku. Dan kakak tau, gaimana tanggapan orang saat melihatku hamil di usia belia?" Pertanyaan yang sukses membuatku terbelak. Mengandung di usia 15 tahun? Jelas saja ia pasti mendapat gunjingan dari banyak orang. Terlalu mudah untuk di tebak, warga kita selalu mengambil kesimpulan sebelum tau kebenarannya. Astaga, aku tak pernah menyangka, bahkan wanita seusianya harus mengalami itu, kukira hanya masalah yang ku alami yang terasa begitu dalam. "Di cemooh? Di gunjing? kalo kakak mikirnya gitu, tentu saja jelas kebenarannya. Aku dulu selalu dapet cemo'oh dari orang-orang yang memandangku sebelah mata. Melihat tanpa mau tau yang sebenarnya. Sempet down juga waktu itu, tapi berkat laki-laki itu-" ucap Fisa menunjuk sosok laki-laki seusianya yang tengah disibukan dengan buah hati mereka. "Aku jadi punyak kekuatan tersendiri, kesabarannya dalam memberi aku pengertian dan semangat membuatku bertahan, mungkin aku akan menyerah hari itu juga kalo gak ada dia. Karena dialah, aku mampu berjuang sampai sekarang, bahkan sampai anak kami empat dia selalu sabar ngadepin sifat egois dan ke kanak-kanakanku, bagiku dia sosok yang begitu sempurna, selalu tau dan mengerti akan diriku, belum lagi keempat buah hati kami, seolah melengkapi semuanya. Harta berharga yang di titipkan tuhan untuk kami, walau penuh perjuangan untuk mendapatkannya." Dia tersenyum bahagia menatap buah hatinya yang tengah asik bercanda gurau dengan sang ayah. "Kakak tau masalah yang lebih parah, aku alami?" Aku menggeleng menjawab pertanyaan Fisa. "Di saat aku hampir kehilangan nyawaku saat proses kelahiran anak keduaku. Saat itu aku koma selama 2 tahun, dan aku beryukur masih di beri kesempatan untuk membuka mata, melihat betapa tampannya dan cantiknya anak-anakku. Dan karena hal itulah, aku semakin mensyukuri setiap hembusan nafas ku saat ini, aku semakin menghargai waktu yang aku jalani, memberi sedikit hal berharga kala waktu kian berlalu, maka dengan itu aku akan memiliki kenangan yang tak akan terlupakan, kenangan indah yang akan terpahat sempurna di dalam ingatan dan di sini." ucapnya dengan tangan menunjuk dadanya. Deg... Sorang gadis yang awalnya ku kira masih belia nyatanya memiliki pemikiran sedewasa ini, bahkan mengalami hal yang tak pernah aku bayangkan di masa lalunya. Sedangkan aku, begitu bodohnya tak menyadari betapa sempurnanya suamiku, selalu sabar menghadapiku dan menghadapi semua tingkah busukku, selalu mengerti dan memberi perlindungan walau hanya dari jarak jauh. Tentu aku semakin malu, mendengar pernyataan Fisa. Wanita belia yang bisa mensyukuri semua yang dimiliki. Sedangkan aku malah berpikiran untuk membunuh darah dagingku sendiri, "Kakak tau? mungkin aku akan sangat menyesal jika dulu aku tak menerima perjodohan itu, untungnya aku lebih memilih mendaftarkan diri, mencoba belajar menerima dan mengerti satu sama lain, dan akhirnya aku tak pernah bertemu dengan kata menyesal, malahan aku sangat bahagia karena bisa berada di sisinya, bersanding dengannya, dan menghabiskan sisah napasku hanya untuk dirinya-" ada jeda untuk Fisa menoleh ke arahku, menatapku dengan senyum penuh artinya. Tangannya terulur mengelus pahaku pelan. "Ada masanya sebuah hubungan mengalami masalah dan tertimpa cobaan, tapi cobalah untuk menghadapinya, bertahan, dan bicarakan. Ambil sisi baiknya, buang yang gak penting, hargai apa yang kita punya sekarang, karena dari rasa menghargai itu lah, kita akan selalu mendapat secuil kebahagiaan yang mungkin akan selalu terkenang, dan tentu akan jauh dari kata menyesal. Percayalah kak, penyesalan itu lebih sakit dari pada penghianatan-" Dia tersenyum ke arahku sejenak sebelum beranjak dari duduknya. Dan membuatku menunduk dalam apa yang dia katakan seolah menamparku dengan telak. Dia berdiri sembari menatap langit biru yang terlihat cerah. "Percayalah, semua akan baik-baik saja. Hadapi dan jalani, kakak tak akan pernah tau jika tak pernah mau mencoba." Deg.. Perasaan ini. Kenapa perkataannya begitu menyayat hati. Kenapa ucapnya seperti menohokku hingga serada sulit untuk menarik nafas? Aku terdiam, tak bisa menjawab, semua pertanyaanku dan kalimatku seolah lenyap, bahkan sebelum bertanya pun, aku sudah mendapat jawabannya. Merasa aku tak menanggapi ucapannya Fisa pun mulai beranjak meninggalkanku, seraya berucap, "Baiklah, aku pergi dulu kak, sepertinya mereka berlima membutuhkanku." namun langkkahnya terhenti dan menolehku, "Jaga kesehatan kakak, makan lah makanan bergizi, kakak tak ingin bayi kakak terkena masalah kan? dan buang jauh-jauh semua pikiran buruk kakak, percayalah dia tak pernah tau dengan masalah kita, dia hanyalah sebuah nyawa yang siap memberi warna di kehidupan kakak." Selesai berucap Fisa mulai menjauhiku, aku menatap punggungnya dengan tatapan heran. kenapa dia ia tau, Apa gang aku alami tanpa aku berucap? aku bertetiak kesar setelah merasa jika aku melupakan sesuatu. "TERIMAKASIH!!" Fisa hanya menoleh, mengangguk dengan senyum yang masih mengembang dan melangkah lagi. Kenapa aku merasa dia tau segala permasalahanku, kenapa kata-katanya seolah membuat otakku berpikir lebih keras. Apa yang dikatakannya mungkin benar. Tapi bisakah? Entahlah aku belum siap dengan semua ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD