18 - apa aku punya ayah?

1381 Words
"Sayang bangun yuk, udah siang nih. Kamu gak sekolah" aku duduk di sisi ranjang tempay tidur Tasya, dengan sabar aku membangunkan buah hatiku ini. Mengelus puncak kepalanya dengan sayang. "Sayang, hey. Bangun dong udah siang ini" Aku sedikit menepuk pipi gembulnya membuat ia membuka matanya perhalan. Tangan tembemnya ia gerakan untuk mengucek matanya, terlihat masih mengantuk, tapi tetap saja harus bangun karna tuntutan sekolahnya. "Pagi bu..." Ucapnya setelah matanya terbuka dengan sempurnya. "Pagi... Bangun yuk, udah siang. Kamu gak mau kan kalo sampek telat kesekolah" Aku membantunga untuk bangun, dan dengan malas akhirnya Tasya mau membangunkan tubuhnya, bergersk dengan lesu ke arah kamar mandinya. Aku hanya menggeleng melihat tingkah anak semata wayangku itu. Sembari terseyum aku mengikutinya ke kamar mandi. Namun langkahku terhenti karna ucapannya. "Buu. Tasya mandi bisa mandi sendiri. Malu ih di mandiin ibu terus" ucapnya dengan wajah cemberutnya. Astaga anakku sudah besar ternyata. Aku masih saja tersenyun menanggapi ucapannya. Mengacak rambutnya pelan. "Yaudah tasya mandi sendiri. Ibu siapin bajunya aja ya" Tasya pun mengangguk, masuk kedalam kamar mandi dan memulai ritual paginya. Aku segera bergegas mengiapan seragamnya dan setelah selesai aku langsung beranjak ke dapur. Menyiapkan makanan dan bekal yang sudah aku buat pagi tadi. Hari yang selalu sempurna. Dan karna kehadirannya pula aku sekarang menjadi ibu yang overprotektif, mejaga dan memantau segala aktifitasnya. Bahkan tak jarang aku selaku mengundur pertemuan penting di kantor demi menjemput anak semata wayangku itu. Tentu saja, aku tak mau melewatkan hal sekecil apapun dalam masa perkembangannya, aku tak mau sampai menjadi wanita yang menelantarkan anak hanya karna pekerjaan. Pekerjaan bagiku hanya sambilan, Rezky sudah ada gang mengatur, dan prioritasku sekarang hanyalah tasya. ♡•◆•♡ Pagi ini aku membuatkan menu kesukaan tasya, tahu telor yang aku masak dengan bumbu saus asam manis. Menu yang paling di sukai tasya, bahkan tasya selalu tambah jika aku masak makanan ini. Yah... Setelah anakku semakin tumbuh aku mewajibkan diriku untuk bisa memasak, bahkan aku sampai mengikuti kursus masak hanya demi anakku. Tentu saja gak mau jika Tasya makan makanan cepat saji, atau makanan restoran, selain gak sehat, aku gak mau anakku gak pungaj kebanggan tersendiri tentang ibuny. "Sayang, udah belum sih siap-siapnya?" Aku sedikit berteriak saat menyadari Tasya terlalu lama di dalam kamar. Setelah selesai dengan urusan makanan aku langsung melangkah kedalam kamar. Seketika tawaku langsung pecah saat melihat penampulan tasya. "Sayang, kamu pake bajunya gimana sih?, kok bisa sampek kayak gitu" Aku menggeleng tak percaya melihat tingah anak ku ini. Lihatlah betapa lucunya dia. Memakai seragam sekolah dengan asal, Kancing baju yang tak pas pada tempatnya. Rok yang tinggi sebelah. Belum lagi rambutnya yang di ikat asal. Astaga, sungguh menggemaskan buah hatiku ini. "Sini-sini biar ibu bantu". Aku segera mendekatinya, membuka kancing bajunya dan memasangkannya lagi, membenahi letak Roknya. Setelah rapih aku langsung meuntunnya ke depan meja kaca yang ada di kamarnya. Aku mendudukan tubuhku di sana, memangku Tasya kemudian mulai menyiris rambut ikalnya. "Ibu rambut tasya di kepang aja ya?" "Ok princes. Mau di kepang dua apa satu?" Terlihat Tasya tengan berfikir, mengetukan jari mungi itu di pipi gembulnya. "Emm... Bagusnya satu apa dua bu?" "Emm Kayaknya bagus dua deh, berhubung rambut Tasya udah panjang, ibu kepang jadi dua aja ya?, tapi yang di kepang sebagian aja ya, yang di pinggir ini" Ucapku menunjukan bagian mana yang akan aku kepang. "nah nanti di ibu iket kebelakang, pasti bagus deh." "Beneran bagus bu?" Tanyanya antusias. Tasya memang selalu seperti itu, suka dengan hal yang mengangkut kecantikannya. "He'um" Sorot matanya langsung berbinar, dengan cepat ia mengangguk "Yaudah bu, Tasya mau". Aku hanya tersenyum. Melanjutkan kegiatanku, menyisir dan mengepang denga sabar. Dan ternyata hasilnya sesuai perkiraanku. Cantik dan terlihat pas. Belum lagi rambut ikalnya yang terlihat seperti di roll. Semakin membuatnya terlihat cantik. Namun detik itu juga aku kangsung teringat Tomi kala melihat rambut tasya, tomi memikiki rambut ikal dan hidung mancung, sama persis dengan milik Tasya. Menginat nama itu sedikit membuka luka lama ku. Rasa rindu akan sosoknya terkadang membuatku semakin sakit. Tapi mau tak mau aku harus menahannya, aku jelas tak mau Tasya melihatku bersedih. Akan Runyam jika sampai Tasya tau dan menanyakan sosok ayahnya. "Nah udah siap, gimana cantik kan" Aku berucap seraya memajukan tubuhku melihat penampilannya dari depan. Tasya langsung terpekik senang saat melihat penampilannya "Eh iya bu, Tasya jadi cantik. makasih ya bu" ucapnya seraya memeluku erat. "Iya sayang sama-sama. Yaudah yuk langsung makan aja" "Yuk deh bu. Tasya juga udah laper". Tasya langsung melompat dari pangkuanku, berlari kemeja makan, dan langsung bertetiak senang. "Yeee ibu masak tahu telor" Aku hanya menggeleng melihat tingkahnya, anak yang penuh semangat. "Iya dong, kan kesukaan anak kesayangan ibu, jadi ibu masakin ini" Aku langsung menghampirinya. Mengambilkan nasi dan tahu telor, sedikit banyak dari porsi biasanya. Karna aku yakin ia akan tambah. "Nih. Makan yang banyak bisr cepet besar" ucapku seraya meletakan piring yang sudah terisi di hadapannya. "Ok bu!" Aku langsung menahan tangannya yang akan memasukan nasi kedalam mulutnya, "Ehh, bedoa dulu dong sayang, main embat aja sih" Kebiasaan yang gak pernah berubah kalo liat makanan kesukaannya. "Hehe lupa bun" jawabnya cengengesan, kediman mengangkat tangannya dan berdoa dalam dian. Aku hanya tersenyum melihat tingkah lucunya. Sesaat setelah itu kami melanjutkan acara makan dalam diam. Namun aku melihat perubahan ekspresi wajahnya, dan nafsu makannya oun seolah mulai mengurang. Aku yang melihat ith hanya mengerutkan keningku bingung. Mungkin setelah makan akan ku tanya. Gak baik kalo aku bertanha sekarang, sedangkan makanan kami belum habis. Aku melahap makanannku dengan tatapan yang tak lepas dari nya, selalu memperhatikan kegiatannya yang terlihat semakin lesu. Apa yang sedang di fikirkannya. Kenapa nafsu makannya seperti menghilang. "Sayang... Kamu kenapa kok nggak nafsu makan gitu?" tanyaku saat makanan kami sudah kandas kedalam dan berlabuh perut. Tidak ada jawaban dari Tasya, hanya gelengan lesu yang membuatku semakin bingung. "Sayang, kenapa ... coba deh cerita sama ibu." Aku masih saja membujuknya agar dia mau berbicara. Terlihat ragu, Tasya mulai membuka mulutnya kemudian menutupnya lagi. Aku masih sabar menunggu perkataamya. "Bu... Apa tasya punya ayah? kenapa teman-teman tasya selalu di antar jemput ayahnya tapi tasya nggak?" Pertanyaan sederhana yang mampu menghentikan aktivitas ku membereskan piring kotor. Aku menoleh ke arah anakku, menatapnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan akan makna yang ada. Jadi ini yang membuat selera makannya hilang. Apa dia mulai merindukan ayahnya? Jujur ini adalah pertanyaan yang aku takutkan selama ini, lebih tepatnya aku hindari, karena jelas aku belum memiliki jawaban untuk pertanyaan itu. "Loh, tasya hari ini ada pelajaran menggambar kan? udah di siapin alatnya?" Hanya pertanyaan itu yang keluar dari mulutku, berharap Tasya akan teralihkan walau hanya sesaat. "Emm iya bu. Udah aku siapin kok, tapi-tapi cat airku abis bu, jadi gak bisa ngelukis deh" jawabnya dengan wajah cemberut. Aku sedikit bernapas lega saat pertanyaan buah hatiku bisa teralihkan. Maafkan ibu sayang. Ibu belum bisa menceritakan semuanya, ibu belum siap, dan ibu belum percaya tentang berita itu. Ibu masih ragu untuk mengambil keputusan itu sayang. "Yaudah yuk kita berangkat, nanti telat" Ajaku yang hanya di angguki Tasya. Kemudian kami langsung beranjak. Menghantarkan Tasya adalah rutinitas oaviku sebelum ke kantor. Selama di perjalan, Tasya tak seriang biasanya, hanya bedian dan berdehem mengikuti irama lagu dari radio. Aku sedikit cemas dengan perubahan sifatnya. Tapi aku tetap tak bisa berbuat apa-apa, semua di luar kendaliku. Tak lama kamu pun telah sampai di sekolah Tasya, perlahan Tasya melepas sabuk pengaman, menggendong tasnya. Kemudian menatapku dengan senyum manisnya. Senyum yang mampu memberiku ketenangan, Senyum yang sama seperti milik Tomi. "Bu, Tasya sekolah dulu ya" pamit tasya menyalami tanganku dan mencium punggung tanganku saat mobil ku terparkir di depan gerbang sekolahnya. "Iya sayang, kamu belajar yang pinterbya sayang, nanti ibu jemput kamu" aku mengelus puncak kepalanya, mengecup keningnya dengan lembut, kemudian membiarkannya berangkat ke sekolah. Aku menatap punggung Tasya dengan nanar. Ada rasa sakit yang menyayat hatiku. Apa aku sanggup. Apa aku mampu untuk mempercayai kabar berita itu. Tak terada bulir air mataku terjatuh dengan sendirinya. Melihat nasib anak semata wayangku yang harus tumbuh besar hanya dengan seorang ibu.. Dimana kamu mas, apa memang kabar itu benar adanya, lalu apa yang harus aku jawab, apa aku harus memberi tahukan yang sebenarnya pada buah hati kita, Jujur aku belum sanggup untuk memberi taukan hal itu. Aku percaya jika kamu masih ada. Karna perasaanku selalu mengatakan itu Aku mohon lekaslah kembali mas. Anak kita membutuhkan mu, begitu pun aku
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD