1 - sebuah pilihan

1764 Words
"Stop, yo. Di sini aja" pekik wanita berambut panjang dengan setelan kemeja yang di lapisi blazer dan juga rok pensil dengan rambut yang sengaja ia cepol dengan asal. Pekikan yang membuat lelaki di sebelah wanita itu menatap kekasihnya bingung, yang di balas gerakan gugup salah tingkah, karena wanita itu sadar, bahkan ini masih cukup jauh dari rumah. "Serius di sini aja, nggak sampek depan rumah?" "Em ... Kayaknya untuk sekarang enggak dulu deh yo." Terdengar helaan nafas dari pria bernama Rio, pria tampan dengan sejuta pesona yang sulit untuk di tolak, satu-satunya kekasih wanita bermata abu dengan surai berwarna hitam pekat, bernama Eca. Tak henti-hentinya Rio mendengus kesal dengan tatapan yang sedari tadi memancarkan sorot lesu kearah wanitanya. "Kenapa sih nggak sampek depan rumah aja, aku juga pengen kenal sama orang tua kamu loh, Ca." "Em ... It ... itu, bonyok lagi nggak di rumah." Ucapan gugup itu membuat Rio kekasih dari wanita yang kini tengah berusaha mencari sebuah alasan untuk mengelak dari segala permintaan kekasihnya, yang mana jelas alasannya adalah sang ayah tak pernah menyukai keberadaan Rio. Entah karena apa. "Nggak enak juga sama tetangga. Tau di rumah nggak ada orang, aku malah pulang bareng cowok. Kesannya kok nggak enak banget di denger" Dengan alasan yang sedikit aneh, namun masuk akal itu, akhirnya Rio mengangguk, kemudian menepikan kendaraanya dan menurunkan sang wanita di sebrang jalan. "Nggak papa kan aku turun di sini?" Rio tak bergeming, yang kemudian mendapat elusan lembut di punggung tangan dari Eca. "Lain kali aja kalo ayah di rumah, ok?" Rio Mengangguk lesu, sejujurnya ia merasa kurang nyaman dengan ini, ia ingin mengenal orang tuanya, terlebih hubungan mereka sudah cukup lama terjalin. Melihat raut Rio, ada hal yang mengganjal, tapi tetap saja, untuk urusan orang tua Ela tak bisa berbuat banyak. Wanita itu kemudian memilih menurunkan kaki jenjangnya keluar dari mobil, sebelum sebuah tangan mencekal dan memaksanya kembali duduk di kursinya. Setelahnya, terasa begitu cepat saat benda kenyal menempel tepat di belahan bibirnya, tak lama memang, hanya sebuah kecupan di sertai jilatan kecil yang membuat Eca terkekeh karenanya. "Apaan sih, bikin kaget aja tau nggak!" Rio ikut terkekeh, dengan sebelah tangan ia gunakan untuk mengelus bibir bekas kecupannya tadi, "love you." ucapnya tanpa memperdulikan nada protestan dari Eca. Menggeleng pelan, Eca memajukan wajahnya memberi kecupan singkat di bibir Rio, yang kemudian tersenyum dan berucap "love you more." Wanita itu terkekeh pelan kemudian mengalihkan pandang pada tangan yang mencengram pergelangannya. "Sekarang, aku udah boleh turun, kan?" Merasa ada yang salah, Rio mengikuti pandang Eca dan menemukan jemarinya masih menahan lengan wanitanya, pria itu terkekeh pelan seraya melepaskan tautan tangan itu yang kemudian mempersilahkan Eca untuk turun. "Tentu tuan putri." Eca menggeleng pelan sebelum keluar dari dalam mobil, "kamu hati-hati di jalan, langsung pulang!" ucapnya di balik pintu mobil yang belum tertutup. "Ok sayang." setelahnya barulah Eca menutup pintu itu, membiarkan Rio berlalu dengan tubuh yang masih terpaku di tempatnya, bahkan setelah mobil itu menghilang di antara mobil lainnya, senyum Eca tak pernah surut dari bibirnya. Masih dengan senyum yang mengambang, Eca menghentikan sebuah taksi untuk pulang, sebisa mungkin ia menyembunyikan raut bahagianya hingga sampai di rumah nanti. Tak ingin jika sang ayah akan menyadari akan keanehan dalam dirinya yang terkesan dingin. Sifat yang selama ini ia tanamkan untuk menolak peraturan sang ayah yang terkesan mengatur hidupnya. Terjebak dalam keheningan, Eca melayangkan angannya jauh menembus batas, menerawang segala jenis bentuk kegundahan hati yang kian terasa mencekik semakin kuat. Teramat banyak masalah yang harus ia hadapi, semua karena setatus keluarga yang mengekang dirinya, hingga membuatnya tak bisa berkutik dan harus bergerak sesuai alur yang sudah di tentukan oleh sang ayah. Bahkan, jodoh pun sudah di atur oleh sang ayah. Dan hanya tinggal menunggu waktu yang tak akan lama lagi, semua harus sesuai kehendak ayah, Eca tak bisa mengelak, sejatinya bukan tak bisa, hanya saja Ela tak ingin menjadi pembangkan untuk kedua orang tuanya. dan ya ... Statusnya akan berganti menjadi seorang istri dari sosok yang belum ia kenal sebelumnya. Hal itu juga yang menjadi alasan kenapa ia menolak Rio kekasihnya mengantar dirinya hingga sampai di rumah, semua karena tamu yang selama ini sudah ia hindari. Seorang yang dengan jelas sudah berstatus sebagai calon suami, walau Eca sama sekali tak mengenal dengan jelas siapa pria itu. Bagaimana latar belakangnya, dan seperti apa sifatnya, semua masih samar. Dan Eca sama sekali tak menginginkan sosok itu. Sosok yang memaksanya untuk keluar dari ketenangannya selama ini. Mendengus kesal, Eca membuang wajahnya, menatap padatnya jalanan ibu kota sore itu, sama seperti lalu lintas di kepalanya yang sudah terlalu padat dengan segala sesuatu yang dengan lancangnya berlalu lalang. Semua sudah di luar batas pengendaliannya. ◁∞▷ Suara tawa membahana kental akan kebahagiaan berhasil menyambangi telinga Eca yang baru saja menginjakan kaki di pelataran rumah. tidak peduli dan tak ingin mengambil pusing, karena nyatanya dari tawa yang membahana itu Eca jelas tahu siapa yang bertandang di rumahnya sore ini. Menarik nafas dalam, berharap agar pergantian udara di dalam tubuhnya itu bisa menimbulkan rasa tenang di kepalanya. Kemudian, dengan kaki yang perlahan bergerak, ia masuk kedalam rumah. "Assalamualaikum, Bu. Eca pulang!" ucapnya yang kemudian menyusuri ruang tamu yang terlihat kosong, yang mana seluruh tamu yang bertandang sudah di boyong ke meja makan. Tidak lama, setelah melihat kedatangan Eca, wanita paruh baya dengan usia yang hampir menginjak usia 40an mendekati Eca dengan senyum cerahnya. "Eh, sayang, baru pulang nak?" Sapa wanita itu dengan penuh kelembutan yang hanya di balas anggukan oleh Eca. "Sini nak, ibu kenalin sama temen ibu dulu." Eca memasang senyum alakadarnya hanya sekedar untuk membalas senyum dari sang ibu, tak ingin wanita paruh baya itu kecewa jika tahu sebenarnya ada penolakan dalam diri Eca. Lagi Eca hanya mengangguk, dan mengikuti langkah kaki sang ibu. "Ini loh, na, anak aku, yang aku ceritain tadi." si ibu tersenyum bahagia, menatap sang tamu yang jelas Eca tahu bernama Ratna, sosok yang dia yakini akan menjadi ibu mertuanya, jika semua rencana sang ayah berhasil. Kenyataan yang ia dapat beberapa malam yang lalu saat ia mencuri dengar ucapan ayah dan ibunya. "Kenalin sayang, ini tante Ratna temennya mamah." Eca memasang senyum paling ramah yang ia punya, sekedar menutup perasaan ini lari dari sana saat itu juga. Dengan tubuh menunduk ia mengulurkan tangan, menyalami dan tak lupa memberikan ciuman hangat pada punggung tangan Ratna, kesan yang bagus untuk awal pertemuan. "Falecia tante." Tentu semua perlakuan Eca membuat Ratna berbinar, betapa lembut sopan dan ramahnya gadis di hadapannya kini. Sosok yang selalu ia inginkan untuk menjadi seorang menantu di kehidupannya kelak. Berharap semua bisa berjalan sesuai rencana. "Kamu cantik banget, sayang!" Satu kata dengan sepasang manik berbinar, Renata baru sadar betapa cantiknya wanita di hadapannya kini. "Cocok banget sama anak, Tante!" Lanjutnya lagi yang di balas dengan senyum tipis dari Eca. Bahkan ia belum melihat sosok yang di katakan pas dengan dirinya, lantas dimana sosok itu sekarang? Eca mendongak, dari ekor matanya ia mencari tahu keberadaan sosok yang akan menjadi pendampingan kelak, tapi yang di temui hanya dua sosok pria paruh baya yang tak lain adalah ayahnya sendiri dan juga teman dari sang ayah. "Maaf, Tomi belum bisa ikut malam ini, dia ada pekerjaan yang harus di selesaikan." Ucap Renata saat menyadari Eca mencari sosok anaknya. "mungkin besok Tomi baru bisa kemari untuk menemui mu." Eca mengangguk pelan, menghela napas lega saat menyadari pria itu tak ada di sini hari ini. Setidaknya dia bisa sedikit saja terbebas dari tekanan yang ada. Bahkan ketika dia orang wanita paruh baya ini berbicara dan mulai bertukar pikiran serta membicarakan banyak hal yang tidak dimengerti noleh Eca, dia masih coba diam dan menyimak. Hingga akhirnya Eca bisa menarik napas lega tepat ketika semua obrolan itu berakhir dan Tante Ratna yang digadang-gadang sebagai pemilik butik ternama di kota ini akan membuatkan sebuah baju kebaya khusus untuk pernikahan dirinya dengan anaknya yang bernama Tomi. Pernikahan. Bukankah itu konyol? Saat dia sudah memiliki pasangan sendiri untuk hidupnya, dia malah harus di pasangkan dengan pria pilihan orang tuanya, dan dari semua itu, apakah ini benar-benar mungkin, jaman seperti sekarang dia malah harus bersanding dengan pria yang sudah di tentukan, bahkan di saja hanya mengenal pria itu tanpa tahu seperti apa rupa, tutur kata dan perilaku serta pendidikan yang menjadi pertimbangan untuk dirinya. Jelas dari itu semua, Eca harus milih bibit dan bibit yang harusnya sesuai dan sebanding dengan dirinya. Walau sejatinya, dia tak akan bisa meragukan pilihan dari sang ayah. Mau bagaimana pun, sang ayah sudah mempersiapkan segalanya dengan sangat hati-hati dan matang. Buktinya saja sang ayah sampai menolak kekasihnya hanya karena memilih pria yang belum dia ketahui ini. "Kamu dengar kan Eca?" Dia mendongak, menatap sang mamah yang kini menatap kearahnya. Eca sama sekali tak memiliki minayan untuk menjawab. "Tante Ratna itu orang yang hebat, dia membesarkan dua anaknya walau tanpa suami, dan berusaha untuk tetap mendidik anak sebagaimana yang pernah dia ucapkan pada mendiang suaminya. Padahal usia Tante Ratna masih muda loh, dia bisa saja menikah lagi, tapi kesetiaan itulah yang dia jaga dan memilih untuk tetap sendiri serta fokus dengan anak-anaknya." Seperi biasa, mamah akan bercerita selayaknya mendongeng pada anak usia lima tahun saat sebelum tidur. Padahal usia Eca saat ini sudah hampir menginjak umur 27 tahun. Yang mana sebentar lagi dia akan menjadi perawan tua jika menurut adat di rumahnya. Di mana anak gadis berusia 27 adalah patokan untuk mereka menikah. Dan karena inilah dia didesak untuk menyetujui semua permintaan sang ayah untuk menikah dengan pria pilihannya. Bagai menelan pil pahit tanpa air minum. Itulah yang dirasakan Eca kali ini, suka tidak suka, mau tidak mau, keputusan sudah mutlak, dan dia tidak bisa memberontak ataupun mengelak, kabur pun rasanya percuma, karena sekarang dia jelas bertopang hidup pada orang tuanya. Bekerja di perusahaan orang tua dan menggali pundi uang dari tempat orang tua membangun kekayaan. Jika dia menolak atau mengelak, maka yang akan dia dapatkan hanyalah sebuah kata usir dan angkat kaki dari rumah. Inilah, yang harus dia dapat setelah semua yang orang tua berikan kepadanya. Maka keputusan jelas ada di tangan orang tuanya. Menghela napas pelan, Eca undur diri dari meja makan, walau di rasa sang mamah belum selesai mendongeng, tapi dia sudah lelah dan ingin segera beristirahat. Sejenak dia terhenti ketika sang mamah memanggilnya. "Mau kemana kamu?" "Mau ke kamar mah, capek banget Eca," jawab wanita itu dengan senyum paksa terangkat naik. "Ya udah sana." Beruntung walau hidupnya jelas sudah diatur, tapi sang mamah masih mengerti akan posisinya kali ini. "Iya mah, Eca ke kamar dulu." Wanita paruh baya itu mengangguk pelan. "Pikirkan baik-baik keputusan kami, mamah tunggu besok pagi." Eca hanya mengangguk pelan. Lalu beranjak dari sana dan mencoba untuk mengistirahatkan tubuh walau pikirannya berkecamuk di kepalanya
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD