"Oh. Rumah Nayra? Itu, Pak. Di ujung komplek rumah ini. Di gang sempit yang agak menjorok ke bawah, Pak. Kalo sudah di sana, tanya aja rumah Bu Ola. Kenal semua warga sana," jelas Mbok Min yang sedang membersihkan meja tamu ruang tengah rumah Pak Gun.
Jika sebelumnya, Nayra nekad ke rumah Bu Hanin, ibunda Pak Guntur. Sore ini, gantian, Guntur yang nekad ke rumah Nayra yang berada di gang sempit, yang lokasinya tidak begitu jauh dari komplek perumahan rumah mewahnya. Dia datang dengan mengendarai motor.
Setelah bertanya ke salah satu warga yang sedang berjalan di pinggir jalan, akhirnya Guntur tiba di sebuah rumah yang sederhana tapi sangat asri dan rapi. Boleh dikatakan, penampakan rumah Bu Ola paling rapi dan tertata jika dibandingkan rumah-rumah lainnya di sana.
Wajar Nayra sangat cekatan dan bagus kerjanya, rumahnya saja rapi begini, gumam Guntur dalam hati.
Diketuknya pintu rumah Nayra perlahan.
"Oh? Iya? Cari siapa?" Seorang laki-laki muda tampan nan tinggi membuka pintu rumah. Dia Farid, adik Nayra.
"Ini rumah Nayra?" tanya Guntur memastikan.
"Ya. Benar," mata Farid tampak mengawasi gestur tubuh Guntur.
"Saya Guntur. Nayra sebelumnya bekerja di rumah saya. Saya ingin berbincang dengannya. Ada hal yang ingin saya tanyakan."
Setelah memastikan bahwa gerak gerik orang asing itu tidak mencurigakan, Farid mempersilakan Guntur memasuki rumahnya.
"Silakan duduk, Mas," ucap Farid ramah.
Guntur perlahan menghempaskan pantatnya di atas tempat duduk kayu jati model lawas ruang tamu rumah Nayra. Sekilas pandangannya mengedar ke tata ruang tamu rumah sederhana itu. Rapi sekali. Tak berdebu. Pantas gadis itu rajin sekali saat bekerja di rumahnya.
Sementara Farid memasuki ruang dalam rumah.
_______
"Ha? Pak Guntur?" tanya Nayra yang sedang berada di dapur bersama ibunya. Dia sedang mengolah bumbu untuk mengolah lauk pauk buat makan malam.
"Iya, Kak. Katanya ada yang dia tanyakan. Tuh. Duduk di depan."
Nayra dan ibunya saling pandang. Wajah Nayra seketika pucat pasi.
Bu Ola berusaha menenangkan putri sulungnya.
"Sik. Ibu buat minuman dulu. Biar tenang," bujuk Bu Ola akhirnya.
_______
Nayra muncul ke ruang tamu dengan baki yang di atasnya secangkir teh hangat untuk Pak Guntur.
"Silakan, Pak," ucap Nayra sopan. Dia lalu duduk di hadapan Pak Guntur setelah membenarkan roknya agar nyaman posisi duduknya.
"Terima kasih," balas Pak Guntur.
Pak Guntur menatap wajah Nayra yang takut-takut melihatnya.
"Maaf, saya ganggu kamu sore-sore," mulainya disertai deheman. Lalu diraihnya teh hangat buatan ibu Nay dan menyeruputnya hingga setengah.
"Saya hanya ingin menyampaikan permohonan maaf saya atas apa yang telah saya perbuat," ucap Guntur. Dia sepertinya sangat berat mengucapkan kalimat itu. Tidak pernah dia merasa bersalah seperti ini. Selama ini dia merasa berada di atas angin. Tapi tampak wajahnya lega setelahnya.
"Boleh saya tau apa yang saya katakan saat itu? Sehingga kamu begitu membenci saya?" tanya Guntur sambil menatap wajah Nayra serius. Nadanya sudah mulai pelan.
"Bukannya Bapak yang nggak suka sama saya?" Nayra yang memilin ujung roknya di atas lututnya balik bertanya.
Guntur memperbaiki posisi duduknya.
"Maaf jika sikap saya cukup mengganggu pikiran kamu, sehingga menyangka saya yang tidak suka kamu. Itu hanya perasaan kamu saja, Nay."
Nayra tersenyum tipis. Akhirnya Pak Gun menyebut namanya, tidak hei hei seperti sebelumnya.
"Saya sedih. Waktu Bapak nabrak saya, saya berusaha bangkit ingin menuntut perbuatan Bapak, saya kira waktu itu Bapak kasihan sama saya, karena Mbok Min pernah cerita ke saya kalo Bapak itu dosen. Yang pasti tutur katanya baik. Ternyata di luar dugaan saya, Bapak teriak ke arah saya, bilang saya t***l, Jangan jualan di depan rumah saya! Sana kamu! Pake matamu!"
Nayra tertunduk. Dia terus berusaha menahan tangisnya di hadapan Guntur.
"Saya merasa hina, Pak. Apalagi waktu saya nagih upah ke rumah Bu Hanin..., saya hanya berdiri di depan pagar saja. Saya tau saya bukan siapa-siapa. Gaji yang saya tuntut juga tidak seberapa,"
Guntur terus menatap tajam wajah Nayra yang tertunduk.
Sekejap dirinya kaku di hadapan Nayra.
"Mau kamu maafkan saya. Juga ibu saya..., Nayra?"
Nayra memberanikan dirinya menatap wajah Guntur.
Dia mengangguk kecil.
Guntur merasa lega sekarang. Merasa permasalahannya sudah berakhir.
"Baik, Nay. Saya pamit. Terima kasih tehnya. Sekali lagi, maaf ganggu kamu sore ini."
Guntur lalu bangkit dari duduknya, melangkah menuju pintu depan rumah Nayra. Nayra juga ikut berdiri.
Guntur yang sudah berada di teras luar, berdiri menghadap ke arah Nayra yang berada di dalam rumah. Dia seperti menunggu Nayra mendekatinya.
Awalnya Nayra ragu, tapi Nayra akhirnya melangkah menuju Pak Guntur yang masih berdiri kaku di teras rumahnya.
"Apa kamu masih mau kerja di rumah saya?" tanya Pak Guntur. Wajahnya sangat mengharapkan jawaban iya dari Nayra.
"Nggak enak sama pembantu Bapak yang lain," tanggap Nayra segan.
"Kerjanya simple. Kamu saya tugaskan mengurus buku-buku saya yang banyak itu. Sekalian bersih-bersih kamar saya. Istilahnya casual. Nggak mesti tiap hari. Ingat jadwal yang saya kasih tempo hari, Senin, Rabu dan Jumat. Saya suka kerja kamu. Bersih. Waktunya terserah kamu."
"Oh. Saya baru ingat, kunci serep kamar Bapak masih di saya...,"
"Simpan saja. Kalo kamu kerja kan tinggal dibawa. Mau ya?"
Nayra menarik napasnya dalam-dalam. Ditatapnya wajah Guntur yang teduh memandangnya. Ah, benar kata Bu Sari, sebenarnya Pak Gun itu baik.
"Mau, Pak," jawab Nayra akhirnya.
"Oh. Ibu kamu ada? Saya hampir lupa."
"Sebentar, ya, Pak."
Nayra lalu berjalan cepat menuju ke bagian dalam rumahnya, menuju dapur.
Entah kenapa perasaan Guntur aneh saat memandang langkah cepat Nayra dari belakang. Ada desiran menyusup pori-pori kulitnya.
Tak lama kemudian, muncul Bu Ola.
"Maaf, Bu. Saya sudah di luar..., sudah mau senja...,"
"Oh iya, nggak papa. Saya Ola. Ibunya Nay...,"
Bu Ola menyerahkan tangan kanannya dijabat erat Pak Guntur.
"Guntur. Nayra saya tawarkan bekerja di rumah saya. Tapi tidak setiap hari. Tiga hari seminggu, itupun waktunya terserah kapan. Saya butuh tenaga Nayra, Bu. Mohon izin..."
"Oh..., iya. Kalo saya terserah Nay, Pak. Yang penting dia senang dengan pekerjaannya."
Guntur senang. Karena keluarga Nayra sangat hangat menyambutnya.
Akhirnya dia pun pamit dan pergi meninggalkan rumah Nayra dengan perasaan sangat senang.
***
Sepulang Guntur pergi dari rumahnya, Nayra kembali ke dapur membantu ibunya menyiapkan makan malam.
Bu Ola mengamati wajah Nayra yang sudah tenang. Padahal sebelumnya Nayra terlihat gusar dan sedih. Nayra sempat bercerita dirinya bahwa pagi-pagi ketika hendak bertemu Pak Guntur, dia langsung dilabrak Pak Gun, meski akhirnya Pak Guntur memberikan upahnya.
Ola peluk Nayra kuat-kuat siang hari itu setelah mendengar keluh kesah putri sulungnya. Dia pun awalnya merasa hancur hatinya mendengar cerita lengkap Nayra saat ditabrak Guntur. Aku dibilang t***l, Bu. Nggak boleh jualan depan rumahnya, padahal kan rumahnya dekat pos satpam, tempat biasa aku ngetem tiap jualan. Aku diusir, Bu. Ini liat masih ada bekas lukanya sampe sekarang. Naira pun menunjukkan bekas luka yang menghitam di paha kanannya karena tergores aspal jalanan.
"Dia minta maaf, Bu," ujar Nayra sambil memasukkan sayuran ke dalam panci yang berisi air mendidih di atas kompor.
"Ya sudah. Bagus toh, sudah minta maaf. Kayaknya orangnya memang baik, Nay. Cuma ya sekilas kelihatan dingin gitu."
Bu Ola masih mengamati wajah Nayra.