"Gimana. Apa kamu terima tawaran kerja di rumah Pak Guntur?" tanyanya kemudian.
"Iya, Bu. Katanya waktunya terserah, yang penting harinya ya Senin, Rabu dan Jumat. Mau pagi, siang, sore, atau malam, terserah aku...,"
"Yah, kamu atur saja waktunya. Kerja yang baik. Seperti biasa. Yang sudah terjadi, lupakan saja."
Nayra mengaduk-aduk sayur yang dia olah tadi.
"Iya. Mending begitu, Bu. Aku jadi bisa bebas jual jamu buatan ibu. Pulang dari jual jamu, langsung bantu ibu di laundry wak Tima, trus sore baru kerja di rumah Pak Gun."
"Emang bisa kerja sebentar gitu?"
"Aku diminta beresin buku-bukunya Pak Gun, Bu. Cuma bersihin kamarnya yang penuh buku itu aja, yah..., sekalian bersih-bersih juga kantornya yang kecil. Nggak kayak sebelumnya mesti beresin ruang tamu, ruang keluarga, bersiin koleksi kristal ibunya."
"Oh..., pantes kamu mau...,"
"Iya, Bu. Paling cuma satu jam, trus pulang. Malah kalau hari selanjutnya dah beres, bisa kerja setengah jam saja di sana, trus pulang deh. Hehe...,"
"Itu upahnya sama nggak yaa..., dengan kerjaan kamu gantiin Mbok Min?"
"Hihi, Ibu. Yah nggaklah. Kerjaan Mbok Min kan hampir 24 jam. Gede gajinya dia. Lha ini aku cuma tiga jam seminggu. Seperempat gaji Mbok Min aja mana nyampe."
Bu Ola tertawa menyadari kenaifan dirinya.
________
"Oh..., jadi Pak Gun itu kuliahnya di luar negeri semua ya, Kak?"
"Iya. Aku liat ijazah sekolahnya dari S1 sampe S3, di Amerika semua, trus S3nya dua kali..., satunya di Leiden,"
"Ck ck ck..., pinter bener ya..., kalo banyak duit mah mau sekolah di mana aja bisa,"
Nayra tersenyum mendengar gumaman adiknya.
"Yah nggak juga, Farid. Dulu aku punya temen yang bapaknya juga sama dosen kayak Pak Gun. Sekolah di luar negeri pake beasiswa pemerintah, kerjasama sama negara lain. Sampe bawa keluarga juga. Trus, begitu selesai, lanjut lagi sekolah di negara lain. Intinya mah mau belajar aja sama rajin cari beasiswa juga. Nggak mesti banyak duit. Kalo kasus Pak Gun, mungkin yaa..., pake biaya sendiri."
Farid manggut-manggut. Kakaknya memang selalu memberi kata-kata semangat kepadanya jika menyinggung masalah sekolah.
"Udah, Farid. Kamu fokus tes wawancara beasiswamu itu," ujar Nayra akhirnya.
_______
Seperti biasa, Nayra dengan sigap mengatur tata letak botol-botol kaca jamu yang hendak dia jajakan pagi itu. Pagi ini Nayra lebih semangat dibandingkan pagi-pagi sebelumnya, karena masalah dirinya dengan Pak Guntur sepertinya sudah selesai dan tidak ada yang perlu dibahas lagi. Kayuh sepeda Nayra juga terasa ringan sekarang. Nayra benar-benar semangat.
Disapanya hangat para pelanggannya pagi itu. Dari gerbang komplek hingga ujung. Ada yang membeli, juga ada yang tidak. Nayra tetap senang.
Hingga dirinya tiba di pos satpam yang berdekatan dengan rumah Pak Guntur. Di sana, seperti biasa, Nayra menyeduh jamu buat Pak Edi, satpam komplek.
"Si Mina tuh males. Liat tuh, taman depan aja nggak dia rawat. Sampah-sampah daun kering nggak disapu-sapu. Ntar kalo datang yang punya rumah, baru sibuk kayak curut ke sana ke mari," rutuk Pak Edi sambil memajukan bibir hitamnya ke arah depan rumah Pak Gun yang hanya beberapa meter saja jaraknya dari pos satpam.
Nayra nyengir saja mendengar rutukan Pak Edi. Mbok Min memang begitu. Kata Bu Sari Mbok Min itu bangunnya jam 7.
"Kenapa kamu nggak minta kerjaan sama Pak Gun? Gajinya gede lho. Masih takut sama dia?"
Nayra tergelak. "Udah nggak, Pak. Enakan jual jamu...,"
"Nggak galak kok orangnya, Nay. Kalo ibunya baru galak..., kalah anjing herder..."
"Hahaha, Pak Edi."
"Iya, Nay. Dulu itu waktu masih kuat dan nggak setua sekarang, Bu Hanin kalo marah sama pembantunya, sampe-sampe satpam-satpam dia marahi juga. Sekarang mending...,"
Nayra menganga. Dia menggelengkan kepalanya. Padahal menurutnya sebenarnya Bu Hanin itu hangat, asal kerjaan kita beres saja. Memang sih suaranya terdengar berat dan ketus gitu.
"Eh..., baru ingat, Nay. Itu kemarin ada yang liat kamu sama Pak Gun tarik-tarikan sepeda?"
Nayra tertawa melihat wajah Pak Edi yang penasaran.
"Oh..., biasa, Pak. lupa ngasih gaji aku, Pak. Trus dia pura-pura lupa gitu deh," jawab Nayra. Dia tidak ingin menjelaskan secara rinci kejadian kemarin. Pasti akan banyak pertanyaan selanjutnya. Dia malas menanggapinya.
Tapi Pak Edi memandangnya dengan pandangan curiga.
"Apaan sih, Pak? Mukanya jangan gitu ah."
Lalu terdengar kekehan Pak Edi.
"Nay..., Nay. Aku yo ingat kamu waktu ditabrak mobilnya Pak Gun. Kasihan bener kamu. Dia ingat nggak ya...,"
Duh. Terjebak deh Nayra.
"Yah. Dia sudah minta maaf, Pak. Awalnya dia ngaku lupa."
Pak Edi menepuk pundak Nayra.
"Kalo nggak salah waktu itu, saya liat dia ngumpat-ngumpat setelah nabrak kamu, Nay. Dia bilang Pokoknya saya harus ketemu Ayu. Ayu..., gitu. Kan nama anaknya Ayu, Nay."
Nayra hanya mengangkat bahu.
"Kayaknya habis berantem. Makanya dia lupa."
Lagi-lagi asyik ngobrol, terdengar suara tepukan tangan disertai panggilan. Nayra dan Pak Edi kontan menoleh ke arah suara tepukan tangan tersebut.
Ternyara Mbok Min yang sedang berdiri di depan halaman rumah majikannya.
"Nayra! Nayra!" teriaknya memanggil.
Nayra dan Pak Edi saling pandang. "Tuh, malesnya. Nyamperin ke sini aja nggak mau. Teriak aja kayak ayam tecekit..., Nayra..., Nayra..." ejek Pak Edi. Nayra tertawa melihat aksinya.
"Aku ke sana dulu, Pak,"
Pak Edi mengangguk sambil menyerahkan gelas jamunya ke Nayra.
Nayra kemudian mengarahkan sepedanya ke depan halaman rumah Pak Guntur. Tampak Mbok Min tersenyum lebar melihat kedatangan gadis manis berambut pendek itu.
"Jamu dong, Mbak yu..." seru Mbok Min sambil menarik sepeda Nayra pelan ke arahnya.
"Duh. Kangen jamumu, Nay..., eh, gimana, langgananmu masih aman, kan?" tanya Mbok Min seraya melihat-lihat botol-botol jamu Nayra yang hampir habis.
"Masih, Mbak. Deket rumah juga ada beberapa. Tapi, yah..., pelanggan deket rumahku mah suka kasbon. Nih liat daftar yang punya hutang." Nayra memperlihatkan buku lusuhnya. Ada catatan panjang di sana. Lalu Nayra menyelipkan buku catatannya di sela-sela kotak jamunya.
Mbok Min menggeleng tertawa.
"Nggak papa, Nay. Yang penting kan dibayar nanti. Kamu kan sudah punya bakat baru, jadi debt collector. Bu Hanin yang sangar aja kamu berani tagih, apalagi mereka yang remeh remeh roti gandum. Hihihi..., keciiiiil."
"Iya..., kalo hak mesti ditagih, Mbok. Meski serebu perak. Itu prinsip."
Nayra mengaduk jamu kesukaan Mbok Min.
"Eh Pak Gun bilang kamu bakal kerja di kamarnya dia ya?" tanya Mbok Min sambil senyum-senyum. Diraihnya gelas berisi jamu buatan Nayra.
"Lo? Tau dari mana, Mbok?" tanya Nayra balik.
"Pak Guntur sendiri bilang ke aku dan Bu Sar. Dia bilang dalam waktu dekat, kamu akan bekerja di rumah, eh di kamarnya dia maksudnya." Mbok Min masih senyum-senyum. Nayra heran melihatnya.
"Kok senyum-senyum gitu...,"
"Kata Bu Sari, Pak Guntur matanya beda tiap liat kamu, Nay."
"Ah..., masa sih. Biasa menurutku. Malah suka jutek waktu aku kerja di rumahnya. Hei..., hei..., kamu. Hei..., gitu kalo manggil aku."
Mbok Min tertawa melihat wajah sewot Nayra yang meniru cara Pak Guntur memanggil dirinya.
"Eh, Mbok. Kira-kira aku digaji berapa ya? Kan dia bilang ke aku pas datang ke rumah kemarin kalo aku hanya tiga hari saja kerja di kamarnya dia. Trus juga kalo beres, langsung pulang. Yah..., paling tiga jam seminggu,"
Mbok Min mencibirkan mulutnya.
"Yah..., berapa ya, Nay? Itu mah sama aja numpang pipis. Bentar banget. 500 rebu kali..., haha."
"500 ribu? Lumayanlah...,"
"Kecuali kalo ples ples...,"
"Ih, Mbok! Apaan sih."
Belum sempat Mbok Min melanjutkan candaannya, ada dua PRT komplek berjalan menuju sepeda jamu Nayra.
_______