Jamu Gratis

1024 Words
"Nay..., duh neng semok nan geulis. Jamu dong, Say...," Uli, pembantu rumah sebelah rumah Pak Guntur mencolek pinggang Nayra. Tubuh PRT satu ini bukan main tinggi, gendut lagi. Ada Rasti, pembantu yang rumah majikannya berada di seberang rumah Pak Guntur, juga turut menyapa Nayra. Kalau Rasti, badannya sama dengan Nayra, mungil, berambut pendek. Dia sangat perhatian sama Nayra dan tidak pernah meminjam uang Nayra karena gaji yang dia terima dari majikannya lumayan tinggi. "Aku juga, Nay," sela Rasti seraya menyerahkan uang kertas lima ribuan ke Nayra. "Aku bayarin Uli sekalian," ujarnya kemudian. Nayra dengan cekatan membuat jamu buat ART-ART itu. "Kamu nggak jajain baju lagi, Nay?" tanya Uli tiba-tiba. "Modalnya belum terkumpul, Li," tanggap Nayra seraya menyerahkan pesanan Uli, juga ke Rasti. "Lah, hasil penjualan daster pelangi kemarin kan udah balik modal. Kamu puter dong modalnya. Gimana sih ah...," gerutu Uli. Tatapannya sinis ke Nayra. "Yah..., kepake buat beli ponsel adikku, Li. Buat belajar..." balas Nayra. Rasti dan Uli ber oo ria setelah mendapat penjelasan dari Nayra. "Kamsudnya buat dedek ganteng Farid ya, Nay?" Uli mulai genit. Dicoleknya pinggang kecil Nayra. Farid, adik Nayra memang tampan lagi pintar. Banyak cewek yang naksir dirinya di sekolah, tapi Farid belum minat pacaran, katanya tunggu Nayra dulu yang punya pacar, baru dia akan mencari pacar. Rasti dan Mbok Min saling pandang. Keduanya tertawa kecil melihat sikap genit Uli. "Jangan mau iparan sama si gendut, Nay...," sela Mbok Min. "Idih..., makanya kawin lagi, Mbok. Udah nggak laku ya? sewot aja..., serah aku dong mau sama siapa..., kan aku jombloooooo...," sewot Uli sambil mengusap-usap perutnya yang gendut. Nayra hanya geleng-geleng kepala melihat Uli dan Mbok Min yang mulai adu mulut. Biasa itu mah antar ART. Asal jangan sampe adu jotos, bisa rempong Pak Edi. "Ntar kalo ada modal, baru aku jualan lagi. Tapi daster model lain. Pada beli ya?" ujar Nayra dengan gaya cueknya. "Iyaaaa...," tanggap ketiga PRT tersebut. "Eh, ntar kita punya anggota baru loh. Siap-siap sambut..., bila perlu gelar syukuran," sela Mbok Min yang sepertinya tidak memperdulikan adu argumennya dengan Uli barusan. Sebentar-sebentar dia senggol bahu Nayra. "Apaan? Anggota baru? Siapa? Hadapi aku dulu," Uli siap-siap menyingsingkan lengan bajunya. "Ini..., Nayra. Bentar lagi jadi ART kayak kita-kita...," ujar Mbok Min sambil menggerak-gerakkan alis matanya, disertai senyum menyeringainya. Uli dan Rasti langsung mendelik. Nayra mengernyitkan dahinya ke Mbok Min. Dia merasa tidak nyaman. "Ah? Asyik..., beneran, Nay? Kamu jadi bakal jadi pembokatnya duren? Hm...," tanya Uli dengan wajah penuh senyum bangga. Nayra menatap Mbok Min dengan tatapan sebal. Sebenarnya dia tidak mau orang-orang tahu bahwa dia akan bekerja juga di rumah majikan Mbok Min. Nayra masih butuh waktu menyesuaikan diri. "Ih, Mbok. Paan sih..., iya..., tapi nggak tiap hari, Uli," tukas Nayra. "Yaelaaa, judulnya juga pembokat, Nay. Tapi, seriusan, Nay? Model-model kamu sih nggak cocok jadi pembantu, tapi jadi ehemnya majikan. Hehe...," Uli mulai menggoda. Nayra semakin cemberut. Sementara Mbok Min dan Mbak Rasti saling pandang menahan senyum. Memang ketiga ART itu suka sekali menggoda Nayra. Apalagi jika melihat wajah Nayra yang cemberut, menurut mereka menggemaskan. Nayra juga tidak pernah marah, paling juga sewot. Belum surut cemberutnya Nayra, terdengar bunyi deru mesin dari garasi rumah majikannya Mbok Min. Mbok Min, Uli, dan Rasti terperangah melihat mobil SUV hitam buatan Eropa meluncur perlahan. Kecuali Nayra yang sibuk mencuci gelas-gelas bekas minum jamu pelanggannya. Dan mobil itu berhenti. Kaca jendela di sisi pengemudi pun turun, dan tampaklah wajah putih bersih Guntur menoleh ke arah empat perempuan itu. "Nayra!" panggil Guntur. Suara bassnya terdengar merdu di pagi itu. Mbok Min langsung mencolek bahu Nayra yang sedang asyik mencuci gelas-gelas. "Dipanggil tuh," decak Mbok Min sambil menggerakkan kepalanya ke arah mobil yang dikendarai Guntur. Nayra menghela napas. Dia melirik tiga temannya itu dengan tatapan tidak senang, karena kemudian dirinya pasti digoda lagi. Setelah melap-lap tangannya ke kain lap yang tergantung di kotak jamunya, Nayra melangkah cepat menuju mobil Pak Gun. Tampak Pak Guntur menaikkan kaca mata hitamnya ke atas kepalanya saat Nayra mendekat. "Iya, Pak?" tanya Nayra. Kali ini dia bersikap lebih sopan. Tentu saja, karena Pak Guntur sudah meminta maaf dan mengakui kesalahannya terhadap Nayra. "Kapan kamu bisa mulai kerja?" tanya Guntur dengan tatapan hangatnya ke Nayra. "Hm..., terserah Bapak kapan," jawab Nayra. "Loh? Kamu dong yang nentuin. Besok Rabu bisa nggak? Kamar saya sudah nggak rapi lagi, Nay," Guntur sedikit mengeluh. Dia tersenyum melihat wajah Nayra yang masih takut-takut melihatnya. "Hm..., bisa, Pak. Kalo besok sih saya bisanya sore. Soalnya jadwal ibu saya kerja agak siangan. Saya musti bantu ibu saya dulu, Pak...," tutur Nayra lugas. Guntur tertegun mendengar jawaban Nayra. "Ok..., sore jam 5 saja. Saya pulang jam 4. Kita briefing dulu sebelum kamu kerja nanti. Ada hal-hal yang perlu saya sampaikan." Nayra mengangguk mengerti. Lalu perlahan dia membalikkan badannya karena sepertinya Guntur tidak berkata apa-apa lagi. Tapi..., "Nay...," panggilnya pelan. Langkah Nayra tertahan. Dia kembali menghadap ke mobil Pak Guntur. "Sini...," suruh Pak Guntur sambil menggerakkan kepalanya berharap Nayra melangkah lebih mendekat ke mobilnya. Nayra menurut. "Sini...," Nayra mendekat. Lebih dekat lagi saat melihat kode dari gerak kepala Pak Guntur, hingga Nayra bisa melihat isi dalam mobil mewah itu serta mencium aroma wangi dari dalam mobil. "Rambut bukan makanan, Nay...," ujar Guntur sambil perlahan mengusir rambut hitam Nayra yang menyentuh ujung bibirnya, dengan telunjuk tangan kanannya. Guntur tersenyum melihat wajah Nayra yang terkaget-kaget dengan sikapnya. "Jangan lupa besok," ujarnya lembut, seraya perlahan menjalankan mobilnya meninggalkan Nayra yang masih kaku sekaligus syok. _____ Sementara itu tiga teman Nayra masih menatap Nayra dari kejauhan. "Duh Pak Guntur. Dari jauh aja gantengnya jelas begitu, apalagi dekat. Kok aku jadi merinding begini. itu Nay bisa deket gitu mandangnya. Kalo aku jadi Nayra, sudah aku sosor pipinya Pak Guntur," gumam Uli disambut tawa Mbok Min dan Rasti. "Ih..., Uli. Paan sih. Tahaaaann..., tahaaannn," sela Rasti di sela tawanya. Dan tawa mereka reda ketika Nayra melangkah kembali menuju sepedanya. Wajahnya masih muram. "Ngomong apaan, Nay?" tanya Mbok Min penasaran. "H? Oh..., Aku mulai kerja besok sore, Mbok," jawab Nayra pelan. Dia masih syok. Tangannya saja terlihat gemetar. "Asyik..., syukuran kita?" goda Rasti. "Jamu gratis besok, Nay?" tambah Uli, matanya mulai melirik-lirik wajah merah Nayra usil. Nayra tersenyum akhirnya. "Iya..., besok aku gratiskan..." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD