15 - berjalan tanpamu

1882 Words
"Hey... Udah lama nunggunya?" Eca baru saja tiba di tempat pertemuan dengan Linda dan Vita, menyapa mereka tanpa rasa bersalah sedikit pun. Padahal Eca sadar betul jika dirinya sudah membuat kedua sahabatnya itu menunggu terlalu lama, bahkan lebih dari dua jam. "Eh bumil baru dateng, gak lama kok-" Vita menjawab dengan suara imutnya, kemudian mengangkat lengannya, matanya melirik jam tangan yang melingkar di lengannya itu. "Tepatnya 2 jam 43 menit 12 detik kita nunggu di sini, bahkan kita udah ngabisin 4 potong pancake, iihh ... Ibu tega bener nyiksa kita, tau sendiri kan, kalo gini caranya bakal melar kitanya." lanjut Vita, lebih tepat sebuah sindiran untuk Eca tanpa memperdulikan tatapan Eca padanya. "Yap... Bener banget tuh kata Vita, lo bakal sukses bikin kita orang melar." tambah Linda tanpa menoleh, bahkan dengan santainya ia memainkan garpu kecil di tangannya dan mulai memotong kecil kue di atas piring saji di hadapannya, dan memasukannya kedalam mulut, seraya berucap tanpa peduli jika akan ada hujan dadakan karena kelakuannya. "Dan karena lo udah buat kita nunggu, jadi ini makanan lo yang bayar." timpal Linda, menunjuk Eca dengan garpu mini. "Linda, ih. Muncrat kemana-mana, ih!" Protes Vita kesal saat potongan kue berhasil mendarat di wajah mulusnya. Eca hanya mendengkus menyaksikan perdebatan mereka, kemudian mengambil duduk di antara kedua sahabatnya. "Iya tenang aja, berhubung suasana hati gue lagi baik, semua gue bayarin deh, asal jangan tokonya aja." "Wih yang udah nggak sabar pengen liat jenis kelamin calon ekornya, heppy amat bu?" Eca tersenyum mendengar godaan Linda. Tangannya terulur mengelus perut yang mulai membuncit itu. "Iya lah, gue emang udah nggak sabar banget, sumpah rasanya deg-degan" "Ce'ileh ... yang deg-degan, tapi sama sih gue juga deg-degan, debaynya cewe apa cowo ya?" Tangan Vita langsung terulur mengusap perut buncit milik Eca "tapi gue berharap cewek deh, biar bisa gue dandanin kayak boneka cyantikk, kayak tante nya ini," Vita berucap dengan nada manjanya. Sahabat Eca yang satu ini memang terkenal dengan aksen manja yang selalu membuat kedua sahabatnya tertawa dan jengah secara bersamaan. Eca ikut terkekeh saat mendengar keinginan sahabatnya itu, "sama vit, gue juga berharap cewek. Biar sama kayak emaknya, biar bisa tukeran c*****t sama daleman entarnya." "Ebusyett... Orang mah beliin anak yang bagus, ini malah di ajak tukeran, capcay deh." ucap Vita seraya menepuk jidatnya sendiri. "Eh, Tapi Kok gue berharap cowok ya, soalnya seru aja gitu kalo cowok, dan yang pasti kalo cowok itu bakal ganteng banget kayak bapak ... nya" Linda mengakhiri ucapannya dengan nada lirih, ia merasa salah, bahkan tak sadar jika ia menyebutkan kata bapak, yang tak jauh bersangkutan dangan Tomi, dimana Eca sangat sensitif dengan kata itu. Benar saja, setelah mengucapkan kata itu ia melihat Eca yang langsung menundukkan wajah, menyembunyikan wajah rindu yang mendalam, bahkan terlihat jelas matanya mulai memerah. Bodoh kenapa bisa dia salah berucap, keceplosan. Ia memalingkan wajahnya, menepuk mulutnya seraya bergumang 'mulut jahat... Mulut jahat' Vita yang juga melihat perubahan wajah Eca langsung mengelus lengannya pelan berharap memberinketenangan untuk sahabatnya itu, bahkan sekarang mereka semua terjebak dalam keheningan, hanya karna satu kalimat bodoh dari Linda. Merasa tangannya di elus Eca langsung menoleh kearah Vita, kemudian memberi senyum paksa agar kedua sahabatnya itu tak merasa bersalah. "It's ok, gua juga berharap dia cowok kok, biar bisa ngelindungi gua sama kayak bapaknya" Bohong... Tentu saja Eca berbohong dengan ucapannya, jelas saja karena wajah sendunya tak bisa menutupi kesedihannya, semua terlihat jelad di wajah yang mengisyaratkan segala kerinduannya. Jujur walau sudah lima bulan hidup tanpa Tomi, tapi perasaannya terhadap Tomi masih sama, belum berkurang sedikit pun, bahkan makin bertambah besar. Membuat dirinya semakun tersiksa. Selama ini Eca mengalihkan semuanya fikirannya hanya dengan menghabiskan waktunya dengan bekerja dan bekerja, berharap semua ingatan tentang Tomi dapat teralihkan. Dan bersyukur lah dia, karna semua usahanya mampu membuatnya lupa akan sosok Tomi. Walau memamg hanya sejenak, karna malamnya ingatan itu akan kembali hadir bak kaset rusak yang selalu mengulang kenangan pahit yang ia torehkan dulu. "Ok guys, kayaknya udah waktunya deh. Ada yang mau nemenin gua?" Eca memecah kecanggunan mereka, beranjak dari duduknya dan membenahi tasnya, kemudian menoleh ke arah kedua sahabtanya yang masih saja terdiam. "Emm jadi gak ada yang mau nemenin nih?" Eca menjeda ucapannya, menoleh ke arah Linda dan Vita yang terlihat masih diam dengan lamunan mereka masing-masing. "yaudah deh kalo gak ada yang nemenin gua, gua sendirian aja." ucapnya dengan nada yang ia buat seolah bersedih. Tentu saja kedua sahabatnya langsung beranjak dengan panik. Setelah mendengar ucapan Eca. "Cus... Kita berangkat. Gua udah gak sabar banget ini" Eca berusaha tersenyum, antara menutupi luka di hatinya dan senang melihat betapa antusiasnya kedua sahabatnya ini. Entahlah semua itu hanya Eca yang tau. "Ok ok, pake mobil gua aja ya. Gua tau lo orang lagi pada sekarat kan" "Ahai... Gini nih, yang gua demen sama sahabat pengertian gini" "Cih, dasar lo mah selalu ngirit vit, tapi tiap gajian gak pernah kesisa. heran deh gua sama lo, kemana coba duit lo itu" Linda berucap dengan tangan yang tak mau tinggal diam, tentu saja tangannya ia gunakan untuk menoyor kepala Vita. Sedangkan Vita bukannya tersindir atau sakit hati, malah cengengesan tanpa dosa. Mau melawan pun percumah. Linda mengulurkan tangannya kearah Eca. "Biar gua aja yang bawa mobilnya, gak tega gua loat lo bawa mobil" "Uhh perhatian banget sih sahat gua ini." Eca terkikik pelan kala melihat raut wajah Linda yang berubah seperti menahan muntah, kemudiam tangannya mengulurkan kunci pada Linda. Tak lama mereka berjalan beriringan, setelah sampai di tempat parkir meraka masuk di tempatnya masing-masing, Eca di kursi depan sebelah Linda sedangkan Vita di belakang. Sepanjang perjalanan tatapan Eca tak pernah lepas memandang luar jendela. Tatapannya kosong, fikirannya kembali melayang jauh menerka apa yang tengah terjadi pada Tomi, Percaya jika Tomi telah tiada? Jangan harap!, aku gak pernah percaya akan hal itu, karna perasaanku mengatakan jika mas tomi akan ada di sisiku suatu hari jelak, aku yakin akan hal itu. Egois? Biarlah, aku lebih memilih egois menganggap semua masih sama, bahkan aku menganggap mas Tomi masih bernafas, aku lebih memilih hidup dalam bayang-bayang mas Tomi dan berharap semua akan kembali seperti dulu. Dari pada harus menggantikannya dengan orang lain. Karna Nyatanya sekeras apapun aku berusaha untuk melupakannya, tetap saja bayang akan kehadirannya selalu menghampiriku, sungguh tak bisa, aku tak sanggup jika harus melupakannya. Bahkan sampai kapanpun kenangan ini tak akan pernah bisa menghilang begitu saja. Kamu selalu ada di hatiku, sekarang bahkan entah sampai kapan. ➿➰➿ Aku sedikit meringis saat merasakan dingin di bagian perutku, entahlah dokter memberi cream apa di sana, tapi jujur itu terasa begitu dingin. Bahkan Linda dan Bita sudah sangat antusias untuk melihat perkembangan janin dalam kandungannku, aku menggeleng pelan, betapa bahagianya aku masih memiliki mereka yang begitu peduli dengan ku. Yah... 20 menit yang lalu kami sampai di sebuah Rumah sakit dimana aku sudah membuat janji temu untuk memeriksa kehamilanku. Dan disinilah aku sekarang, berbaring di bangker dengar alas matras hitam yang kaku namun empuk. Menunggu semua persiapan selesai. Tak lama setelah itu dokter menyarankanku untuk menatap ke sebuah monitor yang menunjukan gambar hitam putih itu. Sedikit haru saat terlihat bentuk bayi di sana, walau masih terlihat begitu kecil tapi itu mampu membutku terpukau, aku memandang penuh takjub, menghiraukan segala jenis kalimat yang terucap oleh dokter. Semua karna pandangamku aku hanya fokus kearah monitor. "Ca, woy!!! Helloo...." Suara Linda membuatku tersadar dari lamunanku, aku segera menolah kearahnya. "Eh, ya kenapa? "Astaga Eca, dari tadi dokter ngomong sama lo, malah," aku hanya nyengir melihat betapa kesalnya wajah Linda, kemudian aku menoleh kearah dokter yang terngah tersenyum melihatku, kemudian aku terdiam lagi, mendengarkan semua penjelasannya. "Bayinya perempuan bu, dia sangat sehat, hanya saja ibunya jangan terlalu kelelahan dan stres, karna itu sangat mempengaruhi perkemnangan sang bayi" Aku hanya diam, tak bisa menjawab ataupun membantah, semua yang di katakan dokter memang benar, aku terlalu sibuk, bahkan tak memperdulikan kesehatannku, Aku terlalu terobsesi dan selali memikirkan mas Tomi, "Baiklah, semua sudah selesai, nanti saya akan berikan resep vitamin untuk menjaga kondisi ibu" Aku segera beranjak setelah membenahi pakaian yang tersingkap untuk pengecekan tadi, turun daru bangker kemudian duduk dan menunggu dokter menulis resep untukku. setelah mengucap terimakasih aku segera beranjak dan menebus obat. "Wihh beneran nih ponakan kita cewek? Kyaa... jadi gak sabar buat cari baju yang lucu-luci buat keponakan tersayang" Vita langsung saja kegirangan, bahkan sampai melompat-lompat sampai membuat banyak pasang mata menatap kami, dia seolah menunjukan kesenangannya tanpa perduli dimana dia sekarang, bahkan tak peduli dengan tatapan aneh orang yang tengah berlalu lalang. Linda yang terlihat sangat malu langsung saja membekap mulut vita, membuatku terkikik geli, mereka selalu saja seperti ini, tak pernah mengenal tempat dan tak peduli dengan sekitar. Mereka selalu bisa membuatku tertawa di saat apapun. "Gak usah bikin malu ngapa sih, lompat-lompat segala, udah kayak bocah aja lu ini!" Merasa kesulitan bernapas Vita langsung menghempaskan tangan Linda dari mulutnya. "Apa sih lin, ganggu orang lagi seneng aja" Vita menatap tajam kearah Linda, kemudian menatapku dan merubah ekspresi wajahnya, "Abis ini shoping buat debay yuk. Tangan gua udah gatel nih" "Astaga, Vita... Bisa gak sih sehari tapa mikirin shoping, kalo Eca kecapean gimana coba?" Aku tersenyum menatap mereka satu persatu. "Kayaknya belannanya besok aja deh, gua keinget pesen dokter tadi, harus banyakin istirahat. Gua jadi ngerasa bersalah sama bebby gua, selama lima bulan ini gua ajak temput terus. Bahkan waktu istitahat aja jarang", Aku menundukan kepalaku mengelus pelan perut buncitku "anterin gua pulang aja ya, kasian bebby kalo sampek gua kecapean lagi" Aku kembali melihat kearah mereka, dan tanpa di suruh pun mereka langsung mengangguk antusian, bahkan tangan mereka secara serempak menuntunku untuk segera mengikuti langkah mereka. "Ok, sekarang kuta pulang, biar gua buatin kue kesukaan lo begitu kita sampek" Vita menyeretku. Vita memang satu-satunya di antara kami yang palimg jago dalam urussn membuat kue. "Gua bantu..." Seketika langkah ku terhenti karna Vita, ia menoleh kearah Linda, memincingkan sebelah matanya untuk menatap aneh sahabatnya itu. "Bantu apaan?, bantu ngancurin dapur maksud lo?" baru saja Linda membuka mulut untuk protes, namum terhenti karna jari telunjuk Vita langsung membungkamnya kembali. "Sttt... Gua tau banget lo lin, jadi lo diem aja sama Eca, biar urusan dapur gua yang buat" Linda mendengus kemudian menundukan wajahnya "Iya deh pasrah gua mah", namun baru beberapa saat wajahnya langsung terdongak kembali "tapi tapi jatah gua gak di kurangi kan?" "Tenang aja, berhubung gua baik, jadi lo dapet jatah full kali ini" Mata Linda langsung berbinar mendengar ucapan Vita, tentu saja, karna selama ini Linda selalu saja mendapat setengah kue yang di buat Vita, karna yah... Kalian tau sendiri nafsu makan ibu hamil, apalagi aku yang memang hobi makan setelah hamil ini. "Yey...!!" "Asal gak di embat lagi sama non putri ya, lo kan tau senditi gimana bos lo ini" Seketika wajah Linda langsung berubah masam lagi, ia menolah kearahku, menatap dengan tatapan sendunya. "Ck, kalian ini, dari tadi ribut di sini gak malu papa, kita belum kemana-mana loh dari tadi." aku menoleh kearah Vita, kemudian Linda, dan Vita " liat nih Kaki gua aja sampek kerasa pegel" "Hehee maaf neng, nanti gua jatah pijitin deh," aku tersenyum kearahnya. "Sahabat gua emang pengertian yah. Sayang deh sama kalian" "Hehe iya dong, tapi jatah gua jangan lo embat ya, pliss" Aku memutar bola mataku malah, menunggu mereka memamg tak akan sampai di rumah, aku melangkah pergi meninggalkan mereka, kakiku sudah terasa pegal mendengar celoteh tak masuk akal dari kedua sahabatku itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD