4 - rencana

1845 Words
Janji setiaku 4 - rencana Keputusan yang diambil sudah bulat, dan Eca sama sekali tidak bisa membatalkan ataupun mundur dari rencana yang sudah di tetapkan. Pertemuan semalam sudah menjadi penentu kapan dirinya menikah dan kapan dirinya akan melangsungkan resepsi, semua sudah diatur dengan sedemikian rupa. Dan sekarang, Eca hanya bisa diam dan menunggu. Menghela napas panjang, Eca menyandarkan tubuhnya pada kursi kerjanya. Pekerjaannya sudah hancur, semua kerja kerasnya selama sebulan ini sudah tak tersisa lagi. Dan kini, tak ada harapan selain mengikuti keinginan sang ayah untuk melanjutkan pekerjaan yang sudah di siapkan. "Ca!" Dia mengangkat kepalanya, menatap sang sahabat yang baru saja membuka pintu kerjanya tanpa di ketuk terlebih dahulu. Wanita dengan potongan rambu Bob itu berjalan dengan tatapan cemas dan penuh tanya. "Jadi serius kabar itu?" Tanya wanita itu tiba tiba dan kini sudah menarik kursi di hadapan Eca dan duduk di sana dengan nyaman. "Tender?" Tanya Eca dengan nada malas. Wanita itu mengangguk sekilas. Eca menghela napas pelan karena nyatanya tidak ada yang bisa dia pertahankan. "Keputusan ayah nggak pernah main-main. Jadi yah ... Hancur, nggak ada kesempatan lagi buat kita masuk ke sana." Padahal Eca sudah bekerja keras agar bisa masuk kedalam andrean group. Di mana dia akan mendapat banyak pasokan dan dana untuk memperbesar ranah bisnisnya, ketika kerja sama itu terjalin, tapi sang ayah seolah tidak peduli dengan semua uang itu. Linda, nama sahabat Eca yang sudah bersama dirinya jauh hari sebelum ini menghela napas panjang, dia bersandar dengan tatapan yang tak bisa diartikan lagi. Bahkan dia masih belum percaya dengan apa yang sudah terjadi saat ini. Peringai pria patuh baya yang menjadi ayah dari Eca adalah sosok yang keras dan ambisius, jadi tak heran jika masalah seperti ini akan terjadi. Hanya saja apa, apa yang sebenarnya terjadi hingga pria itu memilih untuk merusak pekerjaan Eca. "Sebenarnya apa yang terjadi?" Tanya wanita itu dengan suara pelan. Sorot tatapannya masih menyapu bersih kearah Eca. Mengedikkan bahu acuh, Eca tak ingin menjawab pertanyaan itu. Apalagi ketika dia tak tahu apa yang akan dia katakan setelah ini, masalahnya hanyalah karena dia tidak merespon ucapan sang ibu, dan membuat ayah marah lalu membatalkan semua urusan dan keringat yang sudah dia korbankan selama ini. Yah ... Hanya masalah sepele seperti itu malah membuat usaha kerasnya selama ini hancur, benar-benar keterlaluan bukan? Bukan hanya dirinya, tapi Linda juga ikut andil dalam tender ini. Entahlah, Eca sendiri tidak pernah tahu apa sebenarnya yang ada di dalam pikiran sang ayah. Pria itu selalu saja memutuskan semuanya seorang diri tanpa beban, dan tanpa berpikir panjang apa yang akan terjadi di kemudian hari pembatalan kontrak secara sepihak ini. Semua hanya karena sebuah kedisiplinan belaka yang membuat kerja keras Eca sia-sia. "Gue nggak tau, pagi sarapan, dan gue bilang kalo gue ada kerjaan yang nggak bisa menunggu, lalu tiba-tiba dia nelpon seseorang dan semua kontrak batal pagi itu juga." "Itu juga alasan kenapa Lo kemaren nggak dateng!" Eca mengangguk pelan. memang itulah alasan kenapa dirinya tak bisa ke kantor kemarin, selain karena pertemuan dirinya dengan keluarga Tomi. Hari itu juga termasuk hari hukuman di mana dia tidak boleh kemana-mana karena perbuatannya di pagi hari tadi. Selayaknya anak SD yang segala sesuatunya masih di perhitungkan dengan matang, itulah kehidupannya, semua harus ditentukan oleh orang tuanya dan dia sama sekali tidak memiliki pilihan sendiri. "Jangan bilang Lo di hukum?" "Ya gitu lah, Lo pasti paham gimana watak ayah gue." Kata Eca yang memilih untuk bersandar dan menghela napas sejenak. Dia enggan untuk banyak berpikir hari ini. "Semua di atur. Bahkan jodoh pun juga ikut dalam skenario nya." "Jadi ...." Tanya Linda dengan sebelah alis mata naik ke atas. "Jadi ... kemaren adalah hari di mana gue ketemu sama calon suami gue." Kata Eca santai, lalu mengangkat kedua tangannya dan menggerakkan jari telunjuk dan jari tengah bersamaan. "Calon suami pilihan ibu." Kata dia dengan mempertegas tanda kutip di sana. Linda terkejut, tapi tentu dia tidak heran dengan peraturan di keluarga Eca. Tentu saja karena bukan rahasia umum lagi jika Eca hanyalah sebuah boneka yang dikendalikan sang ayah untuk segala hal yang memang sudah dipersiapkan. Selucu itu memang hidup. Orang kaya dengan segala hal yang mereka inginkan, kehendak penguasa adalah mutlak, hal itulah yang membuat Linda benci mengenal orang-orang kaya seperti mereka yang berusaha mendekati dirinya. Pria-pria yang hanya melihat dirinya dari bentuk badan saja dan setelah rasa penasaran mereka hilang, mereka akan pergi dengan sendirinya dan mencari sesuatu yang baru. Orang kaya yang gila akan kekuasaan tak ubah selayaknya orang yang tidak memiliki sisi kemanusiaan lagi. Mereka menganggap semua hanyalah mainan semata di mata mereka. Pun dengan kehidupan Eca, bagaimanapun juga di mata sang ayah dirinya hanyalah sebuah boneka yang bisa dia kendalikan untuk melakukan apapun yang dia inginkan. Sungguh konyol bukan? "Jadi?" "Lo udah tau jawabannya. Jadi mending diem." "Gue cuma penasaran apa yang bakal Lo lakuin setelah ini." Tanya Linda yang kini sudah memajukan tubuhnya dan melipat kedua tangannya untuk menatap Eca secara dekat. "Nggak ada?" "Jadi Lo bakal nurutin semua kemauan ayah Lo?" "Kalo ini jalan satu-satunya untuk gue bebas. Kenapa enggak?" "Tapi apa Lo yakin?" Tanya Linda. "Maksud gue, ini menyangkut masa depan Lo dan menyangkut nama keluarga besar Lo." Tanya Linda. Dia tidak ingin sahabatnya ini bertindak gegabah yang nantinya malah akan merugikan dirinya sendiri. Apalagi pernikahan, setiap orang menginginkan sebuah pernikahan yang harmonis dan langgeng. Bukan sebuah permainan yang membawanya ke luar dari pintu kesengsaraan, itu benar-benar tidak layak untuk di lakukan, bagaimana pun juga Eca pasti memiliki satu keinginan untuk memiliki pasangan hidup seperti apa yang dia inginkan. "Setelah gue nikah, nggak ada nama keluarga besar di belakang nama gue." Kata Eca. "Dan kerjaan?" "Kantor ini sepenuhnya jadi milik gue." Linda bungkam seketika. dia mengingat kebelakang, keputusan paling gila yang pernah dilakukan oleh sahabatnya adalah kabur ketika orangtuanya pernah memaksa dirinya untuk menikah dengan salah satu kolega dengan penampilan yang tidak bisa dikatakan baik. Dan sekarang? Bagi Linda ini adalah satu keputusan dan langkah paling gila dari semua yang pernah Eca lakukan. Sebab sahabatnya itu tidak pernah berani untuk melangkah sendiri. Selama ini dia selalu berada di dalam bayang-bayang keluarga besarnya. Dan terbiasa menerima perintah, bukan memerintah. "Lo yakin?" "Untuk sebuah kebebasan, kenapa enggak?" Eca menghela napas pelan, tangannya bergerak mengambil bolpoin di atas meja dan memainkan benda itu dengan pelan. "Menjadi boneka bertahun-tahun itu nggak seenak yang Lo bayangkan, bahkan semua pekerjaan dan apapun yang ingin gue lakukan harus mendapat persetujuan dari ibu gue." Dia menjeda kalimatnya saat tatapannya menyorot pada bolpoin warna hitam dengan motif emas di setiap sisinya. Hadiah dari sang ayah ketika dia berhasil menduduki kursi yang kini dia duduki. "Jujur gue muak dengan semua peran kosong yang gue lakukan. Gue bagai cangkang kosong yang nggak memiliki ambisi di sini, semua yang gue lakukan seolah percuma ketika gue masih memiliki nama belakang keluarga gue." "Dan berpikir, dengan pernikahan ini kehidupan Lo bakal berubah?" "Setidaknya ini langkah terbaik yang pernah ada di kepala gue." Kata Eca lalu beranjak dari kursinya, tangannya masih membawa bolpoin mahal itu, memandangnya sejenak lalu melempar benda itu ke dalam kotak sampah yang ada di sisi meja kerjanya. Katakan selamat tinggal untuk bayangan yang selalu saja mengikuti dirinya pergi kemanapun itu. Sebentar lagi dia akan merasakan sebuah kebebasan, walau dalam artian dia akan menjalin sebuah hubungan dengan pria yang baru saja dia kenal. Namun siapa peduli, dia hanya akan menjalankan hidupnya dan meneruskan Kisa cinta bersama pria yang dia cintai, bukan dia pria yang tidak pernah dia kenal itu. "Lo udah makan?" Tanya Eca tiba-tiba. Entah kenapa dadanya terasa sangat lega sekarang, entah karena dia bisa sedikit melepas belenggu hitam di pundaknya. Atau karena dia memang sudah siap menjalankan rencana indahnya itu. Dalam diam dia menarik napas dalam-dalam, menghisap begitu banyak kadar oksigen untuk memenuhi kantung paru-parunya yang kini terasa sangat ringan. "Gue laper btw." Linda menatap tak percaya pada sahabatnya itu. Entah setan apa yang sudah merasuki wanita yang kini malah terlihat tanpa memiliki beban di sana, padahal beberapa saat lalu dia melihat sahabatnya yang terlihat benar-benar hancur di sama, tapi kini.... "Siapa sangka, gue yang terlalu paruh malah membuat gue lupa bagaimana indahnya sebuah kebebasan, terlalu lama di dalam sangkar membuat gue nggak menyadari jika di luar sana ada begitu banyak hal yang menarik untuk di jangkau." "Ca...?" Panggil Linda yang kini sudah beranjak dari tempatnya. "Lo waras kan? Nggak kesambet setan buntung di siang hari kan?" Eca menoleh. Menatap sahabatnya itu dengan kerutan di keningnya. "Lo pikir gue minta di ruqyah? Enggak lah, gue murni sehat dan sadar." "Tapi ...." "Halah! Udahlah, gue laper btw, Lo nggak mau cariin gue makan gitu?" "Cari makan? Bukannya hari ini jadwal makan Lo udah jelas ya?" Eca menggeleng pelan, tangannya meraih ponsel di atas meja kerjanya lalu membukanya sebentar, sebelum mengetik balasan chat yang masuk, tentu saja dari kekasihnya Rio. "Lupakan urusan makan yang udah buat gue bener-bener bosen itu. Gue mau sesuatu yang baru dan sesuatu yang enak, bukan makanan sehat yang membuat gue muak tiap kali liat warna hijau di piring saji gue." Kata Eca dengan gampangnya. Setelahnya dia sibuk dengan ponselnya sendiri. Membuat Linda yang melihatnya langsung kesal buka main. "Lo?!" Eca meletakkan jari telunjuknya di depan bibir tanda agar sahabatnya itu diam untuk sementara waktu. Karena saat itu ponselnya berdering dan nama Rio terlihat di layar ponselnya. Dia mengangkat panggilan itu. Lalu meletakkan benda pipih itu di telinganya. "Iya, Sayang?" Jawab Eca yang kini memilih duduk di kursi kerjanya, dia mendengarkan sang kekasih berbicara sembari memainkan berkas yang ada di hadapannya. "Aku udah makan kok, barusan aja. Kamu gimana? Udah makan?" Dia mengangkat kepalanya untuk menatap Linda. "Beliin makanan untuk gue." Ucap Eca tanpa suara, hanya gerakan bibir yang membuat Linda mendengkus seketika. "Iya beneran udah makan, di siapin sama Linda tadi. Iya kamu tenang aja." Kata Eca lagi, dia terlihat seperti anak muda yang tengah kasmaran dengan seorang pria dan menghabiskan waktunya hanya untuk kasihnya itu. Di sisi lain, Linda malah tidak menyukai hubungan bis dan juga kekasihnya itu. Karena menurut Linda, Rio hanyalah memanfaatkan Eca untuk kepentingannya sendiri. Dan dari semua itu. Eca yang terlampau polos malah berakhir di dalam dekapan buaya yang hanya mementingkan dirinya sendiri di saja. Melihat sahabatnya yang belum beranjak dari sana, Eca segera menjauhkan ponselnya lalu menutup bagian mic untuk menyembunyikan suaranya. "Buruan beliin gue makanan!" Kata Eca dengan mata melotot tajam. "Bukannya Lo udah makan?!" "Lin. Please!" Merasa tak bisa membantai, Linda hanya mengangkat kedua tangannya lalu beranjak dari sana. Dia tak ingin mengganggu kencan buta dari sang sahabat polosnya itu hingga bisa dengan mudah di tipu oleh kadal busuk itu. "Lo mau makan apa?" Tanya Linda sebelum dirinya keluar dari ruangan itu. "Terserah!" Balas Eca yang lagi-lagi menyembuhkan pembicaraannya dengan Linda. Mungkin dia hanya takut kebohongan kecilnya akan terbongkar karena kelakuan sahabatnya yang tidak kunjung pergi sedari tadi. "Oke. Sebebas gue berarti, kan?" "Ya!" Linda mengangguk lalu memilih pergi dari sana. Baginya berhadapan dengan Eca yang sangat egois dan tidak pernah mau mendengarkan ucapan orang lain adalah sesuatu yang benar-benar menguras emosi dan jiwanya, jika saja Eca bukanlah sahabatnya, mungkin Linda sudah melempar kepala wanita itu dengan kulit kacang sangking kesalnya dia dengan sosok yang bernama Eca itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD