6.1 - jangan hiraukan aku

1481 Words
Janji setiaku 6.1 - jangan hiraukan aku Berpura-pura bahagia adalah hal yang paling melelahkan yang pernah Eca lakukan, di mana dia harus memasang senyum palsu hanya untuk membuat orang-orang di sekitarnya ikut merasa kebahagiaan palsu yang sudah dia ciptakan. Sebenarnya dia ingin segera pergi dari tempat ini, atau setidaknya kembali ke kamar dan merebahkan tubuhnya di kala rasa lelah itu mulai terasa. Berdiri dan menyambut beberapa tamu, lalu tak jarang juga dia harus itu turun untuk menyapa para kolega yang sengaja datang di acaranya kali ini, kakinya benar-benar terasa sangat pegal. jika saja dia bisa mengeluh, mungkin sepasang kaki itu akan memberi sebuah protestan keras karena Eca tak sekalipun membiarkan sepasang kaki itu untuk beristirahat. "Capek?" Dia melirik kearah samping, tepat di mana pria yang sudah menjadi suaminya itu bertanya dengan senyum ramah seperti biasanya. beberapa kali bertemu seolah membuat Eca sadar jika Tomi adalah pria yang sangat mudah tersenyum di segala kondisi. Dan kini, walau dia menebak jika Tomi juga merasa sebuah tekanan yang sama dengan dirinya, tapi Tomi berusaha untuk bersikap biasa dan mencoba untuk mengikuti alur yang sudah dipersiapkan. Dan sepertinya dia juga harus ikut ke dalam alur itu agar semua sandiwara yang sudah dia persiapkan akan terlibat lebih nyata. Eca membalas senyum Tomi, seraya mengangguk pelan, di hadapan mereka kini ada sepasang suami istri yang ikut tersenyum kala melihat bagaimana suami barunya itu begitu perhatian dengan dirinya. Tentu saja senyum yang Eca berikan hanyalah sebuah senyum palsu untuk menutupi semua kebohongannya. "Kaki aku pegel, haus juga." Kata Eca dengan nada sedikit merengek. Great! Dia yakin suaranya seperti seorang gadis labil yang meminta dibelikan skincare mahal kepada om-om hidung belang. Sialan. Bahkan dari tempat dirinya berdiri. Dia bisa melihat bagaimana Linda terkekeh pelan saat mendengar dia berbicara. Sahabatnya itu terlihat masih sibuk bercakap dengan beberapa pria yang ada di sana, dan sepetinya mereka mulai asik dan larut dalam sebuah pembicaraan yang serius. Walau Eca yakin. Linda sudah merasa jengah dan tidak peduli dengan apa yang dia orang pria di hadapannya bicarakan. Buktinya saja Linda masih sempat untuk meledek dirinya dari posisi yang tidak terlalu jauh itu. Melirik tajam, Eca hanya bisa menarik kedua situs bibirnya, karena jika dia berdecih saat ini, sudah di pastikan jika orang-orang di sekitarnya akan berpikir aneh tentang dirinya. "Biar aku ambilkan minum." Kata Tomi yang langsung berlalu dari sana, tentu saja setelah dia permisi kepada dua orang yang ada di hadapannya kini. "Duh perhatiannya, jadi inget masa kits muda dulu ya sayang?" Ujar wanita paruh baya itu dengan menutup mulutnya dengan sebuah kipas. Eca hanya tersenyum malu-malu sembari menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. Rasanya aneh ketika ada orang yang menatap dirinya dengan tatapan yang ... Katakanlah memuja. Dan itu benar-benar tak nyaman. "Wajar dong, mereka kan pengantin baru, jadi masih berbunga-bunganya." "Hihi ... Bener, pah. Kayak kita dulu." "Duh. Jadi pengen balik ke masa muda dulu ya, sayang." "Heem. Masa di mana kita masih bisa bebas ngelakuin apapun yang kita mau." "Mencoba segala posisi yang masih buat kita penasaran." "Duh papah, jangan bahas itu, ah! Malu!" Kata Winata itu lagi. Jujur saja Eca sama sekali tidak tahu kemana arah pembicaraan pasangan itu, dan bahkan Eca sendiri tidak terlalu mengerti dengan apa yang mereka bicarakan. "Lama ya? Maaf, agak rame tadi." Kata Tomi tiba-tiba saat Eca tidak tau harus menanggapi dengan cara apa obrolan dua orang kenalan dari Tomi itu. Kini dia merasa terselamatkan oleh kedatangan Tomi. E yah harus bersyukur atau tidak, tapi setidaknya dia bisa lepas dari obrolan aneh itu. "Duh, perhatiannya." Balas si wanita yang seolah begitu memberi pujian pada Tomi yang dayang denhan membawa dua gelas minuman di tangannya. Pria itu tersenyum lembut. "Udah sewajarnya dong Bu, saya kan juga suami dari Eca." "Iya, paham ibu mah, lagian pengantin baru kayak kalian ini tuh masih seger-segernya." Tomi terkekeh pelan karena ucapan dari sang ibu yang selalu berputar pada pengantin baru dan pengantin baru, seolah tidak ada pembicaraan lain selain topik itu. Padahal masih banyak hal yang lebih menyenangkan untuk dibicarakan dari pada hanya berputar pada pengantin baru yang jelas-jelas hanya sebuah sandiwara semata. "Mas, kayaknya ibu manggil deh, ke sana yuk." Mas adalah panggilan yang dianjurkan oleh sang ibu, jadi jangan harap Eca akan berinsiatif untuk menggunakan panggilan itu pada Tomi, karena dia enggan untuk memanggilnya dengan sebutan itu. Beruntung saja dia ada di tempat keramaian yang menjadi acaranya hari ini. Mungkin jika nanti hanya ada mereka berdua saja, Eca tidak akan pernah memanggil Tomi dengan sebutan mas lagi. Bahkan rasanya begitu aneh di lidah ketika dia memanggil dengan sebutan itu. "Oh iya," jawab Tomi. Lalu pria itu menatap dua orang yang ada di hadapannya. "Maaf ya Bu, pak, sepertinya mertua saya memanggil." "Oh iya, nggak papa silahkan." Mengangguk pelan, Tomi masih mempertahankan senyumnya. "Saya permisi dulu, silahkan dinikmati acaranya." "Iya, sekali lagi selamat untuk kalian ya." "Terima kasih." Dan setelahnya Tomi berlalu, tepat setelah Eca berpamitan kepada dua orang tadi. "Kamu nggak nyaman?" Tanya Tomi tiba-tiba ketika mereka mulai menjauh dari beberapa orang yang ada di sana. Sejenak Eca terdiam. Lalu menggeleng pelan dan mengabaikan ucapan Tomi setelahnya. Jujur saja sebenarnya dia malas untuk terlalu dekat apalagi terlalu lama bersikap sok bahagia seperti ini. Karena nyatanya dia sudah membohongi dirinya sendiri. Tomi mematung di tempat, tepat saat Eca berlalu meninggalkan dirinya. Pria itu merasa jika Eca sama sekali tidak mengharapkan kehadiran dirinya, terlibat dari cara wanita itu memperlakukan dirinya sejak awal mereka bersama, bahkan sejak dirinya duduk berdua di pelaminan tadi. Namun mau bagaimana lagi, toh pernikahan mereka hanyalah sebuah sandiwara dan berawal dari sebuah keterpaksaan saja. Apa yang diharapkan dari pernikahan seperti ini, walau dalam diam, ada secuil harap di dalam diri Tomi, tapi sekali lagi, harapan itu hanyalah seonggok sampah yang tertutupi oleh kenyataan yang ada. Sudahlah, biarkan semuanya berlalu Seperi apa yang mereka inginkan. ----- Siapa hang menyangka, berperan menjadi anak baik-baik dan penurut itu benar-benar menguras tenaga, sama halnya seperti dia yang berpura-pura bahagia walau hatinya menggunakan dan memaki beberapa k********r untuk sekedar menenangkan dirinya dari tekanan yang ada. Kata orang, hari pernikahan adalah hari yang benar-benar tak terlupakan. Oke dia mengakui di Kalimat bagian akhir di mana dirinya benar-benar tak bisa melupakan apa yang terjadi hari ini, bukan kenangan yang membahagiakan, tapi kenangan buruk ketika dia harus menjadi seorang ratu tanpa pangeran yang dia cintai. Bahkan sampai dia berharap jika kisahnya hari ini adalah sebuah kisah dongeng, di mana akan ada seorang pangeran tampan -walau dia mengakui Tomi juga tampan- Datang menjemput dirinya dan membawanya dari penderitaan itu. Tapi sayangnya, dongen yang dia percaya itu hanyalah ada di dalam buku. Bukan di dunia nyata seperti yang dia jalani hari ini. Menghela napas lelah, akhirnya Eca bisa merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur yang terasa nyaman, walau ini bukanlah kamarnya. Anggap saja ini kamar hotel yang sudah dipersiapkan oleh sang ibu untuk dirinya menghabiskan waktu malam bersama. Agar kelak dapat menyaksikan keinginan orang tuanya untuk segera mendapatkan cucu. Cih. Jangan harap, karena sampai kapanpun juga dia tidak akan melakukan hal gila seperti itu. Cukup dengan menikah saja dia melakukan hal gila, karena dia tidak akan berbuat hal yang lebih jauh lagi. Tubuhnya terasa lengket dengan make-up tebal di wajahnya dan keringat yang rasanya memenuhi tubuhnya, dia ingin mandi. Hanya saja sepertinya sekarang bukan waktu yang tepat. Karena apa? Karena saat ini Tomi masih memakai kamar mandi hotel yang mana hanya ada satu kamar mandi di ruangan ini. Andai saja dirinya berada di rumah, mungkin dia akan menggunakan kamar mandi belakang yang memiliki bak ukuran besar yang mampu menampung tubuhnya. Namun sayang, harapan yang dia inginkan hanyalah menjadi sebuah harapan yang mungkin saja tidak akan terwujud untuk saat ini. "Kamu nggak mandi?" Pintu kamar mandi terbuka dan menampakkan wajah segar dari seorang pria yang seharian ini menempel pada dirinya. Tentu saja karena hari ini dialah yang berperan menjadi seorang raja yang menemani Dirinya. Eca masih malas membalas ucapan dari Tomi, dia hanya memilih diam dan membaringkan tubuhnya, lalu memejamkan matanya sejenak untuk mengusir rasa lelah yang mendera itu. Walau rasanya aneh karena rasa lengket itu, tapi itu lebih baik dari pada harus melihat wajah pria itu. Entah apa yang sedang dilakukan oleh pria itu kali ini, dia hanya bisa mendengar suara keributan dari arah lemari pakaian tempat dia meletakkan koper kecil yang dia bawa tadi pagi. "Kayaknya malam ini kita tidur di ruangan yang sama. Nggak mungkin kalo aku pindah kamar sekarang, sedangkan ada ibu dan bunda di sebelah." Ucap Tomi lagi. Eca benar-benar tidak tahu kenapa Tomi seolah mencari bahan obrolan, padahal dirinya benar-benar malas untuk menanggapinya, bahkan untuk melihat wajah pria itu saja dia malas, tapi anehnya pria itu seolah masih saja mencari celah. "Tenang aja, aku bakal tidur di sofa, kamu bisa aman tidur di ranjang." Ucap Tomi yang masih saja di abaikan oleh Eca, tentu saja karena dirinya benar-benar malas. Bahkan lebih baik diam dan menikmati nikmatnya rebahan di mana dia bisa merasakan rileks di kala lelah mulai mendera, padahal

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD