16 - Mishael Aisya Talita prastiyo

1654 Words
Dari senja aku belajar menepikan sebuah perasaan. Dari kesendirian aku sadar akan pentingnya sebuah harapan. angin, bolehkah menitip sebuah harap? harap akan datangnya hari esok, hari yang tentu saja mampu meleburkan seluruh perasaan hati. Atau bolehkah aku bermimpi akan datangnya kesempatan kedua? Jujur aku sangat mengharap akan datangnya sosok dirinya. Sungguh, aku tak sanggup jika menghadapi ini sendiri. Ku mohon, jangan kau pupus kan semua harapan kecil ini, harapan yang tak tentu akan akhir, walau semua semu, tapi aku sangat berharap akan suatu keajaiban. Kenapa, kenapa kenangan mu begitu menikam ku. Perlakuan manis dan sifat penyabar mu kenapa begitu membuat hati ini begitu teriris. Perih kini ku rasa, semua perlakuanmu hanyalah tinggal sebuah kenangan. Salahkah jika aku berharap? ataukah memang sudah tak ada harapan untukku? lalu? apakah aku bisa berdiri tanpamu? Tanpa semua semangat darimu? Jujur aku tak sanggup. Maaf beribu maaf hanya bisa ku utarakan untuk kamu yang akan selalu ku kenang selamanya di hati ini. Kehampaan ini begitu mengajarkan ku betapa pentingnya kehadiranmu dalam hidupku., aku begitu berharap semua akan menjadi sempurna di akhir. dari keterpurukan aku mengerti, tak ada manusia yang terlahir sempurna, semua sama, bisa melakukan kesalahan. bahkan sangat fatal sekalipun. Begitupun aku, Karena aku sendiri hanyalah sosok wanita yang sama, wanita yang tak luput dari kesalahan dan dosa. Aku menatap bayanganku di cermin, menatap tubuh polosku dan melihat betapa besarnya perutku. 9 bulan mengandung tanpa ada orang yang begitu berarti di sisiku, bahkan untuk sekedar menuruti rasa ngidam yang aku alami, aku hanya di bantu kedua sahabatku dan orang-orang terdekatku. Bahkan jika putriku sangat ingin merasakan belaian ayahnya, aku hanya bisa memberikannya kemeja mas Tomi, kemeja kotor yang sengaja tak pernah aku cuci selama ini, mungkin akan sangat aneh bagi kalian, tapi tidak denganku. Walau hanya bisa mengendus bau kringat yang tertinggal di bajunya, tapi itu sangat cukup untukku, karna dengan itu aku bisa merasa tenang, dan sedikit mengurangi interaksi yang ada di perutku, dan tentu saja rasa rinduku terhadapnya. Disini aku tak bisa menyalahkan siapa-siapa. Karna semua ini murni kesalahanku. Aku rasa ini hukuman yang pantas intuk istri durhaka sepertiku. Aku memang pantas mendapatkan ini semua. Aku terdiam, tanganku perlaham turun, mengelus pelan perutku saat merasa ada sebuah tendangan di sana. Walau merasa sedikit nyeri namun aku tersenyum karna bisa merasakan ini. Perasaan yang sulit untuk di jabarkan. "Kenapa sayang?, kamu kedinginan ya?" terus saja aku mengelus perut ku. Perlahan aku bisa merasa tendangan itu lagi. Senyumku masih bertahan lada posisinya. Aku kembali mengelus dengan penuh sayang. "Baiklah. Ibu akan selesaikan ini. Dan kita akan kembali istirahat ok?" tak ada interaksi di dalam sana, membuat aku segera menyelesaikan kegiatannku, serlah selesai barulah aku mmengenakan pakaianku dan kembali beranjak kedalam kamar, merebahkan tubuhku di sana. Tanganku neraih ipod yang tergeletak di atas nakas. Ke kenakan headset di kedua telingaku dan barulah aku menekan tombol play di sana. Seketika lantunan lafalan surah Al-Quran yang begitu merdu dan begitu menenangkan itu mengalun indah di telingaku. Kugerakan tanganku perlahan, mengelus pelan perut buncitku. Aku ingin semua berjalan dan mengalir seperti apa yang akan tuhan rencanakan. Di sini aku hanya bisa menjalankan dan bersyukur dengan apa yang telah tuhan berikan padaku. Apapun aku akan selalu bersyukur tanpa keluhan. +++ Hari berlalu begitu cepat. Usia kehamilan Eca sudah memasuki bulan kesembilan, bulan yang di rasa begitu berat karna konteraksi yang ia rasakan setiap saat. Belum lagi perut yang begitu besar menyulitkan dirinya untuk beraktifitas, jangankan melakukan kegiatannya, untuk bergerak saja Eca sudah kesusahan setengah mati. Seperti pagi itu, setelah melakukan kewajibannya, Eca mulai bergerak keluar dari dalam kamar. Niat awalnya hnaya ingin membuat sarapan yang begitu ia inginkan. Hanya saja baru ia sampai di ruang tamu, tendangan dari dalam perutnya membuatnya ia meringis karna rasa nyeri itu, tangannya nerabah bagian kepala sofa, merebahkan tubuhnya di atas sofa dengan perlahan. "Sayang. Kamu ini kenapa sih, baru aja di ajak ibu gerak dikit udah protes, manja beber loh kesayangannya ibu ini" Tendangan berikutnya tentu saja membuat Eca kembali tersenyum walau rasa nyeri itu ia rasakan. Gina yang sedari tadi sibuk dengan urusan dapurnya kini bergerak dengsn terpogoh-pogoh menghampiru Eca yang tengah berada di ruang tamu. "Non, udah bangun?, kok gak panggil Gina?, terus ini kenapa ini kok di sini sambil meringis-meringis gitu?, ada yang sakit non?" Eca tersenyum mendengar penuturan teman serumahnya itu, orang yang selalu menjadi sosok siaga dan selalu cemas dengan apapun keluhan Eca, sosok yang bisa di katakan menjadi pengganti suaminya. Bahkan Gina lah yang lebih banyak memenuhi keinginan ngidam yang begitu aneh-aneh. Eca menggeleng pelan sembari memberi senyuman tulusnya itu. "Gak papa kok bi, cuma si dedek ini main tendang aja dari tadi" Kini Gina lah yang tersenyum menggantikan raut wajah cemasnya tadi. "Masih pengen di ajak tiduran kali non, biasanya kan gitu. Jam segini mana pernah bagun, yaudah non rebahan aja di kamar" Eca mengangguk pelan, kemudian dengan di bantu oleh Gina, Eca mulai beranjak dan bergerak pelan ke dakam kamarnya. Namun baru saja ia sampai di deoan pentu kamar. Perutnya rrasa begitu nyeri dan mulas,membuat Eca meringis merasakan itu, bahkan kini tubuhnya sudah nerosot di atas lantai. Gina yang menyadari itu, ikutan panik. Kalau boleh jujur baru kali ini lah Gina mengurusi orang hamil. Pengalamannya begitu meninim karna ia belum pernah hamil. Jangankan hamil, menikah saja dirinya belum pernah. Dengan raut panik itu, fikiran Gina masih bisa berkonsentrasi, di raihnya ponsel yang ada di saku celananya, dengan gemetar jarinya itu mulai mencari kontak sang majikan tertua, setelah mendapat apa yang ia caribarulah ia melakukan panggilan, sembari menunggu Gina yang semakin panik hanya bisa menenangkan Eca yang masih merigis kesakitan itu. "Halo nyonya, ini nyony..., non Eca lagi kesakitan nya" ucap Gina panik, seketika ia ingat, seperti di sinetron yang sering ia tonton, jika di dalam sinetron wanita yang tengah hamil tua dan meringis itu menandakan jika akan melahirkan. "Nya,kayaknya non Eca bakal lahiran deh, gimana ini nya?" Di sebrang sana, orang tua Eca seolah sudah biasa dan hanya bersikap tenang, kemudian memberi arahan untuk Gina, yang tentu saja segera ia lakukan. "Yaudah kamu jangan panik gitu. Yang ada malah berabe, sekarang mendingan kamu bawa Eca ke rumah sakit, nanti bapak sama ibu nyusul kesana." Dan tentu saja yang pertama sekali Gina lakukan adalah membawa Eca ke rumah sakit, di bantu supir pribadi keluarga Eca. Dengan kecepatan tak terlalu cepat, mobil pun membawa Eca yabg terngah meringis itu. "Sabar non, sebentar lagi kita sampek kok," "Sakit bi..." ringis Eca, merintih sembari merasakan perut yang begitu nyeri. "Iya non. Bibi bisa liat itu, non yang sabar ya, sebentar lagi kita sampek kok" Eca mengangguk sembari merintih, mermaih tangan kiri Gina, meremasnya dengan kuat, seolah menyalurkan rasa sakit itu. Tepat seperti apa yabg di ucapkan Gina, tak selang 15 menit. Mereka telah sampai di rumah sakit, gina segera turun dan meminta bantuan para suster, di bantu dengan para suster dan pak jono sang supir pribadi, kini Eca sudah berpindah pada bungker yang di gunakan untuk memindahkan para pasien. Dengan segera Eca sudah di bawa masuk kedalam ruangan persalinan. Ginamenunggu di luar dengab perasaan cemas. Tak beberapa lama, kedua orang tua Eca datang terpogoh-pogoh. "Gimana Eca?" tanya Karin, begitu sampai di hadapan Gina. "Masih di dalem nya, masih di tangani sama dokter" Karin hanya mengangguk pelan, kemudian duduk di kursi tunggu tepat di sebelah ayah Eca. "Semoga semua berjalan lancar, mah" ujar sang ayah Eca pelan yang di tanggapi dengan anggukan pelan dari Karin. Karin tau, suaminya itu memang keras dan belum bisa memaafkan kelakuan putrinya itu, hanya saja sekeras apapun suaminya, tetap saja suaminya itu masih begitu peduli dengan keadaan Eca, semua terlihat jelas dan orsng tua mana yabg begitu tega dan membiarkan buah hatunya terlantar. Walau perkata kasar terucap dari mulut suaminya itu, tapi tetap saja, Eca tetaplah anak yang membanggakan di mata suaminya, walau memang di awal kelakuan Eca tak termaafkan lagi. Tapi manusia memanglah selalu berbuat kesalahan, tinggal bagaimana mereka menanggapi dan merubah semua agar menjadi lebih baik lagi. Ayah Eca beranjak dari duduknya, begitu cemas dengan keadaan putri semata wayangnya itu. "Ayah ke mushola dulu, mama tunggu di sini dulu" Karin kembali mengangguk, memandang punggung suaminya yang telah berlalu. Karin tersenyum wajar melihat suaminya itu, dia tau jika jika suaminya tak akan tahan danvm tega jika terus di sinu dan mendengar teriakan Eca walau begitu oelan. Tapi sungguh teriakan dan rintihan itu begitu menyesakan di hati para orang tua. Waktu terus berputar, menit berganti menjadi jam, dan sudsh dua jam lebih Eca di dalam. Para dokter pun sudah memberi kabar jika Eca sudah sampai pada pembukaan ketujuh. Berarti tak akan lama lagi bukan. Tapat pada pukul 10:17 suas tangisan bayi membuat sepasang suami isrti yang baru saja menyandang setatus kakek dan nenek tersenyum dan berucap syukur. Pintu ruanga terbuka, keluarlah suster yang tengah menggendong bayi bertubuh montok sembari tersenyum kearah Karin dan suaminya. "Selamat pak bu, cucunya perempuan, lahir dengan keadaan sehat dan lengkap" Butiran air mata Karin mulai keluar membasahi pipnya, rasa bahagia dan haru bercampuk aduk di dalam diriny, bahagia karna iantelah menjadi seorang nenej dan terharu karnya tak menyabgka jika Cucuknya akan mengalami hal seperti ini, lahir tanpa seirang ayah di sisinya. "Jadi mau langsung di adzani atau nanti?" Bimo ayah Eca langsung beranjak maju, "Sekarang aja sus", meraih bayi montok itu kedalam rengkuhannya dan mulai mengumandangkan lantunan Adzan di telinga bayi mungil itu. Barulah setelah itu Bimo menyerahkan kembali pada suster yang tadi. "Apa kami sudah boleh melihat keadaan anak kami" Karin yang sedari tadi terhanyut dengan suasana kembali bersuara. "Tentu, mari, ibu Falecia sudah menunggu ibu di dalam" Karin mengangguk, beranjak mengikuti langkah sang suster. Setelah melewati pintu ruangan itu, terlihatlah Eca yang tengah berbaring lemah tak berdaya. Kakinya segera beranjak mendekat di rengkuhnya tubuh Eca. "Selamat sayang, kamu sudah menjadi ibu sekarang" Eca menganggu lemah, "Jadi siapa namanya?" Eca menatap wajah putri kecilnya itu, tersenyum penuh arti sembari mengelus lembut wajah Putrinya itu. "Mishael Aisya Talita Prastiyo, sosok yang akan menjadi cahaya penerang dalam kehidupan, sosok pencerah dan pelengkap di dalam keluarga prastiyo"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD