Peluh Ben telah runtuh bersama keluarnya jauhar hangat yang terlihat berserakan di sepanjang tubuh bagian bawah milik Binar.
Wanita itu terlihat sangat puas atas servis yang suaminya berikan. Tetapi tidak dengan Ben yang malah hilang rasa dan berpikir keras sejak tadi, sebelum percintaan ini dimulai.
"Uumh, perfect," puji Binar dalam senyum dan mata yang terpejam. Tanpa pelukan dan kecupan, wanita seksi dan berkelas tersebut langsung tertidur sampai pulas.
Sementara Ben masih merenungi pikirannya yang bertabrakan dengan nurani. Apa yang salah? Kenapa semua ini tidak membuat saya bahagia? Ben memiringkan tubuh sambil menatap Binar.
Demi memastikan segalanya, Ben memutuskan untuk memeriksa kebenaran tentang wanita yang berada di sampingnya tersebut.
Aksi yang bodoh, tapi Ben merasa perlu. Semua ini karena terjadi perbedaan sikap yang dirasa signifikan oleh Ben Cashel terhadap Binar.
Tanpa menutup tubuh dengan sehelai benang pun, Ben berjalan hati-hati ke arah koper milik Binar dan memeriksa dompet serta ponselnya.
Tidak ada yang salah, tidak ada yang terlewatkan. Wanita itu benar-benar Binar, putri dari tuan Tomy Annas.
Tidak ingin bermasalah dimalam pertama mereka, Ben memutuskan untuk kembali ke atas tempat tidur. Lagi-lagi, ia merasa sunyi dengan jiwa kian terasa kosong.
Bukankah seharusnya malam ini kami berpelukan sembari merenda bulu mata dan tersenyum bahagia. Tapi, kenapa jadi masing-masing seperti ini? Hati Ben terus berkutat dan bercakap-cakap dengan jiwanya.
Malam semakin larut, Ben belum juga dapat terlelap. Ia ingin pelukan hangat seperti yang teman-teman dan papanya ceritakan.
Demi mendapatkannya, Ben mendekatkan wajah pada tubuh Binar dan memeluknya. Sayang, Binar sama sekali tidak bereaksi. Wanita itu seperti mati, namun masih bernapas lega.
"Please, aku lelah. Jangan mengganggu, Sayang!" pinta Binar. "Panas ih ... ."
Mendengar perkataan dari bibir istrinya yang mengusir dengan lembut, Ben menjaga jarak atas tubuhnya dan ia mulai merasa kecewa.
***
Keesokan harinya, Ben yang sengaja mengatur waktu untuk tidak bekerja selama satu minggu ke depan, dikejutkan dengan penampilan super glamor dari sang istri.
Ben mengira dirinya dan Binar akan menghabiskan banyak waktu bersama untuk bercinta dan saling menyentuh lembut atau bercakap-cakap seadanya tentang kenangan masa lalu milik mereka yang indah.
Namun ternyata Ben salah, Binar seperti tidak memikirkan apa yang Ban pikiran, ia tidak menginginkan apa yang Ben inginkan.
"Binar," sapa Ben lembut, sembari mengernyitkan dahinya. "Kamu mau kemana? Jangan bilang ingin menyiapkan sarapan dengan gaya busana seperti ini! Saya suka kamu yang natural," goda Ben untuk mencairkan suasana.
"Kamu tahu, Sayang? Di mall pusat, ada pakaian dan tas limited edition. Aku tidak boleh ketinggalan dan semua itu harus menjadi milikku!" ucapnya mulai terdengar egois.
"Apa? Sayang, aku sengaja menyediakan banyak waktu untuk kamu. Tapi, kamu malah melakukan hal seperti ini."
"Ayolah, Sayang! Aku nggak lama kok. Pokoknya kalau udah selesai, langsung pulang dan melakukan tugas sebagai seorang istri. Janji."
Tidak ingin bertengkar, Ben memberikan waktu dan kesempatan untuk Binar mencapai kesenangannya.
Meskipun sebenarnya Ben Kembali kecewa dengan sikap sang istri yang awalnya terlihat begitu menginginkannya, namun kini tidak terlalu perduli.
Sekitar pukul 16.30 WIB, Ben yang sudah rapi memutuskan untuk duduk di balkon sembari menikmati udara segar sore hari, ditemani cappucino hangat dan roti panggang buatan restoran yang ia pesan.
"Ternyata waktu sebentar menurut Binar adalah tujuh jam," kata Ben sembari menatap jam tangan bermerek miliknya dan menggerutu kecil.
'Tak lama, suara ponsel Ben berbunyi dan ternyata Binar menelpon untuk dibukakan pintu. Saat itu, Ben langsung bergerak cepat ke arah depan dan menyambut istri tercinta.
"Sayang, kamu lama banget perginya?"
"Please deh, Ben! Hanya beberapa jam saja kok dan seperti yang aku janjikan, setelah pulang, aku akan melakukan tugas sebagai seorang istri."
Binar tersenyum sembari menyentuh bibir Ben dengan ujung jari telunjuknya. Lalu ia berjalan ke arah kamar untuk membersihkan diri sebelum melayani Ben.
Setelah membersihkan diri, Binar keluar dari kamar. Ketika itu, ia hanya mengenakan lingerie tipis ektra minim. Tampaknya Binar berusaha untuk menggoda Ben dan memenuhi janjinya.
Tanpa celana dalam, Binar menyentuhkan biji lunak miliknya pada paha kanan Ben yang hanya mengenakan celana jeans pendek di atas lutut.
"Sayang." Binar mengalihkan pandangan Ben pada buah dadanya yang sudah menyembul sempurna. "Mau kamu, please!"
"Kamu tidak memakainya?" tanya Ben sambil menatap mata Binar yang sudah terlihat membara.
"Untuk apa dipakai, jika hanya untuk dibuka?"
"Tentu saja berbeda, Sayang. Proses itu membuat kita berdebar hebat," sahut Ben yang berusaha melupakan rasa kesalnya di hari pertama pernikahan.
"Tidak usah banyak bergaya, Sayang! Dari pada terus mengobrol, lebih baik kita melakukannya hingga puas!" Binar menarik tangan Ben ke tempat tidur untuk menikmati sentuhan hingga terlena.
Binar berniat untuk menguasai permainan. Ia pun memberi serangan langsung di pusatnya sembari menurunkan celana yang Ben kenakan.
Tanpa ingin menikmati masa-masa pemanasan yang seru, Binar memberi kecupan basah pada tubuh suaminya yang kekar.
"Binar, berikan bibirmu! Aku ingin melumatnya hingga puas. Setelah itu, baru bercinta," pinta Ben sambil menatap sang istri.
"Beeen, kenapa tidak langsung saja? Aku suka ketika masih kesat dan milikmu mendarat di atasnya," tolak Binar sekali lagi.
Kembali tidak ingin bertengkar, Ben menahan keinginannya dan mengikuti perkataan binar. Walau bagaimana pun, Ben begitu mencintai Binar dan hanya dengan sedikit sentuhan saja, ia dapat melayang.
Suara erangan dan desahan saling bersaut. Meskipun Ben tidak mendapatkan kenikmatan sesuai dengan keinginan dan khayalannya.
"Beeen, Sayang," desah Binar seraya menggeliat hebat di atas tubuh Ben yang kuat bertahan serta tidak mudah lelah.
Ben yang tidak ingin bahagia seorang diri, langsung memberikan hentakan bertubi-tubi dari bawah, kepada Binar yang sudah terlihat begitu gelisah.
"Sayaaang, kamu hebat," puji Binar tanpa henti sembari menahan goyangan buah dadanya yang bergerak cepat kesana-kemari.
Ingin semakin membahagiakan Binar, Ben menegakkan tubuhnya dan mengambil posisi sejajar (saling berhadapan). Kemudian ia menerjang mahkota milik Binar dengan goyangan super cepat yang ia punya.
Binar hanya mampu berteriak dan berusaha mengatur napasnya yang semakin terasa berat. Hingga Ben merasa bahwa jauhar miliknya akan mengeluarkan bibit putra putri mereka dan ia mengerang kenikmatan.
"Ben, jangan dikeluarkan di dalam!" pinta Binar sambil menarik bokongnya dari cengkraman Ben.
"Apa?" Ben terkejut dan terdiam.
"Aku belum ingin disibukkan dengan urusan bayi. Bisakah kita menundanya? Aku ingin puas merasakan kasih sayangmu." Binar memberikan alasan yang bisa Ben pahami dan Ben menyetujuinya.
"Baiklah."
Dengan cepat, Ben menarik bokongnya dan menyemprotkan jauhar miliknya pada rerumputan tipis milik Binar.
"Oooh, kamu luar biasa, Ben." Binar menjauhkan tubuhnya dan lagi-lagi ia tidak memeluk ataupun mencium Ben.
"Mau sampai kapan seperti ini, Sayang?" tanya Ben yang sangat menginginkan segera memiliki keturunan.
"Nanti pasti aku kasih tahu, Sayang. Mungkin satu tahun lagi," jawab Binar tanpa beban.
"Tidak, Binar! Itu terlalu lama. Setidaknya, pikirkan perasaan mama, papa dan juga papamu."
"Papaku akan mendukung semua keinginanku, Sayang."
"Binar, kita harus membicarakan tentang ini dengan serius. Kemarilah! Duduk di sampingku!"
"Tidak. Apalagi jika kamu hanya ingin membahas perkara sepele seperti ini." Binar masuk ke dalam kamar mandi dan menguncinya.
"Sayang, ini bukan masalah sepele. Ini menyangkut masa depan kita." Ben masih meneriaki Binar yang sudah meninggalkan dirinya di dalam ketidak pedulian. "Anak adalah ikatan cinta terbaik dari Tuhan, Binar."
"Cukup, Ben!" Binar membanting sesuatu dari dalam kamar mandi. Lagi-lagi, Ben kembali terkejut dengan aksi brutal istrinya tersebut.
Tuhan, apa yang salah dengan semua ini? Tanya Ben seraya menjambak rambutnya yang hitam kilap dan semakin merasa kecewa.
Dulu, Binar terlihat begitu menginginkanku. Tapi kini, kenapa jadi seperti ini? Aku pikir, dia wanita yang tepat dan sempurna untuk hidupku.
Ben terus berkata tanpa suara, seraya menyandarkan tubuhnya pada dinding tidak jauh dari kamar mandi.
Bersambung.