17 - secercah harapan

1330 Words
Hari ini adalah hari pertama Eca kembali ke kantor selama satu tahun ini. Cuti dan fokus membesarkan buah hatinya. Dirinya memang serius dalam mengurus dan melihat perkembangan Misel, bahkan selama Eca cuti, dirinya sama sekali tak menyentuh pekerjaan sedikit pun, mungkin hanya memberi tandatangan pada berkas yang memang membutuhkan tanda tangannya. Satu tahun telah Eca lalui, hari-harinya selalu penuh kebahagiaan, apalagi setiap melihat pola kembang buah hatinya, semua masih terekam jelas di ingatan Eca. Mulai dari Misel yang bisa mengucap kata ibu untuk pertama kalinya. Menemani Misel ngobrol di saat tengah malam putrinya itu terbangun, menjaga dan mengawasi pergerakan putri kecilnya itu saat mulai aktif merangkak. Melatih si kecil berjalan, menitah kesana kemari hingga pinggangnya merasa pegal bukan main karena terlalu lama menunduk, kaki yang bengkak karena selalu menitah dan menggendong Misel kala lelah. tapi kembali semua itu tak terasa saat melihat tawa gadis mungilnya itu, Dan betapa senangnya saat ia melihat Misel bisa berjalan. Seperti sekarang ini, Eca berjalan dengan sabar menuju ruangannya, mengikuti langkah kecil putrinya, bukan tak ingin menggendongnya hanya saja, Misel tidak mau di gendong, ia lebih senang berjalan, walau ya, Kalian pasti tau jalan seorang balita seperti apa. Jika pandangannya menemukan sesuatu yang menarik, pasti balita itu akan akan berbelok dan berjalan menuju ke tempat yang membuatnya penasaran, dan Eca dengan sabarnya mengikuti pergerakan putri kecilnya. Misel yang begitu menggemaskan, banyak mengundang perhatian karyawan Eca, hanya untuk sekedar menoel, atau mencubit pelan pipi gembul Misel, Eca tidak melarang akan hal itu, dia malah senang jika putri kecilnya itu di sukai dan di terima oleh banyak orang, bahkan di usia yang masih belia ini, Misel mampu mengambil hati banyak orang yang melihatnya. "Sayang, mau kemana lagi? Kita udah muter-muter lo dari tadi, Misel gak capek?" Eca berjongkok di depan putri kecilnya, membersihkan pipi Misel yang kotor akibat noda kue yang dimakannya. Sedangkan Misel hanya menoleh dan menatap Eca, bersuara layaknya balita yang tidak di mengerti Eca, sejurus kemudian Misel merentangkan kedua tangannya untuk meminta gendong. Dengan sigap Eca langsung membawa putri kecilnya itu kedalam gendongannya, kemudian bergerak kearah Lift. Tangan Misel tak pernah mau diam, bahkan sekarang tangannya sibuk berusaha membuka kancing kemeja ibunya, Eca yang melihat itu hanya tersenyum, ia tahu jika putri kecilnya itu sedang kehausan, maka dengan cepat ia berjalan dan masuk kedalam lift, menekan tombol lantai Ruangannya dan menunggu. Bahkan untuk mencapai Ruangannya Eca bisa menghabiskan waktu selama satu jam hanya untuk mengikuti kemana langkah kaki kecil putrinya pergi. Dan akhirnya Eca bisa bernafas lega, sekarang dia bisa duduk di sofa Ruangannya dan menyusui putrinya dengan tenang. Eca bersenandung kecil, menyenandungkan sholawat nabi, dengan memainkan tangan mungil Misel, kebiasaan yang Eca lakukan saat menyusui putri kecilnya ini. Mungkin karena senandung kecil itulah yang berhasil membuat Misel terlelap dengan cepat. Seperti sekarang, baru beberapa menit Misel menyusu, kini dia sudah terlelap dan melepaskan p****g Eca dari mulutnya. Lagi-lagi senyum Eca mengembang melihat pola sang buah hati, dengan perlahan Eca membawa kedalam kamar istirahat yang ada di ruangannya. Meletakkannya dengan sangat perlahan, kemudian mengapit Misel dengan guling kecil yang sengaja ia bawa. Eca sengaja tidak menutup pintu, tentu saja agae bisa meliha polaisel, terlebih jika Misel terbangun dari tidurnya, bahkan sebelum ini Eca sudah merubah posisi tata letak ruangannya, tentu saja ini agar Eca bisa mengawasi putri kecilnya itu. Baby sitter? Jangan tanyakan itu, Eca tidak mau menggunakan jasa baby sitter, ia merasa masih mampu mengawasi dan melihat tumbuh kembang Misel, jadi untuk apa menggunakan jasa baby sitter. Di tengah kesibukannya Eca tersadar saat mendengar pintu Ruangannya di ketuk. "Masuk!" Tak lama pintu Ruangannya terbuka, Sara, sekretarisnya masuk dengan membawa banyak berkas di tangannya. "Maaf bu, ini berkas-berkas yang ibu minta" ucapnya setelah meletakan berkas itu di atas meja. "Terimakasih, Sara." Eca meraih berkas paling atas dan mulai membukanya. "oh ya, bagaimana kandungan mu, saya dengar kamu tengah mengandung?" Sara bersemu malu saat Eca menanyakan hal itu. "Eh iya bu. Alhamdulillah sehat bu," Eca tersenyum menatap kearah Sara. "Syukurlah, kamu jangan terlalu lelah saat bekerja, bahkan jika kamu ingin, kamu bisa mengambil cuti dari sekarang." "Eh tidak perlu, bu. entahlah jika saya di rumah saya merasa sangat bosan, sangat berbeda saat saya melihat daftar pekerjaan saya, rasanya saya malah lebih semangat" "Em, baiklah, tapi kamu jangan memaksakan diri. Perbanyak istirahat" "Iya bu, terimakasih". "Yasudah kembali ke mejamu, kamu sudah terlalu lama berdiri". "Baik. Bu permisi" Eca hanya mengangguk sebagai jawaban, ia kembali fokus pada pekerjaannya, mengecek semua berkas yang selama ini ia tinggal. ➿➰➿ Tangisan Misel menghentikan kegiatan Eca, ia segera beranjak, menghampiri putri kecilnya yang sudah terduduk, tak biasanya putrinya bangun langsung menangis seperti ini, apa mungkin karena ini kali pertamanya ia tidur di tempat asing, mungkin saja. Eca segera mendekati putrinya, mengangkat dan membawanya ke dalam gendongannya. "Uuuhhh... kesayangannya ibu udah bangun, kok nangis sih?" "Buu...." "Iya sayang, ibu di sini, kenapa nangis, hm?" Tanya Eca berusaha menenangkan buah hatinya. Tidak ada jawaban dari Misel, hanya pelukan erat dan tangis yang mulai berubah menjadi senggukan. Perlahan tangisan itu mereda, namun tak urung mengendurkan pelukannya. Eca semakin gemas di buatnya, mengelus dan mengayun pelang tubuh montok itu dalam gendongannya, berharap Misel akan tenang dan mulai beradaptasi dengan tempat barunya. "Sayang gak haus? gak mau nenen, kok kenceng bener meluk ibunya?" Tanya Eca, berusaha mengurai pelukan Misel. Mendengar kata nenen, Misel mengendurkan pelukannya, wajahnya mendongak menatap manik Eca, kemudian berpindah pada d**a sang ibu, dan dalam sekejap wajah Misel sudah tenggelam di antara d**a Eca. "Uhh lucunya kesayangan ibu, Misel haus ya, yaudah nenen sekarang yuk", Eca membawa Misel duduk ditepi ranjang, kemudian membuka kancing bajunya dan mulai menyusui Misel, Tangan Eca tak hanya diam, selalu saja bergerak kemana pun yang ia inginkan, mengelus puncak kepalanya, kemudian turun mengelus pipi gembul dan berakhir memainkan hidung mancung milik Misel, bahkan mulutnya pun bergumang dengan irama yang menenangkan. bersenandung kecil yang membuat Misel ikut memainkan tangannya meraih apapun itu, bahkan jari kecilnya masuk kedalam mulut Eca, seolah penasaran melihat bibir Eca yang bergerak karena bersenandung, tentu saja jari itu membuat Eca berhenti karena gemas dan berakhir menggigit pelan jari mungil itu. Hal yang tak akan pernah Eca bosan, baginya kehadiran Misel dan tingkah menggemaskannya, seolah mampu menghilangkan bayangan Tomi, walau hanya sesaat. Bahkan tingkah Misel mampu menghilangkan rasa penat yang Eca rasakan, kehadiran Misel adalah pelengkap bagi kehidupannya. ➿➰➿ aku beranjak dari ranjang, membuka pintu balkon, dan segera beranjak berdiri di balkon kamar dengan kedua tangan memeluk tubuh. memandang indahnya malam, semilir angin malam menerpa wajahku membawa rambutku berterbangan kesana dan kemari, memberikan udara dingin yang menusuk pori-poriku. walau malam gelap tanpa bintang, tapi semua sama, sama seperti yang aku rasakan saat ini. Pikiran ku kembali melayang, ingatan itu kembali terputar dalam benakku. Ingatan dimana mas Tomi yang selalu sabar menghadapi sifat dinginku, sosok yang begitu perhatian terhadapku. Dan sifat penyayang yang tak akan pernah aku lupakan. Kini aku terjebak dalam belenggu bayang-bayang masalalu yang selalu berhasil membuat ku terpuruk, menanti sebuah harapan akan datangnya keajaiban. namun, semua itu seolah tak lagi berpihak padaku, Setelah apa yang kulakukan dulu. Setelah apa yang nasib berikan padaku. namun, dengan bodohnya aku malah menyia-nyiakan kesempatan itu. Kini, semua hanya tinggal harapan semu. Hidup dalam bayang-banyang membuatku terlalu banyak berharap. Lalu salahkah jika aku berharap banyak? salahkah aku jika sekarang menjadi wanita paling egois karena mengharapkan kehadirannya? Jika iya... maka ucap maaf ku ucapkan. Aku hanyalah wanita biasa yang selalu menanti akan datangnya dirimu dalam kehidupanku. Mengharap belas kasih pada waktu agar mengijinkan ku bertemu dengan mu. Sosok yang begitu aku damba, dan ku rindukan. Berharap akan datang secercah harapan untuk bisa merasakan kehadiranmu. lalu? Masih adakah orang yang terlalu asik menyia-nyiakan waktu? Atau masih banyak kah orang yang selalu menyia-nyiakan kesempatan? Bahkan meninggalkan sosok yang selalu ada untuk kita begitu saja, sosok yang mungkin begitu berarti namun tak pernah kita sadari. Maka cobalah kembali kedalam diri kita, lihat dan renungkan. Waktu yang telah berlalu tidak akan pernah mungkin untuk terulang kembali. Jika pun ada, itu bukan terulang, melainkan kesempatan kedua, dan itu amat jarang terjadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD