2 - meja makan

1800 Words
Janji setiaku 2 - meja makan Eca baru saja selsai dengan kegiatan paginya. Setelah di rasa semua penampilan pagi itu sudah pas, Eca langsung mengambil tas Gucci yang tergeletak di atas meja rias dan melihat beberapa berkas yang harus dia bawa ke kantor. Semua sudah siap. Barulah dia melangkah keluar dari raungan besar yang menjadi tempat beristirahat di rumah ini. Walau perasaan masih merasakan jengkel yang luar biasa parah, dia masihlah harus menemui sang ibu, dan dia bisa menebak apa yang akan terjadi nanti. Jika bukan perdebatan kecil yang menjadi pembuka hari indah untuk hari ini, maka hanya akan satu belah pihak yang berbicara dan menyampaikan pendapatnya, sedangkan pihak lain hanya bisa diam dan mendengarkan. Karena bagaimanapun juga suara yang dia berikan sama sekali tidak akan di dengar oleh orang tuanya. Walau dengan langkah malas, wanita berambut panjang dengan rol di bagian bawah itu langsung menuju meja makan. Karena peraturan di rumah ini adalah, seberapapun sibuknya kamu dengan urusan pekerjaan ataupun urusan dunia, kamu tetap diharuskan untuk setidaknya duduk di meja makan setiap pagi, tentu saja hal itu bertujuan agar masih ada sedikit waktu saja untuk setidaknya bertukar suara dan berkumpul bersama dengan keluarga. walau sudah bisa Eca tebak jika acara sarapan pagi ini hanya akan diwarnai dengan keributan yang selalu saja terjadi jika sang ibu sudah mulai sibuk membahas soal jodoh. Menghela napas lelah, Eca beranjak, lalu menarik kursi yang biasa dia duduki untuk sarapan. Menyimpan tas dan berkas yang ada di kursi sebelah. Seperti itulah yang sering dia lakukan di setiap paginya. Maka tak heran lagi jika mereka melihat bagaimana Eca terlalu sibuk dengan paginya. Perlahan dia membuka piring, melihat menu sarapan pagi itu. Menu sederhana dengan sentuhan ala adat Jawa yang berisi beberapa potong lalapan, sambal dan juga ikan bakar. Keluarganya boleh saja berkecukupan bahkan bisa di katakan kaya dengan keuntungan dan omset yang melebihi ratusan juta tiap bulannya, tapi hal itu sama sekali tak membuat seorang Aryana menjadi congkak dengan makanan dan segala hal di dunia. Karena bagi Aryana adat Jawa harus tetap dia terapkan di kehidupan sehari-hari. Mungkin sisi itu yang disukai oleh Eca dari ibunya. Hanya saja ada satu sisi yang membuat dia merasa tertekan karena hal itu. Tentu saja perjodohan, entah sudah berapa kali Aryana memaksa dirinya untuk menikah dengan keturunan Jawa yang dia sendiri tidak tahu seperti apa wajah pria itu. Dia hanya mendengar dari cerita dan celoteh manja dari seorang Aryana tiap kali dia membanggakan sosok itu di hadapannya. Sungguh sesuatu yang membosankan bagi Eca. Terlebih di jalan moderen seperti sekarang, perjodohan hanyalah sesuatu yang tak masuk akal dan sudah ketinggalan jaman. Apalagi saat ini dirinya sudah memiliki kekasih yang berjanji akan menikahi dirinya tak lama lagi. Dan hak itu membuat Eca dilema. Tentu saja, jika dia mengatakan bahwasanya dia sudah memiliki kekasih, maka sudah dipastikan jika kanjeng ndoro Aryana akan murka dan memaksa untuk tetap menikah dengan lelaki pilihannya. Sungguh konyol bukan? Terjebak dalam sebuah tradisi yang membosankan dan membuat dia sangat ingin merasakan sebuah kebebasan itu seperti apa. Eca melihat sejenak makanan yang sudah tersaji. Hari ini dia seolah tak berselera untuk makan, padahal biasanya jika di suguhkan dengan ayam bakar dan sambel cocok dengan banyak potongan jeruk nipis di atasnya. Dia akan tergugah, tapi sayangnya hari ini selera makannya entah hilang kemana. Dia hanya mengambil satu buah roti saja, lalu memberinya sedikit selai dan mulai memakannya dengan perlahan sesuai ajaran dari kanjeng ndoro Aryana. "Jadi gimana, sudah kamu pikirkan?" Tanya Aryana yang masih menyantap ikan bakar kesukaannya dengan beberapa lalapan di sana. Sedangkan sang ayah sudah selesai dengan sarapannya dan masih menikmati kopi hitam pekat ditemani sebuah surat kabar terbaru hari ini. Eca terdiam dan terkesan santai saat menyelesaikan kunyahan di dalam mulutnya. Peraturan kedua soal tata Krama, jangan berbicara ketika mulut penuh dengan sesuatu, dan jangan bicara ketika makan. Mungkin saja sang kanjeng ndoro Aryana lupa akan peraturan itu. Dia terlihat masih sibuk dengan sendok dan garpu di tangannya, tapi dia malah membuka pembicaraan pagi ini. Hingga bisa Eca lihat saat sang ayah menurunkan korannya sedikit lalu melarikan tatapannya kearah ibu. Memberikan tatapan peringatan yang langsung membuat ibu berdeham pelan. Lalu mengambil gelas air mineral di sisi kirinya dan meminumnya dengan pelan. Setelahnya ketika dia melihat Eca selesai dengan rotinya. Barulah dia mendorong piring itu kedepan dan menutup garpu serta sendok di atas piring. "Jadi...." Sebelum Aryana menyelesaikan kalimatnya, Eca sudah beranjak dari duduknya. Dia mengintip jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Kayaknya aku udah telat, ada meeting hari ini." Kata Eca sembari memunguti barang bawaannya. Dia lupa jika di sebelahnya sudah ada sang ayah yang masih setia mengamati setiap tindakan dari Eca. "Eca pam..." Seketika Eca yang sudah siap dengan berkas yang dia peluk menggantung kalimatnya ketika sang ayah menatapnya dengan tajam, bahkan koran yang tadi dia baca sudah dia lipat ke samping dan kini pria paruh baya itu sudah melipat tangannya di atas meja. Eca lupa satu hal. Di mana peraturan ketika orang tua berbicara dan bertanya, maka sepatutnya dia menghormatinya dengan menjawab pertanyaan itu. Dan kini kesalahan itu benar-benar fatal. Karena Eca ingat, ini adalah kali ketiga dia melakukan tindakan seperti ini. "Duduk." Kata sang ayah dengan suara tegas yang tak terbantahkan. Dia mengambil ponsel saat Eca memaksa dirinya untuk duduk kembali. Lalu tak lama setelahnya sang ayang mengucapkan satu kalimat yang benar-benar membuat Eca mengerutkan keningnya dalam-dalam. "Batalkan semua proyek dan kerja sama yang masuk di bulan ini. Saya tidak mau tahu bagaimanapun caranya, besok saya sudah mendapat laporan jika kerja sama yang masuk bulan ini harus batal." Eca menatap tak percaya ke arah sang ayah. Perjuangannya selama ini, kerja keras dan lembur beberapa bulan ini harus hilang seketika hanya karena tingkahnya itu. Bahkan setelah melakukan panggilan itu, sang ayah malah terlihat sangat santai dengan menyeruput kopinya, lalu setelahnya pria paruh baya itu menghela napas pelan. "Kamu tau letak kesalahan kamu?" Tanya sang ayah dengan nada berat. Eca hanya bisa mengangguk pelan. Terlahir di keluarga yang disiplin dan memiliki peraturan ketat membuat Eca sudah terbiasa dengan kejadian seperti ini. Dia hanya menunduk dengan perasaan kesal, percuma saja selama ini dia bekerja keras untuk mendapatkan tender besar dan mendapat keuntungan yang lumayan di perusahaannya, tapi sang ayah malah menghancurkan semua itu hanya dengan sekali panggilan telpon. "Ayah mengijinkan kamu bekerja dan memimpin perusahaan bukan untuk menjadi anak pembangkang dan kehilangan santun kamu kepada orang tua. Ayah membiarkan kamu bekerja karena itu kemauan kamu dan kamu sudah berjanji untuk bersikap baik setelahnya." Eca tertunduk kian dalam, dia tahu, santun kepada orang tua adalah hal penting, karena bagaimanapun juga orang tua adalah sosok yang sudah merawat dan membesarkan dirinya tanpa pandang bulu. Mendapat perlakuan seperti tadi. Tentu saja ibu akan sedikit kecewa dan merasa sakit hati, tapi sayangnya Eca sedikit muak karena jodoh pun harus di tetapkan oleh orang tuanya. Eca tak menjawab, dia hanya memilih untuk diam dan menundukkan wajahnya dalam-dalam. Terdengar helaan napas panjang sebelum terdengar suara decitan kaki kursi yang bergerak dengan lantai. "Hari ini kamu nggak usah ke kantor, karena ayah sudah membuat janji temu, antara kamu sama Tomi." Setelahnya pria paruh baya itu beranjak, lalu tak lama setelahnya sang ibu pun ikut berdiri dari kursinya. "Lebih baik kamu ke kamar dan persiapkan diri kamu." Eca mengangguk pelan, mungkin hanya ini yang bisa dia lakukan, menurut dan mengikut sekenario yang sudah di siapkan oleh sang ayah. ---- "Iya gue nggak bisa ke kantor hari ini." Kata Eca dengan napas tertahan karena rasa kesal itu terus menekan dadanya. "Iya, gue nggak bisa kemana-mana, ayah marah dan ngurung gue di rumah." Eca bersandar pada tembok sebelah jendela, tatapannya tertuju ke arah luar jendela, melihat beberapa tumbuhan di sana dan berharap agar rasa kesal di dalam dirinya bisa lenyap saat itu juga. "Makanya, gue minta tolong lu urus kerjaan gue dulu." Kata Eca lagi, dia masih sibuk menelpon salah satu sahabat yang bekerja sebagai sekretarisnya. "Iya, besok mungkin gue udah ke kantor." Kata Eca lagi. "Ya udah gue tutup dulu. Tolong ya?" "Iya, makasih." Kata Eca yang akhirnya memilih untuk menutup panggilan telpon. Lalu menghela napas pelan. Dia merasa hidupnya hanyalah sebagai boneka yang dikendalikan, dan semua yang dia lakukan harus sesuai apa yang orang tuanya inginkan. Semua sudah direncanakan dan dia hanya bisa ikut dalam sekenario itu dengan paksa. Hidupnya sudah di tentukan. Dan semua harus seperti yang orang tua inginkan. Dia ingin memberontak, tapi bagaimanapun juga, dia tidak bisa mengelak, apalagi untuk angkat kaki dari rumah ini. Dia berpikir akan jadi apa dirinya jika keluar dari rumah ini. Dan Eca yakin, sang ayah pasti akan memutuskan semua koneksi dan membuat dirinya menjadi gelandangan yang tak bisa berbuat banyak. Setengah jam dia terdiam di dalam kamar. Merenung dalam keheningan ruangan kamar yang terasa mencekik itu. Dia berusaha untuk mencari jalan keluar agar dia bisa keluar dari rumah ini tanpa harus menderita dan mendapat ancaman itu. Tanpa dia sadari, pintu kamarnya tiba-tiba terbuka, Aryana berdiri di sana dengan tatapan sendu terarah pada Eca. Sebenarnya Aryana tidak tega dengan semua yang dilakukan untuk putrinya itu, tapi keinginan sang suami membuat dirinya tak bisa berbuat banyak. Dia ngotot menjodohkan Eca dengan anak kerabatnya karena dia memiliki tujuan tersendiri. Menurutnya apa yang dia lakukan untuk sang putri terlepas dari bagaimana suaminya memaksa dalam diam, adalah sesuatu yang baik. Namun, Eca tidak menganggapnya demikian. Anak itu memiliki pola pikir sendiri atas apa yang sudah dia lakukan untuknya. "Eca...." panggil lembut wanita itu membuat Eca langsung menoleh ke arah pintu kamar. "Kamu udah siap?" Tanya Aryana pelan. Eca mengangguk pelan. Dia memang sudah menyiapkan menampilkan seperti biasanya. Hanya dengan sebuah dress panjang dengan motif bunga serta polesan wajah yang tanpa perubahan. Dia hanya memanfaatkan riasan yang sudah dia pakai sebelum ini. Dan dengan itu saja sudah membuat Eca sedikit terlihat fresh dari sebelumnya. Dia memang tidak pernah memusingkan dengan segala urusan makeup, asal nyaman saja sudah cukup untuk dirinya. Di topang dengan wajah cantik serta kulit mulus tanpa jerawat membuat dia dengan mudah menentukan make up seperti apa yang harus dia gunakan. Beruntung karena dia menuruni wajah sang ibu yang putih mulus tanpa ada bekas luka di sana. Terlahir dengan kecantikan tentu saja menjadi sebuah kebanggaan untuk kebanyakan orang, tapi tidak dengan Eca. Dia malah merasa tidak beruntung karena terlahir di keluarga yang menurutnya sangat tidak harmonis. Selain mengekang, di dalam keluarga ini, semua keputusan di tentukan oleh sang ayah. Dan tidak ada yang bisa menentang keputusan itu. "Sebentar lagi kita berangkat, ibu tunggu di luar." Lagi Eca hanya mengangguk dan memilih diam, bahkan saat sang ibu keluar dari kamar, dia hanya menghela napas tanpa mau bergerak sedikitpun dari tempatnya. Dia masih memilih diam dan menenangkan kepalanya yang terasa pusing bukan kepalang. Sebentar lagi, dia harus dihadapkan dengan seseorang Nyang sudah di pilih oleh sang ibu, siap tidak siap, inilah kenyataanya. Apapun yang akan dia lakukan, dia hanya bisa kembali pada keputusan sang ayah. Karena tentu saja. Semua sudah ditentukan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD