3 - awal pertemuan

1642 Words
Janji setiaku 3 - pertemuan awal Rumah makan mewah dengan interior dan memiliki ruangan VIP adalah hal yang sangat lumrah dan sering Eca datangi. Apalagi ketika bersama keluarga besar dan jajaran keluarga lainnya. Mereka akan memilih restoran yang dirasa pantas untuk sebuah pertemuan penting. Contohnya saja seperti saat ini. Pertemuan yang akan membawa dirinya masuk ke dalam sebuah pintu yang mana akan menjadi salah satu siksaan untum dirinya. Menikah dengan orang yang sama sekali tidak dia cintai dan tidak dia kenal. Lucu bukan? Tapi inilah hidup yang harus dia jalankan. Berjakan bersama dengan seorang yang baru saja dia kenal. Keluarganya memang selucu itu. Bahkan pria sekelas Rio saya menjadi tolakan mentah untuk sang ayah yang selalu menuntut semuanya berjalan dengan sempurna. Terserah apa kata mereka saja. Eca malah memiliki rencana tersendiri setelah ini. Mungkin bisa jadi pernikahan ini adalah sebuah jalan agar dirinya bisa lepas dan bebas dari semua belenggu yang ayah ya berikan. Dan dia juga bisa merasakan udara kebebasan yang akan segera dia dapat nanti. Lalu. Satu pertanyaan muncul. Bagaimana jika pria yang dikenalkan sang ibu adalah seorang pria yang menuntut banyak akan dirinya? Bukankah itu malah menjadi sebuah jebakan lain. Keluar dari mulut harimau, malah masuk ke dalam kandang singa. dalam diam, Eca berharap jika yang menjadi pria kali ini adalah seorang pria yang mampu dia kendalikan. Walau bagaimanapun juga, jika bersama dengan pria seperti itu. mungkin dia bisa menguasai keadaan. Menarik napas dalam-dalam, Eca mengedarkan pandangannya, dia sesekali melihat ponselnya dan membalas beberapa pesan chat yang di kirim oleh Rio. Diam-diam dia masih berhubungan dengan kekasihnya itu. Bahkan terakhir kali, dia malah memberikan pinjaman kepada pria itu saat dia mengatakan jika dirinya baru saja terkena musibah. Dan tanpa pikir panjang, uang senilai sepuluh juta langsung dia transfer ke rekening pria itu. Eca : aku masih sama Ayah, ada pertemuan penting di sini. Nanti aku hubungi lagi. Sebuah balasan yang menutup beberapa chat mesra dirinya dengan sang kekasih, Eca langsung menyimpan ponselnya ke dalam tas ketika dia melihat seorang wanita paruh baya yang sangat dia kenali datang dari pintu masuk. Tak lama setelahnya seorang pria bertubuh tinggi dengan kacamata kotak menghiasi wajahnya. Kepala yang menunduk membuat Eca sedikit kesulitan untuk melihat dan menerka bagaimana wajah pria itu. Hanya saja ada satu hal yang membuat dirinya tertegun untuk beberapa saat. Berapa kira-kira tinggi pria itu? Batin Eca ketika melihat perbedaan tinggi Tante Ratna dan juga pria yang ada di belakang beliau. Bahkan juga mereka berdiri sejajar, tubuh wanita itu hanyalah sebatas d**a dari pria asing di sana. Lalu seberapa tinggi dia ketika berdiri di hadapan pria itu? Eca menggeleng pelan, dia melarikan pandangannya untuk menyapu dari ujung kepala hingga hingga ujung kaki, menilai bagaimana penampilan dari pria di sana. Rapih, batin Eca pelan saat melihat kemeja biru yang di gulung hingga siku, lalu celana bahan yang terlihat lucu. Dan sepatu pantofel yang terlihat mengkilat di sana. Hanya saja rambut pria itu yang terlihat sedikit berantakan membuat penilaian Eca sedikit berkurang. Tunggu, kenapa dia malah menilai sesuatu yang tidak penting seperti itu. "Maaf jeng, saya agak telat, jalanan agak macet tadi." Kata Tante Ratna berbasa-basi. "Terus ini si Tomi juga agak telat pulang, makanya sedikit debat dulu tadi." Ibu terkekeh pelan, mungkin keterlambatan untuk sanak saudara dan kerabat dekat yang sebentar lagi akan menjadi besan bukanlah masalah besar. Karena bagaimanapun juga sebentar lagi mereka akan menjadi besan, jadi keterlambatan ini sangat bisa dimaklumi. "Nggak papa, jeng. Kami juga belum lama Dateng." Balas ibu dengan tawa pelan. Eca hanya mendesis pelan. Baginya keterlambatan sangat tidak bisa ditoleransi, apalagi jika itu sudah masuk ke dalam dunia kerja. Terlambat, maka semua akan kacau. Itulah yang dia terapkan dalam dirinya sejak sangat lama. "Oh iya, kebetulan hari ini suami saya ikut jeng, sekalian kenalan aja." Kata Aryana yang terlihat antusias itu. Lalu seperti bias, acara pengenalan diri lalu interogasi kecil yang bertanya tentang pekerjaan dan segala hal yang menyangkut bisnis menjadi hal yang di bicara malam itu. Sedangkan Eca hanya memilih diam dari awal perkenalan hingga obrolan mencapai titik di mana menjurus ke arah perjodohan. Bahkan sesekali Eca dapat melihat bagaimana Tomi melirik kearahnya, dan sesekali juga tatapan mereka bertemu. Ada satu hal yang sedikit aneh bagi Eca, tepat saja saat mereka saling bertatapan, pria itu lebih memilih untuk memutuskan tatapannya dan memilih untuk menyembunyikan wajahnya. Dalam diam Eca tersenyum, sepertinya ini akan menjadi menarik, dan dari apa yang dia lihat malam ini, sepertinya pria ini mudah dia kendalikan. Eca bersikap sewajarnya dan bersikap sopan, seperti didikan ayah dan ibunya, tiap kali bertemu orang penting atau kerabat, dia harus menunjukkan sikap sopan santun yang sudah di tentukan, selayaknya putri keraton yang lemah gemulai dan anggun. "Jadi, kira-kira kapan kita bisa melanjutkan rencana kita ini?" Eca mencuri dengar saat sang ibu mulai masuk kedalam acara inti. Lalu melarikan tatapannya pada Tomi yang masih duduk santai di tempatnya. Sikapnya yang tak banyak bicara dan tidak terlalu banyak bergerak membuat Eca sedikit penasaran. Apa yang mendasari dia untuk tetap diam di sana. Padahal jika dia lihat, Tomi seperti tidak nyaman dengan semua ini. "Saya sih terserah anak-anak, jeng. Toh mereka juga yang akan melanjutkan hubungan ini dan membangun keluarga mereka sendiri." Jawab Tante Ratna dengan sopan, lalu setelahnya dia menoleh, menatap Tomi sejenak dan tersenyum simpul. "Hanya saja, Tomi sudah menyerahkan semuanya pada saya. Jadi kapan waktu dan kapan persiapannya, dia serahkan sama saya." "Wah, kebetulan, Eca juga gitu, menyerahkan semuanya sama saya. Dia cuma berpesan agar pernikahan ini berjalan dengan baik dan tidak ada keterpaksaan di salah satu pihak." Seperti yang dilakukan Tante Ratna, ibu Aryana menoleh dan menatap kearahnya, lalu tersenyum lembut. "Iya, kan sayang " Sungguh, sandiwara yang sangat luar biasa untuk sebuah pertunjukan yang sudah ibu rencanakan sejak lama. Padahal Eca sama sekali tidak ingat kapan dirinya mengatakan hal itu. Dan mungkin saja Eca memang tidak pernah mengatakan hal itu, tapi ibunya lah yang membuat semuanya seolah menjadi keputusannya. Eca malah berpikir, apakah Tomi juga berada di posisi yang sama dengan dirinya? Dipaksa oleh keadaan yang membuatnya gak bisa berkutik karena hal ini? Satu hal yang harus Eca lakukan untuk memperkuat apa peran yang sudah di jalankan oleh Aryana, tentu saja sebuah anggukan pelan dari kepalanya. Dan benar saja setelah Eca melakukan itu, Tante Ratna terlihat bahagia luar biasa. Sungguh, satu perlakuan kecil yang memiliki efek hang sangat luar biasa. Mereka mulai berceloteh kembali, entah membicarakan apa, yang jelas Eca sama sekali tidak tertarik untuk ikut andil di dalamnya, dia hanya ingin menikmati semua ini dalam diam. "Hoho, saya harap rencana ini akan segera terlaksananya, dengan demikian harapan kita untuk segera mendapatkan seorang cucu akan segera terwujud." "Tentu saja, jeng. Saya ini sudah tua loh, sudah waktunya menimang cucu." Balas Aryana lalu menoleh ke arah Eca. "Tapi sayangnya putri saya ini malah sibuk sama pekerjaan dan nggak mau cari jodoh untuk ibunya. Sampek-sampek saya sendiri yang harus turun tangan di sini." Benar-benar. Eca sama seli tak tahu harus berkata apa, sandiwara yang diperankan oleh Aryana sungguh membuat dirinya jengah. Bahkan jika boleh dirinya pergi dari sini, maka Eca akan melakukannya sedari tadi. Ketimbang mendengar ucapan yang sama sekali tidak masuk di akan dan terlalu banyak omong kosong di dalamnya. Tatapannya berlari pada pria yang sedari tadi terlihat duduk santai di kursinya, tidak ada tekanan apapun di sana, hanya duduk dan mendengarkan semua pembicaraan dengan seksama "Em ...." Eca membuka suara, dia menoleh menatap sang ibu dengan senyum yang mengambang. "Eca boleh permisi sebentar, sama mas Tomi?" Lanjut Eca dengan suara pelan dan terkesan santai. Padahal sedari tadi dia sudah menutup mulutnya rapat-rapat. Pertanyaan itu tentu saja membuat dua orang tua di sana terkejut, bahkan mereka langsung saling tatap karena rasa heran itu sendiri. "Eca pinginn ngobrol sama mas Tomi, perkenalan empat mata aja sih kalo boleh." Tante Ratna tersenyum lembut. Lalu menoleh ke arah Tomi yang sedikit terkejut karena ajakan dari Eca barusan, dia malah tidak menyangka jika Eca akan mengajaknya keluar berdua saja. "Tante sih nggak masalah, tinggal gimana sama tominya aja." Balas Tante Ratna seolah menyerahkan keputusannya kepada putranya. "Gimana, tom?" "Tomi nggak masalah Bu." Kata pria itu lalu beranjak dari duduknya. Karena nyatanya dia sendiri pun penasaran dengan sosok wanita ini, terlebih ada sesuatu yang ingin dia tanyakan lebih dalam lagi pada Eca. Eca mengangguk, lalu beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah luar ruangan diikuti oleh Tomi di belakangnya. Eca membawa Tomi ke sebuah taman yang ada di luar restoran, sebuah tempat outdoor yang menjadi fasilitas dari restoran ini. Eca memilih duduk, di meja yang ada di dekat sebuah kolam. Lalu di susul Tomi yang duduk di seberangnya. "Nggak usah muluk-muluk, saya akan tanya langsung ke intinya. Kenapa kamu setuju dengan rencana ini?" Tanya Eca seketika. Membuat Tomi terdiam dengan sorot yang menatap Eca pelan. "Kenapa?" Tanya Tomi pelan. "Mungkin karena nggak ingin membuat ibu kecewa." "Hanya itu?" Tomi mengangguk pelan. "Hanya itu." "Jika alsan kamu cuma itu, lalu kenapa bukan wanita lain yang kamu pilih, dan kenapa harus saya?" Tanya Eca dengan suara sedikit lantang. "Karena jika kamu tahu, saya memiliki seorang kekasih sekarang, dan saya tidak bisa meninggalkan dia hanya dengan alasan sepele seperti ini." Tomi terdiam, dia tak bisa berkata-kata lagi, cukup lama dia bungkam hingga akhirnya dia menghela napas pelan lalu menyandarkan tubuhnya pada kursi. Kepalanya mendongak. Doa sudah sangat yakin, keputusan yang diambil oleh ibunya tentu akan membuat sebelah pihak merasa terbebani, walau Tomi tidak peduli dengan perjodohan ini, tapi nyatanya, Eca tentu berbeda dengan dirinya. Mungkin wanita iru sudah memiliki kisah cintanya sendiri dan membuat dirinya tak ingin terjebak dalam satu masalah yang malah membuat dirinya semakin terbelenggu di dalamnya. "Jika kamu keberatan, katakan saja sebelum semuanya terlambat." "Dan apa kamu pikir saya bisa melakukan itu?" Seperti yang Tomi tebak, ini bukanlah masalah bagaimana dia bisa mengeluarkan pendapat dan berkata tidak kepada semua orang. Namun masalah ini jauh lebih dalam dari yang mereka pikirkan. Kembali lagi, semua sudah ditentukan. Dan untuk memberontak akan sangat
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD