13 - penyesalan

1621 Words
Aku termenung di depan jendela kamarku, menatap kosong luar jendala, fikiranku kembali bergelut. Antara kembali dan memberi tau kabar yang mungkin akan menggembirakan ini atau tetap tinggal di sini. Aku tau aku salah, perlakuan ku selama ini terhadap Tomi memang tak pantas, bakan bisa di bilang tak layak untuk seorang istri. Tapi jujur. jauh dari Tomi membuat ku tersadar, jika aku sangat membutuhkannya selama ini. Tanpa dirinya aku merasa ada yang kurang, tak pernah merasa nyaman di setiap tidur ku, Aku memang bodoh, tak mau mengakui perasaanku selama ini. Walau hanya lima bulan tinggal bersama, tapi itu cukup, sangat cukup membuatku luluh, Tapi ke egoisanku lah yang sudah menyiksaku secara perlahan. Aku terlalu menutup mata dan terlalu sibuk membangun tembok tebal untuk mencegah dirinya masuk, hingga tanpa aku sadari kesabaran dan perhatiannya mampu mebuat tembok yang selama ini aku bangun itu terkikis secara perlahan. Mungkin aku telah di butakan oleh rasa sakit hati dak kebencian ini, hingga aku tak menyadari semuanya, menyadari bahwa dirinya adalah sosok yang sangat aku butuhkan, sosok yang mampu membuatku lupa akan segalanya, sosok penyelamat yang tak pernah aku hargai. Aku terlalu t***l hingga tak menyadari itu. Kesendirianku selama satu bulan ini membuatku sadar, sadar akan segalanya. Mungkin apa yang di katakan Fisa benar, aku terlalu takut untuk mencoba dan merasakan jatuh cinta lagi, dan tanpa sadar aku malah terjatuh ke dalam pelukannya. Pelukan lembut yang selalu menenangkanku. Namun lagi-lagi dendam telah menutup mataku, menutup segala kebaikan yang telah Tomi berikan padaku. Bodoh, dan bodoh, kata itu mungkin yang saat ini pantas aku terima. Aku memeluk tubuhku sendiri, merenungi setiap perbuatan yang telah aku lakukan padanya. Bimbang, ingin sekali rasanya kembali dan mengucap kata maaf padanya, Namun benar kata orang, berkata lebih mudah dari pada melakukannya. Jujur aku takut, aku takut jika Tomi tak bisa menerimaku, seperti halnya ia menerimaku dulu. Terlebih, perlakuan terakhirku membuatku semakin yakin jika, Tomi tak akan pernah mau menerimaku, Tapi... Aku tak bisa selamanya memendam ini sendiri, di tambah kehadiran benih yang saat ini ku kandung membuatku semakin tak berdaya. Tubuhku selalu mendamba akan pelukan hangat setiap malamnya. Tubuh dan hatiku seolah tengah bergelut keras dengan Fikiranku. Aku bingung, aku tak tau apa yang harus aku berbuat sekarang. Kembali dan meminta maaf atau berdiam lebih lama lagi, Tapi rasanya aku tak mungkin sanggup menahan gejolak dalam diriku. Aku harus kembali...!! Yah... Aku harus kembali, dan akan siap menghadapi apapun resikonya. Aku akan meminta maaf padanya, bahkan jika perlu aku akan bersujud dan menyesali semua yang telah aku lakukan. Satu yang aku inginkan sekarang, Tomi harus tau jika dirinya sudah membuatku bertekuk lutut di hadapannya. Aku tak bisa tanpa dirinya. ♤°◆°♤ Satu hari berkutat dengan setir kemudi membuat tubuhku terasa penat, belum lagi sebulan ini aku jarang mengkonsumsi makanan sehat. Bahkan aku tak memikirkan bagaimana kesehatan janinku, yang aku fikirkan hanya diriku sendiri dan merutuki semua kebodohan yang telah aku lakukan selama ini. Aku memarkirkan mobilku di pekarangan rumah, beranjak turun dengan ragu aku mulai melangkah, mencari sosok suamiku yang tak pernah aku anggap itu. Tanpa mengetuk pintu aku langsung masuk kedalam rumah. Namun keningku sedikit mengerut, saat melihat kondisi Rumah dalam gelap, Apa Tomi belum pulang?, lalu kemana dia? Aku beranjak ke dapur, mengetuk pintu kamar bi Gina. "Bii, bi Gina, buka bi, ini aku Eca? Beberapa kali aku mengetuk, tetap saja tak ada jawaban. Aku yang semakin penasaran langsung mencoba membuka pintu kamarnya. Gak di kunci? Kok aneh. Begitu pintu terbuka, kamar yang biasanya rapih dan penuh dengan barang kepunyaan bi Gina, kini terlihat kosong, Perasaanku semakin tak enak,. Aku berlari ke dalam kamarku, dan di kamar pun sama tak ada siapapun. Hanya saja bentuk kamar ini masih sama. Bahkan belum ada yang berubah sedikitpun, Jam weker yang berantakan karena aku lempar, selimut berantakan, bahkan noda merah masih terlihat di sana. Semua masih sama seperti saat aku tinggal dulu. Ada apa ini?, kenapa serasa aneh.? Dan kenapa perasaanku menjadi resah seperti ini. Apa yang sebenarnya terjadi?. Ibu? Ya ibu, aku harus kesana dan bertanya apa yang sebenarnya terjadi, Tanpa pikir panjang aku langsung berlari, masuk kedalam mobil dan langsung melaju dengan kecepatan tinggi, tanpa memikirkan keselamatan ku sendiri. Aku semakin penasaran, belum lagi perasaanku semakin tak enak kala kakiku menginjak lantai rumahku. Aku takut, akan hal yang tak pernah ku inginkan. Aku hanya berharap semua baik-baik saja. ♤⇨◆⇦♤ "Masih punya wajah kamu hah!" Bentak ayahku setelah aku sampai di rumah masa kecilku dulu. Ayah terlihat murka saat melihat kedatanganku, tanpa menyuruhku duduk terlebih dahulu, ayah langsung membenta ku dan memakiku, Aku hanya tertunduk diam, menerima semua makian dari ayah, aku merasa memang pantas menerima ini. Aku begitu bodoh telah menyia-nyiakan suami yang begitu tulus menyayangi aku. "Setelah apa yang kamu lakukan, masih berani kamu menampakan wajahmu di hadapan ayahmu ini Alecia!!" "Maaf-" hanya kata itu yang bisa terucap dari mulutku. Aku sudah tak tau harus berkata apa, aku sama sekali tak berani menatap ayah. Ayah terlihat sangat marah, marah dengan tingkah yang telah ku perbuat, hingga membuatnya malu. "Maaf katamu?, setelah apa yang kamu lakukan pada Tomi, hanya kata itu yang bisa kamu ucap?!" Ayah menarik tangan ku dengan kasar, mendudukkan tubuhku, menatap ku dengan tajam, seketika aku langsung menciut, dan hanya menunduk. "Selama ini aku hanya diam, melihat tingkah laku buruk mu itu, aku hanya diam karena Tomi selalu membelamu,!" Nada ayah semakin meninggi, menunjukan betapa murkanya dirinya. "Tomi selalu membela dan menutupi semua perbuatan mu, bahkan dia rela melakukan apapun agar kamu tak terlibat masalah apapun!, tapi apa yang kamu perbuat padanya hah!" "Maaf-... Maaf ayah, aku tau aku salah, ak-" Belun selesai aku mengucapkan perkataan ku, ayah langsung menimpali. "Ya, kmu memang salah, kesalahanmu bahkan sangat fatal," terdengar ayah mengembuskan nafasnya dengan kasar. Menatap ku dengan tajam dan seketika aku menundukkan kepalaku. "Aku merasa gagal dalam mendidik anak, aku tak pernah mengajarimu untuk menjadi perempuan b*****t seperti mu, aku tak pernah mendidik mu untuk berbuat hal yang tidak seharusnya kau lakukan, bahkan kamu sudah seperti jalang Alecia!. Kamu bukan anak ku!. Aku tak pernah mendidik anak seperti mu?", Deg... Seketika aku tak sanggup lagi menahan air mataku. Perkataan ayah begitu menusukku hatiku yang terdalam. Perkataan yang begitu menyayat perasanku. Perkataan yang menunjukan betapa kecewanya ayah terhadapku. Dan aku sangat pantas mendapatkan itu, ini semua karena ulahku, perlakuanku yang tak pernah mencerminkan seorang yang berpendidikan. Aku begitu bodoh, terlarut dalam keterpurukan membuatku lupa, lupa akan segalanya. "Maaf. Ayah maafkan aku.." aku terisak dalam ucapan ku, aku tak sanggup lagi menahan semua rasa sakit ini. "Aku tau, Aku salah. Aku minta maaf, aku ingin memperbaiki semuanya ayah" "Pulanglah, aku sudah tak mau lagi melihat wajahmu" Aku langsung beranjak dan bersimpuh di kakinya, bersujud dan menyesali semua perlakuanku. "Maafkan aku ayah, maaf... Aku mohon maafkan aku" Aku mendongakkan wajahku namun Ayah langsung memalingkan wajahnya, dapat ku lihat dengan jelas pancaran kekecewaan yang tersorot dari matanya. Mata yang terlihat memerah penuh akan emosi, rahan yang mengeras seolah menahan semua luapan emosi itu. "Aku mohon ayah, maafkan aku" "Pulanglah!" nada yang begitu dingin aku rasakan dalam ucapannya, membuat hatiku semakin tersayat. Semurka ini kah ayah. aku sudah semakin lelah, bersimpuh dan berlutut. Mataku semakin sembab dengan air mata yang begitu banyaknya keluar dari pelupuk mataku. "Ayah aku mohon maafkan aku, aku mohon ayah" "Aku bilang Pulang Alecia!, apa kamu tak mendengar ucapku ku!, apa kamu sudah tak menghargai keputusanku!" "Pulang lah dan renungan semua perbuatan mu, aku sudah terlalu muak melihat wajahmu" Aku enggan untuk beranjak, aku tak mau pergi sebelum ayah memaafkan ku, terlebih aku belum tau dimana Tomi. "Aku tak akan pulang sebelum ayah memaafkan ku, dan memberi tau dimana Tomi?" "Aku tak tau dimana Tomi. Lebih baik sekarang kamu pulang atau aku tak akan pernah menganggap mu sebagai anak" Tangis ku semakin meledak mendengar penuturan ayahku. "Ayah...!!" Aku berteriak saat ayah menyeret ku dengan paksa dan menghempaskan tubuhku keluar rumah "Pulang dan jangan kembali sebelum kamu menyadari semua perbuatan mu" Aku terlonjak kaget saat ayah menutup pintu dan membantingnya dengan kuat. Aku semakin larut dalam tangisanku. Bodohnya aku karena telah memalukan kesalahan yang sangat fatal. Dua kali melakukan kesalahan, dan kali ini adalah kesalahan yang mungkin tak akan termaafkan. Aku tertunduk, menangis sejadi-jadinya. Merasakan betapa sakitnya perasaanku. Sepasang tangan membuatku memalingkan wajah. Ku dapati ibu dengan mata sembab menatap ku prihatin. "Pulang, tenangkan dirimu, ibu tau apa yang kamu rasakan." Perlahan ibu membantuku berdiri. Menuntunku masuk kedalam mobil. Menyuruh pak darmo untuk mengantarku pulang. Sebelum itu ibu memberikan sebuah kotak dan secarik kertas padaku. "Ini, titipan dari Tomi sebelum ia pergi, ia hanya menitipkan ini dan berpesan, agar kamu menerima semua dengan lapang, bahkan ia menitipkan sebuah ucapan cinta untuk mu." "Pergi?" "Ya.. Ia telah berpulang. Seminggu setelah kepergian mu, Tomi jatuh sakit, ia kritis dan keluarganya membawanya pergi, dan ibu tidak tau kemana mereka membawanya, hanya saja minggu lalu mereka menyampaikan, bahwa Tomi telah berpulang" Deg... Deg.... Berpulang? Mungkinkah? "Maksud ibu?" tanyaku memastikan. "Kamu yang sabar ya sayang, pulang dan tenangkan dirimu, jangan berbuat hal yang akan menyesalkan dirimu lagi, ayahmu sudah terlihat murka, kamu tak ingin kan jika ayahmu lebih murka dari ini?" "Maksud ibu apa!. Apanya yang berpulang!. " aku berteriak penuh emosi, ini bukan hal yang lucu untuk di buat candaan. Gak mungkin... Gak mungkin Tomi pergi ninggalin aku. Ini semua gak mungkin terjadi. Ibu langsung menari ku dalam pelukannya, mengelus rambutku dan mengecup puncak kepalaku, Sesuatu yang sering ibu lakukan untuk menenangkan ku. "Tenang sayang, ingat jaga janin kalian, jangan sampai kamu kehilangan sesuatu yabg sangat berharga lagi, pikirkan buah hati kalian." "Maaf ibu gak bisa nemenin kamu, ibu harus nenangin ayah kamu dulu, untuk sementara Gina yang akan menemanimu" Aku tak menjawab pertanyaan ibu, tatapanku kosong, kepalaku penuh akan pertanyaan yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Aku hancur...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD